Anda di halaman 1dari 12

HAMBATAN – HAMBATAN DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Konseling Lintas Budaya
Dosen Pengampu: Hj. Widayat Mintarsih. M.Pd.

Disusun oleh:
Aris Munandar 1901016118
Sarah Roudlotul Aulia 1901016119
Titin Yuliatin 1901016146

BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam konseling lintas budaya terlibat adanya relasi antara konselor dan konseli Bagaimanapun
relasi yang terjadi dalam konseling adalah relasi dalam situasi kemanusiaan, artinya baik konselor
maupun klien adalah manusia dengan karakteristiknya masing–masing, baik karakteristik
kepribadiannya maupun karakteristik nilai, moral dan budaya yang dibawa masing– masing.
Dengan demikian relasi konseling tidaklah sederhana. Konselor harus memiliki kesadaran adanya
perbedaan karakteristik (pribadi, nilai, moral, budaya) antara dirinya dengan kliennya, serta
menghargai keunikan kliennya.
Perbedaan– perbedaan ini bagaimanapun akan mempengaruhi proses konseling. Di sinilah
perlunya konseling berwawasan lintas budaya, yaitu konseling yang mangakomodasi adanya
perbedaan budaya antara konselor dan klien. Konseling berwawasan lintas budaya efektif untuk
mengeleminir kemungkinan munculnya perilaku konselor yang menggunakan budayanya sendiri
(counselor encaptulation) sebagai acuan dalam proses konseling. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pada pelaksanaannya akan timbul beberapa faktor yang menjadi kendala atau hambatan yang akan
dialami oleh konselor dalam pelaksanaan proses konseling lintas budaya. Untuk itu, dalam makalah
ini akan dibahas mengenai faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan atau kendala dalam
pelaksanaan proses konseling lintas budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hambatan-hambatan struktural dalam proses konseling lintas budaya ?
2. Apa saja hambatan-hambatan psikososial dalam proses konseling lintas budaya ?
3. Bagaiamana contoh analisis budaya terhadap konseling lintas budaya ?

C. Tujuan
1. Mengetahui tentang hambatan struktural dalam proses konseling lintas budaya.
2. Mengetahui tentang hambatan psikososial dalam proses konseling lintas budaya.
3. Memahami contoh hasil analisis budaya terhadap konseling lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor yang Menghambat Konseling Lintas Budaya secara Struktural
Konseling lintas budaya memang merupakan hal baru. Sejalan dengan itu, pengalaman-
pengalaman dalam pelaksanaan konseling terhadap orang-orang dengan latar budaya yang berlain-
lainan menunjukkan bahwa pendekatan yang berlaku dalam budaya Barat belum tentu cocok untuk
budaya timur. Contoh, sebagian besar teknik konseling diarahkan agar klien lebih membuka diri
(self-disclosure), tetapi anak-anak kita belajar sejak kecil dalam keluarga untuk tidak mengatakan
hal-hal yang oleh masyarakat umum dianggap tidak pantas, tabu, dan bahwa “diam itu emas”,
“diam itu selamat”.
Menurut Browm et al. (1988), keberhasilan layanan konseling sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor seperti bahasa, nilai, stereotip, kelas sosial, suku dan bangsa, jenis kelamin. Sue (dalam
Brown et al, 1988) menyebutkan adanya faktor-faktor budaya yang harus diperhatikan konselor
kalau mengonseling klien yang berbeda latar belakang budayanya. Dasar pandangannya adalah
karena memang faktor-faktor itu berpengaruh pada keberhasilan layanan yang akan diberikan.
Disebutkan pada bahasan sebelumnya bahwa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan konseling lintas-budaya. Dengan demikian bekerjanya faktor tersebut bias juga
menjadi penghambat konseling lintas-budaya. Berikut dijelaskan secara rinci faktor-faktor tersebut.
1. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat terbesar yang perlu diperhatikan dalam proses
konseling lintas budaya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-
wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan
pikiran.1
Menurut Arredondo pada waktu ini hanya sedikit praktisi konseling bilingual (menguasai dua
bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Adapun
yang menjadi penyebab adanya hambatan-hambatan ini ialah sebagai berikut:
a. Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
b. Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
c. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu mengerti apa
yang ia maksudkan.
d. Perbedaan kelas sosial
e. Penggunaan bahasa gaul.
Apalagi jika konselor merasa etnis mayoritas, ada kecenderungan menganggap orang lain
pasti tahu apa yang dimaksudkan, ia lupa bahwa di antara kliennya tidak tahu apa yang dibicarakan.
1
Jan van Luxemburg, dkk, 1986, Pengantar Ilmu Sastra (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko), (Jakarta:PT
Gramedia), hlm. 3
Selain itu, kenyataan adanya beda kelas sosial, usia, latar pendidikan keluarga dan sebagainya juga
mempengaruhi beda bahasa. Pemggunaan bahasa prokem, bahasa gaul di kalangan remaja atau
sekelompok tertentu juga dapat merupakan hambatan.
2. Nilai
Nilai (value) merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebihsukaan) yang
didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak.
Ini berkenaan dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut. Nilai merupakan konstruk
yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi
secara perorangan). Istilah nilai menunjuk suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu
kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan
cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative (Kluckhohn dalam Berry, 1999). Nilai
menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Budaya bilamana:
a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain
b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas.
Kesenjangan nilai bisa juga terjadi karena antara konselor dan klien berasal dari latar kehidupan
sosial yang berbeda, tingkat sosial ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
3. Stereotip
Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian/kritikan (Brown etal, 1988). Stereotip merupakan kendala konseling (termasuk hambatan
sikap) karena terbentuk secara lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku
yang berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil belajar, sehingga
makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala jika konselor dihinggapi
Stereotip. Apabila konselor menggunakan Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu
merespon klien dengan segala kebutuhannya.2
4. Kelas Sosial
Dalam proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien,
persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas
sosial menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan hidup klien dari kelas sosial bawah
dan atas.3
5. Ras atau Suku
Di Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam ras tau suku menyebabkan variasi perbedaan
yang sangat beragam. Perbedaan suku ini seringkali merupakan penghambat proses konseling,
karena masing-masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda, hal

2
John Scott, 2012, Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm.
165
3
John Scott, Ibid, hlm. 251
ini yang perlu dipahami oleh konselor. Atas dasar kesadaran lintas-budaya yang dimiliki oleh
konselor diharapkan ia dapat mengatasi hambatan ini.4
6. Jenis Kelamin (Gender)
gau antara konselor dengan klien juga bisa menghambat proses konseling. Apalagi diantara
mereka dihinggapi stereotip terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya konselor laki-laki
mempunyai stereotip terhadap klien perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien
laki-laki mempunyai stereotip terhadap konselor perempuan yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya,
klien perempuan menganggap konselor laki-laki yang tidak dapat memahami perasaannya, karena
pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
7. Usia
Usia merupakan penghambat konseling, karena pada dasrnya masing-masing periode
perkembangan mempunyai kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus
dipahami oleh konselor. Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua
usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani konseling anak-anak
muda. Diharapkan konselor memeliki keterampilan dan teknik yang efektif.5
8. Preferensi Seksual
Usaha-usaha yang dilakukan orang untuk mengatasi masalah seksualitasnya merupakan isu
yang lazim menjadi bahan kajian dalam konseling. Itu perihal perasaan seksual, menyirap perasaan-
perasaan itu ke dalam dan membentuk citra diri seseorang, dan membuat keputusan tentang
bagaimana bertindak atas dasar perasaan dan jati dirinya.
9. Gaya Hidup
Pola hidup atau gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, yang didukung secara
terbuka oleh sebagian besar anggota masyarakat, dan gaya hidup alternative yang jarang terjadi dan
biasanya kurang disetujui masyarakat luas. Jika perkawinan dan anak merupakan inti dari gaya
hidup tradisional, maka hidup sendirian, dan perkawinan tanpa anak merupakan beberapa contoh
gaya hidup alternative. Dapat ditambahkan contoh-contoh seperti hidup selibat (membujang, hidup
lajang), hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, merupakan gaya hidup yang sulit dimengerti
dan diterima bukan saja oleh masyarakat umum, melainkan juga oleh konselor.
10. Keadaan Orang-Orang Cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling. Keadaan cacat
yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya
terhadap lingkungan. Nathanson mengidentifikasi pelanggaran-pelanggran yang umum dilakukan
konselor terhadap integritas kaum cacat, yaitu:

4
John Scott, Ibid, hlm. 132
5
George Ritzer, 2011, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),
hlm. 92
a. Memandang bahwa satu faktor penghambat dapat menjalar ke aspek-aspek lain seseorang,
sehingga keseluruhan individu itu dinilai hanya dari ciri fisiknya saja.
b. Keliru mengasihani seorang individu dengan memandangnya sebagai individu yang rapuh,
tak ada harapan lagi, penuh penderitaan, frustasi dan ditolak.
c. Berlebih-lebihan menilai (memuji) prestasi seorang klien dengan kata-kata seperti
“mengagumkan” atau “hebat” yang mempunyai implikasi bahawa kebanyakan kaum cacat
adalah inferior (bermutu rendah).6
B. Hambatan Psikososial dalam Konseling Lintas Budaya
Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup aspek psikis dan
sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan
sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari
kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan
dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di
sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi
sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis (Chaplin, 2011). Adapun hambatan-hambatan dalam
konseling lintas budaya diantara nya:
1. Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki konselor seperti pengetahuan dan keterampilan lalu
usia, emosi, kebudayaan, bahasa dan agama.
2. Masalah yang dihadapi konselor seperti kebosanan, emosional, keputusasaan dan kesalahan-
kesalahan lain yang melibatkan konselor.
3. Kesenjangan berkaitan relasi dengan klien seperti membuka diri, perasaan-perasaan
konselor terhadap konseli nya dan daya tarik seksual.
Agar permasalahan dan konflik tidak berkepanjangan maka diperlukan konseling. Terlebih bila
orang-orang yang bermasalah terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda, baik berbeda budaya,
adat istiadatnya, sifatnya dan karakternya, disinilah konselor harus paham dan mempelajari budaya
dan adat istiadat dari masing-masing orang yang bermasalah tersebut. Konseling diperlukan karena
dengan adanya perubahan dan perkembangan zaman yang yang tengah terjadi di masyarakat,
manusia dituntut untuk mampu memperkembangkan dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat
dan untuk itu memang manusia telah dilengkapi dengan berbagai potensi, baik potensi yang
berkenaan dengan keindahan dan ketinggian derajat kemanusiaannya, yang memungkinkannya
untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Pemenuhan terhadap tuntutan perkembangan
masyarakat sekaligus memerlukan pengembangan individu warga masyarakat secara serasi, selaras
dan seimbang (Prayitno & Amti, 1999: 25)7

6
Duncan Mitchell, 1984, SOSIOLOGI Suatu Analisa Sistem Sosial, (Jakarta: Bina Aksara), hlm 167-168
7
Prayitno & Erman Amti, 1999, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta.
Lebih-lebih yang dihadapi konselor adalah orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, maka diperlukan konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya diperlukan karena
alasan-alasan berikut ini:
1) Adanya kecenderungan budaya global dan transformasi budaya, dimana kehidupan
masyarakat semakin terdiri dari berbagai budaya yang selalu berinteraksi dan berubah.
2) Bahwa setiap budaya akan membentuk pola kepribadian, pola bertingkah laku secara
khusus, termasuk dalam proses konseling.
3) Adanya proses akulturasi atau percampuran antar budaya.
4) Adanya berbagai keterbatasan, hambatan dalam praktik konseling yang selama ini
dilakukan, terutama pendekatan psikodinamik, behavioristik-kognitivistik, eksistensial
humanistik, yang kurang mempertimbangkan aspek budaya
5) Serta adanya berbagai pendekatan konseling yang bersumber dari nilai-nilai budaya.
Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya:
a. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah
sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor
professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan
konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
 Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
 Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada,
berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
 Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling
dan terapi.
 Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
 Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
 Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
 Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi
pengaruhnya pada klien yang berbeda.
b. Sikap Konselor
Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan
tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh
karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan
sebagainya.
Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan
yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor
boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan
dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien,
maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi
membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah
sebagai berikut.
 Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan
kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa
klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.
 Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap penilaian dari klien. Konselor tidak menggunakan
standar sosial berdasarkan penilaian yang didapat. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan
penuh akan penilaian klien dan tidak mencampurkan penilaiannya dengan penilaian klien.
 Penerimaan
Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa ia dihargai sebagai peribadi dengan
suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.
 Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu (1)
pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami
kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal
individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.
 Rapport
Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif
(terbuka), agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
 Empaty
Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.
Selain kencenderungan mengungkung diri dalam proses konseling, ada beberapa tantangan lain
yang menghalangi efektifitas konseling lintas budaya. Dalam masyarakat multikultural, konseling
dihadapkan pada berbagai kendala dan sangat potensial untuk terjadinya bias budaya. Hal ini
merentang dari perbedaan yang sifatnya “halus” dan kadang-kadang tidak disadari seperti yang
bersumber dari variable-variabel perbedaan status sosial-ekonomi, asal daerah dan gender, hingga
yang “nyata” seperti perbedaan bahasa, stereotip, prasangka dan rasisme (Masturi, 2015). Budaya
adalah bagian lingkungan yang dibuat oleh manusia. Selanjutnya manusia menjadi pelaku budaya
itu sendiri . Terdapat beberapa hal yang mempunyai peran dalam budaya seperti kognitif, emosi,
komunikasi, kepribadian dan perilaku sosial (Damayanti, 2016).8
C. Analisis Budaya
Kelompok kami mengambil contoh kebudayaan lokal di Daerah Kaliwungu, Kendal. Yaitu
mengenai Tradisi Syawalan. Tradisi ini merupakan salah satu kebudayaan yang berupa berupa
percampuran dua budaya yaitu Islam dan Hindu. Hal ini dikarenakan daerah Kaliwungu merupakan
daerah pantai utara Jawa, sehingga mendapat pengaruh budaya Islam yang bercampur dengan
budaya jawa sehingga yang muncul adalah budaya pesisiran atau Islam pesisiran. Budaya pesisiran
tersebut adalah peringatan wafatnya seorang tokoh karismatik yang dihormati di Kaliwungu atau
khoul. Tradisi tersebut muncul secara turun temurun dan berkembang hingga sekarang. Tradisi
Syawalan Kaliwungu merupakan wujud penghormatan terhadap leluhur yang diwujudkan dengan
berbagai kegiatan keagamaan. Tradisi Syawalan mengalami kemajuan seiring dengan
perkembangan zamannya.
Syawalan adalah sebuah acara komunal yang berlandaskan syariat namun lebih kental dengan
nuansa kebudayaannya. Kondisi ini tidak terlepas dari karakteristik kota Kaliwungu sebagai Kota
Santri yang mengakar dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakatnya hingga generasi sekarang.
Menurut KH. Asro’i Thohir pada mulanya Syawalan merupakan bentuk pengabdian seorang santri
kepada gurunya yang sudah wafat yang diwujudkan dengan menziarahi makamnya menapaktilas
fase sejarah nasab guru-gurunya. Mereka datang bersama sanak saudara dengan penuh keikhlasan
untuk mengaktualisasikan eksistensi sifat kesantriannya.
Faktor penghambat atau pendukung dari tradisi syawalan yaitu mengenai faktor penghambat
pelaksanaan syawalan/ tahlilnya tidak ada, karena menurut kesadaran moral walaupun hujan warga
tetap berdatangan untuk mengikuti tahlil di makam. Yang pasang surutnya itu keramaiannya terrkait
dengan kondisi perekonomian masyarakat kita. Misal ketika petani sedang panen dan mendapat
penghasilan lebih maka akan berbondong-bondong tapi jika turun maka orang akan hanya berjalan-
jalan dan melihat-lihat saja.
Sehingga apabila ditinjau dari dimensi kebudayaan dan dimensi konseling, maka seluruh
dimensi budaya mewarnai seluruh sistem konseling. Tidak ada bagian yang terkecil dalam
konseling tidak diwarnai oleh budaya. Berikut ini menurut Jumarin (2002: 61-63) 9 penjelasan
bagaimana sistem budaya mewarnai dan mempengaruhi sistem konseling, beberapa diantaranya:
1. Budaya akan memberi warna dan arah bagi subsistem. Konsep dasar konseling yang
mencakup landasan filosofis, tujuan konseling, prinsip dan asas konseling, serta kode etik

8
Fahrul Hidayat, 2018, PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING SENSITIF BUDAYA, Konseling Komprehensif, Volume
5 No 1, hlm.33
9
Derald Wing Sue, Patricia Arredondo, and Roderick J. Mcdavis. Multicultural Counseling Competenciesand Standards:
A Call to the Profession. Journal Of Counseling & Development. march/april 1992. Vol. 70
konseling. Landasan filosofis konseling pada dasarnya adalah nilai-nilai budaya. Tujuan
konseling yang akan dicapai harus sejalan atau diwarnai nilai budaya, orientasi nilai.
Masyarakat Jawa mungkin lebih mementingkan keselarasan, masyarakat ilmiah mungkin
lebih menekankan pencerahan dan sebagainya.
2. Budaya memberikan warna terhadap subsistem konselor, baik yang berkaitan dengan
kualifikasi, pendidikan dan latihan, penempatan konselor. Kualifikasi konselor di
masyarakat Jawa akan berbeda dengan konselor untuk masyarakat Eropa dan Amerika.
Demikian pula dalam hal pendidikan dan latihan konselor, akan diwarnai oleh budaya
dimana pendidikan konselor diselenggarakan.
3. Budaya akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing. Konsep orang
yang bermasalah akan berbeda antara satu budaya dengan budaya lain. Kriteria yang
malladjusted akan berbeda pada setiap kebudayaan. Individualisme bagi masyarakat Eropa
mungkin dipandang baik, tetapi bagi masyarakat Jawa sikap tersebut dipandang bermasalah.
4. Budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu dan metode/teknik
konseling. Pemahaman individu pada masyarakat ilmiah akan menggunakan metode-metode
ilmiah (pengamatan, tes, wawancara, dsb), sedang pada masyarakat tradisional akan banyak
menggunakan metode yang sifatnya non ilmiah (perhitungan hari kelahiran, astrologi,
meditasi, dsb.). Budaya juga akan mewarnai dalam penggunaan teknik-teknik layanan
konseling. Masyarakat animisme dan dinamisme akan menggunakan teknik-teknik mistik,
masyarakat religius akan menggunakan metode-metode religius, masyarakat ilmiah akan
menggunakan metode-metode ilmiah.
5. Budaya akan memberikan arah bagi program-program konseling. Program-program apa
yang akan diberikan dalam layanan konseling tergantung pada budaya masyarakat. Program
meditasi tentu cocok bagi masyarakat yang memiliki budaya meditasi. Program doa, zikir,
puasa, cocok bagi masyarakat yang berbudaya religius. Program training, studi banding dan
sebagainya cocok bagi masyarakat yang berbudaya keilmuan. Dari beberapa hal tersebut di
atas jelaslah bahwa dalam proses konseling lintas budaya tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan masing-masing individu. Bahkan kebudayaan mempengaruhi teknik layanan
konseling, tergantung dari daerah mana, ideologinya seperti apa, serta tingkat intelektualnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling lintas budaya
hendaknya mengharuskan konselor yang peka dan tanggap terhadap adanya keberagaman budaya
dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien yang lain,
serta terutama antara konselor dengan kliennya.
Adapun hambatan struktural dan psikososialnya yang sering ditemui dalam proses konseling
lintas budaya adalah adanya faktor bahasa, nilai, stereorip, kelas sosial, ras dan suku, jenis kelamin,
usia, preferensi seksual, gaya hidup dan keadaan orang cacat. Serta hambatan psikososialnya yaitu
mencakup psikis dan sosialnya serta konflik yang sering terjadi dalam proses konseling lintas
budaya. Oleh karena itu konselor harus paham dan mempelajari budaya dan adat istiadat dari
masing-masing klien yang bermasalah tersebut dengan memiliki keterampilan dan sikap konselor.

PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, kami yakin makalah kami jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki
makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Derald Wing Sue, dkk. Multicultural Counseling Competenciesand Standards: A Call to the
Profession. Journal Of Counseling & Development. Vol. 70. 1992
Hidayat, Fahrul. Perspektif Bimbingan dan Knseling Sensitif Budaya, Konseling
Komprehensif, Volume 5 No 1, 2018
Mitchell, Duncan. SOSIOLOGI Suatu Analisa Sistem Sosial, (Jakarta: Bina Aksara), 1984
Prayitno & Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta), 1999
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada), 2011
Scott, John. Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), 2012
Weststeijn, Willem G., Jan van Luxemburg dan Mieke Bal, Pengantar Ilmu Sastra
(Diindonesiakan oleh Dick Hartoko), (Jakarta:PT Gramedia), 1986

Anda mungkin juga menyukai