Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KONSELING PENDIDIKAN

“BKI LINTAS AGAMA DAN BUDAYA”

DOSEN PENGAMPU:

Umi Aisyah, M.Pd. I

Dibuat Oleh:

Anjelita Yesha Ria 2141040056

Annisa Fitri 2141040057

Delly Kurniati 2141040060

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM FAKULTAS


DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM RADEN
INTAN LAMPUNG 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat rahmat serta
karunia-nya sehingga makalah dengan berjudul bki lintas agama dan budaya dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan memenuhi tugas kelas Bki-c dari Ibu Umi Aisyah, M.Pd. I
selaku dosen pengampu. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan
kepada pembaca tentang bki lintas agama dan budaya.

Pemakalah menyampaikan ucapan terimakasih kepada ibu Umi Aisyah, M.Pd. I selaku
dosen pengampu. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan pemakalah
berkaitan dengan topik yang diberikan. Pemakalah juga mengucapkan terimakasih yang
sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu pemakalah memohon maaf atas kesalahan dan ketidak sempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Pemakalah juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Bandar Lampung, 19 Mei 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 4

1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 4

1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................... 5

1.3 TUJUAN MASALAH ....................................................................................................... 5

BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................................... 6

A. BIMBINGAN DAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA ......................... 6

B. BIMBINGAN KONSELING LINTAS AGAMA............................................................... 9

C. BIMBINGAN KONSELING LINTAS BUDAYA............................................................. 10

BAB 3 PENUTUP .................................................................................................................. 17

3.1 KESIMPULAN .................................................................................................................. 17

3.2 SARAN .............................................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Bimbingan konseling adalah rangkaian aktivitas yang berwujud bantuan dilakukan oleh
seorang ahli dalam konseling secara tatap muka. Hal ini bisa dilakukan secara individu maupun
kelompok, dengan memberi pengetahuan tambahan. Jika hal itu dilakukan, maka diharapkan
agar menjadi jalan atau cara mengatasi permasalahn yang sedang dialami.

Bimbingan dan konseling dipakai sebagai pelayanan dan bantuan dengan tujuan agar peserta
didik atau konseling baik individu maupun kelompok bisa mandiri dan berkembang secara
optimal. Bimbingan yang diberikan juga meliputi beberapa hal, bisa itu karier, sosial, belajar dan
lain sebagainya lewat berbagai macam layanan serta kegiatan.

Intinya bimbingan konseling dipakai sebagai proses adanya interaksi antara konselor dan konseli,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu para konselor
mengembangkan potensi yang terdapat di dalam diri. Kemudian memecahkan masalah yang
tengah dihadapi dengan cara yang sebelumnya sudah dicari.

Guru Pembimbing atau konselor adalah seseorang yang bertanggung jawab untuk
memberikan bimbingan dan konseling disekolah secara sadar terhadap perkembangan
kepribadian dan kemampuan siswa baik dari aspek jasmani maupun rohani agar siswa mampu
hidup mandiri dan memenuhi berbagai tugas perkembangannya sebagai makhluk Allah
disamping makhluk individu dan makhluk sosial, susila, beragama, dan berbudaya. Konseling
adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor
dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan
dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan
efektif perilakunya. Bimbingan Konseling berada dalam posisi kunci dalam sebuah lembaga
pendidikan, yaitu institusi sekolah sebagai pendukung maju atau mundurnya mutu pendidikan.
Peran bimbingan dan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak hanya terbatas
kepada bimbingan yang bersifat akademik tetapi juga bimbingan pribadi, sosial, intelektual, dan
pemberian nilai.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu bimbingan dan konseling lintas agama dan budaya?


2. Apa itu bimbingan dan konseling lintas agama?
3. Apa itu bimbingan konseling lintas budaya?

1.3 TUJUAN MASALAH

1. Mengetahui apa itu bimbingan dan konseling lintas agama dan budaya.
2. Mengetahui apa itu bimbingan dan konseling lintas agama.
3. Mengetahui apa itu bimbingan dan konseling lintas budaya.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A. BIMBINGAN DAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

Keragaman adalah suatu keindahan namun dapat menimbulkan potensi konflik pada
setiap individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Keragamaan agama dan budaya menjadi suatu hal yang fitrah dan dapat memperkaya khasanah
agama dan budaya untuk menjadi modal yang berharga dalam membangun Indonesia menjadi
negara yang dipenuhi berbagai corak kehidupan beragama dan berbudaya. Keragaman yang
berada di dilingkungan sosial, bisa sangat terlihat, setiap individu membawa identitas agama dan
budaya yang berbeda.

Layanan bimbingan dan konseling lintas agama dan budaya merupakan salah satu layanan dalam
dunia Pendidikan yang sangat strategis dalam menanggulangi penyebaran benih radikalisme
dikalangan siswa. Layanan konseling melalui konsep multibudaya dinilai sangat diperlukan
dalam membentuk pribadi siswa yang mampu untuk saling menghormati dalam setiap perbedaan
keberagaman.1

Konseling lintas agama dan budaya adalah sebuah proses konseling yang
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari berbagai agama dan budaya dalam proses konseling. Ini
dapat membantu konseli mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan budaya,
serta membantu konseli menemukan solusi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka.
Konseling lintas agama dan budaya dapat dilakukan oleh konselor yang memiliki latar belakang
yang beragam dan yang memahami berbagai agama dan budaya.

Dasar konseling lintas agama dan budaya adalah menghormati dan memperlakukan setiap
individu dengan cara yang sama, tanpa diskriminasi terhadap agama, budaya, atau latar belakang
sosial ekonomi. Konselor yang melakukan konseling lintas agama dan budaya harus memiliki
kompetensi kultural dan dapat memahami perbedaan yang mungkin ada dalam pandangan hidup,
nilai-nilai, dan keyakinan konseli. Selain itu, konselor harus mampu mengevaluasi dan
mengintegrasikan keyakinan konseli ke dalam proses konseling, serta membantu konseli
menemukan solusi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka. Konselor juga harus
memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah kultural yang mungkin dihadapi konseli, seperti
diskriminasi, perbedaan pandangan hidup, dan konflik budaya. Konselor juga harus dapat
bekerja secara efektif dengan konseli dari berbagai latar belakang budaya, menghormati

1
Hamzanwadi, “BIMBINGAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA DALAM
PENANGGULANGAN RADIKALISME AGAMA BAGI REMAJA”, al-Takzia, Vol.9 No. 1 (Juni, 2020), 29-30.

6
perbedaan, dan membantu konseli mengejar tujuan konseling yang sesuai dengan keyakinan dan
nilai-nilai mereka.

1. Fungsi konseling lintas agama dan budaya


Fungsi konseling lintas agama dan budaya adalah untuk membantu konseli mengatasi
masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan budaya, serta membantu konseli
menemukan solusi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka. Beberapa fungsi
dari konseling lintas agama dan budaya adalah:
a) Membantu konseli mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan
budaya, konselor dapat membantu konseli mengatasi masalah yang timbul dari
perbedaan agamadan budaya, seperti diskriminasi, perbedaan pandangan hidup,
dan konflik budaya.
b) Membantu konseli mengevaluasi dan mengintegrasikan keyakinan konseli,
Konselor dapat membantu konseli mengevaluasi dan mengintegrasikan keyakinan
konseli ke dalam proses konseling, serta membantu konseli menemukan solusi
yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka.
c) Membantu konseli dalam mengatasi masalah kultural, konselor dapat membantu
konseli dalam mengatasi masalah kultural yang mungkin dihadapi konseli, seperti
diskriminasi, perbedaan pandangan hidup, dan konflik budaya.
d) Membantu konseli dalam mengejar tujuan konseling yang sesuai dengan
keyakinan dan nilai-nilai mereka, konselor dapat membantu konseli dalam
mengejar tujuan konseling yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka,
serta membantu konseli dalam mengatasi masalah yang mungkin dihadapi dalam
proses konseling
e) Meningkatkan kesadaran dan pemahaman konseli terhadap perbedaan agama dan
budaya, konseling lintas agama dan budaya dapat membantu konseli untuk
meningkatkan kesadaran dan pemahaman mereka terhadap perbedaan agama dan
budaya, sehingga dapat mengurangi prasangka dan stereotip negatif.
f) Membantu konseli dalam menemukan solusi yang sesuai dengan keyakinan dan
nilai-nilai mereka, konseling lintas agama dan budaya dapat membantu konseli
dalam menemukan solusi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka,
yang dapat membantu konseli dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
g) Meningkatkan keterampilan komunikasi dan kerja sama inter-budaya klien,
konseling lintas agama dan budaya dapat membantu klien dalam meningkatkan
keterampilan komunikasi dan kerja sama inter-budaya, yang dapat membantu
mereka dalam mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan budaya dan
agama.

7
2. Dalam bimbingan dan konseling lintas agama dan budaya ada beberapa masalah yang
mungkin akan dihadapi konselor yaitu, sebagai berikut:
a) Kemampuan intercultural, konselor mungkin merasa kurang memiliki
kemampuan interkultural yang cukup untuk dapat mengatasi masalah yang terkait
dengan perbedaan agama dan budaya.
b) Prasangka atau stereotip, konselor mungkin memiliki prasangka atau stereotip
terhadap konseli berdasarkan latar belakang agama atau budaya mereka, yang
dapat mempengaruhi interaksi dengan konseli.
c) Kemampuan untuk mengatasi masalah, konselor mungkin merasa kurang
memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan
agama dan budaya sehingga dapat menyulitkan proses konseling.
d) Keterbatasan dalam komunikasi, konselor mungkin mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi dengan konseli yang berbeda latar belakang budaya dan agama,
sehingga dapat menyulitkan proses konseling.
e) Masalah etika, konselor mungkin mengalami masalah etika dalam mengatasi
masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan budaya, seperti menghormati
keyakinan dan nilai-nilai konseli tanpa mencoba untuk mengubahnya.
f) Konflik dalam pandangan, konselor mungkin memiliki pandangan yang berbeda
dengan konseli terkait masalah yang dihadapi, yang dapat menyulitkan proses
konseling.

3. Dalam bimbingan dan konseling lintas agama dan budaya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh konselor, yaitu sebagai berikut:
a) Kompetensi intercultural, konselor harus memiliki kompetensi interkultural yang
cukup untuk dapat mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan
budaya. Hal ini termasuk pemahaman tentang berbagai agama dan budaya, serta
kemampuan untuk bekerja dengan konseli dari berbagai latar belakang
b) Sensitivitas kultural, konselor harus memiliki sensitivitas kultural yang cukup
untuk dapat memahami dan merespons kebutuhan konseli yang berbeda. Hal ini
termasuk kemampuan untuk mengenali dan menghormati perbedaan budaya dan
agama konseli, serta kemampuan untuk bekerja dengan konseli tanpa memberikan
prasangka atau stereotip negatif.
c) Keterbukaan, konselor harus memiliki keterbukaan yang cukup untuk dapat
menerima dan menghormati perbedaan agama dan budaya konseli. Hal ini
termasuk kemampuan untuk menerima keyakinan dan nilai-nilai konseli tanpa
mencoba untuk mengubahnya.
d) Keterampilan komunikasi, konselor harus memiliki keterampilan komunikasi
yang cukup untuk dapat berkomunikasi dengan konseli yang berbeda latar

8
belakang budaya dan agama. Hal ini termasuk kemampuan untuk menjelaskan
konseling dengan jelas dan dapat dimengerti oleh konseli.
e) Kemampuan untuk mengatasi masalah, konselor harus memiliki kemampuan
untuk mengatasi masalah yang terkait dengan perbedaan agama dan budaya. Hal
ini termasuk kemampuan untuk membantu konseli dalam menemukan solusi yang
sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka.

B. BIMBINGAN DAN KONSELING LINTAS AGAMA

Konseling lintas agama adalah konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang
berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Dalam konseling lintas agama, pengutamaan
nilai adalah pada nilai moral dan spiritual keagamaan dan cara-cara bantuan yang khas
keagamaan, sesuai dengan agama-agama yang bersangkutan.

Keragaman adalah suatu keindahan namun dapat menimbulkan potensi konflik pada
setiap individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.
Keragamaan agama menjadi suatu hal yang fitrah dan dapat memperkaya khasanah agama untuk
menjadi modal yang berharga dalam membangun Indonesia menjadi negara yang dipenuhi
berbagai corak kehidupan beragama. Keragaman yang yang berbeda di dilingkungan sosial, bisa
sangat terlihat, setiap individu membawa identitas agama yang berbeda, sehingga sering kali
perbedaan agama maupun budaya membawa setiap anggota dilingkungan sosial mempunyai
nilai-nilai keagamaan yang berbeda.2

Agama merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang
dimensi keagamaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Dalam
proses pelayanan yang diberikan pada setiap individu, konselor harus memperhatikan dimensi
keagamaannya sehingga pemberian solusi akan sesuai dengan apa yang mereka yakini, tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang mereka anut. Seorang konselor sangatlah
penting untuk memahami landasan agama secara baik karena konselor tidak hanya sekedar
menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan kecakapannya saja tetapi agama penting
untuk menumbuh kembangkan moral, tingkah laku, serta sikap siswa yang sesuai dengan ajaran
agamanya. Sehingga kepribadian serta sikap jiwanya harus dapat mengendalikan tingkah
lakunya dengan cara yang sesuai dengan ajaran dan tuntunan agamanya.

Melalui pendekatan agama seorang konselor akan mampu mengatasi permasalahan apapun yang
dihadapi konseli. Karena agama mengatur segala kehidupan manusia, seperti mengatur

2
Fiska Diana, “Pentingnya Konseling Lintas Agama dan Budaya dalam Menjaga Budaya Toleransi di Sekolah”,
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol.4 No. 1 (Juni, 2022), 9.

9
bagaimana supaya hidup dalam ketentraman batin atau jiwa atau dengan kata lain bahagia di
dunia dan akherat.

1. Tujuan bimbingan dan konseling lintas agama


Tujuan umum dari bimbingan dan konseling lintas agama adalah memfasilitasi dan
meningkatkan kemampuan konseli untuk mengembangkan kesadaran beragama dan
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga dapat mencapai kehidupan yang
bermakna dan diyakini akan berpengaruh secara positif dan fungsioanal terhadap aspek-
aspek kehidupan pribadi lainnya.3
Secara khusus, tujuan bimbingan dan konseling lintas adalah untuk membantu konseli
agar lebih efektif dalam hal-hal berikut yaitu:
a) Pengalaman dan pemantapan identitas keagamaan atau keyakinannya kepada
Tuhan.
b) Memperoleh bimbingan dan kekuatan dari Tuhan dalam mengatasi masalah dan
pengembangan dirinya.
c) Memperoleh dukungan sosial dan emosional, sehingga memiliki kekuatan untuk
mengatasi masalahnya.
d) Menguji dan memperbaiki keyakinan dan praktek-praktek keagamaan yang tidak
berfungsi dengan baik (disfiungsional).
e) Menerima tanggung jawab dan memperbaiki kesalahan sikap dan perilakunya
yang mementingkan dirinya sendiri.
f) Mengembangkan dirinya dalam kebenaran dan komitmen terhadap keyakinan,
nilai-nlai agamanya.
g) Mengaktualisasikan nilai-nilai keyakinan atau keagamaan dalam membangun
kehidupan bersama dan sejahtera.

C. BIMBINGAN DAN KONSELING LINTAS BUDAYA

Konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda
antara konselor dengan konseli, perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama
ataupun berbeda. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan
efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka

3
Firad Wijaya, “Agama dan Spiritual dalam Bimbingan dan Konseling”, Al- Insan, Vol.2 No. 1 (November, 2021),
39-40.

10
konseling dipandang sebagai "perjumpaan budaya" (cultural encounter) antara konselor dan
klien.

Dalam konseling lintas budaya terlibat adanya relasi antara konselor dan konseli, bagaimanapun
relasi yang terjadi dalam konseling adalah relasi dalam situasi kemanusiaan, artinya baik
konselor maupun konseli adalah manusia dengan karakteristiknya masing-masing, baik
karakteristik kepribadiaanya maupun karakteristik nilai, moral, dan budaya yang dibawa masing-
masing. Dengan demikian relasi konseling tidaklah sederhana, konselor harus memiliki
kesadaran adanya perbedaan pribadi, nilai, moral, dan budaya antara dirinya dengan konselinya,
serta menghargai keunikan konselinya, perbedaan-perbedaan ini bagaimanapun akan
mempengaruhi proses konseling. Disinilah perlunya konseling berwawasan lintas budaya, yaitu
konseling yang mengakomodasi adanya perbedaan budaya antara konselor dan konseli.
Konseling berwawasan lintas budaya efektif untuk menghilangkan kemungkinan munculnya
perilaku konselor yang menggunakan budayanya sendiri.

Perbedaan budaya menjadikan pula pemahaman dan cara tersendiri dalam menjalin
komunikasi, termasuk dalam pemberian bimbingan dan konseling. Proses konseling merupakan
suatu proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung secara intensif antara konselor dan
konseli, dipandang dari perspektif budaya situasi konseling adalah sebuah perjumpaan kultural
antara konselor dengan konseli. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kepekaan budaya agar
dapat memahami dan membantu konseli sesuai dengan konteks budayanya, konselor yang
demikian adalah konselor yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki
karakteristik yang unik dan dalam proses konseling akan membawa karakteristik tersebut.

Selama proses konseling lintas budaya berlangsung konselor dan konseli masing-masing akan
menjadikan budaya yang dimiliki sebagai investasi awal untuk pemecahan masalah. Selanjutnya
konselor dan konseli akan membesarkan investasi itu melalui perolehan pengalaman dalam
proses konseling, dan pematangan diri masing-masing dengan saling tukar kesadaran budaya,
yang semuanya bertujuan untuk pemecahan masalah dan pengembangan potensi.

Dalam praktik sehari-hari konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda
latar belakang sosial budayanya, sehingga tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya.
Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau
perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan yang negatif
terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu
akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini
dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk
timbul hambatan dalam konseling.

Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai
yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai
pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan

11
langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Konseling Lintas Budaya meminta
agar konselor memiliki kepekaan Budaya terhadap klaiennya serta dapat mengapresiasi
diversitas budaya dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsitif secara kultural.4

1. Sue (dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah kompetensi
minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu
sebagai berikut:
a) Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural
• Konselor sadar akan sistim nilai, sikap, dan bias yang mereka miliki dan
sadar betapa ini semua memperngaruhi konseli dari kelompok minoritas.
• Konselor mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak
tergangu kalau konseli mereka adalah beda ras dan menganut keyakinan
yang berbeda dengan mereka.
• Konselor percaya bahwa intergrasi berbagai sistem nilai dapat memberi
sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis maupun konseli.
• Konselor ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan konselinya
tentang dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis.
• Konselor peka terhadap keadaan yang menuntut adanya acuan konseli
pada kelompok ras atau budaya masing-masing.

b) Pengetahuan konselor yang efektif secara multicultural


• Konselor mengerti tentang dampak konsep penindasan dan rasial pada
kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka.
• Konselor sadar akan hambatan institutional yang tidak memberi peluang
kepada kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi
secara penuh di masyarakat.
• Konselor tahu betapa asumsi nilai dari teori utama konseling mungkin
berinteraksi dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda.
• Konselor sadar akan ciri dasar dari konseling lintas budaya dan yang
mempengeruhi proses konseling.
• Konselor sadar akan metode pemberian bantuan yang khas budaya.
• Konselor memiliki pengetahuan yang khas tentang latar sejarah, tradisi,
dan nilai dari kelompok yang ditanganinya.

4
Merryanne Elisabet, Yurulina Gulo “Konseling Lintas Budaya dan Agama (Nilai-Nilai pada Masyarakat Suku
Batak dalam Melakukan Pendampingan terhadap Disabilitas”, Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya, Vol.5 No. 2
(2020), 102.

12
c) Keterampilan konselor yang efektif secara kultural
• Konselor mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai
dengan sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda.
• Konselor dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan konvensional
pada konseling dan psikoterapi untuk bisa mengakomodasi perbedaan-
perbedaan kultural.
• Konselor mampu menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun
non-verbal secara akurat dan sesuai.

2. Dalam bimbingan dan konseling lintas budaya, ada beberapa keterampilan dan
pengetahuan yang harus dimiliki konselor yaitu, sebagai berikut:
a) Keterampilan dan pengetahuan konselor
Khusus dalam menghadapi konseling yang berbeda budaya, konselor harus
memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, Leach dan Davidson (1994)
mengemukakan bahwa konselor profesional hendaknya selalu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang
dihadapi.
• Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosial politik di negara tempat
kelompok berada, berkaitan dengan perlakuan terhadap kelompok
tersebut.
• Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik
umum konseling dan terapi.
• Memiliki keterampilan verbal maupun nonverbal.
• Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun nonverbal.
• Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan
konseli.
• Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada konseli yang berbeda.
b) Sikap konselor
Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling dengan menimbulkan
perasaan-perasaan tertentu pada diri konseli, dan akan menentukan kualitas dan
keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap
konseli, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya.
Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika konseli memiliki sifat atau
kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor
akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara
halus, tetapi apabila kepercayaan konseli berkaitan dengan dasar filosofi dari

13
kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama konseli, maka
konselor harus bersikap netral yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan konseli
tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan tersebut.
c) Persyaratan konselor lintas budaya
Dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat
memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan konseli yang memiliki latar
belakang budaya yang berbeda. Lorion dan Parron (1985) mengemukakan
persyaratan konselor lintas budaya yaitu:
• Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya baik
akademik maupun pengalaman.
• Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara konseli
dengan konselor, terutama yang berkaitan dengan kemampuan mereka
dalam mengembangkan hubungan kerja terapeutik.
• Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi
khusus konseli.
• Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
• Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar
konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotip, dan prasangka-
prasangkanya.
• Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku
umum.

3. Model bimbingan dan konseling lintas budaya


Palmer and Laungani (2008: 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya,
yaitu, sebagai berikut:
a) Model berpusat pada budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat
menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan
budaya timur menekankan kommunalisme, emosionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir
(framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali
terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok
konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula
konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan
keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya
mereka.

14
Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian, artinya fokus
utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah
menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini
penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi
sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing
sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang
masing-masing.
b) Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer
and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan
konseptual dalam konseling model integratif, yaitu reaksi terhadap tekanan
tekanan rasial (reactions to racial oppression), pengaruh budaya mayoritas
(influence of the majority culture), pengaruh budaya tradisional (influence of
traditional culture), dan pengalaman dan anugrah individu dan keluarga
(individual and family experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit
untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang
menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi, budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai- nilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini
terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki
individu dari berbagai varibel di atas.
c) Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang
dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan
alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi
dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini
menempatkan individu dalam 5 konsepsi yaitu, sebagai berikut:
1) Konsepsi sakit (sickness conception), seseorang dikatakan sakit apa bila
melakukan penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas
keyakinan agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum, dan
mengalami masalah interpersonal.
2) Causal/healing beliefs, menjelaskan model healing yang dilakukan dalam
konseling, mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan
konseli, menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor,

15
menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi
(share) tentang keyakinan yang sama.
3) Kriteria sehat (wellbeing criteria), pribadi yang sehat adalah seseorang
yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Seperti mampu
menentukan sehat dan sakit, memahami permasalahan sesuai dengan
konteks, mampu memecahkan ketidak berfungsian interpersonal, dan
menyadari serta memahami budayanya sendiri.
4) Body function beliefs, perspektif budaya berkembang dalam kerangka
pikir lebih bermakna, sosial serta okupasi konseli semakin membaik dalam
kehidupan sehari-hari, dan muncul intrapsikis yang efektif pada diri
konseli.
5) Health practice efficacy beliefs, ini merupakan implemetasi pemecahan
masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari
konseli.

16
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Keragaman yang berada di dilingkungan sekolah, bisa sangat terlihat, setiap individu
membawa identitas agama yang berbeda, sehingga sering kali perbedaan agama maupun budaya
membawa setiap anggota dilingkungan sekolah mempunyai nilai-nilai keagamaan yang berbeda.

Konseling lintas agama dan budaya dapat dilakukan oleh konselor yang memiliki latar belakang
yang beragam dan yang memahami berbagai agama dan budaya. Konselor yang melakukan
konseling lintas agama dan budaya harus memiliki kompetensi kultural dan dapat memahami
perbedaan yang mungkin ada dalam pandangan hidup, nilai-nilai, dan keyakinan konseli.

Keragaman yang yang berbeda di dilingkungan sosial, bisa sangat terlihat, setiap individu
membawa identitas agama yang berbeda, sehingga sering kali perbedaan agama maupun budaya
membawa setiap anggota dilingkungan sosial mempunyai nilai-nilai keagamaan yang berbeda.
Seorang konselor sangatlah penting untuk memahami landasan agama secara baik karena
konselor tidak hanya sekedar menuangkan pengetahuan ke otak saja atau pengarahan
kecakapannya saja tetapi agama penting untuk menumbuh kembangkan moral, tingkah laku,
serta sikap siswa yang sesuai dengan ajaran agamanya.

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.

Dalam konseling lintas budaya terlibat adanya relasi antara konselor dan konseli, bagaimanapun
relasi yang terjadi dalam konseling adalah relasi dalam situasi kemanusiaan, artinya baik
konselor maupun konseli adalah manusia dengan karakteristiknya masing-masing, baik
karakteristik kepribadiaanya maupun karakteristik nilai, moral, dan budaya yang dibawa masing-
masing. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kepekaan budaya agar dapat memahami dan
membantu konseli sesuai dengan konteks budayanya, konselor yang demikian adalah konselor
yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan
dalam proses konseling akan membawa karakteristik tersebut.

Selanjutnya konselor dan konseli akan membesarkan investasi itu melalui perolehan pengalaman
dalam proses konseling, dan pematangan diri masing-masing dengan saling tukar kesadaran
budaya, yang semuanya bertujuan untuk pemecahan masalah dan pengembangan potensi.

17
3.2 SARAN

Dari hasil penulisan makalah ini pemakalah menyadari bahwa makalah diatas banyak
sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Pemakalah akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu
pemakalah mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan
diatas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Diana, Fiska. (2022). Pentingnya Konseling Lintas Agama dan Budaya dalam Menjaga Budaya
Toleransi di Sekolah. Journal Bimbingan Konseling Islam, Vol 4, No.1, 9-10.

Kartini., Aryani, Sekar Ayu. (2022). KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA
DENGA PENDEKATAN REBT SEBAGAI TINDAKAN PREVENTIF FENOMENA
RADIKALISME AGAMA. Journal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol.3, No. 2, 77.

Wijaya, Firad. (2021). Agama dan Spiritual dalam Bimbingan Konseling. Al-Insan, Vol 2 No. 1,
39-40.

Subhi, Muhammad Rifa'i. (2017). IMPLEMENTASI KONSELING LINTAS BUDAYA DAN


AGAMA DI SEKOLAH. Jurna Madaniyah, Vol 1 No. 12.

19

Anda mungkin juga menyukai