Anda di halaman 1dari 22

HUBUNGAN PERTOLONGAN ANTARA KONSELOR DAN KONSELI

(Rapport, Structuring, Resistance, Transference, Counter transference,


Language)

(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling


Lintas Budaya)
Dosen Pengajar:
Sabrina Dachmiati, M.Pd.

Disusun Oleh:
Sahliyatur Rizkiyah 201601500354
Astrid Andriati 201601500361
Levitta Ramadhani Saputri 201601500456

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi


sedikit sekali yang kita syukuri. Segala puji hanya layak untuk Allah atas segala
rahmat, dan karunia-Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami
terima, serta petunjuk-Nya sehingga memberikan kemampuan dan kemudahan
bagi kami dalam penyusunan makalah yang berjudul “HUBUNGAN
PERTOLONGAN ANTARA KONSELOR DAN KONSELI”. Adapun sub judul
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah rapport, structuring, resistance,
transference, counter transference, language.
Penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak,
karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada; Allah
SWT. Sabrina Dachmiati, M.Pd. selaku dosen mata kuliah BK Lintas Budaya,
orang tua dan teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini, sehingga memotivasi kami agar dapat lebih baik
lagi di masa yang akan datang. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
kami khususnya dan para pembaca umumnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1


A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan Makalah.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3


A. Hubungan Pertolongan Antara Konselor dan Konseli ..................... 3
1. Rapport ............................................................................................. 4
2. Structuring ....................................................................................... 6
3. Resistance ......................................................................................... 7
4. Transference ................................................................................... 10
5. Counter Transference .................................................................... 12
6. Language ........................................................................................ 14

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan yang
bertujuan untuk membantu seseorang menjadi manusia yang dewasa dan mandiri,
yang memahami dirinya sendiri secara utuh dengan kelebihan dan kekurangannya
(Walgito, 2010: 9). Konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang
dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah.
Tugas konselor terkait dengan pengembangan diri siswa yang sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian yang dimiliki siswa. Dengan
pemberian layanan bimbingan dan konseling yang tepat dan kontinyu diharapkan
siswa mampu memahami kelebihan dan kekurangannya, mandiri dan mampu
mengoptimalkan potensi, bakat, dan minat yang dimiliki.
Konselor memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa di sekolah, dalam
hal ini berarti bimbingan dan konseling merupakan pekerjaan pelayanan yang
profesional, yang menguraikan pemahaman, penanganan dan penyikapan tentang
keadaan seseorang yang meliputi unsur kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
Pekerjaan ini sangat penting sekali dalam dunia pendidikan, agar tercipta
keserasian atau keharmonisan antara guru dengan siswa. Salah satu layanan yang
dapat diberikan adalah konseling individual. Konseling merupakan bantuan yang
diberikan kepada individu untuk memecahkan masalah kehidupannya dengan cara
wawancara dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi individu
untuk mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito, 2010: 8).
Agar proses konseling berlangsung dengan baik, konselor harus peka dan
tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar
kelompok konseli yang satu dengan kelompok konseli lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan konselinya. Konselor harus sadar akan implikasi
diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin
menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat

1
mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang berhubungan
dengan ras dan etnis, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di
lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar
individu.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang konselor harus memiliki
keterampilan dalam menangkap atau merespon pernyataan konseli dan
mengkomunikasikannya kembali kepada konseli agar hubungan pertolongan
antara konselor dan konseli dapat berjalan dengan baik dan tujuan konseling dapat
tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konseli dan konselor. Oleh
karena itu, seorang konselor harus dapat mengetahui hubungan pertolongan antara
konselor dan konseli yang akan kami jelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana hubungan rapport antara konselor dengan konseli?
2. Bagaimana hubungan structuring antara konselor dengan konseli?
3. Bagaimana hubungan resistance antara konselor dengan konseli?
4. Bagaimana hubungan transference antara konselor dengan konseli?
5. Bagaimana hubungan counter transference antara konselor dengan konseli?
6. Bagaimana hubungan language antara konselor dengan konseli?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui hubungan rapport antara konselor dengan konseli.
2. Untuk mengetahui hubungan structuring antara konselor dengan konseli.
3. Untuk mengetahui hubungan resistance antara konselor dengan konseli.
4. Untuk mengetahui hubungan transference antara konselor dengan konseli.
5. Untuk mengetahui hubungan counter transference antara konselor dengan
konseli.
6. Untuk mengetahui hubungan language antara konselor dengan konseli.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Pertolongan Antara Konselor dan Konseli


Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping relationship.
Sheldon Eisenberg dan Daniel J. Delaney (dalam Jones, 1995: 2) menyebutkan
bahwa konselor (seorang yang profesional dalam bidang konseling) menganggap
diri sebagai helper. Mereka menganggap diri hadir untuk menyediakan layanan
helping bagi orang-orang yang ingin atau butuh bantuan. Menurut Jones (1995: 2)
konseling merupakan sutau hubungan bantuan yang bersifat pribadi (as a special
kind of helping relationship), sebagai bentuk intervensi (as a repertoire of
interventions), dan sebagai proses psikologis (as a psychological process) untuk
mencapai tujuan.
Mengembangkan hubungan konseling adalah upaya konselor untuk
meningkatkan keterlibatan dan keterbukaan konseli, sehingga akan memperlancar
proses konseling dan mencapai tujuan konseling yang diinginkan konseli atas
bantuan konselor. Bentuk utama hubungan konseling adalah pertemuan
pribadi dengan pribadi (konselor-konseli) yang dilatarbelakangi oleh lingkungan
(internal-eksternal). Hubungan konseling harus dikembangkan menjadi lebih
kondusif agar konseli bisa terbuka. Dalam hal ini dituntut skill dan pengalaman
konselor, antara lain adalah kemampuan untuk menangkap perilaku nonverbal
konseli. Konselor harus akurat dalam menebak emosional, buah pikiran, isi hati
konseli yang terlihat dalam bahasa tubuh seperti roman muka, sorot mata, gerak
tubuh, cara duduk, dan sebagainya (Willis, 2004).
Keterbukaan konseli juga ditentukan oleh bahasa tubuh konselor. Untuk
menciptakan situasi kondusif bagi keterbukaan dan kelancaran proses konseling,
maka sifat-sifat empati, jujur, asli, mempercayai, toleransi, respek, menerima, dan
komitmen terhadap hubungan konseling, amat diperlukan dan dikembangkan terus
oleh konselor. Sifat-sifat tadi akan memancar pada perilaku konselor sehingga
konseli terpengaruh, dan kemudian konseli mengikutinya, maka konseli akan
menjadi terbuka dan terlibat dalam pembicaraan (Rao, 242: 2006).

3
Hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor
mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan
memanfaatkan komunikasi verbal dan nonverbal. Hubungan konseling yang
menumbuhkan kepercayaan konseli terhadap konselor adalah penting. Sehingga
konseli akan terbuka dan mau terlibat pembicaraan (Pangaribuan, 2011).
1. Rapport
Hubungan saling percaya dan yakin merupakan hal yang mendasari
pembentukan ikatan antara konselor dan konseli. Rapport memungkinkan
konseli untuk bereaksi spontan, hangat dan penuh simpati. Hubungan antara
konselor dan konseli harus bersifat responsif (Rao, 242: 2006). Tujuan
helping relationship atau hubungan konseling adalah untuk dapat memenuhi
kebutuhan konseli dan bukan untuk memenuhi kebutuhan konselor. Secara
luas dikatakan bahwa konseli harus dapat mempunyai tanggung jawab
mengenai dirinya, dan membuat keputusan berdasarkan alternatif-alternatif
yang dia tentukan atas bantuan konselor. Untuk mencapai tujuan yang baik
tersebut, maka dalam hubungan konseling harus terjadi rapport antara
konseli dan konselor.
Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport
merupakan suatu hubungan yang akrab antara konselor dan konseli yang
ditandai dengan saling mempercayai. Jika sudah terjadi persetujuan dan rasa
persamaan, timbullah kesukaan terhadap satu sama lain. Di dalam
konseling, seorang konselor harus mampu menciptakan rapport dengan cara
(Pangaribuan, 2011):
a. Pribadi konselor harus empati, merasakan apa yang dirasakan
konselinya. Dia juga harus terbuka, menerima tanpa syarat, dan
mempunyai rasa hormat dan menghargai.
b. Konselor harus mampu membaca perilaku non verbal konseli.
Terutama yang berhubungan dengan bahasa lisannya.

4
c. Ada rasa kebersamaan, intim, akrab, dan minat membantu tanpa
pamrih. Artinya ada keikhlasan, kerelaan, dan kejujuran pada diri
konselor.
Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dan merupakan contoh
rapport dalam hubungan konseling, yakni (Lutfi, dkk., 2008):
a. Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu
demikian hangat dan bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan
adanya rasa bersahabat, tidak formal, dan rasa humor.
b. Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan
konseli dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang
dihadapinya.
c. Keterlibatan konseli, yaitu terlihat konseli bersungguh-sungguh
mengikuti proses konseling dengan jujur mengemukakan
persoalananya, perasaannya, dan keinginannya. Selanjutnya, konseli
bersemangat mengemukakan ide, alternatif dan upaya-upaya.
Perez (dalam Bammer, 1979: 4) mengungkapkan temuan penelitian
yang menunjukkan bahwa pengalaman, orientasi teoris dan teknik yang
digunakan bukanlah penentu utama dalam keefektifan seorang terapis, akan
tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidikan dan pelatihanya sebagai
kriteria dalam evaluasi keefektifannya. Kompetensi pribadi (personal
competencies) merujuk kepada kualitas pribadi konselor yang berkenaan
dengan kemampuan untuk membina hubungan baik antarpribadi (rapport)
secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan moral
dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri,
serta berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah.
Jika dilihat dalam perspektif lintas budaya, orang Timur dalam
meningkatkan hubungan baik (rapport) dengan orang lain umumnya
dilakukan dengan cara memberikan senyuman yang tulus, bersalaman
(berjabat tangan), mempersilakkan duduk, menjaga sikap, peduli dengan
cerita yang diungkapkan, memperhatikan bahasa yang digunakan, dan lain-
lain. Berbeda dengan orang Barat kebanyakan menjalin hubungan baik

5
seperti itu hanya dengan orang-orang tertentu yang dirasa dibutuhkan
(dalam Bammer, 1979: 6).
2. Structuring
Konselor memberikan petunjuk tentang urutan langkah berfikir atau
urutan tahap dalam pembicaraan yang sebaiknya diikuti, supaya akhirnya
sampai pada pemecahan masalah/penyelesaian masalah hal ini disebut
dengan structuring (Winkel, 1997: 376). Dengan kata lain, Menurut Supriyo
dan Mulawarman (2006: 27) structuring digunakan konselor untuk
memberikan batasan-batasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan
apa yang menjadi tujuan dalam konseling. Menurut Lutfi, dkk. (2008: 35)
menyebutkan beberapa tujuan structuring, yaitu:
a. Konseli memperoleh orientasi yang tepat terkait konseling yang
sedang dijalaninya.
b. Diperoleh kesamaan persepsi dan harapan yang realistik dalam
konseling.
c. Diperoleh kepastian bersama apakah konseli mau melanjutkan atau
menghentikan proses konseling.
d. Terbangun kesepakatan mengenai pola interaksi, tindakan, waktu,
capaian, jaminan, dan konsekuensi pernyataan.
Adapun fungsi structuring menurut Lutfi, dkk. (2008: 36) adalah
sebagai berikut:
a. Konseli mendapatkan kerangka kerja konseling, sehingga konseli
mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah konseli dan
bagaimana konseli ikut terlibat didalamnya.
b. Membantu memperjelas hubungan antara konselor dan konseli,
memberikannya arah, melindungi hak masing-masing, peran,
dan menjamin konseling yang sukses.
Contoh hubungan structuring antara konselor dengan konseli adalah
konselor dan konseli bersama-sama membuat kesepakatan waktu. Dalam hal
ini konselor juga harus menyatakan pada awal pertemuan, berapa lama
konseling akan berlangsung, melakukan pembatasan tindakan yang

6
mengacu pada batas-batas tindakan yang boleh ataupun
yang tidak boleh dilakukan, konselor menjelaskan peranannya dalam
huhungan konseling, dan menentukan masalah-masalah yang paling
mendesak untuk di pecahkan (Supriyo dan Mulawarman, 2006). Penelitian
menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial dalam konseling dengan
menjalin hubungan structuring antara konselor dan konseli terbukti efektif
dalam mengembangkan keterampilan sosial konseli, khususnya dalam
empat keterampilan sosial yaitu: mengekspresikan/menyatakan perasaannya,
menyatakan/memahami perasaan orang lain, menyatakan pikiran/pendapat
kepada orang lain, dan memperkenalkan/membuka diri (Hallahan &
Kauffman, 1991).
3. Resistance
a. Konseli Mengalami Resistance (Penolakan)
Keterlibatan konseli dalam proses konseling ditentukan oleh faktor
keterbukaan dirinya dihadapan konselor. Jika konseli diliputi keengganan
dan resistance, maka konseli tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya
(Rao, 243: 2006). Gejala-gejala resistance konseli yang perlu dikenal
konselor adalah (Pangaribuan, 2011):
1) Konseli berbicara amat formal, hanya dipermukaaan saja, dan
menutup hal-hal yang sifatnya pribadi.
2) Konseli enggan untuk bicara sehingga lebih banyak diam.
3) Konseli bersifat defensif, artinya bertahan dan tidak mau berbagi,
mempertahakan kerahasiaan, menghindar, atau menolak dan
membantah.
Penyebab konseli menjadi resistance disebabkan antara lain (Lutfi,
dkk., 2008):
1) Konseli dihadirkan secara paksa, mungkin atas desakan orangtua atau
guru.
2) Konselor bersifat kaku, curiga, kurang bersahabat. Konselor terlalu
mendominasi proses konseling dengan banyak nasihat dan kata-kata
yang kurang disenangi konseli.

7
3) Situasi ruang konseling kurang mendukung konseli untuk terbuka,
misalnya dekat dengan ruang lain yang mudah mendengarkan
pembicaraan, atau tempat lalu lalang orang, atau ruang di sebelah
bising dan sebagainya.
4) Faktor pribadi konseli seperti keangkuhan karena jabatan, title (gelar)
kekayaan dan sebagainya. Biasanya seorang pejabat yang terbiasa
didengarkan, sulit baginya untuk didengarkan orang lain dan tidak
mau terbuka.
Jika konseli itu resistance, perlu ada upaya konselor untuk
mengatasinya seperti mengalihkan topik, memberi motivasi, atau
menurunkan dan menaikkan level diskusi tergantung tingkat kemampuan
konseli (Rao, 243: 2006). Akan tetapi jika konseli terus juga resistance
walaupun telah diupayakan maka sebaiknya konseli itu di referal secara
baik dengan istilah Okun (dalam Lutfi, dkk., 2008) adalah sabbatical
leavefrom helping (dialihkan pada konselor yang cocok). Dampak
resistance pada keterlibatan konseli, dapat digambarkan sebagai berikut.

Resistance Tertutup Tidak mau terlibat

Contoh bentuk resistance konseli adalah konseli yang tidak mau


melaksanakan konseling dikarenakan rasa terpaksa hanya untuk memenuhi
panggilan wali kelas sehingga saat proses konseling pun konseli sangat
tertutup dalam menjawab pernyataan konselor dan bahkan memiliki rasa
enggan untuk terlibat dengan konselor. Hasil penelitian menyatakan bahwa
sebab konseli melakukan resistance adalah adanya anggapan bahwa
konselor adalah eksekutor yang tugasnya memberikan hukuman dan kinerja
konselor sekolah tidak efektif. Menurut uraian Shertze dan Shelley (1980),
hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa konselor yang
efektif dan konselor yang kurang efektif dapat dibedakan atas dasar tiga
dimensi yaitu pengalaman, corak hubungan antar pribadi dan faktor-faktor

8
non-kognitif. Faktor-faktor non-kognitif meliputi hal-hal seperti motivasi,
nilai-nilai kehidupan, perasaan terhadap orang lain, ketenangan dalam
menghadapi situasi wawancara, kemampuan untuk menjaga jarak dan tidak
terlihat emosional dan kelincahan dalam pergaulan sosial pada umumnya.
b. Konselor Mengalami Resistance (Penolakan)
Terjadinya resistance pada konselor akan menghambat proses
konseling, karena konseli akan mudah tertulari resistance dari konselor.
Banyak faktor yang menyebabkan resistance konselor, antara lain (Lutfi,
dkk., 2008):
1) Kecemasan, mungkin dari kekalutan pikiran karena masalah keluarga,
pekerjaan, dan uang.
2) Konselor yang sedang mengalami frustasi dan konflik.
3) Konselor yang merangkap pejabat, biasa memerintah, menasehati dan
mengatur. Dia melihat hubungan konseling sebagai hubungan
bawahan dan atasan. Konseli adalah bawahan, karenanya layak
diintruksi, dinasehati, bahkan dimarahi. Mungkin guru yang
merangkap menjadi konselor adalah contoh yang demikian.
Komunikasi konselor adalah kapasitas untuk mendengarkan,
memberikan perhatian, merasa, dan merespon dengan verbal dan non
verbal kepada konseli maka konseli akan terbuka dan terlibat dalam
pembicaraan, dan menampakkan kepada konseli bahwa konselor selalu
mendengarkan, dan merasakan secara akurat. Contoh konselor mengalami
resistance adalah ketika seorang konseli datang ke ruang konseling namun
konselor menolak dengan alasan bahwa konselor sedang frustasi akibat
anak beliau masuk ke rumah sakit sehingga harus meninggalkan sekolah,
hal tersebut lebih baik dilakukan karena apabila dipaksa untuk
melaksanakan konseling, dikhawatirkan justru tujuan konseling tidak
tercapai dan hanya akan membuang waktu. Hasil penelitian menujukan
orang akan menunjukkan gangguan kognitif berat jika berhadapan dengan
stresor yang serius. Mereka sulit berkonsentasi, sulit mengorganisir pikiran

9
secara logis. Akibatnya kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan,
terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk (Lazarus, 1999).
4. Transference
Transference (pemindahan) adalah reaksi individu untuk seseorang di
masa sekarang dengan cara yang mirip dengan cara dia bereaksi terhadap
orang lain di masa lalu (Rao, 243: 2002). Dengan kata lain, transference
(pemindahan) menunjukan pernyataan perasaan konseli terhadap konselor,
apakah berupa reaksi rasional kepada pribadi konselor atau proyeksi yang
tidak sadar dari sikap-sikap dan stereotype sebelumnya. Secara psikoanalisa
(Susabda, 3: 2012), transference merupakan suatu proses dimana sikap
konseli sebelumnya ditanyakan kepada orang lain atau secara tidak sadar
diproyeksi kepada konselor. Sederhananya, transference berhubungan
dengan emosi yang bisa muncul dari dalam diri konseli kepada konselor.
Transference mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan atau
dirasakan konseli (cinta, benci, marah, dan sebagainya) terhadap konselor,
baik berupa reaksi rasional terhadap kepribadian konselor atau pun proyeksi
terhadap tingkah laku awal dan sikap-sikap selanjutnya konselor (Munro,
dkk., 1979). Penyebab terjadinya transference adalah konselor mampu
memahami konseli lebih dari konseli memahami diri mereka sendiri dan
dikarenakan konselor mampu bersifat hangat. Jenis transference: positif
(proyeksi bersifat perasaan kasih sayang, cinta, ketergantungan), dan negatif
(proyeksi rasa permusuhan dan penyerangan). Transference positif dan
negatif menggejala dalam sikap atau perilaku konseli, seperti beberapa
contoh di bawah ini:
a. Seorang remaja putri pada masa kecilnya kurang mendapat kasih
sayang dari ayahnya. Karena bapak konselor menunjukkan sikap
ramah, berbicara lembut serta bertindak sabar, remaja putri ini mulai
memandang konselor sebagai pengganti ayahnya. Dia selalu mencari-
cari kesempatan untuk berjumpa dengan bapak konselor, bahkan
mengirim surat-surat yang isinya adalah curahan isi hatinya.
(Transference positif, berlawanan arah, terwujud dalam perilaku).

10
b. Seorang remaja putri merasa sangat kecewa terhadap perlakuan yang
diterimanya dari beberapa pria yang berperanan penting dalam
hidupnya, misalnya dengan ayah tirinya, kakak laki-laki, dan mantan-
mantan pacar. Oleh karena itu, dia merasa takut dan menjadi sangat
sulit berbicara secara terbuka dengan konselor laki-laki. (Transference
negatif, searah, terwujud dalam perilaku).
Selain dipengaruhi oleh masa lalu konseli, budaya juga sangat
berpengaruh terhadap self disclosure (keterbukaan diri) masing-masing
individu. Ada budaya yang cenderung menutup diri, ada juga yang terbuka.
Franco (1986) mengemukakan bahwa orang Amerika lebih terbuka dari
pada orang Meksiko. Sedangkan Nugroho (2007) menyatakan bahwa orang
Jepang lebih tertutup dari pada orang Indonesia. Jourard (1979) menemukan
bahwa siswa kulit putih lebih terbuka dari pada siswa kulit hitam di
Amerika. Pada budaya Cina, anak-anak lebih memilih tidak
membuka/mengungkapkan informasi yang pribadi kepada orang tua
walaupun mereka masih memiliki keterikatan yang dekat dengan keluarga.
Dari penjelasan di atas, bahwa budaya mempengaruhi cara pandang, dan
sikapnya terhadap orang lain. Untuk itu konselor perlu melakukan berbagai
upaya untuk mengembangkan siswa untuk bersosialisasi khususnya
mengenai keterbukaan dirinya (Allen dalam Petrofesa, dkk, 1978).
Sumber transference perasaan berasal dari (Munro, dkk., 1979):
a. Pengalaman-pengalaman masa lalu konseli yang mengalami
kegagalan dalam perkembangan yang diistilahkan Gestalt dengan
situasi yang tak terselesaikan, konseli membawa berbagai alat
manipulasi lingkungan, tetapi cenderung kurang memiliki dukungan
dari diri sendiri yang merupakan suatu kualitas penting untuk
bertahan.
b. Konseli merasa takut akan penolakan dan ketidakpercayaan, hal ini
merupakan bentuk perlawanan, sehingga konseli memanipulasi
konselornya dengan memakai topeng seolah-olah dia orang yang baik.

11
Fungsi transference adalah membantu hubungan dengan memberikan
kesempatan kepada konseli untuk mengekspresikan perasaan yang
menyimpang, mempromosikan atau meningkatkan rasa percaya diri konseli,
membuat konseli menjadi sadar tentang pentingnya dan asal dari perasaan
pada kehidupan mereka di masa sekarang melalui interpretasi perasaan
tersebut. Penyelesaian pemindahan perasaan dapat dicapai apabila konselor
menjaga sikap menerima dan memahami, dan juga menerapkan teknik-
teknik refleksi, bertanya dan interpretif (Rao, 243: 2002).
5. Counter Transference
Menurut Susabda (4: 2012) counter-transference adalah istilah
psikologis yang artinya tidak lain daripada sikap menyambut dan
menanggapi gejala transference dari konseli yang ditujukan padanya.
Kegagalan proses konseling salah satunya disebabkan karena konselor tidak
menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya sendiri (Rao, 243:
2002). Sebagai konselor seharusnya mampu bersikap netral, mampu
mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi konseli.
Counter transference (perpindahan balik) merupakan reaksi emosional
dan proyeksi konselor terhadap konseli, baik yang disadari maupun tidak
disadari. Sederhananya, counter transference berhubungan dengan emosi
yang bisa muncul dari dalam diri konselor kepada konseli (kebalikan transfe
rence). Timbulnya counter transference (perpindahan balik) bersumber dari
kecemasan konselor yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu
sebagai berikut (Susabda, 5: 2012):
a. Masalah pribadi yang tak terpecahkan.
b. Tekanan situasional yang berkaitan dengan masalah pribadi konselor.
c. Komunikasi perasaan konseli dengan konselor.
Tanda-tanda perasaan counter transference (Susabda, 5: 2012):
a. Tidak memperhatikan pertanyaan konseli dengan jelas.
b. Menolak kehadiran kecemasan.
c. Menjadi simpatik dan empatik berlebihan.
d. Mengabaikan perasaan konseli.

12
e. Tidak mampu mengidentifikasi perasaan konseli.
f. Membuka kecenderungan berargumentasi dengan konseli.
g. Kepedulian yang berlebihan.
h. Bekerja terlalu keras dan melelahkan.
i. Perasaan terpaksa dan kewajiban terhadap konseli.
j. Perasaan menilai konseli baik/tidak baik.
Pada kasus counter transference, seorang konselor yang profesional
pun, dapat mengalami gejala counter transference. Sikap profesional
seorang konselor ditunjukkan oleh kesadarannya terhadap cara berpikir,
berperasaan, dan berperilaku terhadap konseli yang tidak sesuai dengan
peranannya sebagai konselor. Contoh counter transference adalah seorang
konselor pria yang merasa senang diperhatikan oleh konselinya (seorang
putri) dan mengharapkan konseli tersebut selalu memberi perhatian pada
dirinya karena dia merasa ibunya kurang memberikan kasih sayang padanya
(Ellis, 2001). Jika dilihat dari latar budaya maka antara transference dan
counter transference akan menimbulkan kesalahan yang nantinya
mengganggu dalam proses konseling. Contohnya saja di Negara Turki ada
beberapa budaya yang mungkin saja dianggap berbeda maknanya oleh
orang di luar Turki. Salah satu budaya tersebut adalah orang Turki sering
mengedipkan mata, ketika konseli memberikan transference kepada
konselor berupa bahasa non verbal yang mengedipkan mata dan sebelumnya
konselor tidak tahu latar budaya konseli maka konselor akan melakukan
counter transference secara negatif seperti konselor menangkap sikap
tersebut sebagai rasa kasih sayang atau suka dari konseli karena di masa lalu
konselor orang yang disukainya pernah mengedipkan mata dan tandanya
suka terhadap konselor (Comas-Diaz, 2011: 553).
Berkaitan dengan gejala-gejala counter transference, konselor sendiri
yang seharusnya menyadari bahwa respon-responnya terhadap konseli tidak
sesuai dengan perannya sebagai konselor. Artinya konselor seharusnya
menyadari bahwa dirinya masih dilingkupi oleh unfinished bussiness. Meski
pun untuk menghilangkannya dia perlu dibantu oleh terapis. Dengan mempe

13
lajari gejala-gejala counter transference dan dampaknya terhadap proses
konseling, maka tampaklah betapa pentingnya seorang konselor
berkepribadian dewasa dan memiliki taraf kesehatan mental yang mumpuni
(Ellis, 2001).
6. Language
Dalam studinya tentang perkembangan bahasa di India, Singh (dalam
Beery, dkk., 226: 1997) menunjukkan peran signifikan nenek dan orang
dewasa lainnya dalam keluarga membentuk bahasa seorang anak. Bahasa
adalah bagian dari budaya individu. Konselor yang tidak mampu dalam
memahami bahasa menjadi tanda kegagalan untuk memahami konseli.
Dalam rangka untuk komunikasi yang efektif, seorang konselor harus
mampu memahami bahasa verbal dan non verbal konselinya. Hal ini lebih
sulit untuk memahami komunikasi non verbal. Individu berbicara tidak
hanya dengan suara mereka, tetapi juga dengan gerakan mereka.
Pengetahuan tentang bahasa konseli penting dipahami konselor karena
sebagian besar teknik konseling menuntut pemahaman yang baik mengenai
bahasa verbal dan non verbal konseli agar dapat menjalin hubungan yang
baik (Rao, 244: 2002).
Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu
diperhatikan dalam proses konseling lintas budaya. Bahasa adalah sistem
lambang bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan
konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan
perasaan dan pikiran. Masyarakat barat sangat monolingual. Penggunaan
bahasa Inggris standar menjadi tidak adil bagi mereka yang berasal dari
kaum minoritas yang tidak fasih dalam bahasa Inggris. Kesalahpahaman
masalah bahasa sering terjadi pada kaum minoritas dan tentu saja mereka
tidak mungkin menggunakan bahasa mereka sendiri karena jelas tidak
dipahami konselor (Beery, dkk., 228: 1997). Romero (dalam Beery, dkk.,
228: 1997) menyatakan bahwa konseling psikologis harus bisa berinteraksi
dengan konseli yang tidak dapat menggunakan bahasa Inggris standar.

14
Kelemahan bahasa lain dari konselor mengakibatkan terhambatnya proses
konseling dan terapi.
Menurut Beery, dkk., (228: 1997) pada waktu ini hanya sedikit
praktisi konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu
juga terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Adapun yang
menjadi penyebab adanya hambatan-hambatan ini ialah sebagai berikut
(Lutfi, dkk. 2008):
a. Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa
kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga
terkadang orang lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya
dan menimbulkan persepsi yang berbeda.
b. Minim dalam kosa kata
Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.
c. Minim dalam ungkapan-ungkapan
Contoh: Lia tidak nyambung ketika teman-temannya berbicara tentang
istilah “Ayam Kampus”. Kemudian Lia menanyakan pada temannya
tentang istilah tersebut, temannya kemudian tertawa terbahak- bahak
dan menganggap Lia sebagai orang bodoh.
d. Penggunaan dialek yang berbeda-beda
Contoh: Orang Surabaya yang menggunakan kata dibalik-balik
misalnya: orang (arek) dan menggunakan dialek tegas (terkesan
kasar). Orang Yogyakarta menggunakan krama halus dalam
kebanyakan pembicaraannya.
e. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang
lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan
Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa Jawa padahal
konselinya berasal dari Sumatera. Konselor menganggap konseli
mengerti semua apa yang dikatakan oleh konselor. Namun pada
kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa yang diucapkan
konselor.

15
f. Perbedaan kelas sosial
Pada kelas sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan
bahasa yang kelasnya tinggi (eksklusif) dan sulit dimengerti oleh
orang dengan status sosial rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN
menjelaskan pada warga desa terpencil dengan menerangkan tentang
penyebaran penyakit dengan menggunakan istilah-istilah tinggi
misalnya: inkubasi dan injeksi tanpa menjelaskan arti yang lebih
mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti apa yang ia
katakan. Seharusnya kata tersebut dijelaskan inkubasi adalah
penularan penyakit dalam tubuh dan kata injeksi sama dengan
menyuntik.
g. Usia
Contoh: Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas
masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex
bukan soal yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya
berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar.
h. Latar pendidikan keluarga
Contoh: Konseli yang memilki orang tua berlatar pendidikan tinggi
akan dianggap berasal dari keluarga kelas atas.
i. Penggunaan bahasa gaul.
Contoh: Konseli yang menggunakan bahasa gaul misal; pembokat dan
bokap. Jika Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan menjadi
tidak bersambungan dalam komunikasi.

16
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pada pembahasan bab 2, dapat ditarik kesimpulkan sebagai


berikut:
1. Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping relationship.
Mengembangkan hubungan konseling adalah upaya konselor untuk
meningkatkan keterlibatan dan keterbukaan konseli, sehingga akan
memperlancar proses konseling dan mencapai tujuan konseling yang
diinginkan konseli atas bantuan konselor.
2. Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan
keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport
merupakan suatu hubungan yang akrab antara konselor dan konseli yang
ditandai dengan saling mempercayai.
3. Structuring digunakan konselor untuk memberikan batasan-batasan agar
proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam
konseling.
4. Resistance terbagi menjadi dua, yaitu: konseli mengalami resistance dan
konselor yang mengalami resistance. Jika konseli diliputi resistance, maka
konseli tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya. Sebaliknya, jika
konselor yang mengalami resistance, maka akan menghambat proses
konseling dan bahkan tujuan konseling menjadi tidak tercapai.
5. Ttransference mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan atau
dirasakan konseli (cinta, benci, marah, dan sebagainya) terhadap konselor,
berupa reaksi rasional kepada pribadi konselor atau proyeksi yang tidak
sadar dari sikap-sikap dan stereotype sebelumnya.
6. Counter transference (perpindahan balik) merupakan reaksi emosional dan
proyeksi konselor terhadap konseli, baik yang disadari maupun tidak
disadari. Sederhananya, transference berhubungan dengan emosi yang bisa
muncul dari dalam diri konselor kepada konseli (kebalikan transference).

17
7. Language adalah bagian dari budaya individu. Konselor yang tidak mampu
dalam memahami bahasa menjadi tanda kegagalan untuk memahami
konseli. Dalam rangka untuk komunikasi yang efektif, seorang konselor
harus mampu memahami bahasa verbal dan non verbal konselinya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Brammer, Lawrence. 1979. The Helping Relationship. Englewood Cliffs. New


Jersey: Prentice-Hall, inc.
Comas, Diaz. 2011. Multicultural Care: A Clinician's Guide to Cultural
Competence. American: APA.
Ellis. 2001. Rational and Irrational Aspects of Countertransference. Journal of
Clinical Psychology. In Session: Psychoteraphy in Practice. 57, 999-1004.
Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. 1991. Exceptional Children Introduction to
Special Education. London: Pretice-Hall.
Jones, Richard. 1995. Counseling and Personality, Theory and Practice. St.
Leonards, NSW. Australia: Allen and Unwin Ptd.
Lazarus, 1999. Stress And Emotions, A New Synthesis. Springer Publishing
Company, Inc.
Lutfi, Fauzan, dkk. 2008. Teknik-Teknik Komunikasi Untuk Konselor. Malang:
UMM.
Munro, C.A, dkk. 1979. Konseling: Suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan
(Terjemahan Erman Amti). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pangaribuan, Tumewa. 2011. Mengembangkan Hubungan Konseling. Diktat Mata
Kuliah Komunikasi Antar Pribadi.
Pitrofesa, J.J., Hoffman, A., Spelete, dan Pinto, D.V. 1978. Counseling: Theory,
Research, and Practice. Chicago: Rand McNally College Publishing
Company.
Rao, Narayana S. 2006. Counselling and Guidance (Second Edition). Departemen
of Psychology, Sri Venkateswara University. New Delhi: Tata McGraw-
Hill.
Shertzer, Bruce dan Shelley, Stone. 1980. Fundamentals of Guidances. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Susabda, Yakub. 2012. Pastoral Konseling Jilid 1. Jakarta: Yayasan Gandum
Mas.
Supriyo dan Mulawarman. 2006. Keterampilan Dasar Konseling. Semarang:
UNNES Press.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling [Studi dan Karir]. Yogyakarta:
ANDI.
Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.
Winkel. W.S. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Edisi
Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai