0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
43 tayangan6 halaman
1. Seorang konselor harus mengembangkan cara-cara yang sesuai untuk membantu tiap klien secara kultural, termasuk mengembangkan pemahaman tentang latar belakang budaya klien.
2. Ada berbagai persoalan yang dihadapi konselor dalam memberikan konseling lintas budaya, seperti memahami keyakinan kultural klien tanpa harus selalu menerimanya, serta memperhatikan penggunaan bahasa dan potensi kesalahpahaman
Deskripsi Asli:
Bagaimana kita bisa terbuka dengan perbedaan kultur dan budaya
Judul Asli
pertemuan ke 4 bersikap terbuka dalam perbedaan budaya
1. Seorang konselor harus mengembangkan cara-cara yang sesuai untuk membantu tiap klien secara kultural, termasuk mengembangkan pemahaman tentang latar belakang budaya klien.
2. Ada berbagai persoalan yang dihadapi konselor dalam memberikan konseling lintas budaya, seperti memahami keyakinan kultural klien tanpa harus selalu menerimanya, serta memperhatikan penggunaan bahasa dan potensi kesalahpahaman
1. Seorang konselor harus mengembangkan cara-cara yang sesuai untuk membantu tiap klien secara kultural, termasuk mengembangkan pemahaman tentang latar belakang budaya klien.
2. Ada berbagai persoalan yang dihadapi konselor dalam memberikan konseling lintas budaya, seperti memahami keyakinan kultural klien tanpa harus selalu menerimanya, serta memperhatikan penggunaan bahasa dan potensi kesalahpahaman
MATERI PERKULIAHAN “Bersikap Terbuka dalam Perbedaan Budaya”
Multikultural dewasa ini menjadi sangat penting didalam proses konseling.
Dimana multikultural menjadi kekuatan keempat setelah psikodinamika, behavioristik, humanistic (Pedersen, 2007).Pemahaman akan multibudaya juga sangat diperlukan bagi seorang konselor dalam melakukan konseling terhadap konseling yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan budaya dalam konseling pasti akan dijumpai karena hakikat dari individu itu sendiri adalah unik. Tidak akan sama antara satu individu dengan individu yang lain. Fakta dilapangan kadangkala banyak ditemui bahwa banyak individu masih bersikap tidak toleran dan tidak mau melihat seseorang dari sudut pandang yang berbeda, bahkan diantara individu tersebut salah satunya adalah konselor yang diharapkan membantu perkembangan konseli berdasarkan nilai –nilai yang ada pada diri konseli, namun pada kenyataanya masih banyak konselor yang melihat dari sudut pandangnya dan berdasarkan pada pengalaman pribadinya.
Dalam sesi konseling, kadangkala nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan
konselor cocok dengan nilai-nilai dan keyakinan klien, tetapi seringkali juga tidak.Jika kita ingin mampu menolong klien yang memiliki nilai-nilai yang berbeda, kita harus memahami dunia klien dalam konteks system nilai mereka, bukan system nilai kita. Jika kita tidak bisa menjalankan tugas ini, kita tidak akan bisa melibatkan diri dengan klien secara empatik, dan apa yang disampaikan klien cenderung mengganggu, membingungkan, atau menciptakan sekat antara kita dengan klien. Yang paling parah, kita bisa terlibat perdebatan tentang nilai-nilai moral, bukannya membantu klien mengurangi kebingungan mereka.Kita tidak memliliki hak untuk memberlakukan standar nilai-nilai kita terhadap klien. Konselor harus bersikap terbuka terhadap klien dan mampu bersikap tulus untuk memastikan bahwa hubungannya tidak dibuat-buat, (Gerald & Gerald: 2011). Ada banyak kelompok klien yang berbeda-beda yang menyeabkan pertimbangan-pertimbangan kultural menjadi hal yang penting (Gerald & Gerald: 2011).Klien yang berbeda dengan konselor dari segi budaya tentu saja perbedaan itu menjadi sumber kekhasan dan keunikan bagi tiap individu.Konselor diharapkan dapat melihat kekhasan dan keunikan dari tiap individu tersebut dan mampu untuk bersikap terbuka terhadap perbedaan.Bersikap terbuka dalam perbedaan budaya dalam hal ini juga bermakna bahwa konselor harus menunjukkan sikap menerima, menghargai budaya klien/menghargai keunikannya, dan peka terhadap perbedaan budaya. Konselorharus merasakan semua ini mengalir ke luar/ditujukkan oleh konselor secara alamiah dari dalam dirinya jika ingin mencapai konseling lintas budaya yang sukses (Gibson & Mitchell: 2011).Sehingga dengan makna lain dapat disimpulkan bahwa kualitas konseling bergantung pada kesadaran dan terbukanya konselor akan perbedaan budaya.
Dalam konseling lintas budaya, terbuka terhadap perbedaan budaya dapat
mencakup pemahaman terhadap bagaimana klien dari latar belakang budaya yang berbeda-beda mempengaruhinya dalam memandang dunia (Gerald & Gerald: 2011), berikut disajikan beberapa poin yang dapat mempengaruhi klien dalam memandang dunia yang tentunya hal tersebut akan mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan perilaku yakni:
- Persoalan-persoalan individu dan hubungan pergaulan
- Cara mengambil keputusan - Siapa yang diangggap sebagai penolong natural - Sikap-sikap keluarga besar - Gender dan peran gender - Persepsi terhadap waktu - Penggunaan bahasa - Spiritualitas - Problem fisik dan/atau emosional Konselor diharapkan untuk tidak melupakan tentang banyaknya pengaruh terhadap identitas etnis seseorang.Untuk memahami klien sepenuhnya, kita harus dengan cermat memperhitungkan banyaknya atribut personal yang akan mempengaruhi banyaknya atribut personal yang akan mempengaruhi keyakinan- keyakinan dan sikap-sikapnya. Atribut-atribut ini meliputi umur, tahapan perkembangan hidup, gender, orientasi seksual, pekerjaan, kesehatan, cacat fisik, posisi dalam keluarga dan orientasi religius.Sering kali ada interaksi yang kompleks antara atribut-atribut tersebut dan latar beakang etnis seseorang. Rasa kepemilikan seseorang terhadap identitasnya jelas akan bergantung pada interaksi ini. Sebagai konselor, kita harus mencoba mendapatkan gambaran keseluruhan dari klien karena hanya dengan jalan inilah akan dapat melibatkan diri dengannya secara efektif (Gerald & Gerald: 2011)
Persoalan-persoalan bagi bagi konselor ketika memberikan konseling pada klien
dari kultur yang berbeda
1. sebagaiseorang konselor kita harus mengembangkan cara-cara yang sesuai untuk
membantu tiap-tiap klien secara kultural. Idealnya, kita harus memiliki pengetahuan tentang kelompok dan kultur tertentu yang menjadi latar belakang seorang klien. Dalam kasus seperti ini, akan lebih baik jika konselor mendorong klien untuk mengembangkan cerita mereka agar memasukkan juga informasi- informasi relevan yang berkenaan dengan mereka. Jika konselor dapat melakukan ini dengan baik, ia akan mendapatkan lebih banyak pengetahuan mengenai keluarga, nilai-nilai, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku klien. Selain itu, konselor juga bisa memperoleh informasi tentang karakteristik-karakteristik masyarakat asal klien dan potensi-potensi kekuatan di dalamnya serta di dalam keluarga dalam lingkup masyarakat tersebut yang dapat membantu konselor memahami klien, terlibat dengan klien, dan memberikan bantuan yang lebih baik bagi klien (Gerald & Gerald: 2011). 2. sebuah persoalan yang penting dan mengandung kontroversi berkaitan dengan peran konselor dalam menerima ataupun mempertahanan keyakinan-keyakinan kultural. Stuart dalam Geldard & Geldard (2011) berpendapat bahwa konselor yang dapat memandang dunia dari perspektif klien tidak harus selalu menerima segala hal dalam pandangan klien sebagai sesuatu yang sehat. Menurut Stuart kadang-kadang bukan problem kalau konselor mencoba mengubah keyakinan- keyakinan. Misalnya: jika seorang suami percaya bahwa bahwa kulturnya membolehkannya memukuli istrinya jika tidak menuruti kehendaknya, konselor berkewajiban untuk berupaya mengubah kepercayaan ini bahkan meskipun istri klien menerima doktrin ini. Konselor memiliki kewajiban professional untuk mencegah kekerasan dan ini harus diutamakan di atas penghargaan terrhadap keragaman kultural. Meski demikian, kehati-hatian harus dijaga ketika mempertanyakan keyakinan-keyakinan kultural yang bertujuan untuk menjamin keamanan klien. Maka dari itu, konselor harus sangat berhati-hati ketika mencoba memahami gambaran seutuhnya dari klien dengan tujuan berusaha semaksimal mungkin memastikan keamanan klien di masa mendatang (keamanan klien adalah tujuan utama). 3. Membawa konseli ke budaya baik. Di dalam masyarakat ada budaya yang bertentangan dengan kebaikan (counter culture). Misalnya: Di dalam masyarakat tertentu, apabila ada keluarga yang meninggal, siswa tidak boleh masuk sekolah beberapa hari. Bahkan hewan piaran meninggal pun ia tidak boleh masuk sekolah. Pada budaya lain, anak-anak sudah tidak konsentrasi sekolah padahal hari raya masih dua minggu lagi. Ada juga pesta adat dimana siswa ikut tarian semalaman sehingga pagi hari bangun terlambat dan tidak sekolah.Ada juga masyarakat yang mengajarkan budaya kekerasan seperti balas dendam, suka berkelahi, dan bangga pada kekuatan- kekuatan fisik.Bimbingan dan konseling pada dasarnya juga menanamkan budaya hidup baik.Oleh karena itu konselor hendaknya membawa murid ke budaya- budaya yang baik secara universal misalnya mengahrgai waktu produktif, menghargai perdamaian daripada kekerasan, dan budaya-budaya baik lainnya.Demikian juga konselor pada daerah yang suka konsumtif misalnya pesta dengan biaya besar, ditanamkan sikap hidup produktif tapi hemat. Pada masyarakat yang suka balas dendam perlu ditanamkan budaya mengampuni atau memaafkan sehingga tidak terjadi kekerasan yang berkepanjangan (Lasan: 2014) 4. Persoalan-persoalan bahasa dan penerjemah Karena konselor harus bekerja menghadapi kelompok-kelompok etnis yang berbeda-beda, kita harus memperhatikan penggunaan bahasa kita.Kata-kata dan frasa-frasa yang kita kenal dengan baik bisa jadi memiliki makna yang berbeda bagi seseorang dari kultur yang berbeda. Kata bisa saja tidak sadar menggunakan ungkapan-ungkapan yang berkesan rasis. Untuk meminimalisir kesalahpahaman, kita harus mencoba berhati-hati terhadap efek bahasa kita terhadap klien dan menanyakan pada klien jika kita menduga bahwa apa yang telah kita katakan telah diinterpretasikan dengan makna yang berbeda dari yang kita maksud. Penggunaan jasa interpreter dalam konseling mungkin dapat dilakukan dan mungkin saja ini akan sangat membantu. Akan tetapi konselor harus berhati-hati karena mungkin saja akan menimbulkan beberpa problem. Pertama, klien mungkin akan merasa tidak nyaman menggungkakan informasi pribadi yang penting dan relevan kecuali ia bisa merasa nyaman dengan kehadiran si interpreter dan mempercayainya. Kedua, cukup besar kemungkinannya problem- problem pribadi si interpreter sendiri dalam beberapa hal mengganggu proses konseling. Selain itu, ketika problem Jika menggunakan jasa interpreter dalam sesi konseling DAFTAR RUJUKAN Gerald, Kathryn & David Gerald. 2011. Keterampilan Praktik Konseling Pendekatan Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gladding, Samuel T. 2015.Konseling: Profesi yang Menyeluruh, edisi keenam. Terjemahan Winarno & Lilian Yuwono. Jakarta: Indeks. 2009. Gibson, Robert L; Mitchell Marienne H. 2010.Bimbingan dan Konseling.Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Lasan, Blasius Boli. 2014. Konselor Sekolah: Tinjauan dan Upaya Profesionalisasi. Malang: Elang Mas Pedersen, Paul B. (2007). “Ethics, Competence, and Profesional Issues in Cross- Cultural Counseling” dari: https://www.sagepub.com/sites/.../15654_Chapter_1.pdf.