Anda di halaman 1dari 8

Nama : Kasir Pamungkas

Nim : A1E123068
Subjek : Resume Konseling Lintas Budaya Kasir Pamungkas

➢ Tantangan Konseling Lintas Budaya & Isu Konseling Lintas Budaya


A. Tantangan Konseling Lintas Budaya

Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, terdapat banyak faktor yang


mempengaruhi lancarnya proses konseling. Perlu diketahui bersama antara konselor
dan klien membawa budayanya masing-masing. Dan tentunya dalam konseling lintas
budaya akan terjadinya komunikasi, komunikasi ini bisa menjadi hal yang
mengakibatan suatu kesalahpahaman antara konselor dan klien karena memiliki
pemaknaan yang berbeda dari setiap budayanya masing-masinh.

Hal ini disebabkan karena kurangnya penguasaan bahasa dalam berkomunikasi


dapat menjadikannnya sumber kesalahpahaman terhadap proses komunikasi. Bahasa
non-verbal pun sering memberikan makna yang berbeda-beda, dan bahkan memiliki
arti yang bertolak belakang.

Selanjutnya menurut Brown, Duane dan Srebalus mengungkapkan setidaknya


ada enam hal hyang dapat menjadi tantangan pelaksanaan konseling lintas budaya
adalah sebagai berikut :

1. Bahasa
Percakapan adalah alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor
dalam melakukan konseling lintas budaya, hambatan terbesar yang harus di atasi
adalah perbedaan bahasa yang masing-masing akan membawa perbedaan karena
budaya dan latar belakang yang berbeda. Kenyataan yang dilapangan adalah
masyarakat lebih lancar menggunakan bahasa lain.
Golongan minoritas kurang mendapat tempat dalam profesi konseling. Pada
waktu yang sedikit praktisi konseling yang bilingual (menguasai dua bahasa). Di
negara Indonesia sendiri terdiri atas suku dan bahasa daerah, tentunya
permasalahan ini sangat memugkinkan terjadi walaupun kita sudah di ikat oleh
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, namun tidak semua klien mampu dan
mengerti bahasa Indonesia dengan baik.

2. Nilai
Nilai merupakan hal yang bisa menjadi sumber kesalahpahaman dalam proses
konseling. Nelkin menyoroti beberapa contoh tentang konselor yang tidak sadar
memaksakan nilai-nilai meraka terhadap golongan minoritas. Para terapis percaya
bahwa klien lebih banyak memperoleh manfaat konseling jika mau berbagi dan
menyelami pikiran dan perasaan yang tersembunyi, namun ada juga klien yang
tidak memahami akan nilai-nilai ini.
3. Stereotip
Stereotip adalah generalisasi oleh kelompok orang tentang sesuatu kelompok
lain, dan sepintas lalu stereotip itu bukan sesuatu yang jelek. Tetapi stereotip
merupakan opini (pendapat) yang terlalu disederhanakan yang diterima orang
begitu saja. Dengan demikian Stereotip tidak menggambarkan insidividu sebagai
yang mewakili kelompoknya.

Apa bila konselor menggunakan stereotip, konselor tidak bisa bersikap luwes
waktu merespons klien dengan segala kebutuhannya.

4. Kelas Sosial
Rendahnya kelas sosial atau kemiskinan tampaknya berpengaruh pada
banyaknya masalah kesehatan mental maupun bantuan penanganannya.
Penelitian-penelitian cenderung menunjukan adanya hubungan terbalik antara
kelas sosial dan gangguan jiwa seperti schizophrenia, alkoholisme,
penyalahgunaan obat, dan tinglah laku anti sosial.
Dalam proses konseling tingkat perbrdaan pengalaman dari klien dan konselor,
persepsi dan pandangan dunia mereka, bisa menimbulkan atau menjadi
hambatan besar. Konselor dan kelas menengah mungkin tidak tahu bahwa
menunda kepuasan nilai yang diragukan bagi orang miskin, karena pengalaman
telah mengajarkan orang-orang miskin itu bahwa janji kelak memperoleh ganjaran
tidak akan pernah terwujud. Perbedaan ini apa bila terjadi harus ditangani oleh
monselor.
5. Ras atau Suku
Di Amerika telah banyak menyita perhatian diberikan kepada perbedaan
kebudayaan yang ada diantara kalangan ras golongan minoritas dan pengaruh
adanya perbedaan ini pada isu-isu berhubungan dengan konsling. Bukti
menunjukan bahwa klien golongan minoritas cenderung putus terapi lebih awal,
tidak menepati jadwal perjanjianm, dan mengutaraka ketidakpuasannya
mengenai jalannya proses bantuan.
Disampng itu, mereka cenderung diserahkan penangannya kepada terapis
kelas rendah dan sering dikirim opname ( dirumah sakit jiwa). Hal ini
meninsyaratkan bahwa waktu yang lalu golongan minoritas merasa tidak
berharga dan memperoleh pelayanan yang tidak baik waktu mencari pelayanan
kesehatan mental.
Ini akan menimbulkan masalah bagi klien golongan minoritas. Kebanhyakan
sistem terapi mebekankan pada pentingnya intropeksi, hal ini memikul tanggung
jawab atas konsekuensi hidup, dan perlunya klien berhasil menemukan
pemecahan masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain, klien
golongan minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang
tertindas. Mereka menunjuk lingkungan masyarakat di luar meraka sebagai su,ber
kesulitan mereka. Dengan ini banyak teori terapi atau konseling yang
menekankan pentingnya keterlibatan klien dalam terapi,konseling bertentangan
dengan esensi (kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas sendiri.
6. Jenis Kelamin
Salah satu yang paling berpengaruh adalah pada kebudayaan profesi di barat
(Amerika) pada dua dekade belakangan adalah kaum perempuan. Para konselor
dan psikolog perempuan mempunyai peranan dangat penting dalam
menggerakakkan profesi bantuan untuk merespon (sebagai tangapan atas)
tindakan kaum seksis (yang suka melecehkan atau memperkolokan orang
perempaun.
Penelitian yang telah dilakukan menemukan kenyataan adanya praktik-
praktik sesksis dalam profesi bantuan yang telah detangfapi keras oleh asosiasi-
asosiasi yang dianut penduduk juga bisa merupakan hal-hal yang menjadi
halangan tertahap pelaksanaan konseling lintas budaya.

B. Isu dalam Konseling Lintas Budaya

Dalam konseling lintas budaya terdapat isu-isu yang berkembang dan menjadi
perhatian serius para konselor, antara lain:

1. Isu Etic dan Emic

Isu utama yang menjadi perhatian adalah para konselor yang bersudut pandang
emik, yaitu dominannya teori-teori yang berdasarkan nilai-nilai budaya
Eropa/Amerika (Samuel: 2012). Beberapa kepercayaan dominan dari Eropa/Amerika
yakni nilai-nilai individual, pemecahan masalah yang berorientasi pada tindakan,
etika kerja, metode ilmiah, dan penekanan pada jadwal waktu yang ketat.
Implementasi dari nilai-nilai ini dalam konseling menjadikan teori-teori yang dibuat
di di dalamnya tidak selalu berlaku untuk klien yang berbeda budaya sehingga
berpotensi terjadi bias dan kegagalan dalam membangun hubungan baik antara klien
dan konselor. Pandangan pendekatan emik menurut Jumarin (2002) mengacu pada
pandangan bahwa data penelitian multikultural harus dilihat dari sudut pandang
budaya subyek yang diteliti atau indigenoes (budaya asli) dan unik. Sedangkan
pendekatan etic melibatkan peneliti yang berasal dari budaya tertentu. Permasalahan
etic dan emic menjadi perbedaan mengenai cara mendiskripsikan suatu kebudayaan,
dipandang dari dalam maupun dari luar budaya klien.
2. Isu Sensitifitas Budaya
Dalam pandangan Pedersen seperti yang dikutip Samuel (2012), ia percaya bahwa
sangat penting bagi konselor untuk sensitif terhadap tiga hal berikut:
a. Pengetahuan akan cara pandang klien yang berbeda budaya
b. Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang
merupakan produk dari pengkonsdisian budaya
c. Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya
3. Isu Pemahaman Sistem Budaya
Konselor perlu memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya
terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran
tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota dari
kelompok budaya tertentu, mampu berbagi cara pandang yang sama dengan
klien, ataupun membuat intervensi yang lebih baik dan pantas, tapi tetap
mempertahankan integritas personal.
4. Isu Keefektifan Layanan Konseling
Samuel (2012) yang mengutip pendapat Sue (1978) yang mengetengahkan
bagaimana membuat panduan untuk konseling lintas budaya yang efektif, yang
masih aplikatif hinggga sekarang, antara lain:
a. Konselor mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang
sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima.
b. Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang umum dan
bersifat kultural.
c. Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi
kehidupan para anggota kelompok minoritas.
d. Konselor mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak menanyakan
keabsahannya.
e. Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling. Mereka dapat
menggunakan beragam keahlian konseling dan menerapkan teknik konseling
tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu.
5. Isu Hubungan Konselor-Klien VS Teknik-Teknik Konseling
Konseling multikultural lebih merupakan pengadaptasian teknik-teknik yang
dipakai konselor sesuai dengan latar budaya klien. Sebaliknya para ahli lain lebih
menekankan hubungan konselor-klien, lebih mementingkan apa yang dilakukan
dan yang harus dihindari konselor, dan bagaimana melakukan kegiatan konseling
dalam budaya yang beragam, serta mempertanyakan prinsip-prinsip mana yang
tetap perlu dipertahankan dalam melakukan konseling multikultural.
6. Isu Hubungan Bilateral antara Konselor-Klien
Hubungan konselor dengan klien mengacu pada tingkat proses belajar dalam
konseling yang mempengaruhi konselor maupun klien. Apabila kesenjangan
budaya dalam konseling dapat terjembatani, maka pengalaman subjektif yang
terkomunikasi dalam proses konseling dapat menjadi “jendela” yang dapat
digunakan oleh konselor maupun klien untuk saling “melirik” kebudayaan yang
dianut oleh masing-masing pihak (Jumarin, 2002). Dengan demikian konselor atau
klien dapat saling mempelajari cultural frame of reference yang dianut, sehingga
proses berbagai subjective word antara konselor dan klien. Hal ini tampaknya
agak sulit dilakukan karena dalam proses konseling sebenarnya yang menjadi
pusat perhatian adalah klien dengan segala persoalannya, tujuan-tujuan
hidupnya, dan harapan-harapannya.
7. Isu Dilema Autoplastic-Alloplastic
Konsep autoplastic mengacu pada bagaimana mengakomodasikan seseorang
pada suatu latar dan struktur sosial yang bersifat given (jadi). Konsep alloplastic
mengacu pada pembentukan realita eksternal yang sesuai dengan kebutuhan
individu.Konsep-konsep ini berkaitan dengan tujuan proses konseling, karena
konsep-konsep tersebut berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh konselor
dapat membantu klien beradaptasi dengan realitas yang ada, dan seberapa jauh
konselor dapat mendorong terbentuknya realita yang sama dengan realita yang
ada pada diri konselor. Secara sederhana isu ini menyangkut apakah dalam
konseling multikultural konselor dapat dan perlu mengubah nilai-nilai budaya
klien sesuai dengan nilai konselor atau nilai-nilai budaya lain yang menurut
pertimbangan konselor perlu dilakukan.
Tentu saja jika nilai budaya klien sudah bagus, konselor harus mengikuti
budaya klien, tetapi jika budaya klien bertentangan dengan budaya masyarakat,
atau nilai-nilai yang berlaku, maka cukup beralasan jika konselor berusaha
merubah nilai budaya klien kearah nilai budaya yang lebih baru dan sesuai.
8. Isu perbedaan fisik
Contoh: seorang konselor tetap menerima apa adanya dengan keadaan fisik
klien yang berkulit hitam.
DAFTAR PUSTAKA

Hayat, Abdul. "Makna dan Tantangan Konseling Lintas Budaya." Tarbiyah 1.1
(2011): Januari-Juni.

Masturi, Masturi. "Counselor encapsulation: sebuah tantangan dalam


pelayanan konseling lintas budaya." Jurnal Konseling Gusjigang 1.2 (2015).

Anda mungkin juga menyukai