Anda di halaman 1dari 14

CULTURE SHOCK

BUDAYA INGGRIS VS BUDAYA INDONESIA

DOSEN PENGAMPU : Drs. Khairul Fuad, M.A.

OLEH :

MUTIARA NURUL RAHMADIANI

203503516039

MATA KULIAH PENGANTAR ILMU SOSIOLOGI

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NASIONAL
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyesuaian sosial menurut Schneiders (dalam Susilowati, 2013) adalah kemampuan individu
untuk berinteraksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan serta kenyataan sosial yang ada,
sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan. Chaplin (dalam Susilowati,
2013) mengartikan penyesuaian sosial sebagai suatu perjalinan secara harmonis suatu relasi
dengan lingkungan sosial, serta mempelajari tingkah laku atau mengubah kebiasaan yang ada
sedemikian rupa sehingga cocok bagi suatu masyarakat sosial.

Dalam sebuah penelitian Oberg (1960, hlm.142) tentang Culture Shock: Adjustment to New
Cultural Environments menyebutkan bahwa gegar budaya muncul karena kecemasan sebagai
dampak dari hilangnya semua tanda dan lambang yang sudah lazim dalam hubungan keseharian.

Culture shock dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain makanan, tipe pakaian, tingkat
ekonomi, tipe perilaku, bahasa, standar kehidupan umum, sikap terhadap agama yang dianut,
topik percakapan, dan jumlah orang yang dikenal dalam lingkungan sehari-hari.

Littlejohn, menulis jurnal dan menyatakan bahwa culture shock adalah fenomena yang wajar
terjadi pada seseorang yang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Gegar budaya
dianggap tantangan di era globalisasi seperti sekarang, yang mana banyak budaya masuk dan
bertemu dengan budaya lain. seseorang yang mengalami culture shock akan berada di dalam
kondisi tidak nyaman secara fisik maupun emosional.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pengertian culture shock dan reverse culture shock

1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya culture shock

1.2.3 Membandingkan aspek culture shock dengan contoh dari kedua budaya budaya

1.2.4 Menjelaskan model cultural adjustment untuk mengatasi masalah culture shoc
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Culture Shock

Di Indonesia culture shock dikenal dengan gegar budaya, dimana seseorang, mengalami
kegelisahan yang diakibatkan oleh perbedaan nilai kebudayaan baru yang tidak sesuai dengan
keadaan atau pola dari kebudayaan yang telah ia kenal sejak lama contohnya seperti ketika kita
berada di negara asing. Bowlby (dalam Dayakisni, 2008) bahwa kondisi ini sama seperti kondisi
seseorang yang kesedihan, berduka cita atau kehilangan.

Istilah culture shock pertama kali dikenalkan oleh tokoh antropologis Oberg. Menurut Oberg,
culture shock diartikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan
semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu
satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon.

Bochner (Furnharm dan Bochner, 2003) telah mengungkapkan juga bahwa reaksi yang akan
muncul adalah perasaan yang tidak nyaman berada di lingkungan yang tidak dikenali. Jika
individu secara terus-menerus mengembangkan perasaan ini dan tidak beradaptasi terhadap
lingkungan barunya, maka individu akan mengalami stress.

Hammersley dan Atkinson (dalam Rianty & Pujiriyani, 2010) mengungkapkan gegar budaya
biasanya akan muncul ketika hari-hari pertama saat individu tersebut dating ke lingkungan
barunya. Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, banyak konsep tentang Culture Shock untuk
memperluas definisi ini. Menurut Adler (dalam Abbasian and Sharifi, 2013) mengemukakan
bahwa Culture Shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga
dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak
berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan di tipu, dilukai ataupun diacuhkan. Culture Shock
merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh 16 terjadinya disorientasi pada
kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011).

Dalam International Journal of Humanities and Social Science, terdapat penelitian mengenai
Academic and Social Adjustment of Arab Fullbright Student in American Universities, dimana
hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa berpindahnya siswa Arab dari negara aslinya ke
Amerika membuat mereka mengalami berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya
perbedaan bahasa, budaya, dan nilai yang mereka percaya, sehingga membuat mereka
mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial (Al-Hattami & Al-Ahdal, 2014).
Perbedaan budaya yang terjadi, menurut Xia (2009)dapat menyebabkan terjadinya gegar budaya,
dengan gejala yang ditimbulkan adalah perasaan tak biasa yang dapat berdampak menjadi stress
psikologis, seperti depresi, timbulnya kecemasan dan perasaan tak berdaya.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Novianti, dkk di Yogyakarta pada mahasiswa Program
Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedoktaran UGM yang berasal dari Banjarnegara (Jawa
Tengah), Cirebon dan Serang (Jawa Barat), Batu Sangkar (Sumatera Barat), Sintang (Kalimantan
Barat), dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur) menunjukkan bahwa responden yang berasal
dari daerah yang paling jauh memiliki peluang lebih besar untuk mengalami gegar budaya.
Responden yang berasal dari Sumba Timur memiliki skor gegar budaya yang tertinggi
dibandingkan dengan responden yang berasal dari Cirebon. Keadaan tersebut terjadi karena
secara area budaya, Cirebon masih termasuk dalam kebudayaan Jawa, karena masyarakatnya
masih menggunakan budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari (Novianti dkk, 2009).

Hasil survey dan wawancara menunjukan bahwa siswa Papua kurang mampu untuk memenuhi
aspek-aspek penyesuaian sosial seperti yang diungkapkan oleh Runyon dan Haber (dalam
Supriyadi dan Artha, 2013), mereka kurang mampu mengubah persepsi mereka sesuai dengan
realitas kehidupan yang dijalani saat ini, mereka masih ingin budaya aslinya dijalankan di
Magelang. Kemampuan mereka dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupannya
pun tidak berlangsung dengan baik, dua siswa Papua yang peneliti wawancara mengungkapkan
bahwa banyak teman mereka yang terpaksa dipulangkan karena mengalami masalah selama di
Magelang bahkan sampai jatuh sakit. Salah satu subyek yang peneliti wawancara sempat jatuh
sakit dan sempat dipulangkan ke Papua untuk proses penyembuhan.

Selain itu, kemampuan mengelola emosi dari Siswa Papua di Magelang juga kurang baik, kedua
subyek mengungkapkan bahwa ketika mereka kesal mereka akan mengeluarkan emosi dengan
kemarahan dan teriakan. Bahkan salah satu subyek mengungkapkan bahwa dirinya pernah
terlibat suatu kesalahpahaman dengan pengurus asrama, karena kesalahpahaman tersebut dia
sempat “kabur” selama satu minggu dari asrama. Hubungan interpersonalnya dengan siswa
Magelang pun tergolong kurang harmonis karena siswa Papua masih merasa kurang nyaman
ketika menjalin pertemanan dengan siswa Magelang karena perbedaan bahasa yang terjadi.
Berdasarkan pendalaman peneliti terhadap permasalahan yang terjadi, hal tersebut dapat terjadi
karena para siswa Papua perantau ini merasa bingung terhadap perbedaan-perbedaan yang
terjadi, sehingga siswa Papua sulit untuk memenuhi aspekaspek yang diperlukan dalam
melakukan penyesuaian sosial terhadap lingkungan barunya.

Siswa Papua merantau ke Magelang mereka memiliki harapan untuk dapat mengenyam
pendidikan dan lulus dengan hasil yang memuaskan di Magelang. Dalam proses pelaksanaannya,
harapan siswa Papua tidak berjalan dengan baik, karena siswa Papua mengalami kesulitan dalam
penyesusaian sosial di Magelang, akibat dari kekagetan budaya yang terjadi, sehingga banyak
siswa yang tidak berhasil menempuh pendidikannya karena sakit dan harus dipulangkan ke
Papua. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah ada pengaruh gegar budaya terhadap
penyesuaian sosial, sehingga peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Hubungan
Gegar Budaya dengan Penyesuaian Sosial Siswa Papua”.

Bentuk-bentuk culture shock :

- The honeymoon phase

Tahapan ini adalah tahapan yang hampir selalu terjadi pada saat pertama kali baru sampai di
lokasi. Awalnya kita akan merasa bahagia setibanya di negara yang baru, apalagi yang belum
pernah dikunjungi sebelumnya. Seperti orang yang sedang honeymoon, semuanya serba indah
dan menyenangkan.

- The crisis or negotiation phase

Fase ini adalah fase dimana kita akan mulai merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar.
Pelan-pelan kita mulai merasa kangen dan tidak cocok, misalnya makanannya, logat yang susah
dimengerti, ataupun bahasanya yang membuat kita merasa terasing dan kesepian. Namun, kita
akan segera melaluinya dan menikmati segala sesuatunya kemudian jika mampu menyesuaikan
diri dengan baik. Biasanya bagi pelajar, pengalaman yang dirasakan pada fase ini adalah
kecemasan karena perbedaan budaya. Disini kita mulai mengalami yang sering disebut
denganhomesick.
- The adjustment phase

Disini kita sudah mulai bisa berinteraksi dengan baik dengan lingkungan di negara baru. Fase ini
biasanya dimulai setelah 5-6 bulan. Semua akan mulai terasa lebih “normal” karena mulai bisa
menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Bahkan setelah memasuki tahap ini kita merasa seperti
warga lokal karena lebih bisa menyatu dengan lingkungan, tidak lagi merasa berbeda dengan
orang-orang di sekitar.

- Bi-cultural atau mastery phase

Pada tahapan ini kita telah merasa sangat nyaman dengan kehidupan. Hal ini sangat bagus karena
berarti kita telah mampu beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Kita berhasil
melewati suatu seleksi alam kecil. Namun, alangkah baiknya jika adaptasi kita tidak melupakan
kebudayaan tanah air kita, sehingga tetap membawa ciri khas budaya sendiri dengan bangga.
Tentunya harus ada keseimbangan antara memahami dan menerima kebudayaan lain tanpa
meninggalkan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

 Reserve Culture Shock

Guncangan budaya terbalik (reserve culture shock), yaitu tekanan emisional dan psikologi yang
diderita oleh seseorang, fenomena ini terjadi ketika individu kembali ke lingkungan asalnya
setelah beberapa lama berada di daerah asing. Reserve culture shock ini dapat mengakibatkan
kesulitan dalam menyesuaikan diri atau beradaptasi ulang dengan budaya yang ada di negara
asal.

Reserve culture shock ini merupakan sebuah proses penyesuaian, reakulturasi, dan berasimilasi
kembali dengan budaya asal (rumah sendiri) setelah hidup dal;am budaya lain untuk waktu yang
tidak sebentar. Para pendatang ini mengalamani peristiwa masuk kembali ini debgan cara yang
berbeda, beberapaindividu mungkin mengalami sedikit, jika ada, efek dari masuk kembali,
sementara yang lain tampaknyamemiliki masalah mulai dari beberapa bulan sampai satu tahun
atau lebih (Adler, 1981;Carlisle-Frank, 1992).
- Contoh dari Riverse Culture Shock

Ketika seorang pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri, dan sudah beradaptasi dengan
kebudayaan disana sampai akhirnya bisa menerima dan hidup disana, ketika kembali ke daerah
asal yaitu Indonesia ia akan mengalami kebingungan kembali menghadapi kebiasaan-kebiasaan
yang sudah lama ia tinggali ini, dan ia akan kembali beradaptasi kembali.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Culture Shock

Schneiders (dalam Muslihah, 2011), berpendapat bahwa penyesuaian sosial dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal, yaitu :

a) Kodisi Fisik
Apabila individu percaya diri dengan kondisi fisiknya dengan baik, maka hal tersebut
dapat memudahkan individu tersebut dalam melakukan proses penyesuaian dengan
lingkungan barunya.
b) Kematangan Perkembangan dan Pertumbuhan
Kematangan intelektual, moral, sosial, juga emosional. Jika individu memenuhi
kematangan tersebut artinya mereka memiliki pola pikir yang dewasa, sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan lebih baik dalam proses penyesuaian di lingkungan sosial.
c) Penentu Psikologis
Pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu, baik traumatis, konflik ataupun
kebiasaan yang dilakukan di lingkungan lamanya juga sangat berpengaruh pada
penyesuaian sosial individu di lingkungan barunya.
d) Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan terdekat seperti suasana tempat tinggal, sekolah, keluarga. Kondisi
yang mendukung akan memudahkan bagi individu untuk melakukan penyesuaian sosial.
e) Budaya
Pada factor budaya, individu akan belajar menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan
norma yang berlaku di lingkungan barunya.

Soeparwoto (dalam Ahyani dan Kumalasari, 2012), mengelompokkan faktor penyesuaian


sosial menjadi dua, yaitu :
1) Faktor Internal
a) Motif, yang dimaksud adalah motif sosial, seperti motif brafiliasi, motif
berprestasi dan motif mendominasi.
b) Konsep Diri, individu dengan konsep diri yang tinggi akan lebih memiliki
kemampuan untuk melakukan penyesuaian sosial yang lebih terasa
menyenangkan.
c) Persepsi, pengamatan dan penilaian individu terhadap obyek.
d) Sikap, sikap individu terhadao sesuatu yang terjadi, apakah akan bersikap positif
atau negatif. Individu yang bersikap positif lebih memiliki peluang yang besar
untuk melakukan penyesuaian sosial.
e) Intelegensi dan Minat, jika memiliki kemampuan intelegensi ditambah dengan
minat maka akan memberi pengaruh besar bagi proses penyesuaian sosial di
lingkungan baru.
f) Kepribadian, individu yang memiliki kepribadian ekstrovert cenderung lebih
lentur dan dinamis
2) Factor Eksternal
a) Keluarga, terutama pola asuh orang tua
b) Kondisi sekolah, kondisi sekolah yang sehat akan membuat landasan untuk dapat
melakukan penyesuaian sosial secara harmois
c) Kelompok sebaya, miiliki teman sebaya yang mendukung akan menguntungkan
bagi indivudu dalam melaksanakan penyesuaian sosial.
d) Prasanka sosial, keenderungan masyarakat untuk menaruh prasangka kepada
individu lainnya.
e) Hukum dan norma sosial, hukum dan norma sosial yang berlaku di dalam
masyarakat yang menjadi kebiasaan akan membuat individu dapat
mengembangkan dirinya dengan baik.

2.3 Membandingkan Aspek Culture Shock dan Contoh-contohnya

Winkelmen (dalam Goldstein, 2015) telah mengemukakan empat aspek yang menyebabkan
terjadinya gegar budaya, antara lain :

a) Stress Reaction
Stress dapat menimbulkan reaksi fisiologis jangkauan luas yang bisa mengganggu sistem
kekebalan tubuh dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Individu yang
berada di dalam lingkungan dan budaya yang baru biasanya mengalami hal ini yang
disebabkan oleh hal fisiologis atau juga psikologis. Keadaan psikologis
memengaruhi tubuh dan reaksi fisiologisnya, yang meningkatkan rasa stress, cemas,
depresi, gelisah. Gegar budaya mengakibatkan naiknya tingkat keprihatinan dengan
penyakit, seolah-olah sakit secara fisik dengan berbagai gejala, penyakit minor dan
ketidaknyamanan.
b) Cognitive Fatigue
Budaya yang baru menuntut suatu usaha yang penuh akan kesadaran untuk memahami
hal-hal yang diproses tanpa di sadari dalam budaya seseorang. Usaha yang harus
dilakukan berupa memahami bahasa yang baru dan komunikasi nonverbal dalam budaya
yang baru tersebut. Usaha ini sangat menuntut kesadaran dan perhatian untuk bisa
memahami semua informasi yang baru, dan ini sangat melelahkan juga menghasilkan
kepenatan pada mental dan emosional. Hal ini menimbulkan keteganganpada pabian
kepala sehingga mengalami sakit kepala dan keinginan untuk mengasingkan diri dari
lingkungan sosialnya.
c) Role shock
Perubahan peran sosial dan relasi interpersonal memengaruhi kesejahteraan dan konsep
diri dan membuat individu mengalami syok peran ini. Di dalam budaya yang baru, peran
yang sebelumnya akan digantikan oleh peran yang baru yang sebelumnya belum dikenal.
Kondisi tersebut menimbulkan syok peran, yang ditimbulkan akibat adanya
ketidakjelasan posisi sosial dan hilangnya peran sosial yang biasa dilakukan pada posisi
sebelumnya.
d) Personal Shock
Harga diri, identitas diri, kesejahteraan, kepuasan hidup dijaga oleh sistem budaya
individu. Jika seseorang kehilangan sistem-sistem pendukung tersebut maka akan
menyebabkan kemerosotan pada rasa kesejahteraan individu dan menyebabkan timbulnya
gejala patologis. Syok pribadi ini diperbesar dengan peristiwa dalam budaya yang baru
yang menyalahi pengertian pribadi dan budaya individu mengenai moral dasar, nilai,
logika dan kepercayaan tentang norma dan kesopaan.
 Contoh dari budaya Indonesia yang menimbulkan culture shock bagi orang asing
- Foto Bersama Orang Asing
Meminta foto bersama dengan “bule” atau orang asing merupakan hal yang wajar jika
dilihat dari pandangan orang Indonesia sendiri. Namun bagi para orang pendatang dari
negara lain hal ini dapat dianggap tidak sopan karena merasa mengganggu privasi
seseorang itu yang bahkan baru datang atau menginjakkan kaki di negara Indonesia.
Orang asing cenderung bingung dan merasa terganggu dengan kegiatan foto bersama
tersebut, hal itu menimbulkan culture shock bagi para foreigner.
 Contoh dari budaya Inggris yang menimbulkan culture shock bagi orang Indonesia
- Bahasa

Perbedaan bahas asehari-hari yang digunakan orang Indonesia dengan orang inggris
sangatlah jelas. Mungkin orang Indonesia yang datang kesana sudah dibekali dnegan
kemempuan berbahasa inggris, namun jika diprakteka secara langsung dengan orang asal
sana maka akan lebih sulit memahaminya dibanding saat belajar bahasa inggris di
Indonesia. Hal tersebutlah yang dapat membuat terkejut para pendatang.

- Budaya Antri

Di Inggris, budaya antri sudah seperti kewajiban bagi para masyarakat sana. Ketika anda
tidak mengantri saat situasi mengharuskan anda untuk mengantri seperti saat ingin naik
bis, mereka akan menegur anda. Mereka sangat tertib dalam mengantri, jika
dibandingkan dengan budaya mengantri di Indonesia sangat bertolak belakang, di
Indonesia orang lain masih bisa menyelak dalam antrian dan cenderung merusuh jika di
himbau untuk tertib, itulah sebabnya tidak mudah untuk menumbuhkan budaya antri
dengan tertib di Indonesia. Situasi antri dengan tertib di inggris sukup membuat terkejut
para orang Indonesia yang baru kesana dan merasakannya, karena tidak seperti biasanya
di negara tempat mereka tinggal.

- Teknologi

Karena termasuk negara maju, perkembangan teknologi disana juga sangat tinggvi,
banyak tenaga manusia yang sudah tergantikan dnegan mesin. Self service dimana kita
melayani sendiri ke kasir katika kita berbelanja, mulai dari scanbarang, pembayaran,
sampai dengan membungkusnya sendiri. Orang Indonesia yang baru kesana akan mulai
beradaptasi dengan hal tersebut karena di Indonesia belum seperti itu.

Saran untuk mengantisipasi culture shock :

Secara khusus penelitian Wang (2007) menemukan adanya efektifitas program-program


pelatihan interkultural, memberikan manfaat yang sangat besar untuk membantu individu
mengatasi culture shock. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pelajar yang mengikuti
pelatihan ini dengan aktif dan sungguh-sungguh, mereka dapat menyesuaikan diri dengan kultur
baru secara baik dan lebih cepat dibandingkan teman-temannya yang lain. Hal yang senada
dengan itu juga ditemukan dalam penelitian Kaye dan Taylor (1997) terhadap para ekspatriat
yang bekerja di Cina. Diperoleh fakta bahwa sensitifitas inter-kultural berbanding terbalik
dengan pengalaman culture shock. Artinya semakin tinggi sensitifitas inter-kultural, semakin
rendah tingkat culture shock yang dialami individu. Lebih lanjut ditemukan bahwa pelatihan
yang diberikan sebelum ataupun sesudah tiba di Cina berhubungan erat dengan tingginya tingkat
sensitifitas inter-cultural yang berarti menurunkan tingkat culture shock para ekspatriat yang
bekerja di Cina. Sedangkan penelitian Lin (2007) menemukan bahwa keterlibatan individu
dalam berbagai organisasi akan sangat membantu individu untuk mengatasi culture shock
dengan memberikan dukungan sosial dan memampukan individu untuk melakukan penyesuaian
budaya.

 Mencari tau segala informasi mengenai negara tujuan kuliah. Tambah wawasan kamu
dengan banyak mencari tau di internet, bertanya pada teman/kenalan yang pernah belajar
di negara yang sama dengan kita, banyak membaca buku-buku panduan mengenai negara
tujuan, dan jangan menaruh harapan besar. Ingat hidupmu bukan drama atau sinetron,
jadi mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk dapat lebih mempersiapkan
diri terhadap banyaknya kemungkinan ketidakpastian hari esok.
 Penting untuk mempelajar kebiasaan sehari-hari penduduk di negara tujuan kita. Karena
kebiasaan kita belum tentu sama. Misalnya jam karet di Indonesia, belum tentu orang
disana terbuka dengan keterlambatan satu menit saja. Nilai budaya yang berbeda juga
membentuk selera humor yang berbeda. Padahal humor dapat membuat hubungan lebih
dekat, tapi kalau malah jadi tersinggung kan gawat.
 Terus update berita lokal, berita internasional dan berita nasional ya. Siapa tau dapat
menjadi bahan pembicaraan yang menarik untuk memulai pembicaraan. Pelajar
internasional biasanya tertarik untuk saling bertukar cerita mengenai negara masing-
masing.
 Aktif di kampus ini benar-benar ampuh untuk bisa bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungan baru. Apalagi jika, kegiatan di kampus itu meupakan hobi, jadi sekalian untuk
mengisi waktu luang yang menyenangkan.
 Kenali kehidupan setempat dan ketahui tempat-tempat penting seperti kantor pos, toko,
dokter, dan kantor pelayanan mahasiswa internasional. Jika bingung dengan bahasa,
jangan malu untuk bertanya.
2.4 Menjelaskan model cultural adjustment untuk mengatasi masalah culture shock

Proses Adjustment, Tahap dimana terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur
baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai
antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Individuini mulai paham
bagaimana menggunakan teknologi yang baru, telah menyocokkan makanan yang ada di
lingkungan baru dengan lidahnya, beradaptasi dan menerima norma dan bagaimana
menyikapinya, paham cara tegur sapa dengan orang asli sana, dan menyocokkan dir dengan
iklim di lingkungan barunya. Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan
dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan
terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar
adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan
terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan
saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya
sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada
akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
BAB III
PENUTUP

Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga
kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue
mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada
sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering
melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu
secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh
instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di
sekolah internasional, yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya
perlu menyediakan tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu
penyesuaian diri siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga
diperlukan bagi perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan
karyawannya untuk ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan
pemberian pelatihan, pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya
produktifitas kerja karyawannya karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya, usaha
dari berbagai pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Kejutan_budaya
2. https://communication.binus.ac.id/2016/10/05/culture-shock-apa-sih-itu/
#:~:text=Culture%20shock%2C%20atau%20gegar%20budaya,ketika%20berada
%20di%20negara%20asing.
3. http://journal.unika.ac.id/index.php/praxis/article/viewFile/1631/1118
4. http://www.jim.unsyiah.ac.id/FISIP/article/view/2339
5. http://www.tlu.ee/~marilk/Artiklid/Gaw2000.pdf
6. http://digilib.uinsby.ac.id/19546/3/Bab%202.pdf
7. http://bertapsychologycorner.blogspot.com/2010/12/fenomena-culture-shock.html
8. https://www.hotcourses.co.id/study-abroad-info/once-you-arrive/culture-shock-dan-
cara-mengatasinya/

Anda mungkin juga menyukai