Anda di halaman 1dari 16

KONSEPSI PENDEKATAN MULTIBUDAYA DALAM

KONSELING: PERBEDAANNYA DARI KAJIAN


KONSELING MULTIBUDAYA, KONSELING SILANG
BUDAYA, KONSELING LINTAS BUDAYA,
DAN KONSELING INDIGENOUS

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendekatan Multibudaya dalam Konseling, yang dibina oleh
1. Prof. Dr. Adi Mappiare, M.Pd
2. Dr. Fitri Wahyuni, M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 1:


Achmad Miftachul ‘Ilmi NIM. 210111831620
Julia Vika Andriani Marpaung NIM. 210111831608
Mohammad Hasib NIM. 210111831619
Mohammad Zuhal NIM. 210111831618

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
JANUARI 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah tentang “Konsepsi
Pendekatan Multibudaya dalam Konseling: Perbedaannya dari Kajian Konseling
Multibudaya, Konseling Silang Budaya, Konseling Lintas Budaya, dan Konseling
Indigenous” Kami menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan kerja
sama yang baik dari semua pihak, makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik.
Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Adi Mappiare, M.Pd dan Dr. Fitri Wahyuni, M.Pd selaku dosen
pengajar mata kuliah Pendekatan Multibudaya dalam Konseling yang telah
memberi bekal, bimbingan dan pengarahan selama penulisan makalah ini.
2. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta dukungan baik secara
materiil maupun spiritual.
3. Teman-teman offering A yang telah membantu dalam memberikan dukungan
serta bantuan selama penulisan makalah ini, dan
4. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Mengingat pengetahuan dan kemampuan penulis yang terbatas dalam
menyusun makalah ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pengalaman membuat
makalah ini dapat menjadi dorongan bagi penulis untuk karya yang lebih sempurna.
Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 01 Januari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Pendekatan Multibudaya ........................................................................... 3
B. Konseling Multibudaya ............................................................................. 3
C. Konseling Silang Budaya .......................................................................... 4
D. Konseling Lintas Budaya .......................................................................... 6
E. Konseling Indigenous ............................................................................... 7
F. Perbedaan konseling Multibudaya, Konseling Silang Budaya,
Konseling Lintas Budaya, dan Konseling Indigenous .............................. 8
BAB V PENUTUP................................................................................................ 10
A. Simpulan ................................................................................................... 10
B. Saran .......................................................................................................... 10
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 11

iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Perbedaan Konsepsi Pendekatan Multibudaya dalam Konseling .... 8

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang paling beragam (diversity) budaya
dari suku, etnis, adat istiadat, dan agama. Keragaman ini adalah suatu keunikan
dan potensi yang sangat berharga bagi pembangunan bangsa (Tarmizi, 2018).
Namun sebaliknya, jika keragaman ini tidak dapat dikelola dengan baik, maka
keragaman ini berpotensi menimbulkan konflik dan gesekan antar suku, etnis,
adat istiadat, dan agama (Annajih dkk., 2017). Konflik juga dapat terjadi dalam
proses konseling, ketika antara konselor dan konseli memiliki budaya yang
berbeda tanpa disertai kemampuan konselor multibudaya.
Menurut Mufidah (2021) konsep multibudaya bermakna pertemuan
antara beberapa budaya. Manusia merupakan individu yang selalu berinteraksi
dengan lingkungannya. Lingkungan membawa budaya yang menjadi ciri.
Individu yang merupakan salah satu komponen dalam lingkungan tentunya
memiliki budayanya sendiri-sendiri. Hal tersebut terjadi karena individu
memiliki etnografik, demografik dan status sendiri-sendiri. Individu yang
tinggal disuatu tempat akan berbeda dengan tempat lain (Khowatim, 2020).
Dalam pelaksanaan konseling setiap konseli tentnya memiliki
perbedaan budaya. Konselor diharapkan mampu memiliki sifat unconditional
positive regard terhadap setiap perbedaan budaya konseli (Nugraha &
Sulistiana, 2017). Proses pegolahan tersebut membentuk sebuah pengetahuan
maupun skema berpikir bagi konselor. Oleh karena itu sangat diperlukan
pengusaan konsep konseling multibudaya bagi calon konselor dan peneliti
kedepannya. Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Konsepsi Pendekatan
Multibudaya dalam Konseling: Perbedaannya dari Kajian Konseling
Multibudaya, Konseling Silang Budaya, Konseling Lintas Budaya, dan
Konseling Indigenous.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dikaji adalah.
1. Bagaimana konsep pendekatan multibudaya?
2. Apa yang dimaksud dengan konseling multibudaya?
3. Apa yang dimaksud dengan konseling silang budaya?
4. Apa yang dimaksud dengan konseling lintas budaya?
5. Apa yang dimaksud dengan konseling indigenous?
6. Bagaimana perbedaan konseling multibudaya, konseling silang budaya,
konseling lintas budaya, dan konseling indigenous?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini, sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan konsep pendekatan multibudaya.
2. Mendeskripsikan terkait konseling multibudaya.
3. Mendeskripsikan terkait konseling silang budaya.
4. Mendeskripsikan terkait konseling lintas budaya.
5. Mendeskripsikan terkait konseling indigenous.
6. Menyebutkan perbedaan konseling multibudaya, konseling silang budaya,
konseling lintas budaya, dan konseling indigenous.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Multibudaya
Pendekatan multibudaya merupakan suatu pendekatan yang
menekankan pada pemahaman latarbelakang budaya konseli yang beraneka
ragam, serta tidak terikat dengan suatu proses dan langkah-langkah tertentu,
atau dengan kata lain tidak memiliki langkah/strategi khusus yang kongkret
(Patterson, 2004). Gerakan multibudaya muncul sebagai respon atas adanya
diskriminasi terhadap kelompok minoritas dalam layanan kesehatan mental,
selain karena diskriminasi dan prasangka buruk konselor, hal lain yang melatar
belakangi munculnya gerakan multibudaya adalah keterbatasan bahasa dalam
berkomunikasi, serta kurangnya pemahaman konselor pada nilai-nilai, gaya
hidup, dan latar belakang konseli. Oleh karena itulah, dibutuhkan suatu
pendekatan dengan seperangkat keterampilan, penekanan, dan wawasan
khusus terhadap setiap kelompok budaya yang berbeda-beda (Patterson, 1996).

B. Konseling Multibudaya
Konseling multibudaya adalah suatu kegiatan konseling antara
konselor dan konseli yang dilakukan dengan memperhatikan dinamika pribadi
dan dinamika budaya keduanya. Dalam konseling multibudaya terdapat enam
prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu (a) munculnya suatu budaya dapat
diidentifikasi dari setiap kelompok yang berinteraksi satu sama lain atas dasar
kesamaan latar belakang, kesamaan kebutuhan, atau kesamaan tujuan; (b)
seluruh interaksi manusia dilatarbelakangi oleh budaya; (c) pada hakikatnya
setiap konseling bersifat lintas budaya; (d) konseling multibudaya ditekankan
bahwa setiap orang berbeda-beda; (e) konselor multibudaya harus memiliki
kesadaran, keterampilan, dan pengetahuan dalam membantu konseli dari
berbagai latar belakang budaya secara efektif; (f) konselor multibudaya
haruslah orang yang memiliki pandangan tidak sempit atau memiliki cara
pandang secara global (menyeluruh) (Lee, 2014).

3
Dalam Patterson (2004) disebutkan mengapa pada hakikatnya setiap
konseling adalah multikultural, pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa
setiap orang adalah individu/pribadi yang multikultural, dari asumsi inilah kita
dapat melihat bahwa setiap praktek konseling yang dilakukan pada dasarnya
dapat dikatakan konseling multibudaya selama mengacu pada prinsip-prinsip
konseling multibudaya yang telah ditetapkan. Lee (2013) untuk memperkuat
argumen bahwa setiap konseling adalah multibudaya dapat dilihat dari definisi
American Counseling Association (ACA), ACA mendifinisikan konseling
sebagai suatu relasi profesional yang bertujuan untuk memberdayakan
individu, keluarga, atau kelompok yang beragam agar supaya memperoleh
kesejahteraan, kesehatan mental, pendidikan, dan karier yang dituju, dari
definisi konseling yang dikemukakan ACA ini, maka dapat dipahami bahwa
setiap layanan konseling bersifat multibudaya karena diberikan terhadap
individu, keluarga, atau kelompok yang beragam.

C. Konseling Silang Budaya


Konseling silang budaya yang dimana tema-tema ini sering dikaitkan
dengan psikologi lintas budaya dan telah menjadi bagian penting dari konseling
lintas budaya. Bahkan, konseling lintas budaya basis pengetahuannya berasal
dari literatur yang diperoleh dari penelitian kaya psikologi budaya dan lintas
budaya (Gerstein dkk., 2011). Draguns (2008) berpendapat bahwa konseling
silang budaya berkaitan dengan secara akurat memahami aspek budaya-
spesifik maupun secara universal serta proses membantu masalah konseli atau
klien sehubungan dengan masalah budayanya. Selanjutnya, Patterson (1996)
mengatakan bahwa dalam konseling silang budaya, semua perilaku harus
dipahami dari konteks budaya seseorang itu sendiri. Sue & Sue (1981) bahkan
mengklaim bahwa semua konseling adalah lintas budaya. Apa yang melekat
dalam deskripsi ini adalah bahwa profesional kesehatan mental perlu melintasi
batas-batas budaya atau menguraikan budaya untuk menjangkau orang atau
klien agar bisa memahami
Sebagai upaya membatu konseli menanggani dalam permasalahannya
dalam kontek masyarakat Asean yang majemuk, para konselor dalam

4
pemberian layanan konseling perlu memahami perilaku konseli sebagai upaya
menjembatani permasalahan silang budaya dalam layanan yang diberikannya.
Kondisi ini didasari oleh kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan
perwujudan kemaknaan klein dalam masyarakat itu sendiri. Setiap konseli
dalam suatu masyarakat dengan latar budaya berbeda memandang
permasalahan yang mereka alami secara unik. Pemahaman konstruksi social
yang telah lama dibangun oleh konseli dari masyarakatnya perlu dipahami oleh
konselor secara mendasar.
Kondisi masyarakat Asean sebagai masyarakat majemuk, mengalami
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Kontak budaya antar kelompok
etnis tertentu dalam masyarakat Asean akan melahirkan perubahan tata nilai
atau konflik nilai diantara mereka. Berbagai bentuk permasalahan silang
budaya, seharusnya dapat dikendalikan melalui layanan konseling baik di
sekolah maupun masyarakat. Melalui tulisan ini menarik dikaji lebih lanjut
berkaitan dengan kebudayaan dan tingkah laku konseli dan masyarakat
majemuk serta kekuatan kopetensi konselor dalam membangun relasi dengan
konseli berasal dari masyarakat majemuk. Pembahasan permasalahan tersebut
bermanfaat bagi konselor untuk membina relasi yang bermakna dalam
membantu konseli mengembangkan potensi yang dimilikinya
Masyarakat Asean yang majemuk mempunyai berbagai kebudayaan
dan pola perilaku yang berbeda satu dengan lainnya. Kebudayaan yang dibawa
konseli dari masyarakatnya akan membatasi serta membolehkan mereka
melakukan sesuatu yang dianggap pantas dan tidak pantas. Kepantasan konseli
berperilaku ditentukan oleh sistem nilai budaya mereka masing-masing. Sistem
nilai yang telah dibangun oleh konseli melalui proses sosialisasi dengan
lingkungannya, berfungsi mengontrol serta mengarahkan mereka berperilaku.
Kontak budaya, laju urbanisasi serta perkembangan teknologi informasi
menimbulkan dampak yang cukup serius di segala bidang kehidupan konseli.
Melonggarnya kesadaran kolektif serta melemahnya control social merupakan
satu dampak negatif dari perubahan social budaya. Kondisi ini tidak jarang
menyebabkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, diantaranya :

5
perkelahian, Narkoba/Dadah, perceraian, putus sekolah, kehilangan lapangan
pekerjaan dan sebagainya (Dillon dkk., 2016).
Layanan konseling tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya
konseli itu sendiri. Sebelum layanan konseling diberikan, para konselor
diharapkan telah memahami berbagai kondisi sosial budaya konseli. Konseli
dalam masyarakat majemuk sering dihadapkan oleh pola perilaku yang suatu
saat disetujui oleh beberapa kelompok, di sisi lain dicela oleh kelompok
lainnya. Perbedaan nilai tersebut tidak jarang menimbulkan berbagai
permasalahan yang membutuhkan layanan konseling dalam pemberian
pemahaman dan pengalaman untuk menjalani kehidupan yang lebih efektif.
Penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan membangun
kehidupan multi kultural yang sehat. Kondisi ini dilakukan dengan
meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya, yang dapat diawali dengan
peningkatan pengetahuan konseli terhadap keberagaman budaya dalam
masyarakat.

D. Konseling Lintas Budaya


Menurut Gerstein dkk. (2011) konseling lintas budaya melibatkan
konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya berbeda sehingga
sangat rawan menimbulkan bias pada pihak konselor sehingga konseling
berjalan tidak efektif. Oleh karenanya, konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan
dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-
keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya”.
Menurut Mahtani (1999) adapun komponen dalam konseling
multibudaya sebagai berikut (1) kepekaan konselor terhadap variasi budaya
dan bias budaya; (2) pemahaman konselor tentnag pengetahuan budaya
konseli; (3) kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan
pendekatan konseling yang mencerminkan kebutuhan konseli; (4) kemampuan
konselor untuk menghadapai berbagai permasalahan budaya yang kompleks.

6
Pengembangan konseling lintas budaya akan memperkaya keterampilan
konselor dan mempermudah proses konseling sehingga lebih efektif.
Konseling lintas budaya dapat terjadi ketika konselor dan konseli
mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya dapat
dilihat dari sistem nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Contohnya
ketika konselor dari Jawa memberikan layanan konseling kepada konseli dari
Ambon (Mustaqim, 2021). Selama proses konseling lintas budaya konselor dan
konseli masing-masing akan menjadikan budaya yang dimiliki sebagai
investasi awal untuk pemecahan masalah (Pratama, 2016).

E. Konseling Indigenous
Menurut Kim dkk. (2006) konseling indigenous adalah konseling yang
berakar pada sistem pengetahuan dan praktek msyarakat setempat. Tempat
dimana individu menginternalisasi sistem pengetahuan sebagai bentuk praktek
perilakunya. Konseling indigenous tumbuh dari kearifan lokal sebagai salah
satu solusi dalam menghadapi pergeseran budaya yang terkotaminasi budaya
barat, seperti materialisme dan individualisme (Mahmudah, 2018). Dalam
pelaksanaannya, konseling indigenous berpijak pada praktik nilai-nilai budaya
masyarakat melalui internalisasi pengetahuan sampai dengan pola perilaku
(Gerstein dkk., 2011). Konseling Indigenous mengambil posisi bahwa teori-
teori konseling barat pada dasarnya adalah model asli, hanya cukup dengan
mengenali sifat dasar teori tersebut tidak sampai pada kebenaran (Greenfield,
2000).
Implementasi konseling indigenous menuntut konselor untuk belajar
dan memiliki wawasan terkait model “penyembuhan” dari konseli berasal.
Konselor disini memfungsikan dirinya sebagai fasilitator untuk menfasilitasi
dukungan sistem dalam rangka penyembuhan konseli (Sue dkk., 1998).
Konselor terlibat secara langsung untuk membantu konseli mengekplorasi
nilai-nilai, keyakinan, dan budayanya hingga menemukan tujuan konseling
yang tepat (Fawcett dan Evans, 2012). Dalam implementasinya tidak berarti
konselor mengabaikan konsep-konsep konseling yang dianggap universal
dari negara-negara Amerika Serikat (Lee, 2014).

7
Indigenisasi merupakan proses pembangunan kembali (rekonstruksi)
keilmuan tertentu dengan budaya tempat keilmuan itu akan diterapkan. Dalam
bidang konseling disebut cultural re-validation. Menurut Gerstein dkk. (2011)
ada dua jenis indigenisasi yaitu;
1. Indigenization from within, diartikan sebagai pengejawantahan teori,
konsep, dan metode keilmuan konseling yang berasal dari masyarakat
indigeneus itu sendiri; oleh masyarakat indigeneus itu sendiri; dan untuk
masyarakat indigeneus itu sendiri. Pada bagian ini terdapat
sumbangsih keilmuan dari dalam ke luar (global).
2. Indigenization from without, yang diartikan sebagai pengembangan
teori, konsep, dan metode keilmuan tertentu yang telah ada sebelumnya
berasal dari luar masyarakat indigenous, oleh orang di luar masyarakat
indigenous, dan diperuntukkan pada masyarakat indigenous (yang
dijadikan sasaran indigenisasi). Khusus pada bagian ini, sumbangsih
keilmuan dari luar (global) ke dalam masyarakat indigenous sesuai dengan
konteks kebudayaan dimana keilmuan diimplementasikan.

F. Perbedaan konseling Multibudaya, Konseling Silang Budaya, Konseling


Lintas Budaya, dan Konseling Indigenous
Tabel 1. Perbedaan Konsepsi Pendekatan Multibudaya dalam Konseling
No Konseling Perbedaan
1 Pendekatan Merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada
multibudaya pemahaman khusus terkait latarbelakang budaya
konseli yang beraneka ragam. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu pendekatan dengan seperangkat
keterampilan, penekanan, dan wawasan khusus
terhadap setiap kelompok budaya yang berbeda-beda
1 Konseling Konseling yang dilakukan antara konselor dan konseli
Multibudaya dan yang memiliki perbedaan budaya secara lebih luas
(perbedaan etnis, suku, latar belakang, kebutuhan,
atau tujuan).

8
No Konseling Perbedaan
2 Konseling Konseling yang dilakukan oleh konselor pada konseli
Silang dengan latar belakang budaya yang berbeda di wilayah
Budaya yang memiliki perbedaan budaya dengan konseli.
Konselor bertugas untuk mencoba memahamkan
(menyilangkan) budaya dimana konseli bertempat
tinggal padanya (konseli).
3 Konseling Konseling lintas budaya adalah hubungan konseling
Lintas yang melibatkan peserta (konselor dan konseli) yang
Budaya berbeda budaya (etnik).
4 Konseling Konseling indigenous konseling yang berakar pada
Indigenous sistem pengetahuan dan praktik dimasyarakat. Contoh
konseling yang dilaksanakan di Bali mengunakan Tri
hita karana sebagi landasan hidup masyarakat hindu.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendekatan multibudaya merupakan suatu pendekatan yang
menekankan pada pemahaman latar belakang budaya konseli yang beraneka
ragam, serta tidak terikat dengan suatu proses dan langkah-langkah tertentu.
Terdapat beberapa konsep dasar dalam pelaksanaan konseling multibudaya
antara lain (1) konseling multibudaya adalah suatu kegiatan konseling antara
konselor dan konseli yang dilakukan dengan memperhatikan dinamika pribadi
dan dinamika budaya keduanya; (2) konseling silang budaya merupakan proses
konseling yang dilakukan oleh konselor pada konseli dengan latar belakang
budaya yang berbeda di wilayah yang memiliki perbedaan budaya dengan
konseli; (3) Konseling lintas budaya adalah hubungan konseling yang
melibatkan peserta (konselor dan konseli) yang berbeda budaya (etnik); (4)
konseling indigenous konseling yang berakar pada sistem pengetahuan dan
praktik dimasyarakat. Perbedaan mendasar antara konseling multibudaya,
konseling silang budaya, konseling lintas budaya, dan konseling indigenous
terletak pada budaya dan tempat konselor dengan konseli ketika melakukan
konseling.

B. Saran
Adanya berbagai perbedaan budaya antara konselor dan konseli dalam
proses konseling, menjadikan tantangan tersendiri oleh konselor. Sebagai
konselor professional diharapkan dapat mengusai konsep konseling
multibudaya sehingga proses konseling dapat berjalan dengan baik.

10
DAFTAR RUJUKAN

Annajih, M. Z. H., Lorantina, K., & Ilmiyana, H. (2017). Konseling Multibudaya


dalam Penanggulangan Radikalisme Remaja. Prosiding Seminar
Bimbingan Dan Konseling, 1(1), 280–291.

Dillon, F. R., Odera, L., Fons-Scheyd, A., Sheu, H.-B., Ebersole, R. C., &
Spanierman, L. B. (2016). A dyadic study of multicultural counseling
competence. Journal of Counseling Psychology, 63(1), 57.

Draguns, J. G. (2008). Universal and cultural threads in counseling individuals.


Counseling across Cultures, 21–36.

Fawcett, M. L., & Evans, K. M. (2012). Experiential approach for developing


multicultural counseling competence. Sage.

Gerstein, L. H., Heppner, P. P., Aegisdottir, S., & Leung, S.-M. A. (2011).
Essentials of cross-cultural counseling. Sage Publications.

Greenfield, P. M. (2000). Three approaches to the psychology of culture: Where do


they come from? Where can they go? Asian Journal of Social Psychology,
3(3), 223–240.

Khowatim, K. (2020). Peran Konselor dalam Konseling Multibudaya Untuk


Mewujudkan Kesetaraan Gender. Bikotetik (Bimbingan Dan Konseling:
Teori Dan Praktik), 4(1), 10–15.

Kim, U., Yang, G., & Hwang, K.-K. (2006). Indigenous and cultural psychology:
Understanding people in context. Springer.

Lee, C. C. (2014). Multicultural issues in counseling: New approaches to diversity.


John Wiley & Sons.

Mahmudah, M. (2018). Pengelolaan Kelas: Upaya Mengukur Keberhasilan Proses


Pembelajaran. Jurnal Kependidikan, 6(1), 53–70.

Mahtani, A. (1999). Transcultural counselling in action. Sage.

Mufidah, E. F. (2021). Studi Kasus Prasangka Dalam Praktek Konseling


Multibudaya Mahasiswa BK. Jurnal Fokus Konseling, 7(2), 62–68.

Mustaqim, A. (2021). Kompetensi konseling multikultural: Menjadi pribadi melek


literasi globa. ROSYADA: Islamic Guidance and Counseling, 1(1).

Nugraha, A., & Sulistiana, D. (2017). Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor Dalam
Layanan Konseling. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice,
and Research, 1(01), 9–18.

Patterson, C. H. (1996). Multicultural counseling: From diversity to universality.


Journal of Counseling & Development, 74(3), 227–231.

11
Pratama, B. D. (2016). Kompetensi Lintas Budaya dalam Pelayanan Konseling.
Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education), 294–305.

Sue, D W, & Sue, D. W. (1981). Critical incidents in cross-cultural counseling.


Counseling the Culturally Different, 259–291.

Sue, Derald Wing, Carter, R. T., Casas, J. M., Fouad, N. A., Ivey, A. E., Jensen,
M., LaFromboise, T., Manese, J. E., Ponterotto, J. G., & Vazquez-Nutall, E.
(1998). Multicultural counseling competencies: Individual and
organizational development (Vol. 11). Sage Publications.

Tarmizi, R. (2018). Konseling Multibudaya dan kearifan lokal Suku Karo Sumatera
Utara dengan Pendekatan Realitas. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan
Dan Konseling, 2(1), 435–444.

12

Anda mungkin juga menyukai