Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ISU FISIK PERBEDAAN FISIK DALAM


KONSELING LINTAS BUDAYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konseling Multibudaya
Dosen Pengampu : Dr. Naharus Surur M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 6

1.Arista Nadiya Putri (K3117012)


2.Atikah I’datul Maryam (K3117014)
3.Erina Dian Florentina (K3117026)
4.Rika Herawati (K3117062)

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan begitu banyak kenikmatan kepada kita. Atas berkat
rahmat dan karunia-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang
berjudul “Isu Perbedaan Fisik dalam Konseling Multibudaya” yang merupakan tugas
mata Konseling Multibudaya.
Kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Naharus
Shurur,M.Pd. selaku dosen kami, dan semua pihak yang turut membantu proses
penyusunan makalah ini. Saya menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak
kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur
penulisannya, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran positif
untuk perbaikan dikemudian hari.
Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para
pembaca dan khususnya bagi kami selaku penulis sendiri. Aamiin

Penyusun

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 3
C. Tujuan........................................................................................... 3
D. Manfaat......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Konseling Lintas Budaya ............................................................. 4
B. Kendala dalam Konseling Lintas Budaya.................................... 5
C. Isu dalam Konseling Lintas Budaya............................................. 6
D. Masalah Perbedaan Fisik.............................................................. 9
E. Karakteristik Konselor yang Efektif............................................. 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era terbuka dan perkembangan iptek yang pesat pada saat ini menunjukkan
bahwa mobilitas manusia dewasa ini baik dalam negeri maupun antar negara sudah
menjadi kebutuhan. Konsekuensinya kehidupan manusia dalam suatu lokasi, daerah, atau
negara tidak bisa dihindari semakin banyak warga lintas suku, bangsa, agama, budaya
dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat fenomena multibudaya menjadi realita
yang harus kita hadapi semua. Dengan begitu konseling multibudaya menjadi suatu hal
yang penting bagi kita.
Konseling multibudaya sangatlah penting kehadirannya, terutama bagi individu
yang membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan masalah maupun untuk pengembangan
diri. Namun pada prakteknya tidak semua individu itu mampu menyelesaikan masalah
sendiri dan mengetahui potensi diri dan tidak tahu untuk pengembangannya, sehingga
individu tidak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Untuk bisa menyelesaikan
masalah dan membangun pemenuhan kebutuhan diri, setiap individu ada yang bisa
menyelesaikan sendiri, tapi ada juga membutuhkan bantuan pihak lain. Di sinilah
konseling multibudaya menemui relevansinya.
Konseling multibudaya berkontribusi dalam memberikan layanan konseling yang
lebih akurat. Karena secara konvensional, dalam melayani konseling kita lebih fokus
pada masalah dan kebutuhan klien, namun dengan mempertimbangkan implementasi
konseling multibudaya, layanan konseling perlu mengetahui jati diri klien, pribadi, suku,
ras, agama, budaya, jenis kelamin, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal dan
sebagainya. Dengan memperhatikan realistis sosial budaya yang melingkupi kehidupan
klien, diharapkan konselor dapat memberikan layanan konseling yang akurat dan
memuaskan.

Namun sering kali perbedaan budaya antara konseli dengan konselor dapat
menyebabkan proses konseling terhambat dan konseli mungkin memiliki kesulitan dalam
menerima dan mempercayai konselor. Permasalahan yang timbul dalam konseling

3
multibudaya ini umumnya dari segi rasial. Sebagaimana yang ditulis oleh d’Ardenne dan
Mehtani ( 1989 :78, dalam McLeod, 2006 : 292 ) :

“ Klien dengan bias kultural dan rasial seumur hidupnya akan membawa luka dari
pengalaman ini dalam hubungan terpeutik. Biasanya konselor berasal dari kultur
mayoritas, dan akan dinisbahkan kepada masyarakat rasis kulit putih. Dengan demikian
dalam pandangan klien, konselor merupakan bagian masalah sekaligus bagian dari solusi
“.

Permasalahan rasial ini tidak hanya hanya menyangkut pada perbedaan warna
kulit, akan tetapi secara luas terkait keadaan fisik individu. Konseli yang memiliki
perbedaan atau kekurangan fisik seperti kondisi fisik yang tidak sempurna, kurang dalam
pendengaran, buta, tinggi badan yang kurang, dan sebagainya akan menimbulkan
permasalahan tersendiri dalam jalanya konseling multibudaya.

Maka dari itu konselor harus menyadari dan menghormati perbedaan peran,
individu, dan budaya, termasuk yang berdasarkan pada keadaan fisik individu, usia, jenis
kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya, asal-usul kebangsaan, agama, orientasi
seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi dan mempertimbangkan faktor-
faktor ini ketika menjalankan konseling multibudaya.

Mengingat betapa maraknya isu permasalahan terkait fisik dan rasila konseli dan
pentingnya penerimaan konselor dalam konseling multibudaya. Menjadi hal yang melatar
belakangi kelompok kami menyusun makalah dengan judul “Isu Perbedaan Fisik dalam
Konseling Lintas Budaya”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari konseling lintas budaya ?
2. Apa saja kendala dalam konseling lintas budaya ?
3. Apa saja isu yang terjadi dalam konseling lintas budaya ?
4. Bagaimana isu masalah perbedaan fisik dalam konseling lintas budaya ?
5. Bagaimana karakteristik konselor yang efektif dalam pelaksanaan konseling lintas
budaya ?

4
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penyususnan
makalahini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dari konseling lintas budaya.
2. Mengetahui kendala dalam konseling lintas budaya.
3. Mengetahui isu-isu yang terjadi dalam konseling lintas budaya
4. Mengetahui isu perbedaan fisik dalam konseling lintas budaya.
5. Mengetahui karakteristik konselor yang efektif dalam pelaksanaan konseling lintas
budaya.

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan informasi bacaan dalam
memahami dan mendalami tentang konseling lintas budaya dan permasalahanya terutama
isu fisik yang ada.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konseling Lintas Budaya


Menurut Von-Tress (1988) konseling lintas budaya adalah konseling ketika
konselor dan kliennya berbeda secara budaya oleh karena secara sosialisasi berbeda
dalam memperoleh budaya, sub-budaya, rasial-etnis, atau lingkungan sosial
ekonominya. Pedersen (1988) mempertimbangkan konseling lintas budaya sebagai suatu
situasi dimana dua orang atau lebih dengan cara yang berbeda dalam memandang
lingkungan sosial mereka yang dibawa bersama dalam suatu hubungan yang bersifat
membantu.
Selanjutnya Sue et al. (1982) mengemukakan bahwa konseling lintas budaya
meliputi situasi ketika:
1. konselor dan klien adalah individu minoritas tetapi dari kelompok minoritas yang
berbeda,
2. konselor adalah seorang minoritas tetapi konseli bukan atau sebaliknya, dan
3. konselor dan konseli sesuai rasnya dan secara etnis serupa, namun memiliki
keanggotaan kelompok budaya berbeda (misalnya variabel jenis kelamin, orientasi
seksual, faktor sosial-ekonomi, orientasi religius, atau usia). 

Dari definisi tersebut, dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan konseling
lintas budaya adalah sebuah peran dan proses membantu yang menggunakan modalitas
dan menetapkan tujuan yang konsisten terhadap pengalaman-pengalaman dan nilai-nilai
budaya klien, mengidentifikasi identitas klien, dengan mencakup dimensi individual,
kelompok dan universal, mendukung penggunaan strategi-strategi dan peran-peran
universal dan budaya dalam proses konseling.
A. Kendala dalam Konseling Lintas Budaya
Konseling Lintas Budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan praktek yang
mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering dijumpai berbagai masalah
dan kendala dalam pelaksanaannya. Dalam pandangan Samuel (2012) betapa pentingnya

6
untuk memisahkan perbedaan atas latar belakang budaya dengan perbedaan kemiskinan
ataupun status tertekan sehingga menghindari salah persepsi dan reaksi masyarakat
sebagai diskriminasi berpola kultural.
Menurut Sue (Jumarin, 2002: 43) bawasannya yang menjadi sumber hambatan
dan kegagalan dalam konseling lintas budaya antara lain:
1. Program pendidikan dan latihan konselor
Umumnya program pendidikan dan latihan konselor mengacu pada budaya
kelas menengah ras kulit putih, sehingga para konselor kurang memiliki pemahaman,
kesadaran, ketrampilan dan pengalaman konseling yang memiliki budaya berbeda
dengan budaya barat (Amerika-Eropa).
2. Kesehatan mental
Program pendidikan dan latihan konselor umumnya menghasilkan konselor
yang cultur encapsulation. Mereka berpandangan monokultural tentang kesehatan
mental dan pandangan stereotype yang negatif terhadap budaya lain.
3. Praktek Konseling
Pelaksanaan konseling profesioanal yang selama ini dilakukan menggunakan
pendekatan ilmiah, yang mengacu pada budaya empiristik, individualistik, kebebasan
dan sebagainya, dan kurang memperhatikan aspek-aspek budaya lain dari subyek
yang dilayani, sehingga terjadi ketidakefektifan, saling berlawanan, dan
ketidakcocokan dengan budaya klien.

A. Isu dalam Konseling Lintas Budaya


Dalam konseling lintas budaya terdapat isu-isu yang berkembang dan menjadi
perhatian serius para konselor, antara lain:
1. Isu Etic dan Emic
Isu utama yang menjadi perhatian adalah para konselor yang bersudut
pandang emik, yaitu dominannya teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya
Eropa/Amerika (Samuel: 2012). Beberapa kepercayaan dominan dari Eropa/Amerika
yakni nilai-nilai individual, pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan,
etika kerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat.

7
Implementasi dari nilai-nilai ini dalam konseling menjadikan teori-teori yang dibuat
di di dalamnya tidak selalu berlaku untuk klien yang berbeda budaya sehingga
berpotensi terjadi bias dan kegagalan dalam membangun hubungan baik antara klien
dan konselor. Pandangan pendekatan emik menurut Jumarin (2002) mengacu pada
pandangan bahwa data penelitian multikultural harus dilihat dari sudut pandang
budaya subyek yang diteliti atau indigenoes (budaya asli) dan unik. Sedangkan
pendekatan etic melibatkan peneliti yang berasal dari budaya tertentu. Permasalahan
etic dan emic menjadi perbedaan mengenai cara mendiskripsikan suatu kebudayaan,
dipandang dari dalam maupun dari luar budaya klien.
2. Isu Sensitifitas Budaya
Dalam pandangan Pedersen seperti yang dikutip Samuel (2012), ia percaya
bahwa sangat penting bagi konselor untuk sensitif terhadap tiga hal berikut:
a. Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda budaya
b. Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang
merupakan produk dari pengkonsdisian budaya
c. Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya
3. Isu Pemahaman Sistem Budaya
Konselor perlu memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya
terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang
sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok
budaya tertentu, mampu berbagi cara pandang yang sama dengan klien, ataupun
membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tapi tetap mempertahankan integritas
personal.
4. Isu Keefektifan Layanan Konseling
Samuel (2012) yang mengutip pendapat Sue (1978) yang mengetengahkan
bagaimana membuat panduan untuk konseling lintas budaya yang efektif, yang masih
aplikatif hinggga sekarang, antara lain:
a. Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang sehubungan
dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima.
b. Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang umum dan
bersifat kultural.

8
c. Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi kehidupan
para anggota kelompok minoritas.
d. Konselor mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak menanyakan
keabsahannya.
e. Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling. Mereka dapat
menggunakan beragam keahlian konseling dan menerapkan teknik konseling
tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.

5. Isu Hubungan Konselor-Klien VS Teknik-Teknik Konseling


Konseling multikultural lebih merupakan pengadaptasian teknik-teknik yang
dipakai konselor sesuai dengan latar budaya klien. Sebaliknya para ahli lain lebih
menekankan hubungan konselor-klien, lebih mementingkan apa yang dilakukan dan
yang harus dihindari konselor, dan bagaimana melakukan kegiatan konseling dalam
budaya yang beragam, serta mempertanyakan prinsip-prinsip mana yang tetap perlu
dipertahankan dalam melakukan konseling multikultural.
6. Isu Hubungan Bilateral antara Konselor-Klien
Hubungan konselor dengan klien mengacu pada tingkat proses belajar dalam
konseling yang mempengaruhi konselor maupun klien. Apabila kesenjangan budaya
dalam konseling dapat terjembatani, maka pengalaman subjektif yang terkomunikasi
dalam proses konseling dapat menjadi “jendela” yang dapat digunakan oleh konselor
maupun klien untuk saling “melirik” kebudayaan yang dianut oleh masing-masing
pihak (Jumarin, 2002). Dengan demikian konselor atau klien dapat saling
mempelajari cultural frame of reference yang dianut, sehingga proses berbagai
subjective word antara konselor dan klien. Hal ini tampaknya agak sulit dilakukan
karena dalam proses konseling sebenarnya yang menjadi pusat perhatian adalah klien
dengan segala persoalannya, tujuan-tujuan hidupnya, dan harapan-harapannya.
7. Isu Dilema Autoplastic-Alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana mengakomodasikan seseorang
pada suatu latar dan struktur sosial yang bersifat given (jadi). Konsep alloplastic
mengacu pada pembentukan realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan individu.

9
Konsep-konsep ini berkaitan dengan tujuan proses konseling, karena konsep-konsep
tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor dapat membantu klien
beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh konselor dapat mendorong
terbentuknya realita yang sama dengan realita yang ada pada diri konselor. Secara
sederhana isu ini menyangkut apakah dalam konseling multikultural konselor dapat
dan perlu mengubah nilai-nilai budaya klien sesuai dengan nilai konselor atau nilai-
nilai budaya lain yang menurut pertimbangan konselor perlu dilakukan. Tentu saja
jika nilai budaya klien sudah bagus, konselor harus mengikuti budaya klien, tetapi
jika budaya klien bertentangan dengan budaya masyarakat, atau nilai-nilai yang
berlaku, maka cukup beralasan jika konselor berusaha merubah nilai budaya klien
kearah nilai budaya yang lebih baru dan sesuai.
1. Isu perbedaan fisik
Contoh: seorang konselor tetap menerima apa adanya dengan keadaan fisik klien
yang berkulit hitam.

B. Masalah Perbedaan Fisik


1. Keadaan orang cacat
Merupakan penghambat dalam pelaksanaan konseling karena cacat akan
mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksi terhadap lingkungan.
Konselor tidak luput dari prasangkan atau bias yang kadang-kadang secara tidak
sadar juga mengungkapkan problemnya dalam mengidentifikasi konseli yang
mengalami cacat. Contoh : seorang konseli yang memiliki cacat fisik dianggap
konselor sebagai individu yang rapu, tidak ada harapan, penuh penderitaan, frustasi
dan ditolak.
2. Perbedaan warna kulit hitam dan kulit putih, seperti: konselor harus menerima semua
konseli tanpa pandang budaya, tidak boleh membedakan misalnya antara orang negro
dengan orang bule.
3. Perbedaan tinggi badan dan berat badan
Dalam kondisi ini, konselor hendaknya tetap menerima konseli dengan senang
hati. Hindari pengucapan yang melibatkan tinggi badan dan berat badan meskipun
hanya topik netral untuk bahan bercandaan, karena hal ini sangat sensitif bagi konseli.

10
4. Pendengaran yang kurang
Konselor harus memahami kondisi fisik apapun yang dimiliki konseli. Jika
konseli memiliki kekurangan dalam pendengaran, lalu jangan meninggikan nada
suara, hendaknya konselor tetap bersikap terapeutik, dapat dibantu dengan berbicara
yang pelan dan jelas atau dapat dibantu dengan menggunakan tulisan.
5. Konseli yang tidak dapat melihat (tunanetra)
Bagaimanapun kondisi konseli, konselor harus bersifat netral. Dalam kondisi
seperti ini konselor harus berhati-hati dalam pengucapan agar tidak menyinggung
konseli. Untuk penanganan masalah yang melibatkan penglihatan, konselor juga
harus belajar huruf braille.
6. Konseli yang ketika berbicara kurang jelas atau terlalu cepat
Dalam kondisi ini, konselor mengalami kesulitan dalam menganalisis
permasalahan, maka dari itu konselor dapat menegur konseli untuk berbicara agak
pelan.
7. Kontak fisik (bersentuhan)
Kontak fisik antara konselor dengan konseli secara potensi dapat membahayakan.
Di Asia sangat tidak lazim jika laki-laki bersentuhan dengan wanita. Pada umumnya
kontak fisik tidak dianjurkan, terutama diantara orang-orang yang belum saling kenal.
Lebih bijaksana mengendalikan diri untuk tidak memperlihatkan perhatian dan
keprihatinan terhadap konseli dengan menggunakan sentuhan
8. Kontak mata
Sejumlah orang menganggap bahwa kontak mata sebagai suatu hal yang tidak
sopan dan mengancam. Maka dari itu kontak mata yang dilakukan konselor harus
ditekan seminimal mungkin untuk menghindari persepsi buruk pada konseli.
C. Karakteristik Konselor yang Efektif dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya
1. Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-
asumsi terbaru tentang prilaku manusia.
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan
akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki
nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus
bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.

11
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum
sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar
terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu
karena pengertian terhdap kaidah konseling akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan
nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila
konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357
etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar
dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik agama maupun
budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan konselor dapat
mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya
dan nilai-nilai yang dimiliki konselor.
Untuk hal ini ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak
boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa
sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh dipaksakan kepada klien. Klien tidak
boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas agama dan budaya dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekatan ekletik.
Pendekatan ekletik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba
untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu
memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien
yang mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus
memiliki wawasan keilmuan yang luas.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konseling lintas budaya adalah sebuah peran dan proses membantu yang menggunakan
modalitas dan menetapkan tujuan yang konsisten terhadap pengalaman-pengalaman dan
nilai-nilai budaya klien, mengidentifikasi identitas klien, dengan mencakup dimensi
individual, kelompok dan universal, mendukung penggunaan strategi-strategi dan peran-
peran universal dan budaya dalam proses konseling
Konseling Lintas Budaya relatif belum memiliki konsep, teknik dan praktek yang
mapan seperti gerakan konseling sebelumnya sehingga sering dijumpai berbagai masalah
dan kendala dalam pelaksanaannya .Masalah yang muncul terkait isu fisik dalam konseling
lintas budaya yaitu cacat fisik, perbedaan warna kulit, perbedaan tinggi dan berat badan,
pendengaran yang kurang, tidak bisa melihat, komunikasi kurang jelas, kontak fisik dan
kontak mata.
Karakteristik konselor yang efektif dalam konseling lintas budaya yaitu sadar terhadap
nilai dan asumsi tiap individu, paham terhadap karakteristik konselor, paham akan pengaruh
adat budaya konseli, tidak mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai
yang dimiliki konselor, menekankan pendekatan eklektik.

B. Saran
1. Konselor lintas budaya diharapkan dapat memiliki dan mengembangkan karakteristik
konselor yang efektif dalam pelaksanaan konseling. Konselor lebih memahami dan
menghargai budaya dari konseli.
2. Sebagai mahasiswa yang nantinya juga akan menjadi konselor diharapkan mampu
memahami teori serta praktek konseling lintas budaya

13

Anda mungkin juga menyukai