Anda di halaman 1dari 12

Tugas Makalah

Matakuliah Komunikasi Antarbudaya

CULTURE SHOCK DAN AKULTURASI

Disusun oleh :

Nama : RIRIS KUSMIYATI


NPM : 2020040036
Kelas : Reg B
Prodi : Magister Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
2021
CULTURE SHOCK

Culture shock atau gegar budaya pertama kali diperkenalkan oleh Kalvero Oberg,
seorang antropolog Kanada pada tahun 1954. Menurutnya gegar budaya adalah
kegelisahan yang terjadi secara cepat karena adanya rasa kehilangan semua simbol dan
tanda-tanda yang sudah terbiasa/familier dalam berinteraksi dan pergaulan sosial.
Culture shock dapat dikatakan sebagai kegelisahan dan perasaan bingung, terkejut,
takut, marah, kecewa, dan lain lain, yang dirasakan apabila seseorang tinggal dalam
kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Perasaan
ini timbul akibat kesukaran dalam asimilasi kebudayaan yang baru, menyebabkan
seseorang sulit mengenali apa yang wajar dan tidak wajar. Sering kali perasaan ini
digabung dengan kebencian moral atau estatik yang kuat mengenai beberapa aspek dari
budaya yang berlainan atau budaya baru tersebut.

Sebagai contoh, seorang yang berasal dari sebuah desal di Nias mendapat tugas
belajar ke Belanda sehingga harus tinggal di sana selama beberapa tahun. Saat di Belanda,
ia mengalami culture shock karena menemukan makanan yang jauh berbeda dengan yang
biasa dimakannya. masakan dengan bumbu yang jauh berbeda dengan daerah asalnya. Ia
juga harus bergaul dengan masyarakat Belanda yang sangat liberal dan terbuka dalam
pergaulan bahkan menganut netralitas gender sehingga banyak ditemukan pasangan yang
sering berciuman di tempat umum, orang-orang yang berpakaian minim di tempat umum
atau bahkan pasangan sesama jenis. Semua hal tersebut merupakan hal-hal baru baginya
yang tidak ditemuinya di kampung halamannya.
Culture shock juga dapat dikatakan sebagai suatu penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah
atau dipindahkan ke luar negeri. Sebagaimana kebanyakan penyakit lainnya, culture shock
juga mempunyai gejala - gejala dan pengobatannya sendiri.

1. Tahap-Tahap Yang Terjadi Dalam Culture Shock


Terdapat beberapa tahap yang umumnya dilalui ketika mengalami culture shock yakni

1) Tahap Bulan Madu (The Honeymoon stage)


Pada fase ini perbedaan antara budaya baru dan lama dilihat dengan sudut
pandangan romantik, menarik, dan baru. Sebagai contoh, pada saat berpindah ke
negara asing, seseorang mungkin menyukai makanan yang baru, ritme kehidupan
yang baru, sifat masyarakat yang baru, arsitektur bangunan yang baru, dan
seterusnya.
2) Tahap krisis (Frustation Stage)
Pada tahap ini mulai dirasakan perbedaan yang sangat besar antara budaya lama
dengan budaya baru, dan menimbulkan masalah-masalah seperti makanan yang
tidak sesuai, logat bahasa yang susah dimengerti, kebiasaan jual beli dan
sebagainya. Hal tersebut memunculkan rasa kesepian, merasa terasing dari
lingkungan. Situasi akan dapat dilalui jika mampu menyesuaikan diri dengan baik.
3) Tahap Penyesuaian (the adjustment phase)
Dalam fase ini, seseorang sudah mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan yang
baru dan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Kebiasaan dan sifat masyarakat di
tempat yang baru sudah mulai dikenali dan diterima dengan baik. Komunikasi mulai
terjalin semakin baik dan kebiasaan atau budaya baru mulai terbentuk
menyesuaikan dengan lingkungan yang baru.
4) Tahap Penerimaan (bi-cultural phase)
Pada tahap inilah seseorang sudah bisa menerima perbedaan budaya serta merasa
nyaman hidup dengan dua kebudayaan sekaligus. Perbedaan budaya yang dihadapi
sudah dapat diterima dan bukan masalah lagi. Pada tahap ini pula, seseorang sudah
dapat menilai dan memilih mana budaya yang lebih baik untuk diambil menjadi
bagian dari dirinya. Inilah yang kemudian menghasilkan penerimaan dan adaptasi
kebudayaan yang baru tanpa menghilangkan kebudayaan yang lama.

2. Culture Shock di Tengah Pandemi COVID-19


Fenomena culture shock umumnya kita jumpai pada seseorang yang tinggal di luar
daerahnya seperti di luar negeri. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perubahan
yang besar dan luar biasa juga terjadi di sekitar kita meski kita tidak melakukan perpindahan
ke luar negeri. Misalnya saja situasi yang sekarang dihadapi pada masa pandemi COVID-
19 yang melada hampir semua negara di dunia. Adanya pandemi COVID-19 menjadikan
segala kebiasaan dan budaya dalam kehidupan dunia berubah drastis. Segala pekerjaan
dilakukan dari rumah. Bahkan di beberapa daerah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar). Hal ini tentunya menimbulkan dampak yang sangat signifikan, terutama
pada kebiasaan.
Pekerjaan yang biasanya dilakukan di luar rumah/ ditempat kerja masing-masing,
kini harus mengikuti aturan WFH (Work From Home). Proses belajar mengajar di dunia
pendidikan yang biasanya dilaksanakan di sekolah atau kampus, kini menjadi pembelajaran
daring atau disebut juga home learning. Hal lain yang dapat kita jumpai yaitu kewajiban
menggunakan masker setiap keluar rumah, serta rajin mencuci tangan memakai air dan
sabun. Begitu pula pekerjaan seperti pedagang di pasar mulai dibatasi karena mengikuti
aturan untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak.

Pandemi COVID-19 membuat banyak orang harus bekerja dengan menggunakan alat pelindung diri
Perubahan kebiasaan ini membuat hampir semua masyarakat mengeluh dan
merasa frustrasi dengan keadaan. Misalnya, orang tua mengeluh karena merasa kewalahan
dalam mendampingi anak belajar secara daring di rumah. Begitupula dengan anak yang
kurang fokus dan tidak terbiasa belajar di rumah karena tidak dapat berinteraksi dengan
temannya. Para pekerja harian yang kehilangan pekerjaan karena aturan menghindari
kerumunan dan masih banyak lagi keluhan yang dirasakan oleh masyarakat. Rasa frustrasi
itu timbul dari ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang baru. Jelaslah
culture shock melanda dengan begitu dahsyat. Perasaan terkejut, gelisah, keliru yang
dirasakan saat seseorang bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali,
seperti ketika berada di negara asing. Begitulah pula yang dirasakan masyarakat di masa
pandemi COVID-19 ini. Tinggal di negara sendiri namun bagaikan berada di negara asing,
karena pola kehidupan yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Perasaan ini timbul
akibat adanya perbedaan dan kesukaran dalam beradaptasi dengan budaya baru. Culture
shock dapat mencakup aspek yang ada di kehidupan sehari-hari seperti makanan, cara
berpakaian, harga barang, kebiasaan, dan lain sebagainya. Semakin berbeda budayanya,
semakin besar efek yang ditimbulkan.
Apabila kondisi ini masih terus dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, maka
dapat menimbulkan dampak yang kurang baik untuk kelangsungan hidup ke depannya.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat untuk
mengatasi fenomena culture shock di masa pandemi COVID-19.
Pertama, berpikir positif. Artinya wabah ini tidak dianggap sebagai suatu bencana,
akan tetapi lebih pada pembelajaran pada diri kita untuk selalu menjaga kebersihan, lebih
peduli dengan kesehatan, serta mempunyai lebih banyak waktu untuk membangun
kedekatan dengan keluarga. Selain itu, sisi positif yang dapat kita lihat yaitu adanya
kerjasama seluruh warga negara di berbagai belahan dunia, memicu solidaritas antar
sesama, kualitas udara membaik karena berkurangnya tingkat penggunaan kendaraan
akibat isolasi mandiri yang harus dilakukan, dan masih banyak hal positif yang dapat kita
lihat dari adanya wabah virus COVID-19. Dengan kita berpikir positif, maka kecemasan
akibat perubahan kebiasaan perlahan akan mulai berkurang dan kita dapat menjalani
kehidupan yang lebih baik.
Kedua, melakukan kegiatan positif di rumah. Untuk menghindari rasa bosan di
rumah, kita dapat melakukan beberapa kegiatan positif yang juga dijadikan kesempatan
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri. Misalnya bagi yang memiliki hobi
memasak bisa mencoba resep masakan baru untuk para anggota keluarga. Bagi yang
memiliki hobi travelling, bisa melakukan virtual travelling. Bagi yang suka seni bisa mencoba
membuat kerajinan tangan. Bagi pecinta musik bisa berlatih bermain musik ataupun
menciptakan beberapa lagu. Bagi penulis bisa menuangkan ide/gagasannya untuk
menghasilkan sebuah tulisan yang bermanfaat. Bagi pedagang yang terbiasa jualan secara
langsung, bisa beralih ke sistem penjualan online. Serta masih banyak lagi kegiatan positif
yang dapat dilakukan untuk menghindari kebosanan dan menghilangkan perasaan cemas
selama masa pandemi COVID-19.
Ketiga, menerapkan pembelajaran yang menarik. Hal ini dapat dilakukan oleh guru
ataupun orang tua siswa. Untuk menghindari kebosanan anak dalam melaksanakan
pembelajaran online, anak dapat diberikan kuis online melalui aplikasi tertentu yang
berisikan beberapa soal mengenai materi. Hal ini dapat memacu semangat belajar anak
serta menghindari kebosanan. Kemudian memberikan ruang untuk anak belajar secara
langsung seperti membuat suatu karya berupa poster bertemakan COVID-19. Serta masih
banyak lagi hal yang dapat dilakukan guru atau pun orang tua untuk meningkatkan
ketertarikan belajar anak.
Berdasarkan solusi tersebut, inti yang harus kita lakukan untuk menghindari kondisi
culture shock selama masa apandemi COVID-19 adalah dengan berpikir dan berperilaku
positif. Hal itu dapat dimulai dari diri kita sendiri. Dengan berpikir dan perperilaku positif, kita
dapat menyebarkan vibrasi positif kepada lingkungan sekitar kita, sehingga memberikan
kontribusi terhadap upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
AKULTURASI

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul saat suatu kelompok manusia
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah tanpa menghilangkan unsur
kebudayaan kelompok itu sendiri.

Contoh akulturasi budaya di antaranya adalah seni wayang. Wayang adalah bentuk
akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan India. Tokoh pewayangan seperti
Semar, Gareng dan Petruk, merupakan kebudayaan Jawa yang kemudian dikisahkan
dengan cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Contoh lain, akulturasi di bidang
arsitektur antara lain bangunan mesjid Tan Kok Liong di Cibinong Bogor yang didirikan oleh
Anton Medan. Mesjid yang merupakan bagian dari budaya Islam ini memiliki arsitektur
seperti klenteng di mana pengaruh budaya China tampak sangat kuat.

- Mesjid Tan Kok Liong di Cibinong, Bogor -

Di era revolusi industri 4.0 sekarang ini, terjadinya akulturasi juga dapat kita lihat
misalnya pada permainan ludo dan ular tangga. Permainan tradisional Indonesia ini
sekarang sudah dilakukan dengan menggunakan ponsel pintar (smartphone) dan tidak lagi
secara tatap muka melainkan secara online.

1. Proses Akulturasi
Proses akulturasi dapat terjadi secara paksa dan dapat pula terjadi dengan
damai. Jika terjadi dengan pemaksaan, maka prosesnya berlangsung cepat dan akan
mudah hilang dalam waktu singkat. Misalnya akulturasi yang dilakukan oleh penjajah di
wilayah jajahannya. , akan hilang ketika penjajah pergi. Sebaliknya, proses akulturasi
yang berlangsung dengan cara damai akan mampu bertahan lama jika dibandingkan
dengan cara pemaksaan. Proses penyesuaiannya sangat lama dan melekat erat
dalam kehidupan masyarakat.
Terkait dengan prosesnya, terdapat berbagai perdebatan teori apakah proses ini
dilakukan oleh individu ataupun kelompok. Sebuah teori menyatakan, akulturasi
merupakan proses kelompok tanpa mengacu pada peran individu. Sedangkan teori
yang lain mengatakan bahwa meskipun kelompok sebagai elemen penting dalam
akulturasi, tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap akulturasi individu. Kemudian muncul
pula teori yang menyatakan bahwa pada akhirnya akulturasi dapat terjadi pada
keduanya, baik individu maupun kelompok.
Akulturasi sendiri terjadi karena adanya kontak budaya dapat muncul karena
adanya kontak kebudayaan dengan kebudayaan asing yang lama kelamaan diterima
oleh kebudayaan setempat tanpa menghilangkan jati diri kebudayaan aslinya. Bentuk-
bentuk kontak kebudayaan yang dapat menimbulkan akulturasi adalah:
- Kontak sosial pada seluruh kalangan masyarakat tanpa kecuali;
- Kontak budaya antara kelompok yang bersahabat dengan yang bermusuhan;
- Kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai;
- Kontak budaya antar masyarakat, baik itu yang yang memiliki warga yang sedikit
atau pun banyak;
- Kontak budaya antar sistem yang sederhana maupun yang kompleks, baik sistem
budaya, sosial dan unsur budaya fisik.

2. Dampak Akulturasi
Pada akulturasi, sering kali terjadi perubahan dan perkembangan kebudayaan
masyarakat setempat. Perubahan-perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun
negatif bagi masyarakat. Dampak-dampak akulturasi adalah sebagai berikut:
 Adisi adalah penambahan unsur-unsur kebudayaan lama dengan unsur-unsur
kebudayaan baru sehingga timbul perubahan struktural atau tidak sama sekali.
 Sinkretisme adalah perpaduan unsur-unsur kebudayaan lama dengan unsur-unsur
kebudayaan baru dengan tidak meninggalkan jati diri masing-masing dan
membentuk sistem kebudayaan baru.
 Substitusi adalah unsur-unsur kebudayaan yang telah ada atau terdahulu diganti
oleh unsur-unsur kebudayaan yang baru, terutama yang dapat memenuhi fungsinya.
Dalam hal ini, kemungkinan terjadi perubahan struktural sangat kecil.
 Dekulturisasi adalah tumbuhnya unsur-unsur kebudayaan yang baru untuk
memenuhi berbagai kebutuhan baru karena perubahan situasi.
 Rejeksi adalah penolakan unsur-unsur perubahan yang terjadi amat cepat sehingga
sebagian besar orang tidak dapat menerimanya. Hal ini dapat menimbulkan
penolakan, bahkan pemberontakan atau gerakan kebangkitan.

3. Jenis Akulturasi
Terdapat tiga jenis akulturasi, yaitu sebagai berikut:
 Blind acculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika orang-orang dengan budaya
yang berbeda tinggal secara berdekatan satu sama lain dan pola-pola budaya
dipelajari secara tidak sengaja.
 Imposed acculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika terdapat unsur pemaksaan
pada posisi suatu budaya oleh budaya lain.
 Democratic acculturation. Akulturasi jenis ini terjadi ketika representasi tiap budaya
menghormati budaya lainnya.

4. Aspek Akulturasi
Menurut Berry (2005), akulturasi dapat diukur berdasarkan beberapa aspek, yaitu
sebagai berikut:
a. Cultural Maintenance
Cultural Maintenance merupakan perilaku individu dalam mempertahankan budaya
dan identitas dari daerah asalnya. Perilaku tersebut dapat tampak dalam kegiatan
yang dilakukan sehari-hari, misalnya saja dalam berkomunikasi (penggunaan
bahasa), penggunaan pakaian, penggunaan lambang-lambang budaya, dan lain
sebagainya.
b. Contact and Participation
Contact and Participation merupakan tindakan individu untuk melakukan kontak dan
berpartisipasi dengan kelompok mayoritas bersama dengan kelompok budaya
lainnya. Perilaku-perilaku dalam beradaptasi terhadap budaya yang berbeda
mencakup peran dari status kelompok, identifikasi, pertemanan (friendships), dan
penilaian ideologi.
Perilaku pertemanan (friendships) merupakan salah satu cara dalam melakukan
kontak dengan anggota kelompok lain yang dapat meningkatkan persepsi dan
evaluasi dari kelompok lain. Pertemanan (friendships) dapat meningkatkan emosi
positif yang mengarah pada perilaku yang lebih baik dari kelompok lain. Outgroup
friendships atau pertemanan dengan kelompok lain akan menurunkan tingkat
prasangka, meningkatkan rasa simpati, dan meningkatkan kepedulian terhadap
situasi dan masalah yang dihadapi oleh kelompok budaya lain.

5. Strategi Akulturasi
Menurut Rahmita dan Subandi (2015), terdapat empat strategi akulturasi yang biasanya
dialami oleh individu, yaitu sebagai berikut:
a. Integrasi (integration)
Integrasi yaitu individu tetap mempertahankan budaya asli mereka tetapi individu
juga ingin berpartisipasi terhadap budaya luar yang masuk ke dalam budaya
mereka. Baik budaya asli dan budaya luar diterima oleh individu. Nilai-nilai budaya
asli tetap dipertahankan dan nilai-nilai budaya luar juga ikut diadopsi yang pada
akhirnya akan mempengaruhi perilaku individu tersebut. Salah satu perubahan yang
terjadi, misalnya mereka dapat berbicara dua bahasa atau lebih.
b. Asimilasi (assimiliation)
Asimilasi yaitu individu hilang kontak (tidak memiliki kontak) dengan budaya asli
mereka tetapi individu lebih memilih mengadakan kontak dengan budaya luar. Jadi,
individu menolak budaya asli mereka dan secara menyeluruh mengasimilasi budaya
luar. Terjadi perubahan dalam perilaku mereka, yaitu mengikuti nila-nilai budaya
luar. Mereka mengurangi interaksi dengan orang-orang dari budaya asli mereka,
mereka berbicara menggunakan bahasa dari budaya luar ketika mereka berinteraksi
dengan orang-orang dari budaya asli mereka sendiri.
c. Separasi (separation)
Separasi yaitu individu mempertahankan nilai-nilai budaya asli mereka dan menolak
nilai-nilai budaya luar yang masuk. Individu hanya mengadakan interaksi dengan
budaya asli mereka tetapi tidak mengadakan interaksi dengan budaya luar. Jenis ini
merupakan kebalikan dari asimilasi. Individu tersebut menggunakan bahasa asli
mereka dalam berinteraksi dengan orang-orang dari budaya luar serta dari budaya
mereka sendiri.
d. Marginalisasi (marginalization)
Marginalisasi yaitu individu memutuskan untuk menolak budaya asli dan budaya
luar. Individu tidak mempertahankan budaya asli mereka tetapi juga tidak menerima
budaya luar. Maka dari itu, tidak terjadi perubahan dalam diri individu yang
disebabkan oleh budaya luar, tetapi individu juga tidak berusaha mempertahankan
budaya asli mereka.

6. Faktor Pendukung dan Penghambat Akulturasi


Menurut Berry (2005), akulturasi memiliki faktor pendukung dan penghambatnya.
Beberapa faktor yang menjadi pendukung terjadinya akulturasi antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Kapan kontak mulai terjadi, ketika kontak terjadi pada saat awal-awal kehidupan
kemungkinan besar menerima resiko kecil sedangkan ketika perpindahan atau
merantau dilakukan pada masa tua kemungkinan besar resiko akan diterimanya.
b. Gender, wanita memiliki resiko lebih besar menerima masalah daripada pria. Faktor
yang berpengaruh adalah status dan keadaan yang berbeda antara daerah asli dan
daerah rantauan yang akhirnya menuntut wanita untuk menggunakan satu peran
yang berlaku di masyarakat tersebut dan penyelesaian yang dilakukan
memungkinkan untuk timbul konflik terhadap budaya aslinya.
c. Pendidikan, merupakan faktor yang selalu berhubungan dengan penyesuaian diri
yang positif. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh maka semakin rendah tingkat
stress yang dialami. Pendidikan berkaitan dengan identifikasi masalah, penyelesaian
masalah, berkaitan dengan faktor-faktor pelindung diri seperti status, jabatan,
dukungan sosial kemudian pendidikan juga membuat individu membiasakan diri
untuk berperilaku dengan ciri masyarakat asli yang merupakan awal dari proses
akulturasi misalnya terhadap bahasa, sejarah, nilai, norma dan kultur sosial.
d. Status, pengalaman umum yang dialami para perantau adalah kombinasi antara
kehilangan status dan keterbatasan gerak. Kualifikasi frekuensi status pergi lebih
tinggi daripada status datang tetapi ada kemungkinan juga terdapat perbedaan
dalam kualifikasi yang bisa berlanjut pada kehilangan status dan resiko stress.
Dalam hal ini kualifikasi pribadi atau personal yang membawa pada proses
akulturasi, tetapi juga ada interaksi yang terjalin antara perantau dan masyarakat
asli. Masalah kehilangan status dan keterbatasan gerak biasanya terjadi pada saat
berjalannya akulturasi.
e. Alasan merantau, dipengaruhi oleh dua motivasi yaitu push dan pull motivation. Pull
motivation adalah individu merantau karena keinginannya dan memiliki harapan
yang positif dari daerah rantauannya yang akan menghasilkan sikap yang proaktif.
Sedangkan push motivation, individu memilih untuk merantau karena dipaksa, tidak
sengaja dan memiliki harapan yang negatif yang akan menghasilkan sikap yang
reaktif.
f. Seberapa jauh perbedaan antara dua budaya yang melakukan kontak, semakin jauh
perbedaan yang dirasakan antar budaya tersebut maka semakin tinggi kemungkinan
menimbulkan konflik.
g. Personal factor, misalnya self efficacy, locus of control, introvert/ekstrovert

Menurut Fajar (2009), hambatan-hambatan dalam proses akulturasi disebabkan oleh


beberapa faktor yaitu sebagai berikut:

a. Mengabaikan perbedaan antara individu dan kelompok yang secara kultural


berbeda. Ini terjadi dalam hal nilai, sikap dan kepercayaan. Individu dengan mudah
mengakui dan menerima perbedaan gaya rambut, cara berpakaian, dan makanan.
Tetapi dalam hal nilai-nilai dan kepercayaan dasar, menganggap bahwa pada
dasarnya manusia itu sama itu tidak benar. Bila mengasumsikan kesamaan dan
mengabaikan perbedaan secara implisit mengkomunikasikan kepada lawan bicara
bahwa ia yang benar dan cara orang lain tidak penting.
b. Mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda.
c. Melanggar adat kebiasaan kultural. Setiap kultur itu mempunyai aturan komunikasi
sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan mana yang tidak patut.
d. Menilai perbedaan secara negatif. Adanya perbedaan di antara kultur-kultur tidak
boleh menilai perbedaan itu sebagai hal yang negatif.
e. Kejutan budaya. Kejutan budaya mengacu pada reaksi psikologis yang dialami
seseorang karena di tengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai