Oleh:
Dosen Pengampu
Pujidan syukur kitaucapkan kehadirat Allah SWTyang telah memberikan rahmatdan karunia-
Nya kepada kita semua. Alhamdulillah, pada pertemuan keempat mata kuliah Konseling
Berbasis Budaya,kami dari Kelompok 4 bertanggung jawab untuk mempresentasikan
makalah ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurah bagi junjungan kitaNabi Muhammad
SAW, yang kita nanti syafaatnya di dunia dan di yaumul qiyamah nanti.Aamiin
Selanjutnya, ucapan terimakasih banyak kepada ibu dosen pengampu mata kuliah
Konseling Berbasis Budaya :Dr.Silvianetri,M.Pd.,Kons atas dukungan dan arahannya
sehinngga selesainya makalah ini. Tidak lupa ucapan terimakasih untuk partisipasi anggota
kelompok yang telah bekerja sama untuk menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Semoga makalah ini, dapat menjadi informasi yang bermanfaat dan semoga menjadi amal
ibadah bagi kitasemua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah pada makalah ini
adalah :
1. Bagaimana konsep dasar emosi
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi emosi
3. Bagaimana keterkaitan budaya dan ekspresi emosi
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Menguasai konsep dasar emosi
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi emosi
3. Menganalisis keterkaitan budaya dan ekspresi emosi
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Emosi adalah perasaan subjektif dan diasosiasikan dengan serangkaian perilaku
tampak tertentu, seperti senyum, muka merah, dan gemeretak rahang yang dihubungkan
dengan respon fisik pheripheral semacam debaran jantung, berkeringat, atau gangguan
pencernaan. Sehingga dapat diketahui bahwa emosi sebagai perasaan mendalam diikuti
adanya perubahan elemen kognitif maupun fisik, dan mempengaruhi perilaku
(Dayakisni & Yuniardi, 2012).
Emosi seseorang menurut Mappiare dalam Shokhiyah (2013) sudah ada dan
berkembang semenjak lahir dan dipengaruhi oleh lingkungan. Timbulnya emosi
merupakan produk pengamatan dari pengalaman individu secara unik dengan benda-
benda fisik lingkungannya, dan orang lain dalam keluarga, serta pergaulan sosial yang
lebih luas. Sebagai produk dari lingkungan yang juga berkembang, maka emosi juga
turut berkembang.
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah
reaksi seseorang terhadap berbagai bentuk rangsangan yang menjadi dorongan dalam
bertindak. Reaksi-reaksi tersebut ditampilkan dalam banyak ekspresi seperti tertawa,
menangis, takut, dan reaksi lainnya. Emosi sudah ada semenjak manusia lahir dan
berkembang sejak seseorang bergaul dengan lingkungannya dan akan terus berkembang
sesuai perkembangan manusia dan lingkungan.
Emosi memegang kunci keberhasilan manusia. Manusia boleh fokus pada
pengembangan intelektualitas dan pikiran kritis: inovasi-teknologi, argumentasi teori
dan politik, prestasi karir-finansial, namun emosi itulah yang memberi insight dan
memegang kunci yang menjadikan semua itu terjadi. Emosi jugalah yang membedakan
manusia dengan ciptaan-Nya. Komputer maupun mesin boleh memiliki kecerdasan dan
kekuatan yang melebihi manusia, namun tetaplah mereka tidak memiliki emosi dan
hanyalah sebuah benda massif yang mati.
2. Bentuk-bentuk Emosi
Pada dasarnya emosi dibedakan menjadi dua, yaitu emosi positif dan emosi
negatif. Emosi positif adalah emosi yang menyenangkan seperti bahagia, senang,
kejutan (surprise). Sebaliknya, emosi negatif adalah emosi yang tidak menyenangkan
yaitu sedih, marah, danperasaan bersalah. Bentuk emosi ini disebut emosi universal,
yaitu emosi yang dialami oleh semua orang dengan cara yang sama dengan anteseden
emosi yang sama pula pada seluruh budaya. Enam ekspresi universal yaitu marah, jijik,
3
takut, bahagia, sedih, terkejut, dan penghinaan, pada dasarnya dialami oleh setiap
manusia di seluruh budaya.(Asri dan Chusniah, 2016).
3. Fungsi Emosi
Emosi memiliki beberapa fungsi yaitu:
a. Membantu mempersiapkan tindakan (preparing us for action).
Emosi bertindak sebagai penghubung antara peritiwa eksternal di lingkungan dengan
respon perilaku individu. Sebagai contoh, apabila kita bertemu seekor anjing yang
kelihatan sedang marah maka reaksi emosi (rasa takut) akan menyiapkan kita pada
sebuah tindakan darurat yaitu lari secepat mungkin.
b. Membentuk perilaku akan datang (shaping our future behavior).
Emosi membantu kita menyediakan simpanan respon untuk perilaku di masa yang
akan datang. Sebagai contoh, respon emosional yang diambil seseorang ketika
dikejar anjing (takut hingga degup jantung bertambah cepat) memberi tahu orang
tersebut untuk menghindar tempat atau situasi yang serupa di masa yang akan
datang.
c. Membantu kita untuk mengatur interaksi sosial (helping us to regulate social
interaction).
Emosi yang diekspresikan menjadi sinyal dan membantu kita dalam
berinteraksi,khususnya begaimana seharusnya perilaku kita ataupun sebaliknya.
4
Sebagai contoh, ketika kita bertemu teman yang sedang tampak sedih tanpa kita
mengetahui sebabnya, namun ekspresi sedihnya memberitahu kita bahwasanya
sebaiknya kita jangan mengajaknya untuk bergurau (Ristianti, 2015).
Dari beberapa fungsi emosi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa emosi memberitahukan sesuatu yang penting tentang hubungan kita
kepada stimulus yang menimbulkan emosi, membantu mempersiapkan tubuh untuk
melakukan tindakan, dan memiliki makna sosial yang penting. Sehingga dapat
dikatakan bahwa emosi dapat membantu kita menyelesaikan kompleksitas masalah
sosial yang terjadi dikarenakan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri sangat
kompleks.
5
B. Keterkaitan Budaya Dan Ekspresi Emosi
Meskipun setiap manusia memulai dengan dasar emosi yang sama, namun budaya
turut mempengaruhi sejumlah aspek emosi itu sendiri. Emosi merupakan hasil manifestasi
dari keadaan fisiologis dan kognitif manusia, juga merupakan cermin dari pengaruh kultur
budaya dan sistem sosial. Kultur dan sistem sosial tempat individu tinggal dan menetap
akan membatasi dan mengatur kepada siapa, kapan dan dimana saja seseorang boleh
memperlihatkan dan merahasiakan emosi-emosi tertentu, serta dengan cara seperti apa
emosi tersebut akan dimunculkan melalui perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Hal itu
akan dipelajari oleh individu sebagai nilai-nilai dalam budaya di lingkungan sosial yang
ditinggali (Barrett & Fossum, Ekman, Berry dalam Kurniawan dan Hasanat, 2015).
Walaupun fakta mengatakan bahwa ekspresi wajah dari emosi bersifat universal,
namun banyak dari kita memiliki pengalaman yang tidak tentu mengenai bagaimana
menginterpretasi ekspresi seseorang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
Menurut Ekman dalam Matsumoto yang dikutip oleh Chudari (2013) mengatakan bahwa
masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi
universal tersebut diekspresikan. Aturan ini pada intinya mengatur kecocokan kapan
ditampilkannya masing-masing emosi tersebut, tergantung pada situasi sosial, dan ini yang
disebut “cultural display rules” (aturan pengungkapan kultural).
Matsumoto (Chudari, 2013) menyimpulkan bahwa meskipun ekspresi wajah
universal secara biologis bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada semua orang,
budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan pengungkapan
yang dipelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar manusia pada
hakekatnya bersifat sosial, orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat,
dan memang mengekspresikan emosi secara berbeda.
Senyum adalah tanda umum dari ucapan, pengakuan, atau penerimaan. Senyuman
dapat diartikan bermacam-macam. Senyum dapat digunakan untuk menutupi emosi dan
masing-masing budaya memiliki perbedaan dalam menggunakan senyuman. Misalnya
ketika individu sedang mengalami kegelisahan atau kesedihan, maka ketika sedang
berkomunikasi sedikit mungkin akan menyembunyikan perasaan aslinya dengan tetap
menampilkan senyum. Matsumoto dan Kudoh (dalam Matsumoto & Juang, 2013)
memperoleh tingkat perbandingan senyum dan non senyum (netral) pada orang Jepang
dan orang Amerika berkaitan dengan kecerdasan, daya tarik, dan sosialisasi. Wajah
tersenyum Amerika dinilai lebih cerdas daripada wajah netral orang Jepang. Orang
Amerika dan Jepang keduanya diketahui memiliki wajah tersenyum yang lebih ramah
6
daripada wajah netral, tetapi perbedaannya lebih besar pada orang Amerika. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa display rules menyebabkan orang Jepang dan orang Amerika
memiliki atribut yang berbeda dalam tersenyum, dan berfungsi sebagai penjelasan yang
baik untuk merasakan perbedaan besar dalam gaya komunikasi di lintas budaya (Budiono,
L.A & Masing.M)
Penelitian yang dilakukan oleh Lusiana (2010) mengenai konsep malu dan bersalah
pada orang Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa munculnya emosi malu dan
bersalah pada orang Jepang terjadi dalam konteks sosial, dalam pengertian selalu
melibatkan orang lain. Orang Jepang memiliki kedekatan emosional di mana individu
menjadi bagian dari anggotanya, dan memiliki ikatan emosional di antara anggota.
Kedekatan emosional pada budaya Jepang disebut dengan uchi. Setiap individu memiliki
uchi-nya sendiri, tergantung pada kelompok mana ia menjadi anggota atau kuat tidaknya
ikatan emosional. Pada individu berlatarbelakang budaya Jepang, perasaan malu muncul
pada saat orang lain mengevaluasi diri kita. Di sini terlihat bagaimana pengaruh kelompok
sosial dalam membentuk perilaku individu tersebut dan masyarakat Jepang menyenangi
berkehidupan sebagai sebuah kelompok.
Penelitian mengenai emosi pada beberapa budaya di Indonesia dilakukan oleh
Minauli, Desriani, dan Tuapattinaya (2006) yang meneliti tentang perbedaan penanganan
kemarahan pada situasi konflik dalam keluarga suku Jawa, Batak, dan Minangkabau. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan perempuan, laki-laki lebih tenang
dalam menangani kemarahan dalam situasi konflik dalam keluarga suku Jawa, Batak, dan
Minangkabau. Laki-laki suku Minangkabau memiliki rasio tenang yang paling tinggi
dibandingkan dua suku lainnya, disusul dengan suku Jawa dan suku Batak. Demikian
pulaperempuan suku Minangkabau ternyata lebih tenang kemudian disusul perempuan
suku Batak dan suku Jawa.
Tiap budaya mengajarkan bagaimana emosi itu diungkapkan dari ekspresi wajah
yang tentunya memiliki perbedaan di tiap daerah, misalnya ialah di daerah yang memang
sudah terbiasa dengan kekerasan bahkan peperangan, ia terbiasa menampilkan emosi
dengan wajah yang garang dan ancaman yang dapat pula menimbulkan emosi pada
lawannya (Suciati, 2014). Ada pula budaya yang mengajarkan dengan kelembutan seperti
menangani emosi dengan sabar dan tidak mendahulukan ego, yakni dengan
mengutamakan penyelesaian terlebih dahulu disbanding mengungkapkan ekspresi yang
akan merusak diri sendiri, budaya tersebut umumnya dipelajari dari orang orang dewasa di
sekitarnya (Kurniawan & Hasanat, 2017). Seorang anak sering melihat bagaimana orang
7
tua atau gurunya mengeluarkan emosi atau menampilkan ekspresi wajah, hal itulah yang
akan menjadi gambaran pembenaran untuknya mengenai bagaimana ia harus berekspresi
ketika sedang emosi karena terbiasa dengan apa yang dicontohkan sejak bayi. Pada saat
emosi, terjadi perubahan pada tubuh misalnya Reaksi elektris pada kulit: mengingat bila
terpesona, Peredaran darah: bertambah cepat bila marah, Denyut jantung: bertambah cepat
bila terkejut, Pernafasan: bernaas panjang kalau kecewa, Upil mata: membesar bila sakit
atau marah, Liur: mengering atau takut atau tegang.
Penelitian Suciati R dan Agung I.M mengemukakan bahwa ada beberapa
perbedaan ekspresi dalam beberapa suku bangsa yang berbeda budayanya. Contohnya
suku Batak terkenal dengan keterbukaan, spontanitas dan keagresifan baik secara fisik
maupun verbal. Sedangkan orang Jawa cendrung lebih memendam ekspresi marahnya.
Orang Mingangkabau lebih ekspresif dalam menunjukkan emosinya. Orang melayu lebih
nertrall dalam mengungkapkan emosinya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh sosio
kultural dalam mengatur kapan, dimana dan bagaimana emosi diungkapkan.
Di berbagai budaya sudah dipelajari bagaimana seseorang boleh menampilkan
emosi di hadapan orang lain, ada emosi yang boleh ditampilkan dengan ekspresi wajah
tertentu, kata kata tertentu, atau tindakan tertentu, namun ada pula budaya yang
mengajarkan utnuk mengungkapkan emosi dengan kesabaran dan lebih memilih untuk
diam atau penyelesaian secara baik baik. Aturan dalam budaya ini umumnya juga
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut, misalnya budaya jawa yang kental dengan islam
akan cenderung lebih mampu menahan emosi dan menenangkan diri dnegan jalan
memperbanyak ibadah atau dengan berdoa, begitu pula dengan budaya yang kental dengan
agama lain, ada yang mengajarkan untuk mengungkapkan emosi dengan diam atau dengan
menyepi menenangkan diri (Yogi, 2020). Tentunya budaya yang diajarkan tersebut akan
menjadi karakter seseorang dan menjadi kebiasannya hingga ia dewasa, sebab itu aturan
pengungkapan kultural yang berhubungan dengan emosi ini akan menjadikan seseorang
memiliki pandangan khusus dan cara yang berbeda dalam menyampaikan emosi yang
dirasa sesuai dengan apa yang diajarkan pada budayanya.
Budaya dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap emosi, hal itu akan
menentukan tingkah laku seseorang mengenai penerimaan atau penolakan yang akhirnya
akan menjadikan emosi yang negative atau emosi yang positif, misalnya ialah budaya di
jaman dahulu dimana perempuan diwajibkan terus menerus di dalam rumah, tidak
diperbolehkan untuk bisa membaca, dan tidak diperbolehkan melawan lelaki. Menurut
(Wijaya, 2016) mengatakan bahwa Budaya tersebut akhirnya menimbulkan rasa
8
pertentangan dan menimbulkan luapan emosi hingga budaya tersebut mulai dihilangkan
dengan emansipasi dan kini menjadi lebih terbuka, setiap lelaki dan wanita berhak
menyampaikan emosi dengan cara yang benar dan cara yang sama, perempuan tidak
menjadi sosok yang selalu di bawah dan sosok yang selalu menurut. Perubahan persepsi
emosi karena budaya tersebut pun menimbulkan dampak positif dan negative, dampak
positifnya perempuan emnjadi lebih berkembang, namun memiliki dampak negative pula
yaitu banyaknya perempuan yang tidak bisa menjaga emosinya dan bahkan terlihat lebih
besar dari emosi yang dimiliki lelaki (Zuchdi, 1995). tentunya hal itu dapat diambil
pelajaran bahwa setiap budaya selalu memiliki hal positif dan wajib dianut serta
dikembangkan hal yang menjadi alasan kebaikan tersebut.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang diuraikan di atas, dalam pandangan ini,
budaya membentuk emosi karena budaya yang berbeda memiliki realitas yang berbeda
pula dan mereka menghasilkan perbedaan kebiasaan dalam mengalami emosi. Penelitian
lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya difokuskan pada ekspresi wajah,
karena ekspresi wajah mudah diihat.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emosi merupakan sebuah kesatuan mental dan fisik yang dibangun oleh berbagai
variasi perasaan, pikiran, dan tingkah laku yang menentukan kepekaan subjektif yang
mendorong dan mengontrol gagasan serta kecenderungan untuk bertindak dalam berbagai
aktivitas manusia. Emosi jarang diungkap melalui kata-kata, namun lebih sering diungkap
melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca
pesan nonverbal, yang meliputi nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.
Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi
motivator bagi perilaku. Orang dari budaya yang berbeda, juga berbeda dalam
mengkategorikan atau melabeli emosi. Kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada
bagaimana orang mengalami emosi. Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting
dalam membentuk emosi manusia
Perbedaan budaya memainkan peran dalam mempersepsikan emosi sehingga
berpengaruh terhadap bagaimana individu dalam mengekspresikan emosi tersebut.
Sekalipun beberapa ekspresi emosi universal pada semua budaya, namun beberapa
penelitian studi lintas budaya yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa situasi atau
peristiwa yang sama tidak akan selalu memicu emosi yang sama pada individu di seluruh
kebudayaan, sehingga perbedaan budaya akan menimbulkan perbedaan dalam ekspresi
emosi.
B. Saran
Semoga dengan hadirnya makalah ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca
tentang emosi dan budaya serta keterkaitan antara kedua hal tersebut. Penulis yakin
makalah ini jauh dari kesempurnaan, semoga untu pembahasan yang berikutnya akan lebih
maksimal lagi
10
Daftar Pustaka
Asril, Dahlia Novarianing dan Chusniah, Tutut. (2016).Prosiding Seminas Nasional
Psikologi Indigenous Indonesia. Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu
Sosial dalam Masyarakat, Universitas Negeri Malang.
Budiono, L.A dan Masing M. (2022). Innovative : Emosi dalam Perspektif Lintas Budaya 2
(1) 579-584
Chudari, Ima Ni’mah. (2013). Perbandingan Ekspresi Emosi pada Mahasiswa. Jurnal Ta’dib,
Volume 16, No. 2.
Kurniawan, A. P., & Hasanat, N. U. (2015). Perbedaan ekspresi emosi pada beberapa tingkat
generasi suku Jawa di Yogyakarta. Jurnal Psikologi, 34(1), 1-17.
Matsumoto, D., & Juang, L. (2013). Culture and Psychology (5th ed). Belmont: Cengage
Learning.
Minauli, I., Desriani, N., & Tuapattinaya, Y.MR. (2006). Perbedaan penanganan kemaraham
pada situasi konflik dalam keluarga suku Jawa, Batak, dan Minangkabau. Psikologia,
2(1), 1-6.
Sarwono, Sarlito W. (2016). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Shokhiyah Nur Nunuk, 2013, Melukis Sebagai Media Pembentukan Kecerdasan Emosional
Remaja, Jurnal Brikolase. Vol. 5, No. 1,ISSN : 2087-0795.
Suciati, R. (2014). Perbedaan Eksresi Emosi pada Orang Batak, Jawa Melayu dan
Minagkabau. Socio Humanistic, 3(2), 1–46.
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127
11