Anda di halaman 1dari 6

Pertemuan 4

MATERI PERKULIAHAN
“Bersikap Terbuka dalam Perbedaan Budaya”

Multikultural dewasa ini menjadi sangat penting didalam proses konseling.


Dimana multikultural menjadi kekuatan keempat setelah psikodinamika,
behavioristik, humanistic (Pedersen, 2007).Pemahaman akan multibudaya juga sangat
diperlukan bagi seorang konselor dalam melakukan konseling terhadap konseling
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan budaya dalam
konseling pasti akan dijumpai karena hakikat dari individu itu sendiri adalah unik.
Tidak akan sama antara satu individu dengan individu yang lain. Fakta dilapangan
kadangkala banyak ditemui bahwa banyak individu masih bersikap tidak toleran dan
tidak mau melihat seseorang dari sudut pandang yang berbeda, bahkan diantara
individu tersebut salah satunya adalah konselor yang diharapkan membantu
perkembangan konseli berdasarkan nilai –nilai yang ada pada diri konseli, namun
pada kenyataanya masih banyak konselor yang melihat dari sudut pandangnya dan
berdasarkan pada pengalaman pribadinya.

Dalam sesi konseling, kadangkala nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan


konselor cocok dengan nilai-nilai dan keyakinan klien, tetapi seringkali juga
tidak.Jika kita ingin mampu menolong klien yang memiliki nilai-nilai yang berbeda,
kita harus memahami dunia klien dalam konteks system nilai mereka, bukan system
nilai kita. Jika kita tidak bisa menjalankan tugas ini, kita tidak akan bisa melibatkan
diri dengan klien secara empatik, dan apa yang disampaikan klien cenderung
mengganggu, membingungkan, atau menciptakan sekat antara kita dengan klien.
Yang paling parah, kita bisa terlibat perdebatan tentang nilai-nilai moral, bukannya
membantu klien mengurangi kebingungan mereka.Kita tidak memliliki hak untuk
memberlakukan standar nilai-nilai kita terhadap klien. Konselor harus bersikap
terbuka terhadap klien dan mampu bersikap tulus untuk memastikan bahwa
hubungannya tidak dibuat-buat, (Gerald & Gerald: 2011).
Ada banyak kelompok klien yang berbeda-beda yang menyeabkan
pertimbangan-pertimbangan kultural menjadi hal yang penting (Gerald & Gerald:
2011).Klien yang berbeda dengan konselor dari segi budaya tentu saja perbedaan itu
menjadi sumber kekhasan dan keunikan bagi tiap individu.Konselor diharapkan dapat
melihat kekhasan dan keunikan dari tiap individu tersebut dan mampu untuk bersikap
terbuka terhadap perbedaan.Bersikap terbuka dalam perbedaan budaya dalam hal ini
juga bermakna bahwa konselor harus menunjukkan sikap menerima, menghargai
budaya klien/menghargai keunikannya, dan peka terhadap perbedaan budaya.
Konselorharus merasakan semua ini mengalir ke luar/ditujukkan oleh konselor secara
alamiah dari dalam dirinya jika ingin mencapai konseling lintas budaya yang sukses
(Gibson & Mitchell: 2011).Sehingga dengan makna lain dapat disimpulkan bahwa
kualitas konseling bergantung pada kesadaran dan terbukanya konselor akan
perbedaan budaya.

Dalam konseling lintas budaya, terbuka terhadap perbedaan budaya dapat


mencakup pemahaman terhadap bagaimana klien dari latar belakang budaya yang
berbeda-beda mempengaruhinya dalam memandang dunia (Gerald & Gerald: 2011),
berikut disajikan beberapa poin yang dapat mempengaruhi klien dalam memandang
dunia yang tentunya hal tersebut akan mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan
perilaku yakni:

- Persoalan-persoalan individu dan hubungan pergaulan


- Cara mengambil keputusan
- Siapa yang diangggap sebagai penolong natural
- Sikap-sikap keluarga besar
- Gender dan peran gender
- Persepsi terhadap waktu
- Penggunaan bahasa
- Spiritualitas
- Problem fisik dan/atau emosional
Konselor diharapkan untuk tidak melupakan tentang banyaknya pengaruh
terhadap identitas etnis seseorang.Untuk memahami klien sepenuhnya, kita harus
dengan cermat memperhitungkan banyaknya atribut personal yang akan
mempengaruhi banyaknya atribut personal yang akan mempengaruhi keyakinan-
keyakinan dan sikap-sikapnya. Atribut-atribut ini meliputi umur, tahapan
perkembangan hidup, gender, orientasi seksual, pekerjaan, kesehatan, cacat fisik,
posisi dalam keluarga dan orientasi religius.Sering kali ada interaksi yang kompleks
antara atribut-atribut tersebut dan latar beakang etnis seseorang. Rasa kepemilikan
seseorang terhadap identitasnya jelas akan bergantung pada interaksi ini. Sebagai
konselor, kita harus mencoba mendapatkan gambaran keseluruhan dari klien karena
hanya dengan jalan inilah akan dapat melibatkan diri dengannya secara efektif
(Gerald & Gerald: 2011)

Persoalan-persoalan bagi bagi konselor ketika memberikan konseling pada klien


dari kultur yang berbeda

1. sebagaiseorang konselor kita harus mengembangkan cara-cara yang sesuai untuk


membantu tiap-tiap klien secara kultural. Idealnya, kita harus memiliki
pengetahuan tentang kelompok dan kultur tertentu yang menjadi latar belakang
seorang klien. Dalam kasus seperti ini, akan lebih baik jika konselor mendorong
klien untuk mengembangkan cerita mereka agar memasukkan juga informasi-
informasi relevan yang berkenaan dengan mereka. Jika konselor dapat melakukan
ini dengan baik, ia akan mendapatkan lebih banyak pengetahuan mengenai
keluarga, nilai-nilai, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku klien. Selain
itu, konselor juga bisa memperoleh informasi tentang karakteristik-karakteristik
masyarakat asal klien dan potensi-potensi kekuatan di dalamnya serta di dalam
keluarga dalam lingkup masyarakat tersebut yang dapat membantu konselor
memahami klien, terlibat dengan klien, dan memberikan bantuan yang lebih baik
bagi klien (Gerald & Gerald: 2011).
2. sebuah persoalan yang penting dan mengandung kontroversi berkaitan dengan
peran konselor dalam menerima ataupun mempertahanan keyakinan-keyakinan
kultural. Stuart dalam Geldard & Geldard (2011) berpendapat bahwa konselor
yang dapat memandang dunia dari perspektif klien tidak harus selalu menerima
segala hal dalam pandangan klien sebagai sesuatu yang sehat. Menurut Stuart
kadang-kadang bukan problem kalau konselor mencoba mengubah keyakinan-
keyakinan. Misalnya: jika seorang suami percaya bahwa bahwa kulturnya
membolehkannya memukuli istrinya jika tidak menuruti kehendaknya, konselor
berkewajiban untuk berupaya mengubah kepercayaan ini bahkan meskipun istri
klien menerima doktrin ini. Konselor memiliki kewajiban professional untuk
mencegah kekerasan dan ini harus diutamakan di atas penghargaan terrhadap
keragaman kultural. Meski demikian, kehati-hatian harus dijaga ketika
mempertanyakan keyakinan-keyakinan kultural yang bertujuan untuk menjamin
keamanan klien. Maka dari itu, konselor harus sangat berhati-hati ketika mencoba
memahami gambaran seutuhnya dari klien dengan tujuan berusaha semaksimal
mungkin memastikan keamanan klien di masa mendatang (keamanan klien adalah
tujuan utama).
3. Membawa konseli ke budaya baik.
Di dalam masyarakat ada budaya yang bertentangan dengan kebaikan (counter
culture). Misalnya: Di dalam masyarakat tertentu, apabila ada keluarga yang
meninggal, siswa tidak boleh masuk sekolah beberapa hari. Bahkan hewan piaran
meninggal pun ia tidak boleh masuk sekolah. Pada budaya lain, anak-anak sudah
tidak konsentrasi sekolah padahal hari raya masih dua minggu lagi. Ada juga
pesta adat dimana siswa ikut tarian semalaman sehingga pagi hari bangun
terlambat dan tidak sekolah.Ada juga masyarakat yang mengajarkan budaya
kekerasan seperti balas dendam, suka berkelahi, dan bangga pada kekuatan-
kekuatan fisik.Bimbingan dan konseling pada dasarnya juga menanamkan budaya
hidup baik.Oleh karena itu konselor hendaknya membawa murid ke budaya-
budaya yang baik secara universal misalnya mengahrgai waktu produktif,
menghargai perdamaian daripada kekerasan, dan budaya-budaya baik
lainnya.Demikian juga konselor pada daerah yang suka konsumtif misalnya pesta
dengan biaya besar, ditanamkan sikap hidup produktif tapi hemat. Pada
masyarakat yang suka balas dendam perlu ditanamkan budaya mengampuni atau
memaafkan sehingga tidak terjadi kekerasan yang berkepanjangan (Lasan: 2014)
4. Persoalan-persoalan bahasa dan penerjemah
Karena konselor harus bekerja menghadapi kelompok-kelompok etnis yang
berbeda-beda, kita harus memperhatikan penggunaan bahasa kita.Kata-kata dan
frasa-frasa yang kita kenal dengan baik bisa jadi memiliki makna yang berbeda
bagi seseorang dari kultur yang berbeda. Kata bisa saja tidak sadar menggunakan
ungkapan-ungkapan yang berkesan rasis. Untuk meminimalisir kesalahpahaman,
kita harus mencoba berhati-hati terhadap efek bahasa kita terhadap klien dan
menanyakan pada klien jika kita menduga bahwa apa yang telah kita katakan
telah diinterpretasikan dengan makna yang berbeda dari yang kita maksud.
Penggunaan jasa interpreter dalam konseling mungkin dapat dilakukan dan
mungkin saja ini akan sangat membantu. Akan tetapi konselor harus berhati-hati
karena mungkin saja akan menimbulkan beberpa problem. Pertama, klien
mungkin akan merasa tidak nyaman menggungkakan informasi pribadi yang
penting dan relevan kecuali ia bisa merasa nyaman dengan kehadiran si
interpreter dan mempercayainya. Kedua, cukup besar kemungkinannya problem-
problem pribadi si interpreter sendiri dalam beberapa hal mengganggu proses
konseling. Selain itu, ketika problem Jika menggunakan jasa interpreter dalam
sesi konseling
DAFTAR RUJUKAN
Gerald, Kathryn & David Gerald. 2011. Keterampilan Praktik Konseling Pendekatan
Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gladding, Samuel T. 2015.Konseling: Profesi yang Menyeluruh, edisi keenam.
Terjemahan Winarno & Lilian Yuwono. Jakarta: Indeks. 2009.
Gibson, Robert L; Mitchell Marienne H. 2010.Bimbingan dan Konseling.Terjemahan
Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Lasan, Blasius Boli. 2014. Konselor Sekolah: Tinjauan dan Upaya Profesionalisasi.
Malang: Elang Mas
Pedersen, Paul B. (2007). “Ethics, Competence, and Profesional Issues in Cross-
Cultural Counseling” dari:
https://www.sagepub.com/sites/.../15654_Chapter_1.pdf.

Anda mungkin juga menyukai