Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PRESFEKTIF KOMUNIKASI DENGAN LATAR BELAKANG

SOSIAL BUDAYA YANG BERBEDA

DISUSUN OLEH
Kelompok A2
Dosen Pembimbing :
Ns. Hasyim Kadr, S.kep. s

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BAITURRAHIM JAMBI
TAHUN 2015

Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan
penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang presfektif komunikasi dengan latar belakang
budaya yang berbeda. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya
bagi kita semua. Amin.
Tak lupa pula kami sampaikan banyak terima kasih kepada semua teman yang turut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tugas makalah ini, karena kami sadar sebagai makhluk sosial kami tidak bisa berbuat
banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari
Nya.Akhirnya walaupun kami telah berusaha dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa
yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk itu kami mengharapkan koreksi dan sarannya
semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya.

Jambi, 02 november 2015


penulis
kelompok A2

Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan
I.I Latar Belakang Masalah..
I.2 Perumusan Masalah.
I.3 Pembatasan Masalah
I.4 Tujuan Penelitian..
I.5 Manfaat Penelitian
I.6 Kerangka Teori.
Bab II
Pembahasan
I.6.1 Komunikasi Antarbudaya.
I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal.
I.6.3 Akulturasi.
I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik.
I.6.5 Kerangka Konsep....
I.6.6 Operasionalisasi Konsep.
I.6.7 Definisi Operasional
Bab III
Penutup
A.Kesimpulan..
B.Saran..
C.Daftar Pustaka.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai makhluk sosial
membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan hidup.
Komunikasi juga menjadi aspek yang paling penting dan sangat mendasar dalam proses belajar
manusia. Manusia dibesarkan, diasuh dan berkembang di suatu lingkungan dengan pola-pola budaya
setempat, sehingga akhirnya manusia itu menjadi produk dari budaya tersebut. Pada dasarnya
seseorang itu adalah gambaran dari budayanya, dimana budaya dirumuskan sebagai
seperangkat aturan yang terorganisasikan mengenai cara-cara bagaimana individu dalam masyarakat
harus berkomunikasi satu sama lain dan bagaimana cara mereka berpikir tentang diri mereka
dan lingkungan mereka. Pola-pola budaya ini pada gilirannya juga akan merefleksikan elemenelemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan
diasuh dalam budaya tersebut.Manusia selama hidupnya mengalami proses sosialisasi dan
pendidikan, dalam proses itu individu senantiasa memperoleh aturan-aturan (budaya)
komunikasi, hingga akhirnya pola-pola budaya tersebut ditanamkan ke dalam sistem saraf dan
menjadi kepribadian dan perilaku individu tersebut. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh
individu disebut dengan enkultur Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari individu tersebut. Hasil internalisasi ini membuat
individu mudah berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola
budaya yang serupa. Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam
suatu budaya tertentu memasuki suatu budaya lain? Segala bentuk lambang-lambang verbal dan
non verbal dan aturan-aturan yang telah dipelajari individu dalam lingkungan budayanya
mungkin akan lenyap dan tidak berfungsi lagi dalam lingkungan budaya baru yang ia masuki.
Individu/kelompok yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi yang kedua,
yang disebut dengan proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri
dengan budaya baru, dimana sesuatu nilai masuk ke dalam diri individu tanpa meninggalkan
identitas budaya yang lama (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 13 Mayoritas individu tinggal dalam
lingkungan yang familiar, tempat dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang
yang ditemui di lingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung
memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai,bahasa atau

setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki suatu dunia baru dengan
segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan
terjadi. Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi.
Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami
kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada Ketika kita
masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan
fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture
shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda
dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk
itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam
menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174).
Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam melangsungkan komunikasi. Individu
yang memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga
akan berhadapan dengan orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka
komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi
antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus menyandi pesan
dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali,
diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Mahasiswa asal
Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu lingkungan budaya baru. Mereka
meninggalkan negara asalnya untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas
Sumatera Utara. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka,
termasuk tata cara komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan
dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi
latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi orang asing di
lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia
dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya
itu pasti ada.Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara.
Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga mengamati kondisi
mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya yang masih tampak berkelompok.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi
keterkejutan budaya yang mereka alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian
ini. Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah
mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas tersebar di dua
fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian

Pendidikan Tinggi Malaysia Baru hanya mengakui dua program studi .


Peneliti ingin melihat bagaimana culture shock yang mereka alami ketika memasuki lingkungan
baru dan upaya dalam mengatasinya. Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya
asing dapat menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru,
demikian halnya dengan mahasiswa asal Malaysia ini. Bagaimana fenomena yang akan mereka alami
ketika keluar dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan
orang-orang yang berbeda dengan mereka serta bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk
mengatasi culture shock yang dirasakan menuju suatu adaptasi yang baik dan komunikasi
antarbudaya yang efektif.Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri, seperti
variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor personal (intrapersona), seperti
karakteristik personal, motivasi individu, persepsi individu, pengetahuan individu dan pengalaman
sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu
dalam komunikasi sosial (antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru
tersebut (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 141-144).
Manusia yang memasuki suatu lingkungan baru mungkin akan menghadapi
banyak hal yang berbeda seperti cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah
dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi ternyata budaya tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun
bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku,
hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban
lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005: 97)
Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi culture shock dalam interaksi komunikasi
antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Medan, dalam hal ini mahasiswa asal Malaysia yang
belajar di USU. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada
Mahasiswa Asal Malaysia .

I.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan
perumusan masalah sebagai berikut:
A.Bagaimana bentuk culture shock yang dialami dalam interaksi komunikasi

antarbudaya

pada mahasiswa asal Malaysia di USU?


B.Bagaimana upaya yang dilakukan mahasiswa asal Malaysia dalam mengatasi culture shock yang
dialami?

I.3 Pembatasan Masalah


Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka
dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian bersifat studi kasus, yakni peneliti akan mengkaji secara mendalam culture shock
yang dialami mahasiswa asal Malaysia dan upaya mengatasinya.
2. Subjek penelitian adalah mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi USU, karena mayoritas mahasiswa asal Malaysia di USU menempuh
pendidikan di dua fakultas ini. Subjek penelitian juga dibatasi pada mahasiswa asal Malaysia
yang telah tinggal di Medan selama kurang lebih dua tahun. Pembatasan ini dibuat agar bukan hanya
gambaran culture shock saja yang dapat dilihat tetapi juga upaya dalam mengatasinya
I.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui culture shock yang dialami mahasiswa asal
Malaysia di USU.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui reaksi culture shock pada mahasiswa asal Malaysia
di USU.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi culture shock
pada mahasiswa asal Malaysia di USU demi penyesuaian dengan lingkungan baru.
I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:


1.Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah
penelitian tentang komunikasi antarbudaya, khususnya culture shock.

2.Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya khasanah
mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat
sangat sedikit penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi
USU.

3.Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam
memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan
pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki budaya
baru
I.6 Kerangka Teori
Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih lanjut, seorang
peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari
segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Kerlinger menyebutkan teori adalah
himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis
tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan
gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6).
Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Komunikasi Antarbudaya,
Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori Interaksionisme Simbolik.

BAB II
PEMBAHASAN
I.6.1 Komunikasi Antarbudaya
Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya terjadi
di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
Sedangkan menurut Charley H.Dood, komunikasi antarbudaya meliputi komunikas yang
melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta. Komunikasi antarbudaya

lebih menekankan aspek utama yakni antar pribadi di antara

komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Jika kita berbicara tentang komunikasi
antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal
atau non verbal secara langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan
ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali dikatakan
bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada
faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan
dengan masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu
budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan
makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki
dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam
kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang
komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang
sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar
belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti
kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat
problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga memberi
penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaanperbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka
komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi
organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya. Berdasarkan pemikiran itu,

maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang
berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak
langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka
karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian
dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan
kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial.
Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial,
menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan,
penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme,
kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316).
Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak
berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati

budaya lain

sebagaimana apa adanya dan bukan

sebagaimana yang kita kehendaki


3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita
bertindak
4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama
orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171)
Sedangkan menurut De Vito, efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauhmana
seseorang mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan,
dan (5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya atau
antaretnik (Liliweri, 2001: 172).
I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih.
Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai
seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang
digunakan dan dipahami suatu komunitas. Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana
kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan

pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari
komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting
dalam suatu aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk
pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses
nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi
dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:
pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi
wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam. Bahasa
verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya
bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga dengan komunikasi
nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168
dan 201).
I.6.3 Akulturasi
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsurunsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut,
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi
merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya
pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang
signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). proses akulturasi

adalah suatu proses yang

interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam
proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona;
yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya
baru, persepsi individu, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi
antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005:
140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang
berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan
kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap
yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial
(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).

Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara
pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara
permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang
mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh
Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Reaksi
terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat
muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pad
teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati
empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U,
sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru
mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai
budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci
dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik


Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang
lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual
fenomenologi

merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita

sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita
alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang
sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi
dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah
sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau
struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Interaksi simbolik didasarkan pada ideide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu
aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek.
Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan
ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang
lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001:
68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik
didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik.
Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat
dalam komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.6.5 Kerangka Konsep


Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai
untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah: Culture shock

I.6.6 Operasionalisasi Konsep


Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka agar konsep operasional
tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan
sebagai berikut:
Konsep Operasional
Culture shock

Operasionalisasi Konsep
A. Faktor-faktor yang
mempengaruhi culture shock
sesuai dengan variabel-variabel
komunikasi dalam akulturasi :
1. Komunikasi Persona/faktor
intrapersonal, meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.

Karakteristik personal
Motivasi individu
Persepsi individu
Pengetahuan individu
Pengalaman sebelumnya

2. Komunikasi Sosial, yakni


komunikasi antarpersona
baik verbal maupun non
verbal.
3. Lingkungan komunikasi
B. Tingkatan culture shock:
1. Fase Optimistik (Optimistic
Phase)
2. Fase Masalah Kultural
(Cultural Problems)
3. Fase Kesembuhan (Recovery
Phase)
4. Fase Penyesuaian
(Adjustment Phase)

Karakteristik Informan

1.
2.
3.
4.

Usia
Jenis Kelamin
Asal Fakultas
Lama menetap

I.6.7 Definisi Operasional


A. Faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock:
1. Komunikasi Persona/Faktor intrapersonal:
a.Karakteristik personal, watak dan kepribadian mahasiswa asal Malaysia.
b.Motivasi individu, kehendak, kemauan, kebutuhan dan dorongan mahasiswa asal

Malaysia

untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang
Medan.
c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang lingkungan barunya, yakni
Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.
d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan pola-pola dan
aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.
e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal Malaysia tentang
Medan.
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Malaysia dengan orangorang Medan.
3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.
B. Tingkatan culture shock:
1.Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase
optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias akan
memasuki budaya baru.
2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang. Mahasiswa asal Malaysia mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.
3.Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai mengenal budaya baru yang dimasukinya.
4.Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase

terakhir

dimana mahasiswa asal Malaysia telah

mengerti elemen kunci dari budaya barunya.


Karakteristik Informan:
1.Usia: umur dari informan
2.Jenis kelamin: laki laki atau perempuan
3.Asal fakultas: Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
4.Lama menetap: lama informan menetap di Medan.

Bab III
Penutup
A.Kesimpulan
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar
belakang kebudayaannya berbeda komunikasi antarbudaya meliputi komunikas yang melibatkan
peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi
pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial, menambah
pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian
kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka,
rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock.
B.Saran
Dalam proses penyusunan makalah ini kami sadari penuh dengan kekurangan, sehingga kami harap
kritik dan saran sebagai wujud partisipasi. Dalam mengkaji presfektif komunikasi dengan latar
belakang social budaya yang berbeda memiliki banyak manfaat yang dapat kita dapatkan, terlebih
dalam tata cara kita menyikapi sesuatu yang berlainanan dengan budaya kita. Oleh karena itu, wawasan
ini menjadi penting dalam proses interaksi kita dengan sesama manusia.

Page
16

Daftar pustaka

Effendy, Onong Uchjana, 2007, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Liliweri,Alo.2003,Dasar-Dasar Komunukasi Antar Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
http://pramsky.blogspot.com/2009/12/kaitan-antara-komunikasi-dan-budaya.html

]Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007. Hal 78
Liliweri,Alo. Dasar-Dasar Komunukasi Antar Budaya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
2003. Hal. 133
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007. Hal 85

[Nurudin.Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2004. Hal. 17

Page
17

Page
18

Page
19

Page
20

Page
21

Page
22

Page
23

Anda mungkin juga menyukai