DISUSUN OLEH
Kelompok A2
Dosen Pembimbing :
Ns. Hasyim Kadr, S.kep. s
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan
penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang presfektif komunikasi dengan latar belakang
budaya yang berbeda. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya
bagi kita semua. Amin.
Tak lupa pula kami sampaikan banyak terima kasih kepada semua teman yang turut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tugas makalah ini, karena kami sadar sebagai makhluk sosial kami tidak bisa berbuat
banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari
Nya.Akhirnya walaupun kami telah berusaha dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa
yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk itu kami mengharapkan koreksi dan sarannya
semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya.
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan
I.I Latar Belakang Masalah..
I.2 Perumusan Masalah.
I.3 Pembatasan Masalah
I.4 Tujuan Penelitian..
I.5 Manfaat Penelitian
I.6 Kerangka Teori.
Bab II
Pembahasan
I.6.1 Komunikasi Antarbudaya.
I.6.2 Bahasa Verbal dan Nonverbal.
I.6.3 Akulturasi.
I.6.4 Teori Interaksionisme Simbolik.
I.6.5 Kerangka Konsep....
I.6.6 Operasionalisasi Konsep.
I.6.7 Definisi Operasional
Bab III
Penutup
A.Kesimpulan..
B.Saran..
C.Daftar Pustaka.
BAB I
PENDAHULUAN
setidaknya memiliki dialek yang sama. Ketika manusia memasuki suatu dunia baru dengan
segala sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidaknyamanan pun akan
terjadi. Salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi.
Sangat wajar apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami
kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada Ketika kita
masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain serta merasakan ketidaknyamanan psikis dan
fisik karena kontak tersebut, maka keadaan ini disebut gegar budaya atau culture shock. Culture
shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda
dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk
itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam
menghadapi situasi sehari-sehari (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174).
Manusia dalam hidupnya pasti akan menghadapi peristiwa kebudayaan dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda yang turut dibawa serta dalam melangsungkan komunikasi. Individu
yang memasuki lingkungan baru berarti melakukan kontak antarbudaya. Individu tersebut juga
akan berhadapan dengan orang-orang dalam lingkungan baru yang ia kunjungi, maka
komunikasi antarbudaya menjadi tidak terelakkan. Usaha untuk menjalin komunikasi
antarbudaya dalam praktiknya bukanlah persoalan yang sederhana. Kita harus menyandi pesan
dan menyandi balik pesan dengan cara tertentu sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali,
diterima dan direspon oleh individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Mahasiswa asal
Malaysia adalah contoh dari kasus memasuki suatu lingkungan budaya baru. Mereka
meninggalkan negara asalnya untuk suatu tujuan, yakni menuntut pendidikan di Universitas
Sumatera Utara. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka,
termasuk tata cara komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan
dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi
latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi orang asing di
lingkungan itu. Dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi culture shock. Meskipun Indonesia
dan Malaysia berada dalam satu rumpun, tetapi perlu dipahami bahwa perbedaan-perbedaan budaya
itu pasti ada.Hal ini dapat dilihat dari seringnya konflik yang terjadi di antara kedua negara.
Kondisi ini membuktikan bahwa kesatuan itu seutuhnya belum ada. Peneliti juga mengamati kondisi
mahasiswa Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, khususnya yang masih tampak berkelompok.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Apakah untuk menanggulangi
keterkejutan budaya yang mereka alami? Hal itu pula yang akan peneliti cari tahu melalui penelitian
ini. Peneliti memilih USU karena USU merupakan universitas di Kota Medan dengan jumlah
mahasiswa asal Malaysia terbanyak. Mahasiswa Malaysia ini secara mayoritas tersebar di dua
fakultas, yakni Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi. Hal ini dikarenakan Kementerian
antarbudaya
2.Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya khasanah
mengenai culture shock dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi, mengingat
sangat sedikit penelitian yang meneliti mengenai culture shock di departemen Ilmu Komunikasi
USU.
3.Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama dalam
memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita dan masukan dan
pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami culture shock sebagai reaksi memasuki budaya
baru
I.6 Kerangka Teori
Menurut Nawawi (1995: 41) sebelum melakukan sebuah penelitian lebih lanjut, seorang
peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari
segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Kerlinger menyebutkan teori adalah
himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis
tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan
gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6).
Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Teori Komunikasi Antarbudaya,
Bahasa Verbal dan Nonverbal, Akulturasi dan Teori Interaksionisme Simbolik.
BAB II
PEMBAHASAN
I.6.1 Komunikasi Antarbudaya
Menurut Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2003: 10), komunikasi antarbudaya terjadi
di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.
Sedangkan menurut Charley H.Dood, komunikasi antarbudaya meliputi komunikas yang
melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan
pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta. Komunikasi antarbudaya
komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda. Jika kita berbicara tentang komunikasi
antarpribadi, maka yang dimaksud adalah dua atau lebih orang terlibat dalam komunikasi verbal
atau non verbal secara langsung. Apabila kita menambahkan dimensi perbedaan kebudayaan
ke dalamnya, maka kita berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Maka seringkali dikatakan
bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi dengan perhatian khusus pada
faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Dalam keadaan demikian, kita dihadapkan
dengan masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu
budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan
makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki
dua orang yang berbeda budaya akan pula berbeda yang dapat menimbulkan berbagai macam
kesulitan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 19).
Menurut Kim (dalam Rahardjo, 2005: 53), asumsi yang mendasari batasan tentang
komunikasi antarbudaya di atas adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang
sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau homogenitas dalam keseluruhan latar
belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan kultural bersama-sama dengan perbedaan lain dalam diri orang (seperti
kepribadian individu, umur dan penampilan fisik) memberi kontribusi kepada sifat
problematik yang melekat dalam proses komunikasi antarmanusia. Studi ini juga memberi
penekanan kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaanperbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka
komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi
organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya. Berdasarkan pemikiran itu,
maka komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana para partisipan yang
berbeda dalam latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak
langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka
karakteristik-karakteristik kultural dari partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian
dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan
kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 54).
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial.
Fungsi pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial,
menambah pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian kesamaan,
penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme,
kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316).
Masalah-masalah tersebut yang sering sekali membuat aktivitas komunikasi antarbudaya tidak
berjalan efektif. Schramm mengemukakan komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus
memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati
budaya lain
pengembangan makna bagi kata-kata yang kita gunakan. Menurut Ray L. Birdwhistell, 65% dari
komunikasi tatap muka adalah nonverbal. Ini menunjukkan bahasa nonverbal sangat penting
dalam suatu aktivitas komunikasi. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk
pertukaran pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat diganti oleh proses-proses
nonverbal. Fungsi-fungsi bahasa nonverbal antara lain: Repetisi, Komplemen, Substitusi, Regulasi
dan Kontradiksi (Mulyana, 2005: 316).
Menurut Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni:
pertama, perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi
wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam. Bahasa
verbal dan nonverbal tidak dapat terpisahkan dengan konteks budaya. Penggunaan dan gaya
bahasa mencerminkan kepribadian budaya seseorang, demikian juga dengan komunikasi
nonverbal sering kali menunjukkan ciri-ciri budaya dasar (Samovar, Porter dan Mc. Daniel 2007: 168
dan 201).
I.6.3 Akulturasi
Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsurunsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut,
namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Akulturasi
merupakan suatu proses dimana imigran menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya
pribumi. Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang
signifikan (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 139). proses akulturasi
interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang
imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Komunikasi berperan penting dalam
proses akulturasi. Variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, antara lain: komunikasi persona;
yang meliputi karakteristik personal, motivasi individu, pengetahuan individu tentang budaya
baru, persepsi individu, pengalaman sebelumnya; komunikasi sosial yang meliputi komunikasi
antarpersonal (verbal dan nonverbal); serta lingkungan komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005:
140). Secara psikologis, dampak dari akulturasi adalah stress pada individu-individu yang
berinteraksi dalam pertemuan-pertemuan kultur tersebut. Fenomena ini diistilahkan dengan
kejutan budaya (culture shock). Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap
yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial
(Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 335).
Pembahasan tentang masalah culture shock juga perlu memahami tentang perbedaan antara
pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara
permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dengan orang yang
mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh
Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Reaksi
terhadap culture shock bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya dan dapat
muncul pada waktu yang berbeda. Rekasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick / rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pad
teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan Mc.
Daniel, 2007: 335)
Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati
empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U,
sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 336).
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru
mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock.
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai
budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir dimana orang telah mengerti elemen kunci
dari budaya barunya (nilai-nilai, khusus, keyakinan dan pola komunikasi).
merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita
sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita
alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang
sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi
dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah
sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau
struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Interaksi simbolik didasarkan pada ideide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu
aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek.
Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan
ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang
lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. (Mulyana, 2001:
68).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik
didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik.
Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang terdapat
dalam komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Operasionalisasi Konsep
A. Faktor-faktor yang
mempengaruhi culture shock
sesuai dengan variabel-variabel
komunikasi dalam akulturasi :
1. Komunikasi Persona/faktor
intrapersonal, meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
Karakteristik personal
Motivasi individu
Persepsi individu
Pengetahuan individu
Pengalaman sebelumnya
Karakteristik Informan
1.
2.
3.
4.
Usia
Jenis Kelamin
Asal Fakultas
Lama menetap
Malaysia
untuk belajar tentang dan berpartisipasi serta terlibat komunikasi antarbudaya dengan orang-orang
Medan.
c. Persepsi individu, persepsi mahasiswa asal Malaysia tentang lingkungan barunya, yakni
Kota Medan dan orang-orang di dalamnya.
d. Pengetahuan individu, pengetahuan (kemampuan kognitif) tentang budaya dan pola-pola dan
aturan sistem komunikasi budaya baru, yaitu Medan.
e. Pengalaman sebelumnya, ada tidaknya pengalaman terdahulu dari mahasiswa asal Malaysia tentang
Medan.
2. Komunikasi Sosial, yakni komunikasi antarpersona mahasiswa asal Malaysia dengan orangorang Medan.
3. Lingkungan, suasana lingkungan komunikasi USU.
B. Tingkatan culture shock:
1.Fase optimistik (Optimistic Phase), fase berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan
euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Dalam penelitian ini, fase
optimistik adalah fase dimana mahasiswa asal Malaysia di USU merasa sangat antusias akan
memasuki budaya baru.
2. Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang. Mahasiswa asal Malaysia mengalami gegar budaya ketika memasuki lingkungan baru.
3.Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Mahasiswa asal Malaysia mulai mengenal budaya baru yang dimasukinya.
4.Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), fase
terakhir
Bab III
Penutup
A.Kesimpulan
komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar
belakang kebudayaannya berbeda komunikasi antarbudaya meliputi komunikas yang melibatkan
peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi
pribadi dirinci ke dalam fungsi menyatakan identitas sosial, fungsi integrasi sosial, menambah
pengetahuan (kognitif) dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar.
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat beberapa masalah potensial, yaitu pencarian
kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka,
rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock.
B.Saran
Dalam proses penyusunan makalah ini kami sadari penuh dengan kekurangan, sehingga kami harap
kritik dan saran sebagai wujud partisipasi. Dalam mengkaji presfektif komunikasi dengan latar
belakang social budaya yang berbeda memiliki banyak manfaat yang dapat kita dapatkan, terlebih
dalam tata cara kita menyikapi sesuatu yang berlainanan dengan budaya kita. Oleh karena itu, wawasan
ini menjadi penting dalam proses interaksi kita dengan sesama manusia.
Page
16
Daftar pustaka
Effendy, Onong Uchjana, 2007, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Liliweri,Alo.2003,Dasar-Dasar Komunukasi Antar Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
http://pramsky.blogspot.com/2009/12/kaitan-antara-komunikasi-dan-budaya.html
]Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007. Hal 78
Liliweri,Alo. Dasar-Dasar Komunukasi Antar Budaya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
2003. Hal. 133
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2007. Hal 85
Page
17
Page
18
Page
19
Page
20
Page
21
Page
22
Page
23