Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

STUDI KEBANTENAN

Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Studi
Kebantenan 2019

AGAMA DAN BUDAYA DI BANTEN

Dosen Pengampu:
H. Ikhsanudin Juhri, Lc., MA.

Disusun oleh :
Clisye Ariana Prestanty
4443170053
4A

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan
berkah dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat
pada waktunya. Tak lupa shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan kita selaku umatnya
hingga akhir zaman. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi
Kebantenan.
Pertama kami ucapkan terima kasih kepada bapak H. Ikhsanudin Juhri, Lc.,
MA. sebagai dosen pengampu mata kuliah Studi Kebantenan. Dan tak lupa kami
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah
ini.
Terima kasi atas perhatian nya, kurang lebihnya kami mohon maaf. Penulis
mengucapkan terimakasih pada segala pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini. Suatu kebanggaan bagi penulis jikalau nantinya makalah yang dibuat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun orang lain. Penulis sadar sepenuhnya
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran-saran yang bersifat membangun agar
pembuatan makalah berikutnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Dan mudah-
mudahan apa yang penulis lakukan selama ini menjadi berkah dan bermanfaat bagi
semua.

Serang,Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Agama ..................................................................................... 3
2.2 Islam dan Identitas Banten ........................................................................ 5
2.3 Islam dan Bukan Islam ............................................................................ 16
2.4 Kemajemukan Masyarakat Banten .......................................................... 21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................24
3.2 Saran ........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................25

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah suatu negara majemuk dan kultural dengan berbagai
macam suku, agama, dan kebudayaan. Negara ini memiliki tidak kuran dari 500
suku bangsa yang mencakup lebih dari 300 macam budaya, lebih dari 700 bahasa
dan juga keragaman agama maupun kepercayaan. Disamping keberanekaragaman
suku bangsa dan tidak merata persebaran penduduk, bangsa Indonesia juga mengaut
agama islam sebagai mayoritas (Sari 2017 )
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut dinyatakan dalam ideology bahsa Indonesia, Pancasila
”ketuhanan yang maha esa” dan pasal 29 yang menjamin kebebasan beragama dan
beribadah. Disamping kebebasan beragama, keputusan (Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan indonesia) yang fundamental ini juga merupakan
jaminan tidak akan ada diskriminasi agama di Indonesia.
Toleransi merupakan masalah yang actual sepanjang masa, terlebih
toleransi beragama. Islam memberikan perhatian yang tinggi terhadap toleransi
beragama semenjak awal perkembangan islam, baik tersurat dalam Al-Quran
maupun . toleransi beragama dan keharmonisan hubungan anatara umat islam dan
umat Budha di kelurahan Banten juga terpancar dari arsitektur bangunan masjid
agung banten yang tidak jauh dari kawasan vihara Avalokitesvara.
Menurut data sejarah, kellurahan Banten yang terletak di pesisir utara Jawa
Barat didirikan pada tanggal 08 oktober 1526 yang merupakan salah satu pusat
kegiatan kerajaan islam yang berkembang dari abad ke-16 sampai abad ke 19 M.
pada geografis banten terletak di antara 5º50`LS-6 º3`LS dadn106 º9`BT-106
º11`BT dan luas kewilayah banten 8,651,2KM. di provinsi banten, kota serang
memiliki tempat peribadatan umat beragaama yang menyimpan nilai sejarah tinggi.
Seperti masjid agung Banten dan Vihara Avalokitesvara yang masih satu komplek
dengan keratin Surosowan,keratin kaibon, benteng speelwijk dan bangunan sejarah
lainnya yang berada di Provinsi Banten Kota Serang.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Agama ?
2. Bagaimana Islam dan identitas Banten?
3. Bagiamana Islam dan agama bukan islam di Banten?
4. Bagaimana Kemajemukan masyarakat Banten?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui agama dan bagaimana hubungan
antara masyarakat banten yang beragama islam dengan yang bukan islam, serta
kemajemukan masyarakat banten.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN AGAMA


Kehidupan bermasyarakat dapat dilihat dari aspek agama dan budaya yang
bagaimana menempatkan posisi agama dan posisi budaya dalam suatu kehidupan
masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri
sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras
menciptakan dan kemudian saling menegasikan. Agama sebagai pedoman hidup
manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan
kebu- dayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh
Tuhan Agama dan kebudayaan saling mem- pengaruhi satu sama lain. Agama
mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa (Badri 2006).
Konsepsi agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang
mahakuasa serta tata kaidah yang. Menurut Yusuf Alqaradawi dan Hussein
Shahatah, zakat gaji dan pendapatan diistilahkan sebagai zakat mal almustafad yaitu
zakat yang bersumberkan gaji. Agama dengan agama hidup itu terarah, dengan seni
hidup itu indah, dengan ilmu hidup itu mudah ilmu tanpa agama adalah buta, agama
tanpa ilmu adalah lumpuh pengertian lembaga agama (Boutu 2014).
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi"
atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti kacau. Sehingga agama berarti tidak kacau.
Dapat juga diartikan suatu peraturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan
manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat dari sudut pandang kebudayaan, agama
dapat berarti sebagai hasil dari suatu kebudayaan, dengan kata lain agama
diciptakan oleh manusia dengan akal budinya serta dengan adanya kemajuan dan
perkembangan budaya tersebut serta peradabanya. Bentuk penyembahan Tuhan
terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra, nyanyian dan yang lainya, itu
termasuk unsur kebudayaan. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja

3
religare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi mengenai agama dalam dunia akademik adalah masalah pelik, penuh
perdebatan yang serius. Cara seorang ahli mendefinisikan agama akan berisi
tentang penjelasan orang itu tentang peranan agama dalam masyarakat. Definisi itu
juga mencerminkan penafsiran seorang ahli tentang isu-isu yang berkaitan dengan
agama, seperti perubahan sosial, modernitas, agama tanpa gereja, dan sebagainya.
Oleh karena itu diusulkan agar lebih baik membuat definisi untuk kegunaan strategi
saja, bukan sebagai pernyataan tentang kebenaran. Satu definisi strategi memberi
kemudahan bagi kita untuk memfokuskan bidang perbincangan dan memberi
panduan kepada cara berpikir tentang agama. definisi itu tergantung kepada
seberapa berguna definisi tersebut untuk keperluan kajian kita. Karena itu, tidak
terlarang kita membuat definisi tentang agama yang berlainan dari yang dibuat oleh
orang lain (McGuire 2002).
Agama menurut beberapa ahli Tajdab et al. (1994) menyatakan bahwa
agama berasala dari kata a, berati tidak dan gama, berarti kacau, kocar-kacir. Jadi,
agama artinya tidak kacau, tidak kocar-kacir, dan/atau teratur. Maka, istilah agama
merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan
tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.
Menurut A.M. saefuddin, menyatakan bahwa agama merupakan kebutuhan
manusia yang paling esensial yang besifat universal. Menurut Sutan Takdir
Alisyahbana, agama adalah suatu system kelakuan dan perhubungan manusia yang
pokok pada perhubungan manusia dengan rahasia kekuasaan dan kegaiban yang
tiada terhingga luasnya, dan dengan demikian member arti kepada hidupnya dan
kepada alam semesta yang mengelilinginya. Menurut Sidi Gazalba, menyatakan
bahwa religi (agama) adalah kecendrungan rohani manusia, yang berhubungan
dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat
dari semuanya itu.
Agama adalah berkaitan dengan kepercayaan (belief) dan upacara (ritual) yang
dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Agama berkaitan dengan kata
sosiologist Itali, Vilfredo Pareto, yaitu pengalaman dengan yang di atas, atau
sesuatu yang berada di luar, sesuatu yang tidak terjamah (an intangible beyond).

4
Agama begitu penting dalam kehidupan manusia, mengandung aspirasi aspirasi
manusia yang paling dalam (sublime), sumber dari semua budaya tinggi, bahkan
candu bagi manusia kata Karl Marx (Odea et al. 1966).
Istilah agama dalam kajian sosioantropologi adalah terjemahan dari kata
religion dalam bahasa Inggris, tidak sama dengan istilah agama dalam bahasa
politik-administratif pemerintah Republik Indonesia. Dalam karangan ini, agama
adalah semua yang disebut religiondalam bahasa Inggris, termasuk apa yang
disebut agama wahyu, agama natural, dan agama lokal. Agama dalam pengertian
politik-administratif pemerintah Republik Indonesia adalah agama resmi yang
diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha,
dan pada masa akhir-akhirnya ini juga dimasukan agama Kongkucu (Saifudin et al.
2000).
2.2 Islam Dan Identitas Banten
Kata banten berasal dari wahanten atau cibanten dimana nama tersebut
nama sungai yang berada di dekat banten 13 km ke arah satu situs Banten lama.
Tetapi orang kemudian sering memberikan julukan Katiben Inten (kejatuhan intan)
diibaratkan masuknya agama islam ke Banten. Diawali dengan masuknya
kekuasaan Prabu Pucuk umum dari kerajaan padjajaran dan Banten Girang sebagai
ibukotanya. Dan salah satu setelah Maulana Hasanudin berhasil merebut daerah
kekuasaan maka ibukota dipindahkan ke Surusuwan (Sari 2017).
Banten merupakan daerah yang pernah menjadi salah satu pusat
perdagangan internasional dan kesultanan Islam paling kuat di Nusantara.
Masyarakatnya yang disebut-sebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai
masyarakat muslim yang lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran
agama dibandingkan dengan daerah lainnya di pulau Jawa, menjadikan citra Banten
sebagai daerah yang religius. Bahkan, masih dalam catatan Snouck Hugronje, pada
akhir abad ke-19, orang-orang Banten merupakan orang-orang yang sangat
menonjol di antara orang-orang Asia Tenggara yang menetap di Makkah, baik
sebagai guru maupun murid (Bruinessen 1995).
Citra positif yang melekat pada masyarakat Banten ini tentu tidak lepas dari
peran para penguasa (Sultan). Banten saat itu yang tidak hanya concern dalam
bidang politik dan ekonomi, tetapi juga memberikan perhatian lebih dalam bidang

5
keagamaan. Dalam catatan Martin van Bruinessen, dikatakan bahwa untuk
memperkuat dan mengembangkan bidang keagamaan, Sultan Banten mengundang
para ulama Nusantara dan ulama dari Timur Tengah, khususnya Mekkah, untuk
datang dan menetap selama jangka waktu tertentu diBanten. Mereka mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Hubungan baik yang terjalin antara
Kesultanan Banten dengan Mekkah sebagai pusat dan kiblat keislaman dunia turut
membangun peradaban Islam yang cukup kuat di Banten. Untuk memperoleh
legitimasi keagamaan, beberapa Sultan Banten meminta gelar Sultan kepada Syarif
di Mekkah. Eropa pernah berkunjung ke kesultanan Banten pada abad ke-16 dan
17, disebutkan bahwa kesultanan Banten menjadi pusat kegiatan keilmuan Islam di
Nusantara (Bruinessen 1995).
Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri,
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras
menciptakan dan kemudian saling menegasikan. Agama sebagai pedoman hidup
manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan
kebudayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh
Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama
mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa. Kebudayaan
cenderung berubah-ubah yang berimplikasi pada keaslian agama sehingga
menghasilkan penafsiran berlainan. Salah satu agenda besar dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan dan
membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat
beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan
kesejahteraan adalah masalah kerukunan sosial, termasuk di dalamnya hubungan
antara agama dan kerukunan hidup umat beragama. Persoalan ini semakin kursial
karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga
terganggu kebersamaan dalam membangun keadaan yang lebih dinamis dan
kondusif. Demikian pula kebanggaan terhadap kerukunan dirasakan selama
bertahun-tahun mengalami degradasi, bahkan menimbulkan kecemasan terjadinya
disintegrasi bangsa (Bauto 2014).

6
Latar belakang lahirnya agama karena adanya masalah kekuatan yang
dianggap lebih tinggi dari kekuatan yang ada pada dirinya sehingga mereka mencari
lebih dalam dari mana asal kekuatan yang ada pada alam baik berupa gunung laut
langit dan sebagainya, dan ketika mereka tidak dapat mengkajinya maka disembah
karena mereka berpikiran, bahwa kekuatan alam itu memiliki kekuatan yang luar
biasa dan bisa menghidupi beribu-ribu, bahkan berjuta-juta umat manusia sehingga
muncullah agama yang merupakan salah satu usaha manusia untuk mendekatkan
diri pada kekuatan supranatural. Menurut Koentjaraningrat (1983), kata
kebudayaan berasal dari buddhayah (bahasa sansekerta), bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal. Jadi kebudaya- an berarti hal-hal yang bersangkutan
dengan akal budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan akal budi adalah
dimensi penting yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Jadi,
hanya manusia yang berbudaya karena manusia mempunyai akal budi, sedangkan
hewan tidak berbudaya. Manusia dan kebudayaan tidak dapat.
Menurut Fadullah et al. (2017), Manusia dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan. Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia, segala hal
yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin, hasil
cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan. Rasa adalah kerinduan manusia akan
keindahan dan menolak keburukan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam
bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam
kesenian. Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sangkan
paran”. Manusia darimana sebelum lahir (sangkan).
Manusia ke mana sesudah mati (paran). Hasilnya berupa norma-norma
keagamaan dan kepercayaan. Manusia dalam menciptakan kebudayaan, berbeda
dengan Tuhan mencipta alam dan isinya. Tuhan menciptakan dari yang tidak ada,
sedangkan manusia menciptakan dari yang sudah ada. Manusia mencipta
kebudayaan itu sesungguhnya meniru Karya Tuhan dengan mempelajari hukum-
hukum Tuhan yang berlaku pada dirinya dan alam sekitar, tempat manusia hidup.
Kebudayaan sebagai ciptaan manusia mempunyai wujud sebagai berikut:
1. Sistem religi,
Sistem religi adalah hubungan antar elemen-elemen dalam upacara
agama. Agama Islam sebagai agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah

7
kesultanan, dalam upacara-upacaranya mempunyai sistem sendiri, yang
meliputi peralatan upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya
dalam upacara Salat, ada peralatan-peralannya dari sejak mesjid, bedug,
tongtong, menara, mimbar, mihrab, padasan (pekulen), dan lain-lain.
Demikian pula ada pelakunya, dari sejak Imam, makmum, tukang Adzan,
berbusana, dan lain-lain; sampai kemudian tata cara upacaranya.
Di jaman kesultanan, Imam sebagai pemimpin upacara Salat itu
adalah Sultan sendiri yang pada transformasinya kemudian diserahkan
kepada Kadi. Pada perubahan dengan tidak ada sultan, maka upacara agama
berpindah kepemimpinannya kepada kiyai. Perkembangan selanjutnya bisa
jadi berubah karena transformasi peranan yang terjadi.

2. Sistem dan organisasi sosial,


Yang dimaksud dengan organisasi sosial adalah suatu sistem dimana
manusia sebagai mahluk sosial berinteraksi. Adanya organisasi sosial itu
karena ada ketundukan terhadap pranata sosial yang diartikan oleh Suparlan
sebagai seperangkat aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan
penggolongan dalam suatu struktur yang mencakup suatu satuan kehidupan
sosial, dan mengatur peranan serta berbagai hubungan kedudukan, dan
peranan dalam tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Di antara bentuk organisasi sosial di Banten adalah stratifikasi
sosial. Pada awal di jaman Kesultanan, lapisan atas dalam stratifikasi sosial
adalah pada Sultan dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan
bangsawan. Kemudian para pejabat kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa.
Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya kesultanan, yang sebagian
peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam stratifikasi sosial
merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu berpindah kepada
kelompok lain, maka berpindah pulalah palisan itu.

3. Sistem pengetahuan,
Pengetahuan manusia merupakan akumulasi dari tangkapannya
terhadap nilai-nilai yang diacu dan dipahami, misalnya agama, kebiasaan,

8
dan aturan-aturan. Pengetahuan manusia tidak berdiri sendiri melainkan
berhubungan dengan elemen-elemen lain, dan karena itu maka disebut
sistem pengetahuan. Salah satu (sistem) pengetahuan sebagai salah satu
unsur kebudayaan Banten adalah misalnya pengetahuan tentang kosmologi
(alam semesta). Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang
kosmologi orang Banten adalah bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang
dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu
hierarchi Sultan adalah suci.

4. Bahasa,
Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa
penduduk yang pusat kekuasaan politiknya di Banten Girang, adalah bahasa
Sunda. Sedangkan bahasa Jawa, dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian
oleh puteranya, Hasanuddin, berbarengan dengan penyebaran agama Islam.
Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda dan bahasa Jawa itu saling
mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa Jawa dengan
dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri. Artinya,
bahasa Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa
Sunda juga terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga
membentuk bahasa sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya
di daerah-daerah Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di
Banten bagian Selatan.
Bahasa Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan
berkembang di Banten, bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk
pada pusat-pusat pemerintahan di daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh
keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang
dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian lambat laun
pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa. Pada
akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap berkembang meskipun keraton tiada
lagi.

9
5. Kesenian,
Kesenian adalah keahlian dan keterampilan manusia untuk
menciptakan dan melahirkan hal-hal yang bernilai indah. Ukuran
keindahannya tergantung pada kebudayaan setempat, karena kesenian
sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dari segi macam-macamnya,
kesenian itu terdapat banyak macamnya, dari yang bersumber pada
keindahan suara dan pandangan sampai pada perasaan, bahkan mungkin
menyentuh spiritual.
Tanda-tanda kesenian Banten itu merupakan kesenian peninggalan
sebelum Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya
arsitektur mesjid dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan,
atau Syari’at, tharekat, hakekat. Arsitektur seperti ini berlaku di seluruh
masjid di Banten. Kemudian ada kecenderungan berubah menjadi bentuk
kubah, dan mungkin pada bentuk apa lagi, tapi yang nampak ada
kecenderungan lepas dari simbolisasi agama melainkan pada seni itu
sendiri.
Arsitektur rumah adat yang mengandung filosofi kehidupan
keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai prifasi, yang dituangkan dalam bentuk
ruangan paralel dengan atap panggung Ikan Pe, dan tiang-tiang penyanggah
tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi keindahan fisik sehingga
arsitekturnya hanya bermakna aestetik. Mengenai kesenian lain, ada pula
yang teridentifikasi kesenian lama (dulu) yang belum berubah, kecuali
mungkin kemasannya. Kesenian-kesenian dimaksud ialah :
Seni Debus Surosowan Gambar,Seni Debus Pusaka Banten,Seni
Rudat,Seni Terbang Gede,Seni Patingtung,Seni Wayang Golek,Seni
Saman,Seni Sulap-Kebatinan,Seni Angklung Buhum Gambar,Seni
Beluk,Seni Wawacan Syekh,Seni Mawalan,Seni Kasidahan,Seni
Gambus,Seni Reog,Seni Calung,Seni Marhaban,Seni Dzikir Mulud,Seni
Terbang Genjring,Seni Bendrong Lesung Gambar,Seni Gacle,Seni Buka
Pintu,Seni Wayang Kulit,Seni Tari Wewe,Seni Adu Bedug Gambar,Dan
lain-lain

10
Kesenian-kesenian tersebut masih tetap ada, mungkin belum
berubah kecuali kemasan-kemasannya, misalnya pada kesenian kasidah dan
gambus. Relevansi kesenian tradisional ini mungkin, jika berkenaan dengan
obyek kajian penelitian maka yang diperlukan adalah orsinilitasnya. Tetapi
jika untuk kepentingan pariwisata maka perlu kemasan yang menarik tanpa
menghilangkan substansinya.Walaupun mungkin, secara umum kesenian-
kesenian tersebut akan tunduk pada hukum perubahan sehubungan dengan
pengaruh kebudayaan lain. Mungkin karena tidak diminati yang artinya
tidak ada pendukung pada kesenian itu, bisa jadi lama atau tidak, akan
punah. Karena itu, mengenai kesenian yang tidak boleh lepas dari nilai-nilai
Kebudayaan Banten, bisa jadi atau malah harus ada perubahan kemasan.
Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai
kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan.
Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda
pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-
unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula
bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam
pemahaman dan penularan kebudayaan. Kalau boleh dikatakan, menangkap
potret budaya Banten adalah upaya yang harus serius, kalau tidak ingin
menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan
lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas
lain dengan menyengsarakan identitas semula

6. Sistem mata pencaharian hidup, dan


Gambaran perkembangan mengenai hal ini untuk sejarah manusia,
akan tersentuh dengan kehidupan primitif, dari hidup berburu sampai
bercocok tanam. Hubungannya dengan kebudayaan Banten, sistem mata
pencaharian hidup sebagai salah satu unsur kebudayaan, terlihat dari jaman
kesultanan. Mata pencaharian hidup dari hasil bumi menampilkan adanya
pertanian. Dalam sistem pertanian itu ada tradisi yang masih nampak,
misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang
berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut tradisi.

11
Dalam nelayan misalnya ada sistem simbiosis antara juragan dan
pengikut-pengikutnya dalam usaha payang misalnya. Kedua belah pihak
dalam mata pencaharian hidup itu terjalin secara tradisional dalam sistem
mata pencaharian. Mungkin pula hubungan itu menjadi hubungan
kekerabatan atau hubungan Patron-Clien. Pada masa kini kemungkinan
sistem tersebut sudah berubah, disamping karena perubahan mata
pencaharian hidup, juga berubah dalam sistemnya karena penemuan
peralatan (teknologi) baru. Demikian pula kemungkinan di masa yang akan
datang.

7. Sistem teknologi dan peralatan, misalnya: teknik pertamanan, Teknik


membuat alat pertanian, teknik perikanan, teknik membuat alat perangkap
ikan dan sebagainya.
Kehidupan masyarakat memang memerlukan peralatan dan
teknologi. Memperhatikan paralatan hidup dan teknologi dalam kebudayaan
Banten, dapat diperoleh informasinya dari peninggalan masa lalu. Salah satu
diantaranya misalnya relief, penemuan benda-benda arkeologis, dan
catatan-catatan masa lalu. Di jaman kesultanan, kehidupan masyarakat
ditandai dengan bertani, berdagang, dan berlayar termasuk nelayan. Dari
corak kehidupan ini terlihat bahwa peralatan hidup bagi petani masih
terbatas pada alat-alat gali dan lain-lain termasuk pemanfaatan hewan
sebagai sumber energi.
Angkutan dan teknologi pelayaran masih memanfaatkan energi
angin yang karenanya berkembang pengetahuan ramalan cuaca secara
tradisional, misalnya dengan memanfaatkan tanda-tanda alam. Demikian
pula teknik pengolahan logam, pembuatan bejana, dan lain-lain,
memanfaatkan energi alam dan manusia. Tentu saja aspek (unsur
kebudayaan) ini secara struktural mengalami perubahan pada kini dan nanti,
meski secara fungsional mungkin tetap.

Keberadaan masing-masing wujud kebudayaan di atas saling


mempengaruhi secara timbal balik. Budaya selalu berubah dari waktu kewaktu

12
seiring perubahan yang terjadi pada akal budi manusia. Dan akal budi manusia
dibimbing oleh kesadaran agama. Dalam konteks Banten, kesadaran agama itu
terutama terkait dengan pemahaman ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas
penduduk Banten.
Meskipun Islam menjadi simbol peradaban baru bagi masyarakat Banten
sejak masa kesultanan, namun para Sultan Banten tidak serta merta menghapus
jejak tradisi dan budaya lokal Banten yang sudah ada jauh sebelum Islam masuk
dan berkembang di Banten. Indikasi bahwa penguasa Banten saat itu masih
menghargai dan menghormati tradisi dan budaya lokal adalah cerita dalam
“Sadjarah Banten” yang menyatakan bahwa Sultan Agung Tirtayasa, sejak belia
dan masih menjabat sebagai Sultan Muda, dikenal sebagai putra bangsawan yang
sangat menyukai kebudayaan. Bahkan ia seringkali terlibat aktif dalam beberapa
tradisi permainan rakyat Banten seperti permainan raket (semacam wayang wong),
dedewaan, sasaptoan, dan berbagai tradisi lokal lainnya (Tjandrasasmita 2011).
Penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, pada tahun 1525 M dan 1526 M. Seperti di dalam naskah Purwaka
Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai
mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Islam yang sebelumnya
telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan
adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah
anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun
berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. Banten juga menjadi pusat penyebaran
agama Islam, banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk
belajar, sehingga tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada
di Kasunyatan. Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari
masjid Agung Banten. Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang
bergelar Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri.
Menurut syariat (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
Pertama, apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka
pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu
(cabang), juga seluruh masalah aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan danperbuatan.

13
Jadi pengertian ini, menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan,
meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang
telah ditentukan dan ditakdirkan. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah, definisi Islam adalah: Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan
mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas
diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya (Hamim 2007).
Islam sebagai agama adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi
sejak Adam hingga Muhammad Saw, berupa ajaran yang berisi perintah larangan,
dan petunjuk untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat Islam
merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh yang diperuntukkan bagi
seluruh umat manusia dan memberikan pedoman hidup bagi manusia dalam segala
aspek kehidupan jasmaniah dan ruhaniah, duniawi dan ukhrawi perorangan dan
masyarakat, yang terdiri atas ajaran tentang akidah (keyakinanpanjang, buram, dan
kompleks yang akan menjadi penghalang bagi hubungan inter nasional untuk
beberapa decade ke depan. Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme
(Shihabet al. 1994).
Islam modern adalah sebagaimana untuk memperbaiki sejarah tersebut, untuk
mengingatkan kembali dengan perhatian penuh, sehingga masyarakat Muslim
kembali lagi menghiasi sebagaisebuah masyarakat yang mungkin dan harus
berdasarkan jalan ketuhanan.13 Sayyid Qutb (meninggal tahun 1966). Salah satu
dari penguasa Islam radikal yang berpengaruh dan paling pandai berdiplomasi di
abad ke duapuluh, memandang dunia modern secara luas sebagai suatu arena
kebodohan yang tidak berketuhanan, yang disebutnya “Jahiliyyah Sayyid Qutb”
juga memandana bahwa jahiliyyah muncul tidak hanya pada orang-orang non
muslim, tapi juga kepada kelompok muslim yang mentolerir dan bahkan menganut
nilai-nilai sekuler modern. Qutb menyerukan untuk melanjutkan jihad melawan
musuh musuh Islam, apakah muslim maupun non muslim. Kata-katanya seperti
yang dimuat dalam manifestonya yang berapi-api, Milestones, dengan kuat
mempengaruhi pemikiran umat Islam sedunia (Chaiwat 2002).
Banten merupakan daerah yang pernah menjadi salah satu pusat perdagangan
internasional dan kesultanan Islam paling kuat di Nusantara. Masyarakatnya yang
disebut-sebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai masyarakat muslim yang

14
lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran agama dibandingkan
dengan daerah lainnya di pulau Jawa, menjadikan citra Banten sebagai daerah yang
religius. Bahkan, masih dalam catatan Snouck Hugronje, pada akhir abad ke-19,
orang-orang Banten merupakan orang-orang yang sangat menonjol di antara orang-
orang Asia Tenggara yang menetap di Makkah, baik sebagai guru maupun murid
(Bruinessen 1995).
Citra positif yang melekat pada masyarakat Banten ini tentu tidak lepas dari
peran para penguasa (Sultan) Banten saat itu yang tidak hanya concerndalam bidang
politik dan ekonomi, tetapi juga memberikan perhatian lebih dalam bidang
keagamaan. Dalam catatan Martin van Bruinessen, dikatakan bahwa untuk
memperkuat dan mengembangkan bidang keagamaan, Sultan Banten mengundang
para ulama Nusantara dan ulama dari Timur Tengah, khususnya Mekkah, untuk
datang dan menetap selama jangka waktu tertentu diBanten. Mereka mengajarkan
ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Hubungan baik yang terjalin antara
Kesultanan Banten dengan Mekkah sebagai pusat dan kiblat keislaman dunia turut
membangun peradaban Islam yang cukup kuat di Banten. Untuk memperoleh
legitimasi keagamaan, beberapa Sultan Banten meminta gelar “ Sultan” kepada
Syarif di Mekkah15Eropa yang pernah berkunjung ke kesultanan Banten pada abad
ke-16 dan 17, disebutkan bahwa kesultanan Banten menjadi pusat kegiatan
keilmuan Islam di Nusantara (Bruinessen 1995).
Meskipun Islam menjadi simbol peradaban baru bagi masyarakat Banten
sejak masa kesultanan, namun para Sultan Banten tidak serta merta menghapus
jejak tradisi dan budaya lokal Banten yang sudah ada jauh sebelum Islam masuk
dan berkembang di Banten. Indikasi bahwa penguasa Banten saat itu masih
menghargai dan menghormati tradisi dan budaya lokal adalah cerita dalam
”Sadjarah Banten” yang menyatakan bahwa Sultan Agung Tirtayasa, sejak belia
dan masih menjabat sebagai Sultan Muda, dikenal sebagai putra bangsawan yang
sangat menyukai kebudayaan. Bahkan ia seringkali terlibat aktif dalam beberapa
tradisi permainan rakyat Banten seperti permainan raket (semacam wayang wong),
dedewaan, sasaptoan, dan berbagai tradisi lokal lainnya (Tjandrasasmita 2011)

15
2.3 Islam Dan Bukan Islam Di Banten
Budaya atau yang biasa di sebut culture merupakan warisan dari dari nenek
moyang terdahlu yang masih eksis sampai saat ini. Suatu bangsa tidak akan
memiliki ciri khas tersendiri tanpa adanya budaya-budaya yang di miliki. Budaya-
budaya itupun berkembang sesui dengan kemajuan zaman yang semakin modern.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa itu sendiri di namakan dengan
kebudayaan lokal, karena kebudayaan lokal sendiri merupakan sebuah hasil cipta,
karsa dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di
daerah tersebut. Di dalam kebudayaan suatu pasti menganut suatu kepercayaan
yang bisa kita sebut dengan agama. Agama itu sendiri iyalah sistem atau prinsip
kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya
dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang
dianut oleh suatu suku/etnik tersebut (Bauto 2014).
Umumnya memisahkan 2 pengertian terhadap pelaku agama, yaitu sebagai
doktrin (religion) dan agama sebagai perilaku (religiosity) atau yang dipraktekkan
oleh para penganutnya. Pemisahan ini penting dilakukan sebagai upaya untuk
membedakan ajaran agama berdasarkan teks (kitab suci) dan pemahaman umat
terhadap teks. Untuk yang pertama, agama diartikan sebagai seperangkat doktrin,
kepercayaan, atau sekumpulan norma, dan ajaran Tuhan yang bersipat universal
dan mutlak kebenarannya. Sedangkan yang kedua, berhubungan dengan
penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin. kepercayaan,
atau ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersipat relatif, dan sudah pasti
kebenarannya pun menjadi bernilai relatif. Hal ini karena, setiap penyikapan terikat
oleh sosio-kultural, dan setiap lingkungan sosio kultural tertentu sangat
mempengaruhi pemahaman seseoang tentang agamanya. Dari sinilah muncul,
keragaman pandangan dan paham keagamaan (Wahyudin 2006).
Dalam kajian-kajian sosiologis, misalnya, Emile Durkheim membedakan
istilah religiondan religious phenomena. Religion menunjukkan pada keyakinan
atau dogma, sementara religious phenomena menunjukkan pada sikap mental dan
perilaku keagamaan. 1Pemahaman Durkheim tentang agama cenderung bersifat
fungsional, yaitu melihat fungsi agama dalam kehidupan manusia, atau tepatnya
disebut dengan istilah the functional definition of religion (Madjid 1992).

16
Keberagamaan dalam kepenganutan agama sangatlah sosiologis, sehingga untuk
memahami agama perlu pula di lihat dalam konteks hubungan antar (kepenganutan)
agama. Sehubungan kepenganutan merupakan refleksi keyakinan seseorang
tentang agamanya, maka pembahasan tentang Hubungan Antar (Kepenganutan)
Agama memiliki dua aspek penting: Pertama, aspek yang berkaitan dengan doktrin
agama; dan kedua, aspek yang berkaitan dengan umat beragama (Hamka 1993).
Agama Hindu dan Buddha memang menjadi agama tertua di Banten,
khususnya Buddha. Secara umum, masuknya agama Buddha ke Banten dapat
dilihat dari catatan tentang kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddhanya. Pada 130
M, Berdiri Kerajaan Salakanagara (Negeri Perak) yang beribukota Rajatapura yang
terletak di pesisir barat Pandeglang. Raja pertamanya Dewawarman I (130-168 M)
yang bergelar Aji Raksa Gapurasagara (Raja penguasa gerbang lautan). Dan
kemudian berdiri kerajaan Tarumanegara, ini terbukti pada prasasti yang ditemukan
di Sungai Cidangiang, Lebak Munjul, Kabupaten Pandeglang yang diperkirakan
dari abad ke-5. Prasasti berhurufkan palawa dengan bahasa sanksekerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di kawasan tersebut adalah Raja
Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara dengan kondisi negara pada saat itu
berada dalam kemakmuran dan kejayaannya.
Berita atau sumber-sumber sejarah mengenai Banten dari masa sebelum
abad ke-16 memang sangat sedikit ditemukan. Kemudian Berita tentang Banten
baru muncul kembali pada awal abad XIV dengan diketemukannya prasasti di
Bogor. Prasasti ini menyatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Sang
Ratu Dewata, dan Banten sampai awal abad XVI termasuk daerah kekuasaannya.
Kerajaan Pajajaran memang merupakan kerajaan besar, yang daerah kuasanya
meliputi: seluruh Banten, Kalapa (Jakarta), Bogor, sampai Cirebon, ditambah pula
daerah Tegal dan Banyumas sampai batas Kali Pamali dan Kali Serayu. Barulah
kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Banten yaitu
kerajaan Sunda, kerajaan Pajajaran.
Beralih ke masyarakat Buddha yang ada di Banten; khususnya Kelurahan
Banten, mereka berasal dari daratan Tiongkok. Menurut Asaji, Asal mula etnis
Tionghoa yang ada di Banten berawal dari pengikut Ong Tien yang kemudian
berkembang biak.7Kata etnis berasal dari bahasa Yunani „ethnicos‟ artinya yang

17
lain. Istilah ini digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah
berhala. Pada perkembangannya kemudian, istilah etnis ini menunjuk kepada
kelompok yang diasumsikan memiliki sikap fanatik terhadap ideologinya.
Sementara itu, dalam konsep ilmu sosial, istilah etnis itu ditujukan untuk menyebut
sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, seperti
bahasa, adat istiadat dan kesamaan sejarah.8Etnisitas yang dipandang sebagai
fenomena dari kategori sosio-biologis dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran
kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial (istilah ini termasuk
salah satu pendekatan teoritik fenomena etnisitas). Etnisitas bersifat primordial dan
askriptif, bahwa seseorang menjadi etnis bukan karena pilihan dirinya.
Orang Tionghoa datang ke Indonesia dalam beberapa gelombang.
Walaupun kemungkinan dari abad ke-4 pun mereka sudah ada di kepulauan.
Spekulasi-spekulasi mengenai kedatangan mereka telah disusun berdasarkan
peninggalan-peninggalan seperti artefak yang ditemukan di Jawa Barat, Batanghari
dan Kalimantan Barat, dan juga peninggalan-peninggalan lain di beberapa keraton
yang masih tersisa.
Orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia, mereka pada umunya
berasal dari Propinsi Fujian di bagian Cina selatan yang terdiri dari beberapa suku
bangsa seperti Hokkien,16 Toechiu, Hakka dan Kanton. 17 Pada masa Dinasti
Tang, daerah Cina bagian selatan ini merupakan daerah yang ramai dalam bidang
perdagangan. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan pelayaran dagang dan
mencari kehidupan yang baru. Pada Dinasti Tang ini orang-orang Tionghoa mulai
berdatangan ke Nusantara (terutama di pelabuhan-pelabuhan Jawa), puncaknya
pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 merupakan migrasi besar-besaran bagi
orang-orang Tionghoa ke seluruh dunia. Selain itu, kekuatan yang menggerakkan
mereka dibalik perpindahan tersebut adalah keadaan yang sulit di tanah air mereka
sendiri, tekanan politik dari Dinasti Qing dan juga kondisi perekonomian yang
memburuk setelah Perang Candu.
Ciri khas Masjid Banten dan ikon yang menarik perhatian pada menara yang
letaknya di sebelah timur masjid. Nemtuknya menyerupai mercusuar. Menara
terbuat dari batu bata dengan ketinggian 24M, diameter bawahnya kurang lebih
10M. untuk mencapai ujung menara ada 83 anak tangga yang harus dinaiki dan

18
lorong hanya bisa dilewat oleh satu orang. Lalu asal usul Buddha yang ada di
provinsi banten berawal dari para pengikut putri Ong Tien Nio yang berkembang
biak dan kemudian berawal berdirinya vihara ditengah-tengah masyarakat yang
mayoritas beragama islam.
Hubungan yang tidak harmonis antara etnis Cina dan pribumi sebagai akibat
politik rasialis penjajah menumbuhkan prasangka-prasangka terhadap etnis Cina
yang disertai kurang intensnya interaksi diantara kedua etnis itu turut memperlebar
jarak diantara keduanya. Kedekatan etnis Cina dengan penjajah menumbuhkan
pendapat bahwa mereka juga penjajah. Hal ini dikuatkan dengan kondisi sosial
masyarakat yang terjadi selama itu yaitu bahwa etnis Cina memiliki kekuasaan dan
pengaruh yang besar khususnya dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Faktor lain yaitu pada kebijakan pemerintah penjajah saat itu yang telah diterapkan
sejak abad 19 terlihat sangat diskriminatif, menjadikan etnis Cina menduduki posisi
dominan di bidang ekonomi yang berpengaruh besar dalam kehidupan ekonomi
masyarakat pribumi. Ini menimbulkan masyarakat pribumi mengalami kemiskinan
dan penderitaan dan masyarakat pribumi berpendapat bahwa masyarakat
Tionghoalah penyebab semua ini. Kondisi mereka saat itu sangat tertindas.
Masyarakat Tionghoa merasa seperti diadu domba oleh pihak kolonial. Yang
menjadikan mereka tidak disukai oleh pribumi. Bahkan pada tahun 1740 di bawah
pemerintah Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran
terhadap etnis Tionghoa di Batavia. 10.000 orang etnis Tionghoa ditumpas habis.
Pembantaian yang dilakukan Belanda secara besar-besaran terhadap orang
Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk
terhadap Belanda. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan
etnis Tionghoa. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada
masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru.
Adapaun agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan Budha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi
Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa
dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam
mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan

19
selama 16 abad penuh. Berbicara tentang agama yang di usung oleh negeri Dewata.
Pemilik sungai Gangga (India) berupa agama Hindu. Tidak lah dipungkiri bahwa
Agama Hindu sudah nampak di permukaan Nusantara/Banten semenjak islam
belum masuk di Bumi Nusantara. Lebih lanjut kita berbicara Hindu di wilayah
Banten itu tidak terlepas dengan prasasti ataupun Arca-arca peninggalan zaman
dahulu sehingga tidak di elakkan lagi bahwa di Banten pernah tumbuh berkembang
agama Hindu. Sendi-sendi religi masa silam pra Hindu di seputar lereng dan suku
Gunung Pulasari, Gunung Karang dan Gunung Aseupan. Ketiga gunung tersebut
memiliki nilai keramat bagi masyarakat Banten. Sebab Pucuk Umum, Ratu-pandita
“Hindu” sebagai penganut agama Hindu kala itu menandakan sungguh Banten telah
dihuni orang-orang yang beragama Hindu.
Di kawasan Provinsi Banten, masih terdapat gejala religi “agama masa
silam”, dan masih di anut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri “Sunda
Wiwitan” (Sunda awal). Menurut adat dan kepercayaan, orang-orang Baduy
mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita jauh
dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka
dan melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat
disimpulkan bahwa itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan penganut
suatu sekte Hindu ataupun Budha. Walaupun kurang terdapat keterangan terinci,
namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat serta
pengamatan Pennings (1902), Van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Banduy. Agama ini merupakan agama tua yang di peluk
oleh penghuni wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran
agamanya sedikit sekali di pengaruhi oleh agama Hndu. Mengenai jejak religi masa
silam seperti itu berdasarkan sebagaimana berikut : sesuai dengan kehidupan
leluhurnya yang masih biasa berpindah-pindah tiap habis musim panen, watak
agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti : praktis, akrab dengan alam
dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat di laksanakan
di manapun mereka berada. Akrab dengan alam sehingga lebih mengutamakan
keheningan mutlak daripada kehirukpirukan Massa. Lebih mementingkan isi
ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak di dasarkan kepada nilai-nilai materil
benda-benda upacaranya melainkan dalam hati dan tingkah laku.

20
Di kawasan Provinsi Banten, masih terdapat gejala religi “agama masa
silam”, dan masih di anut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri “Sunda
Wiwitan” (Sunda awal). Menurut adat dan kepercayaan, orang-orang Baduy
mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam. Meskipun kita jauh
dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya mengenai pandangan mereka
dan melihat keterasingannya yang ketat yang mereka lakukan, sejauh ini dapat
disimpulkan bahwa itu bukan penganut ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan penganut
suatu sekte Hindu ataupun Budha. Walaupun kurang terdapat keterangan terinci,
namun berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat serta
pengamatan Pennings (1902), Van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda
sebagai kepercayaan orang Banduy. Agama ini merupakan agama tua yang di peluk
oleh penghuni wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran
agamanya sedikit sekali di pengaruhi oleh agama Hndu. Mengenai jejak religi masa
silam seperti itu berdasarkan sebagaimana berikut : sesuai dengan kehidupan
leluhurnya yang masih biasa berpindah-pindah tiap habis musim panen, watak
agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti : praktis, akrab dengan alam
dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat di laksanakan
di manapun mereka berada. Akrab dengan alam sehingga lebih mengutamakan
keheningan mutlak daripada kehirukpirukan Massa. Lebih mementingkan isi
ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak di dasarkan kepada nilai-nilai materil
benda-benda upacaranya melainkan dalam hati dan tingkah laku.
2.4 Kemajemukan Masyarakat Banten
Salah satu potensi (negatif) dari karakteristik masyarakat yang majemuk,
seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah konflik. Pertikaian SARA di
Indonesia yang sifatnya sudah mengakar memberikan indikasi bahwa pemahaman
masyarakat tentang pluralitas atau kemajemukan budaya masih sangat terbatas.
Masyarakat hampir tidak pernah mendapatkan pengetahuan yang bisa memberikan
pencerahan kepada mereka tentang makna pluralitas kultural. Di masa lalu,
masyarakat ditabukan untuk membicarakan secara terbuka persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan SARA.
Menurut sosiolog UGM, (Heru Nugroho 2000), Akibat dari pelarangan
membicarakan SARA sebagai wacana yang terbuka adalah munculnya distorsi

21
pengetahuan. Persoalan SARA tidak pernah dipahami sebagai kenyataan ontologis
yang harus dikaji secara rasional, tetapi SARA lebih dilihat sebagai permasalahan
yang tidak pernah terjadi secara nyata. Ringkasnya, SARA seharusnya perlu
dipahami sebagai wilayah pertikaian yang tanpa henti, baik konflik yang
tersembunyi maupun konflik yang terbuka
Potensi konflik sebagai konsekuensi dari sifat kemajemukan yang menjadi
ciri masyarakat Indonesia telah mewujud dalam berbagai bentuk pertikaian SARA,
terutama konflik antaretnis yang telah terjadi di hampir semua wilayah Indonesia,
mulai dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Meskipun telah
dinyatakan secara tegas oleh aparat pemerintah sebagai bukan konflik antaretnis,
namun pertikaian antara 2 (dua) kelompok warga (Betawi dan Madura) di
Cengkareng Jakarta beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh kecelakaan lalu
lintas (serempetan mobil), sebenarnya perwujudan nyata dari pertikaian
antaretnis.(Wibowo 1999 R)
Menurut Furnivall, masyarakat majemuk adalah terdiri dari berbagai ragam
kelompok atau golongan yang memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, dengan
demikian berbeda pula dalam agama, bahasa dan adat istiadat. Beberapa ciri
masyarakat majemuk:
a. Walaupun kelompok-kelompok yang tergabung dalam suatu masyarakat itu
berada didalam suatu system politik yang sama, tetapi kehidupan mereka
sendiri-sendiri
b. Interaksi sosial antar kelompok sangat kurang sekali, dan relasi sosial yang
terjadi cenderung terbatas pada sector ekonomi
c. Suatu campuran berbagai kelompok manusia itu dapat dikatakan muncul akibat
dominasi kolonialisme
d. Tidak ada atau lemah dalam common sense willatau keinginan akan
kebersamaan sosial yaitu suatu perangkat nilai-nilai yang disepakati warga
masyarakat untuk memberi panduan dan mengontrol tingkah laku sosial warga
masyarakat (Garna 1986).
Jadi, kemajemukan dari suatu masyarakat sering disebabkan oleh berbagai
factor perbedaan yang terdapat diantara kelompok-kelompok, kesatuan sosial yang

22
tercakup dalam masyarakat trsebut seperti perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, perbedaan diantara lapisan penduduk.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Banten merupakan daerah yang pernah menjadi salah satu pusat
perdagangan internasional dan kesultanan Islam paling kuat di Nusantara.
Masyarakatnya yang disebut-sebut dalam catatan Snouck Hugronje sebagai
masyarakat muslim yang lebih sadar diri dan lebih taat dalam menjalankan ajaran
agama dibandingkan dengan daerah lainnya di pulau Jawa, menjadikan citra Banten
sebagai daerah. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
"tradisi" atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti kacau. Sehingga agama berarti
tidak kacau. Dapat juga diartikan suatu peraturan yang bertujuan untuk mencapai
kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat dari sudut pandang
kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari suatu kebudayaan, dengan kata
lain agama diciptakan oleh manusia dengan akal budinya serta dengan adanya
kemajuan dan perkembangan budaya tersebut serta peradabanya.

3.2 Saran
Saran makalah ini agar kita dapat menjaga tradisi yang sudah ada pada
zaman dahulu dan melestarikannya.

24
DAFTAR PUSTAKA
Badri Y.2006.Sejarah Peradaban Islam, Raja. Jakarta: Grafindo Persada

Bauto LM.2014. Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan


Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal Pendidikan
Ilmu Sosial 23(2):11-25

Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi
Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan

Chaiwat SA.2002. Perdamaian. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama

Fadlulah, Enggar U, Fitrullah, dan Wardatul I.2017. Kaki Langit Bumi Surosoan
Banten Dalam Cakrawala Dunia.Serang:Untirta Press

Hamim.2007.Resolusi Konflik Islam Indonesia. Surabaya: PT. LKiS Pelangi


Aksara.
Hamka.1993.Tafsir al-Azhar, Juz III. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983 Jurnal
Ulumul Qur`an, 1(4)

Heru Nugroho 2000. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta, Penerbit Pustaka


Pelajar.
Koentjaraningrat 1993, Masalah Kesukubangsaan dan Integritas Nasional.
Jakarta: UI.

Madjid, N.1992.Islam, Dokrin,dan Peradaban.Jakarta : Paramadina.

Odea, and Thomas F 1969. The Sociology of Religion. New Delhi: Prentice-Hall of
India Private Limited.25

McGuire, MB. 2002.Religion: the social context (5th ed.). Wadsworth25

Saifudin, dan Achmad Fedyani 2000. Agama Dalam Politik Keseragaman. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI.25

Sari DS.2017.Masjid dan Vihara :Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam dan
Buddha (Studi Kasus Di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang
Provinsi Banten) [SKRIPSI] Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Shihab, dan M. Quraish 1994, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: IPB Press.

Tadjab, 1994, Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya: Abditama

Tjandrasasmita, Uka.2011.Banten Abad XV-XXI. Pencapaian Gemilang,


Penorehan Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan,
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.25

25
Wahyudin.2006.Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.Jakarta:
Grasindo.

Wibowo.1999.Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta, PT


Gramedia Pustaka Utama

26

Anda mungkin juga menyukai