Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan
lunak wajah. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan,
perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit.
Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan


fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab
dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara
umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus
menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu,
diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya
kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien
dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat
mengalami cacat permanen.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat
dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.
Trauma pada rahang mengakibatkan Terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka
jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada
rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya
komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu
melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.

1
Trauma pada tulang dan jaringan lunak pada wajah dapat ditanganin oleh
beberapa ahli, antara lain ahli bedah plastik, ahli bedah mulut, dan ahli THT. Namun yang
terbanyak dilakukan oleh spesialis THT karena membutuhkan kemampuan dalam merestorasi
dan mengembalikan baik dalam fungsi maupun kosmetiknya. Kedaruratan trauma maksilofasial
merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma
pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial
oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna
menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan
selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar
ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien
yang mengalami kegawat daruratan.

Bila terjadi trauma pada jaringan lunak saja, penanganannya dilakukan debridement
berdasarkan prinsip operasi dengan menggunakan teknik-teknik khusus dengan
mempertimbangkan pula faktor kosmetik dan efek komplikasi pasca operasi. Namun fraktur
pada tulang wajah dapat terjadi tanpa laserasi pada jaringan lunak, tapi biasanya akan terdapat
laserasi atau kerusakan pada jaringan lunaknya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala:6
Trauma Jaringan Lunak
Yang termasuk dalam trauma jaringan lunak yaitu (1) abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato,
(2) cedera saraf, cabang saraf fasial, (3) cedera kelenjar parotid, (4) cedera kelopak mata, (5)
cedera telinga, (6) cedera hidung.
Trauma Jaringan keras
Yang termasuk dalam trauma jaringan lunak yaitu (1) Fraktura sepertiga atas muka; (2)
fraktura sepertiga tengah muka (os nasal, os maxilla, os zigomatikum, os orbita); (5) fraktura
sepertiga bawah muka (os mandibula)

2.2 Epidemiologi

Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari
seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur
mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar
29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.
Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif, yaitu usia 21-
30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah
cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas
dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. 3

2.3 Etiologi

3
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab
utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa
secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas
usia 21-30 tahun.6
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus
rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per
tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).6

2.4 Diagnosis dan Tatalaksana


Diagnosis pada trauma harus dilakukan sebelum rencana penanganan pasien, karena
kesalahan dalam diagnosis dapat memperberat trauma. Kita juga harus mencurigai adanya
trauma pada duktus nasolakrimalis.

Sering terjadi adanya laserasi yang berat pada bagian leher yang diikuti dengan adanya
kerusakan pada nervus fasialis, maka sangatlah perlu kita lakukan pemeriksaan status nervus VII
ini. Fraktur pada tulang wajah pun dapat diketahui per palpasi di kedua bagian wajah dimulai
dari bagian frontal, supraorbital, orbita, nasal, zygoma, maxilla, dan mandibula.

Apabila pada pemeriksaan per palpasi ternyata kita temukan tanda-tanda adanya krepitasi
atau false motion, maka tindakan per palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang lebih keras
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Bila ada dental oklusi maka juga harus kita lakukan
pemeriksaan pada giginya dengan lebih akurat.

Bila kita temukan edema pada pasca trauma fraktur, yang juga bisa menyertai adanya
trauma tulang harus kita lakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan rontgen sinar x
dan tindakan eksplorasi dengan menggunakan general anestesi.

Adanya rhinorea yang berupa cairan cerebrospinal (LCS) merupakan indikasi dari adanya
fraktur pada sinus etmoidalis dan harus kita pikirkan adanya kemungkinan infeksi pada
meningealnya. Pada mulut dan laringnya juga harus dilakukan pemeriksaan karena bila kita

4
menemukan adanya gigi yang patah maka kita harus segera mencurigai bahwa nanti akan ada
kemungkinan aspirasi benda asing ke saluran nafas.

Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur Maksilofasial, dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Primary survey

Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalah menyelamatkan


hidup dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien. Secara berurutan
primary survey dalam perawatan gawat darurat disingkat dengan ABCDE:5

1) Airway, menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaan adanya


obstruksi jalan nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal, adapun
cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift, headtilt atau jaw trust. Pada penderita yang
dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian
penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh ada ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan
adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan, pemeriksaan
neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Ke-7 vertebra servikalis dan
vertebra torakalis perrtama dapat dilihat dengan foto lateral, walaupun tidak semua
jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur
servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat imobilisasi ini harus dibuka untuk
sementara maka terhadap kepala harus dilakukan imobilisasi manual. Alat
imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat
disingkirkan.

2) Breathing dan Ventilasi, airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

5
mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara
cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi
dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru-paru. Perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan
palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru dan open pneumothorax.
Keadaan ini harus dikenali pada saat dilakukan primary survey.

3) Circulation dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama pasca


bedah yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit.
Ada 3 penemuan klinis yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun,
perfusi otak dapat berkurang yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran. Warna
kulit dapat membantu diagnosis hipovalemia. Penderita trauma yang kulitnya
kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas jarang yang dalam keadaan
hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat
merupakan tanda hipovalemia. Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normovalemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovalemia. Nadi yang
tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan
luar harus dikelola pada primary survaey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan
penekanan pada luka. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah ada amputasi
traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari perdarahan dalam rongga toraks,
abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau
sebagai akibat dari luka tembus dada/ perut.

6
4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey dilakukan
evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Penilaian GCS merupakan
tahapan awal yang mesti di nilai waktu pasien datang. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan penurunan oksigenasi atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau
disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya
reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul
ke ahli bedah syaraf.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

5) Exposure/environment, Buka pakaian penderita dan cegah hipotermia : beri selimut


hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.

7
b. Anamnesa

Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang melihat
langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah :1
 Penyebab pasien mengalami trauma : kecelakaan lalu lintas, trauma tumpul, trauma
benda keras, terjatuh, kecelakaan olah raga, berkelahi.
 Dimana kejadiannya.
 Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
 Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama pasien
tidak sadarkan diri.

b. Pemeriksaan fisik
Alat-alat yang dapat mendukung pemeriksa dalam melakukan penilaian pada trauma
maksilofasial diantaranya adalah lampu kepala atau kaca, spatel tongue, alat suction,
speculum hidung dan otoskop.
 Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
 Palpasi
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut : (a). lokasi nyeri dan durasi nyerinya;
(b) adanya krepitasi, (c). fraktur; (d) deformitas, kelainan bentuk; (e). trismus (tonik
kontraksi rahang); (f). Edema; (g). ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan
gerakan yang terbatas.1

8
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan
yang hilang, luka, dan perdarahan. Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya
benda asing seperti pasir atau batu kerikil.
2. Periksa gigi mungkin terdapat fraktur atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan
infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan
tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, penonjolan
lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak
interpupillary, ukuran pupil, bentuk, reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Tekanan yang lembut mungkin menandakan kerusakan
pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital
medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti terdapat
kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian
medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk melihat adanya dislokasi dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi, dan
rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa liang telinga dan sekitar telinga, untuk melihat adanya laserasi, kebocoran
cairan serebrospinal, membran timpani, ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual
meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi.

9
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah
hidung. Gerakan pada gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung
menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Memeriksa setiap gigi, pastikan adanya nyeri, pendarahan intraoral, atau adanya
krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang
retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa nyeri.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa
nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksterna,
sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa nyeri pada pergerakan kondilus
menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
 Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII
1. N. Opticus (II), ketajaman visual dan refleks cahaya.
2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek cahaya
langsung dan tak langsung, ptosis.
3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.
4. N. Trigeminal (V)
 tes sensorik, Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah,
Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit
sensorik.
 tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.
5. N. Facial (VII)
a. area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
b. area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
c. area Buccal, mengembungkan pipi.
d. area Marjinal mandibula, mengerutkan bibir
e. area Cervical, menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini tidak
terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).

10
6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, berbisik di samping
setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif, akan terdengar lebih
keras pada sisi yang terkena.

c. Pemeriksaan Penunjang

Wajah Bagian Atas : CT-scan aksial koronal, CT Scan kepala dan X-ray kepala, CT-
scan 3D, dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D),

Wajah Bagian Tengah : CT scan aksial koronal, radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s), CT-scan 3D dan CBCT-
scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

Wajah Bagian Bawah : CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D, Panoramic X-ray, radiografi
posteroanterior (Caldwell’s), posisi lateral (Schedell), posisi towne.8

2.5 Klasifikasi Fraktur Trauma Maksilofasial


2.5.1 Fraktur Nasal

Fraktur nasal merupakan fraktur dengan insiden terbesar yang terjadi pada fraktur-fraktur
tulang wajah. Hal ini dikarenakan pada tulang nasal tidak terlindungi dari luar dan merupakan
bagian yang menonjol dari tulang wajah. Kejadian yang sering terjadi adalah simple fractur dan
dislokasi yang biasanya terjadi bersamaan.

Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa tulang.
(1) tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4) tulang lakrimal, (5)
tulang ethmoid, dan (6) tulang sphenoid

11
Klasifikasi fraktur pada nasal yaitu (1) simple depresi; (2) lateral displacement dari
jembatan tulang hidung, dengan adanya pemisahan artikulasi dari kedua sisi di antara tulang
hidung dan tulang maksila, jadi dapat terlihat adanya deviasi septum; (3) pendataran dari
jembatan hidung disertai adanya dislokasi dan fraktur cominutive. Selain itu, fraktur tulang
hidung juga dapat dibagi atas 3 macam, yaitu: fraktur hidung sederhana, fraktur tulang hidung
terbuka, dan fraktur tulang hidung nasoethmoid.

Diagnosis dari pasien dengan fraktur nasal adalah dengan menggunakan pemeriksaan
fisik pada lokalisasi di hidung, kemudian ditunjang dengan pemeriksaan rontgen. Namun,
pemeriksaan rontgen hanya memberikan sedikit informasi dibandingkan dengan pemeriksaan
fisik pada hidung. Gejala dari fraktur nasal adalah: (1) pembengkakan pada hidung luar dengan
disertai atau tidak disertai adanya deformitas; (2) ekimosis; (3) epistaksis; (4) krepitasi.

Gambar 2. pemeriksaan fisik os. nasal

Penatalaksanaan fraktur nasal yaitu:

Alat-alat yang digunakan pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung adalah: elevator
tumpul yang lurus, cunam Asch, cunam Walscham, spekulum hidung pendek dan
panjang (kilian), pinset hidung yang panjang, tampon.

a. Konservatif

 Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokontriktor topical.

 Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, katerisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan
tetapi ligase pembuluh darah jarang dilakukan.

12
 Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topical. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
perdarahan berhenti.

 Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya.

 Antibiotic diberikan unutk mengurangi risiko infeksi, komplikasi dan kematian.

 Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa


nyaman pada pasien.

b. Operatif

 Teknik reduksi tertutup


Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang
sederhana dan unilateral. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang
digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun, pada kasus
tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan
analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan
reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini
dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi
mungkin sangat sedikit, atau dilakukan pada hari ke 4 – 7 pada anak – anak dan hari
ke 5 – 10 pada orang dewasa. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal masih
dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut tindakan
reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada
tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti osteotomi. 3,8

Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah :


1. Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator)
2. Cunam Asch
3. Cunam Walsham
4. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killian)
5. Pinset bayonet.

13
Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan
yang sederhana. Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan
cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi
yang lain di luar hidung dia atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan
manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid
hidung karena dislokasi karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan
dengan cara memasukkan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga hidung
sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada
posisi semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang
dipasang dapat ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan
akan berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar
(gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti
huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari, atau dengan menggunakan ”Splint
Nasal”, lalu difiksasi dengan Hipafix®

 Teknik reduksi terbuka


Reposisi terbuka dipertimbangkan untuk dikerjakan bila : (1) telah terjadi fraktur
septal terbuka, (2) fraktur dislokasi luas tulang hidung dan septum nasal, (3)
terjadinya dislokasi fraktur septum kaudal, (4) deviasi piramid lebih dari setengah
lebar nasal bridge, (5) perubahan bentuk menetap setelah dilakukan reposisi tertutup,
(6) karena reposisi perubahan bentuk septal yang tidak adekwat, terjadinya hematoma
septal, (8) kombinasi perubahan bentuk septal dan tulang rawan alar, serta (9)
terjadinya fraktur displace spina nasi anterior dan adanya riwayat operasi intranasal.
Dengan melakukan prosedur operasi septal seperti ini reposisi yang maksimal akan
selalu didapatkan.

Fraktur Septum Nasal

Penanganan trauma hidung yang salah dapat menyebabkan trauma pada kartilago septum
hidung. Diagnosa ditegakkan dengan palpasi dengan menggunakan jari pada dorsum hidung

14
untuk dicari kemungkinan adanya depresi di bawah dorsum tulang yang merupakan tanda adanya
comminuted fracture dan atau dislokasi dari septum kartilago.

Pada fraktur septum nasal dapat ditemukan adanya udem dan hematom pada dorsum dan
ujung hidung yang dapat menyebabkan deformitas dan obstruksi saluran pernafasan. Fraktur
kartilago nasal memerlukan penanganan yang segera berupa reduksi terbuka, penyatuan
kemabali atau alignment dan fiksasi pada septum intra nasal yang terkena. Saat diperlukan
penanganan segera yang adekuat koreksi berupa rhinoplasty, dan septoplasti dapat ditunda untuk
mendapatkan hasil akhir yang terbaik.

Komplikasi – komplikasi yang disebabkan oleh fraktur pada tulang hidung antara lain:

1. Komplikasi neurologic: robeknya duramater, keluar cairan LCS dengan kemungkinan


timbulnya meningitis, afulsi n. Olfaktorius, hematoma epidural/subdural, konstusio
otak dan nekrosis jaringa otak
2. Komplikasi pada mata: hematoma pada mata, kerusakan n. Opticus, epifora, ptosis,
kerusakan bola mata
3. Komplikasi pada hidung: perubahan bentuk hidung, obstruksi rongga hidung,
gangguan penciuman, epistaksis posterior yang hebat, kerusakan duktus nasofrontalis
dengan efek terjadinya sinusitis

2.5.2 Fraktur Orbita

Fraktur orbita sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur maksila terutama
pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur tulang orbita dan
fraktur maskila sangat sering terjadi akibat ketidakhati-hatian dalam mengendarai kendaraan.
Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan yang tidak sesuai, tidak meminum alkohol
dan obat yang mengganggu kesadaran sangat penting untuk dihindarkan. Lantai orbita sangat
rentan terhadap sejenis fraktur yang disebut blowout fractures. Dorongan dari suatu benda
tumpul yang berukuran lebih besar dari lubang orbita bisa menyebabkan blowout fractures.
Fraktur ini biasanya disebabkan oleh bola, tinjuan, atau dashboard (pada kecelakaan lalulintas)
yang mengenai mata. Disamping itu, trauma pada orbita juga dapat disebabkan oleh trauma
akibat operasi.

15
Dinding medial orbita terdiri dari empat tulang bersatu oleh sutura vertikal yaitu
processus frontalis dari maxilla, os lakrimal, bidang orbital dari ethmoid, bagian kecil dari badan
sphenpoid. Dinding ini merupakan merupakan yang paling berarti bagi ahli THT. Hal ini
disebabkan dinding medial yang tipis merupakan barrier yang lemah terhadap infeksi pada sinus
paranasal denga potensi komplikasi selulitis orbital dan abses, neuritis optik, dan trombosis sinus
kavernosus.

Pada pemeriksaan mata lengkap untuk mengetahui adanya kerusakan pada mata.
Pemeriksaan ini meliputi penilaian otot mata. CT scan dilakukan untuk menilai luasnya fraktur.
Gejala klinis yang ditemukan yaitu enophthalmos, exophthalmos, diplopia, memar di sekitar
mata, proptosis, asimetri pada muka (Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan
blowout fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang
meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma), gangguan
saraf sensoris.

2.5.3 Blowout Fracture

Blowout fracture disebabkan karena trauma langsung pada bola mata yang menyebabkan
tekanan intra orbital meningkat dan dekompresi melalui fraktur pada dasar orbita. Blowout
fracture terjadi pada dasar orbita atau pada dinding medial orbita.

Temuan klinis yang didapatkan ekimosis periorbital, penyempitan celah palpebra, orbital
emfisema dan diplopia. Diplopia terjadi pada sebagian besar kasus karena mengenai muskulus
rectus inferior dan m. oblique inferior sehingga terjadi hematoma pada n. okulomotorius. Dapat
juga terjadi ptosis dan enolftalmus karena herniasi orbita. Adapun test-test yang dapat dilakukan
adalah:

a) Traction test
Tujuannya membedakan kelainan otot yang berasall dari parese nervus atau trauma.
Caranya :
 Diberikan tetrakain 0,5% pada daerah luka
 Dengan forcep konjungtiva m. rectus inferior dan insersinya kita genggam.

16
 Bola mata dinaikkan ke superior dengan forcep
 Hasillnya jika boa mata dapat bergerak bebabs berarti tidak ada kelainan otot. Jika
tidak dapat begerak bebas berarti bisa ada kalainan saraf.
b) Radiografi
Dapat dilakukan rontgen posisi waters oksipitomental dan Cald well oksipitofrontal yang
gambarannya terdapat fraktur pada dasar orbita. Dapat ditemukan juga sinus maksilaris
dan sinus ethmoidalis yang suram.
c) CT-Scan
Terdapat gambaran tear drop appearance jika terjadi fraktur pada dasar orbita.

Tujuan dari perbaikan dari blowout fractures adalah memulihkan pergerakan mata normal
dan mencegah atau mengurangi enofthalmus. Koreksi secara operasi diindikasikan jika diplopia
tidak hilang setelah dua minggu terjadinya trauma dan jika enofthalmus. Terapi yang segera
sebaiknya meliputi penilaian penglihatan penderita dan evaluasi ophthalmologic. Laserasi
kelopak mata sebaiknya ditutup.

2.5.4 Fraktur Tulang Zigomatikum

Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang dibentuk oleh tulang temporal, frontal,
tulang sphenoid dan tulang maxilla. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfacial yang
paling sering terjadi, ini disebabkan karena letak tulang zigoma yang lebih menonjol. Trauma
pada tulang zigoma bisa menyebabkan fraktur pada seluruh bagian zigoma atau hanya pada
arkus zigoma saja.
Zigoma mempunyai peran penting dalam membentuk struktur wajah, disrupsi pada posisi
zigoma dapat mengganggu fungsi ocular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma
harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adequate.
Fraktur komplek zigoma diklasifikasikan berdasarkan rotasi dari os zigoma yang fraktur
terhadap sumbu vertical dan horizontal. Sumbu vertical dimulai antara satura frontozigomatikum
dan molar pertama, sedangkan sumbu horizontal melintang pada arcus zigomatikus.

17
Gambar 4. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 5. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks

Temuan klinis yang didapatkan yaitu pipi menjadi lebih rata dibandingkan dengan sisi
kontralateral atau sebelum trauma, deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita,
diplopia saat melirik ke atas karena hancurnya dasar orbita yang cedera pada nervus infraorbita,
terbatasnya gerakan bola mata, edema periorbita dan ekimosis periorbita, perdarahan
subkonjungtiva, enoftalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita), terdapat hipestesia atau
anesthesia pada pipi karena kerusakan infraorbitalis, terbatasnya gerakan mandibula, emfisema
subkutis, epistkasis karena perdarahan yang terjadi pada antrum.
Fraktur zigoma dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologi. Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat trauma pada wajah terutama
18
pada tulang pipi dapat menyebabkan fraktur zigoma. Tanyakan kronologis kejadian, arah dan
kekuatan dari trauma untuk memperkirakan jenis fraktur. Trauma dari arah lateral sering
mengakibatkan fraktur akut zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek yang terdislokasi
inferomedial. Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior
maupun inferior. Selain itu didapatkan gejala-gejala fraktur zigoma seperti diplopia, epistaksis
dan hipestesia disepanjang daerah yang dipersarafi nervus infraorbital, otot-otot ekstraokuli atau
didaerah yang dipersarafi nervus III.

Gambar 6. Pemeriksaan zigoma

Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi, observasi pendataran dari tonjolan prominent
daerah zigomaticus yang merupakan tanda khas faktur zigoma dengan asimetri wajah dan
ekimosis periorbital. Kantus lateral dari mata terlihat inferior dari normal yang menyebabkan
tinggi pupil asimetris, dan ptosis akibat herniasi isi orbital. Sedangkan gejala-gejala lainnya
terjadi akibat pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya. Pada palpasi teraba
bagian lunak dan diskontinuitas dari pinggir inferior dan lateral orbita. Arkus zigomatikus
biasanya teraba mendatar. Penekanan keatas zigomatikus dengan cara palpasi intraoral
menimbulkan nyeri. Garis fraktur sepanjang maksila dapat juga teraba.
Pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen dan ct-scan sangat membantu untuk
diagnosis, menentukan luasnya kerusakan dan mengevaluasi penatalaksanaan. Foto rontgen
posisi waters merupakan jenis posisi yang terbaik untuk melihat zigoma secara keseluruhan.
Posisi waters dapat dilihat pergesaran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto
posisi submental-vertex dan tangensial baik untuk mengevaluasi arkus zigomatikus. Ct-scan

19
potongan axial maupun koronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur
zigoma. Ct – scan dapat menilai pola fraktur, derajat pergeseran dan evaluasi jaringan lunak
orbital.

Fraktur midfasial merupakan tantangan dibidang THT karena struktur anatomi yang
kompleks dan padat. Tujuan utama dari perawatan farktur zigoma adalah untuk mengembalikan
kontur wajah menjadi normal dan untuk mencegah limitasi pergerakan mandibula. Pupil harus
sejajar, dan fungsi otot-otot pergerakan bola mata menjadi normal kembali.

Penangan fraktur zigoma harus ditunda sampai peradangan minimal dan untuk lebih
memantapkan evaluasi medis pasien. Pengompresan dengan ice packs dan memposisikan pasien
dengan posisi semi-Fowler dapat mempercepat pengurangan edema.

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika
dan deficit fungsional. Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan, fraktur
jenis ini tidak membutuhkan reduksi.

Perbaikan fraktur zigoma terkadang dilakukan dengan tehnik reduksi tertutup, namun
lebih sering memerlukan tehnik reduksi terbuka. Reduksi dari fraktur zigoma difiksasi dengan
kawat baja atau mini plate.

2.5.4 Fraktur Tulang Maksilaris (mid fasial fraktur)

Tulang maksila memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat melekatnya gigi,
membentuk atap dari rongga mulut, merupakan dasar dan melekatnya pada dinding lateral dan
atap dari rongga hidung, merupakan dasar dari sinus maksilaris, dan juga berperan pada rima
orbita inferior dan merupakan dasar dari orbita. Dua tulang maksila bersatu digaris tengah untuk
membentuk tulang wajah.

Fraktur maksila sering terjadi akibat trauma dengan energy yang cukup tinggi yang
menyebabkan kerusakan pada tulang wajah. Hal ini sering terjadi pada trauma kecelakaan
kendaraan bermotor atau terjatuh.

20
Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat dan dicirikan oleh
1) mobilitas atau pergeseran palatum, 2) mobilitas hidung yang menyertai palatum, 3) epistaksis
atau 4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah.

Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat klasifikasi
fraktur maksila dalam 3 kategori dengan menggunakan namanya. Ke 3 kategori ini yaitu fraktur
Le Fort I,II,III dan masih dipakai sampai sekarang.

Gambar 7. LeFort (tampak depan)

Gambar 8. Fraktur Lefort (tampak samping)

 Fraktur maksila Le Fort I

Fraktur le fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini bisa unilateral
atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian bawah sampai bagian bawah

21
rongga hidung. Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan
dengan jari. Garis fraktur yang mengarah ke vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah,
yang membagi muka menjadi 2 bagian.

 Fraktur maksila le fort II

Garis fracture le fort II (fraktur pyramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan
ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita, dan menyebrang ke bagian atas dari sinus
maksillaris juga kea rah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina
cribiformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena fraktur ini sangat mudah
digerakkan maka disebut floating maksila.

 Fraktur le fort III

Fraktur le fort III (craniofacial disfunction). Garis fraktur berjalan melaui sutura
nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui sutura nasofrontal diteruskan
sepanjang ethmoid junction melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke
orbita, sutura zigomatika frontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur le fort 3 ini biasanya
bersifat kominutif sehingga disebut kelainan dishface. Fraktur maksila le fort 3 ini sering
menimbulkan komplikasi intracranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel
ethmoid dan lamina cribiformis.

Temuan klinis yang ditemukan yaiu (1) perdarahan, (2) bengkak, (3) perubahan
ketajaman penglihatan dan terjadi perubahan ukuran pupil sehingga terjadi perubahan kepekaan
terhadap cahaya, (4) sakit kepala, vertigo atau kehilangan keseimbangan saat berjalan, (5) mual
dan muntah yang persisten, (6) kesulitan berbicara, bernafas dan menelan, (7) cedera pada mata
(bengkak di sekitar mata, diplopia), (8) kehilangan gigi geligi, (9) keluarnya cairan LCS melalui
telinga atau hidung, (10) infeksi (osteomyelitis, post traumatic sinusitis, meningitis)

Penilaian dan pemeriksaan tulang maksila dan tulang wajah sebaiknya dilakukan hanya
apabila keadaan pasien telah stabil dan cidera yang mengancam hidup telah dikendalikan.
Terutama dalam hal ini adalah jalan nafas atau kerusakan intracranial, yang mana harus
diprioritaskan dalam penanganannya.

22
Secara umum, pasien dengan fraktur fasial mengalami deformitas tulang wajah yang
disertai dengan pembengkakan jaringan lunak, ekimosis, perdarahan aktif dan hematoma. Lokasi
setempat pada edema atau hematom terkadang menunjukan tempat lokasi fraktur. Edema
periorbital dapat mengindikasi terjadinya fraktur le fort II atau III. Pada fraktur le fort II atau III
permukaan wajah tampak mendatar sehingga deformitas tersebut sering disebut dishface atau
panface. Segmen maksila mengalami perubahan tempat baik kea rah posterior dan inferior. Hal
ini menyebabkan kontak premature pada gigi-gigi molar, sehingga menyebabkan mulut terbuka
kea rah anterior (anterior open bite deformity). Pada beberapa kasus, jalan nafas atas dapat
tersumbat.

Tulang wajah dan tulang cranium harus dipalpasi untuk mendeteksi bentuk tulang yang
irregular, krepitasi dan gangguan sensoris. Mobilitas dari tulang tengah pada wajah dapat
diketahui dengan memegang arkus tulang alveolar bagian anterior dan menariknya sementara
dengan tangan yang lainnya melakukan fiksasi agar kepala tetap stabil tidak bergerak. Ukuran
dan lokasi segmen yang mobile atau bergerak dapat menentukan tipe-tipe fraktur le fort yang
terjadi. Namun apabila hanya sebagian kecil segmen tulang yang bergerak, kemungkinan hanya
tulang alveolar kecil atau procesus nasofrontal saja yang yang mengalami fraktur. Dengan
benturan yang kuat, fraktur pada maksila dapat berupa kominutif atau impacted, yang mana
menyebabkan tulang menjadi hancur atau remuk namun immobile.

Pemeriksaan melalui hidung dan intraoral juga harus dilakukan. Pada fraktur le fort II
tulang hidung sedikit mobile, diikuti dengan free floating pada seluruh segmen pyramid.

Pada pemeriksaan rhinoskopi didapatkan darah segar atau bekuan darah, hematom pada
septum atau rhinorhea berisi cairan serebrospinal.

Pada pemeriksaan intraoral ditemukan kelainan pada oklusi rahang, stabilitas dari tulang
alveolar dan palatum, serta jaringan lunak didalamnya. Palpasi dengan menggunakan jari pada
kontus tulang maksila secara intraoral dapat memberikan informasi tambahan tentang integritas
tulang nasomaksilaris, dinding sinus maksila anterior, dan tulang zygomaticus.

Selama pemeriksaan pada mata dan rima orbita, lihat integritas dari rima orbita, dasar
rima orbita, visus, gerakan ekstraokuler, posisi bola mata, dan jarak interkantus. Tidak seperti
fraktur le fort II, fraktur le fort III berhubungan dengan rima bagian lateral, dan tulang

23
zigomatikus. Perubahan ketajaman pengihatan dapat terjadi karena kanalis optikus mengalami
kerusakan, atau lesi neurologic lainnya. Gangguan pada gerakan ekstraokular bola mata atau
enophthalmus dapat terjadi karena hancurnya dasar orbita.

Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur maksilaris adalah fiksasi fragmen-fragmen


fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan teknik pemasangan kawat secara
langsung atau memakai kawat penyangga internal. Plat tulang yang kecil juga dapat dipakai
imobilisasi segmen-segmen fraktur sebagai pengganti kawat pengikat. Seperti yang ditekankan
pada pembahasan fraktur mandibula, pemakaian flat stabilisasi dapat menggantikan kebutuhan
untuk fiksasi lengkung gigi atas dan bawah pasca operasi. Berbagai pendekatan bedah mungkin
diperlukan dalam penanganan fraktur maksila. Insisi yang berhati-hati memungkinkan paparan
seluruh kerangka wajah, dengan hanya meninggalkan parut yang minimal pasca operasi. Bila
dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi interna memakai kawat tidak member reduksi atau
fiksasi yang memuaskan, maka mungkin dapat digunakan alat fiksasi eksterna untuk membuat
traksi lateral atau anterior juga diperlukan. Diketahui sebelumnya, bingkai hallo juga dapat
dipakai.

Karena kebanyakan fraktur maksilaris bersifat majemuk ( compound ) melibatkan baik


rongga mulut ataupun hidung, maka pemberian antibiotic sangatlah tepat. Penisilin merupakan
obat pilihan pada pasien yang tidak alergi. Jika kondisi pasien cukup baik setelah trauma
tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang
sangat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksia mengalami kesulitan jika pasien datang
terlambat atau kerusakan sangat hebat dan disertai dengan fraktur servikal atau tterdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan
dilakukan fiksasi.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah
dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada
tindakan ini banyak digunakan kawat baja atau miniplate sesuai garis fraktur.

Pada cedera fraktur Le Fort III yang merupakan cedera paling berat dimana seluruh
perlekatan rangka wajah pada cranium terputus, biasanya diperlukan terapi teknik reduksi
terbuka dengan pemasangan kawat secara langsung bersamaan dengan fiksasi intermaksilaris.

24
Dengan penatalaksanaan yang terencana dan teknik pembedahan yang baik, fraktur
maksila mempunyai prognosis yang baik. Umumnya terjadi infeksi sekitar 60 %. Sedikit
penelitian yang potensial membuat ukuran hasil dari penatalaksanaan fraktur maksila menjadi
sullit dinilai. Perbaikan fraktur maksila yang sederhana dapat mengembalikan bentuk estetika
dan fungsi tulang. Sedangkan pada fraktur maksila yang kompleks sering meninggalkan
gangguan fungsi dan bentuk estetika tulang tidak dapat kembali sempurna. Pembedahan awal
yang dilakukan dengan cermat dapat memberikan hasil yang baik sehingga dapat
mengembalikan kondisi pretrauma.

2.2.5 Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan fraktur tulang wajah yang paling sering terjadi. Hal ini
disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.

Gambar 8. Fraktur Mandibula

Digman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis. Mandibula dibagi
menjadi tujuh regio yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus, prosesus koronoid, prosesus kondilar,
prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat satu, dua atau lebih pada regio mandibula.

25
Frakur prosesus cindylus merupakan fraktur mandibula yang paling sering terjadi.
Trauma pada dagu dapat menyebabkan fraktur prosesus condylus bilateral. Trauma sebelah sisi
mandibula biasanya fraktur badan mandibula ipsilateral dan leher mandibula kontralateral

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat


kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala berikut : maloklusi gigi, gigi dapat
digerakkan, laserasi intraoral, nyeri mengunyah, deformitas tulang. Fraktur amndibula dapat
disertai dengan gejala lainnya, antara lain :

o Pembengkakan dan ekimosis pada kulit yang meliputi mandibula


o Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior
o Anasthesia yang terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau gigi dimana nervus
alveolaris inferior manjadi rusak
o Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
o Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah dan lain-lain.
o Gangguan jalan nafas. Kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi,
trismus, hematoma, edema pada jaringan lunak. Kalau terjadi obstruksi yang hebat dari
jalan nafas harus dilakukan trakeostomi.
o Fraktur condylus bilateral menyebabkan tertariknya otot pteriogois eksternal sehingga
mandibula tertarik ke depan. Akibatnya, oklusi gigi molar tidak sempurna.

Pada pemeriksaan fisik dilihat apakah terdapat fraktur pada geligi dan penilaian dapat
dilakukan dengan menanyakan ataupun langsung memeriksa oklusi geligi pasien. Umumnya
pasien dapat menyatakan dengan tepat apakah rangkaian geligi atas dan bawah dapat pas
mengatup, dan pemeriksaan dapat mengungkapkan kontur lengkung gigi atas atau bawah yang
tidak tepat. Pemeriksaan intraoral dapat memperlihatkan laserasi di atas mandibula atau mungkin
deformitas mandibula yang jelas terlihat atau dapat diraba, dimana kedua keadaan ini memberi
kesan fraktur. Bagian mandibula yang paling sering fraktur adalah kondilus dan angulus
mandibula.

26
Gambar 9. Pemeriksaan mandibula

Gambar 10. Pemeriksaan mandibula

Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat dilakukan


dengan foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, Towne, lateral obliq, kiri dan kanan.
Jikalau diperlukan pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer.

Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek
kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan
sempurna.

Pada fraktur parasimfisis bilateral yang diikuti oleh jatuhnya lidah ke belakang ke dalam
faring harus dihindari terjadinya obstruksi jalan nafas. Dan hilangnya atau lepasnya gigi harus di
hitung karena bisa tertelan. Segera setelah kondisi pasien membaik, sebaiknya perbaiki fraktur
mandibula unyuk membuat pasien lebih nyaman dan untuk mengurangi infeksi.

27
Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian mandibula
dengan geligi ituh terhadapa maksila dengan geloigi yang utuh juga. Fraktur mandibula yang
lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat ataupun plat
secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi
intermaksilaris dengan batang-batang lengkung.

Antibiotik penisilin merupakan obat terpilih perlu diberikan pada semua pasien fraktur
mandibula oleh karena mukoperiosteum mandibula menempel erat pada mandibula, sehingga
fraktur mandibula merupakan fraktur compound . antibiotik harus diberikan sejak saat fraktur
hingga mukoperiosteum menyembuh dan menjadi stabil.

Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan higiene mulut
dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian antibiotik, analgesik, demikian juga
tindakan stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil. Elastik angka delapan atau
balutan Barton di sekeliling kepala lazim dilakukan untuk menyongkong mandibula,
menstabilkan fragmen-fragmen fraktur dan mengurangi nyeri. Makanan dapat diberikan lewat
mulut asalkan dalam bentuk sangat lunak, meskipun cedera berat memerlukan pemberian
makanan dengan tuba ataupun intravena. Perawatan pasien setelah dilakukan reduksi fraktur
mandibula ditekankan pada pemberian makanan dan hiegene mulut. Diet pasca reduksi haruslah
bergizi normal dan mencakup sebagian besar makanan yang dikonsumsi sebelum cedera. Higene
mulut harus dipelihara. Trismus , maloklusi dan hilangnya gigi merupakan komplikasi yang
mungkin terjadi pada fraktur mandibula. Walaupaun jarang, osteomilitis pada mandibula dapat
terjadi.

2.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: aspirasi, gangguan airway, scars,
deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat, kerusakan saraf yang
mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah, bau, rasa, sinusitis, infeksi, mal-oklusi,
perdarahan.8

28
2. 7 Prognosis
Bila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma maksilofasial, prognosis
bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil
atau luka tembak, misalnya, dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan
beberapa prosedur pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan.
Trauma maksilofasial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada angota tubuh lain
yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak yang luas atau avulsi dan fraktur
tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk.
Perdarahan berat dari trauma yang luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan
napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian yang tinggi.8

BAB III

29
KESIMPULAN

Wajah tersusun oleh otot-otot wajah dan tulang-tulang wajah, yaitu orbita, nasal,
mandibula, maksila, dan zigoma. Wajah yang merupakan karakteristik tiap orang mempunyai
salah satu fungsi yaitu sebagai estetika, jika terjadi gangguan pada wajah, maka seseorang
merasa sangat terganggu.

Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat kecelakaan. Luka
tau jejas yang terjadi harus cepat ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau perburukan
keadaan sehingga menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.

Penanganan pertma pada emergensi fraktur maksilofasial adalah membuka jalan nafas
(airways) apabila tersumbat atau mempertahankan jalan nafas smapai oertolongan selanjutnya
dilakukan, kemuadian breathing dan sirkulasi darah pasien, lalu mengontrol perdarahan yang ada
agar tidak terjadi syok pada pasien.

Terakhir baru dapa dilakukan tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk
merehabilitasi fungsi-fungsi yang ada sekalian memperbaiki estetika pasien. Oleh sebab
terdapatnya komplikasi dan gangguan pada trauma maksilofasial, maka lebih baik menjaga agar
tidak terjadi trauma maksilofasial tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Fahrev. Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. Departemen
Bedah Mulut Dan Maksilofasial. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. Di
unduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/6/Abstract.pdf. 2010,
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000, Advance Life
Support Course Sub – Committee of the Resuscitation Council (UK). Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
3. Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumatra Barat. Diakses dari: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.
4. Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries.
Attending Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine Journal
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Jakarta: Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.
6. Ballinger WF,Rutherford RB, 1968, Zeidema GD.The Management Of Trauma. London :
WB Sounders Company.
7. Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa
Humardja Santasa.5th ed.. Jakarta : EGC.
8. Buchari Kasim. Trauma Wajah, Luka Bakar dan Luka Avulsi. Cermin Dunia Kedokteran.
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera. Medan. 2003
9. Romenofsky ML, Bell RM. Advanced trauma live support for doctor ATLS. Ninth edition.
American College of Surgeons. Chicago. 2012

31

Anda mungkin juga menyukai