Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Gegar Budaya (Culture Shock) Terhadap Sikap Mahasiswa Asal Papua

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Dosen: Prof. Dr. Hj. Mien Hidayat. Dra., M.S

ULFA YUNIATI 20080012043 Kelas : B

PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1;

Latar Belakang Manusia terdiri dari berbagai bangsa dan suku yang beraneka ragam. Dan sudah

menjadi fitrah bagi manusia untuk saling mengenal dan mempelajari satu sama lain. Seperti yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. (Q.S:49:13) Keanekaragaman menjadi hal menarik untuk dipelajari karena manusia rasa ingn tahu. Ketertarikan suatu bangsa terhadap bangsa lain menimbulkan keinginan dalam diri manusia untuk mengunjungi bangsa lain untuk belajar lebih dalam mengenal kebudayaan suatu bangsa atau sekedar menikmati kebudayaan yang dimiliki bangsa lain. Adanya keinginan manusia untuk saling mengenal dan mempelajari keanekaragaman suku bangsa memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya. Pada dasarnya pertemuan budaya secara historis sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, namun interaksi yang terjadi pada masa sekarang memiliki kompleksitas yang lebih tinggi. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, dengan pengetahuan, norma, adat istiadat dan budaya di sekitarnya. Kenyataanya tidak semua orang dapat mengatasi dan menerima baik secara langsung ataupun tidak dari setiap yang terjadi dalam berhubungan dengan kita, masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah ataupun cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi ataupun norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain. Kenyataan ini yang disebut dengan proses komunikasi antar budaya.1 Komunikasi antarbudaya menurut Stewart (1974) komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, normanorma, adat istiadat dan kebiasaan. Sedangkan komunikasi antarbudaya menurut umum adalah pengirim pesan berasal dari budaya lain dan penerima pesannya juga berasal dari budaya lain. Saat itu di sinilah timbul ketidakpahaman pesan satu sama lainnya dan keterkejutan budaya karena adanya perbedaan dengan budaya kita.

1 http://dossuwanda.wordpress.com/2008/04/04/gegar-budaya-sebagai-proseskomunikasi-antar-budaya/

Sebuah jurnal menceritakan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan sekolah menegah dan hendak melanjutkan ke universitas, untuk pertama dia akan bangga mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang baru, antusiasme untuk belajar agar menuai kesuksesan dalam lingkungannya yang baru. Namun, pada akhirnya siswa tersebut terhadap lingkungan barunya mengalami ketidaknyamanan hingga membuatnya tidak lagi ingin melanjutkan kuliahnya (Balmer, 2009). Dari jurnal ilmiah ini bisa disimpulkan bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami gegar budaya ( culture shock) sebagai akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah mengenah yang lama ke lingkungan universitas yang baru, kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru seperti yang diungkapkan Balmer dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada kompetensi akademik siswa tersebut. Akan menjadi negative kalau gegar budaya (culture shock) tersebut tidak teratasi dalam hal ini orang gagal untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya dan menjadi depresi (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2000). Dalam hal ini siswa menjadi depresi dan tidak ingin masuk kuliah lagi (sumber: http://www.scribd.com/doc/46455585/LATAR-BELAKANG). Gegar budaya (culture shock ) tidak hanya dialami mahasiswa asing yang datang ke Indonesia. Bahkan gegar budaya (culture shock) juga dapat dialami oleh mahasiswa lokal yang harus meninggalkan daerah asalnya untuk kuliah di daerah lain yang dianggap memiliki mutu pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya seperti yang diungkapkan Claus, salah seorang mahasiswa asal Papua yang menyebutkan: Sebagai anak Papua, saya termasuk yang tinggal dan besar di kota. Tapi begitu datang dan melihat bandung. Waduh luar biasa sekali kemajuanya. Saya selama enam bulan pertama merasa terasing dan sendirian disini. Sulit membaurkan diri dengan kultur disini. (Pikiran Rakyat, 18 Desember 1997 dalam Hidayat 2000). Antropolog Cylde Khuckpohn memperingatkan kita bahwa setiap jalan kehidupan yang berbeda, memiliki asumsi tentang tujuan keberadaan manusia, tentang apa yang diharapkan dari orang lain dan dari Tuhan, tentang apa yang menjadi kejayaan dan kegagalan. Aspek budaya terbuka (overt) dan tertutup (covert) menunjukkan bahwa banyak kegiatan sehari-hari kita dipengaruhi oleh pola dan tema yang asal ( genuine) dan maknanya kurang kita sadari. Kelakuan (behavior) dipengaruhi oleh budaya itu memudahkan kebiasaan (habits) hidup sehari-hari, sehingga seseorang melakukan banyak perbuatan (terutama yang aneh, menyimpang dan fatal) tanpa memikirkan akibat dari perilakunya tersebut. Furham dan Bochner (dalam hidayat, dkk, 2000), mengungkapkan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan. Seringkali menjadi sumber atau penyebab munculnya culture

shock, yaitu suatu istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke daerah baru. Pada umumnya culture shock dialami oleh pendatang selama 6 bulan sampai tahun pertama kedatangan. Istilah gegar budaya (culture shock) pertama kali digunakan oleh seorang ahli antropologi Oberg (1960) yaitu untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke suatu daerah baru, di mana pengalaman dalam menghadapi budaya baru adalah kejutan yang tidak menyenangkan (shock) karena merupakan sesuatu yang tidak diharapkan bisa juga mengarah pada penilaian negatif terhadap kebutuhan sendiri. Gegar budaya ini biasanya yang terjadi pada mahasiswa dari luar kota yang melanjutkan studi-nya ke luar. Mereka harus mengalami waktu untuk beradaptasi atau menyesuaikan dengan keadaan di sekelilingnya agar ia dapat diterima oleh orang disekitarnya. Gegar budaya ini timbul karena kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari. Jika seseorang memasuki alam kebudayaan baru, timbul memacam kegelisahan dalam dirinya. Kecenderungan dalam menghadapi sesuatu yang baru ini bersifat alami dan normal. Tetapi perasaan itu dapat mengarah pada rasa takut, tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang, maka dikatakan ia sedang mengalami culture shock, yakni masa khusus transisi serta perasaan-perasaan unik yang timbul dalam diri orang setelah ia memasuki suatu kebudayaan baru. Orang yang mengalami fenomena culture shock ini akan merasakan gejala-gejala fisik seperti pusing, sakit perut, tidak bisa tidur, ketakutan yang berlebihan terhadap hal yang kurang bersih dan kurang sehat, tidak berdaya dan menarik diri, takut ditipu, dirampok, dilukai, melamun, kesepian, disorientasi dll. (Dodd, 1982:97-98). Karena sifatnya yang cenderung disorientasi, culture shock, menghambat KAB (komunikasi antarbudaya yang efektif). Dari hasil penelitian Niam (2008), mengungkapkan bahwa kesulitan yang sering dialami mahasiswa luar Jawa sewaktu pertama kali di Jawa adalah perbedaan bahasa dan rasa makanan. Seperti dialami beberapa mahasiswa laki-laki yang berasal dari luar Pulau Jawa di kota Jogja, dalam wawancaranya yang dilakukan oleh Kedaulatan Rakyat pada hari Minggu 2 Maret 2008, para mahasiswa yang terkumpul dalam asrama tersebut merasa kurang dapat menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan penduduk setempat, karena dalam pergaulan penduduk setempat masih menggunakan bahasa Jawa, sehingga mereka pun merasa kesulitan dalam berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lingkungan mereka yang baru tersebut. Hal

serupa juga diungkapkan oleh Oberg (dalam Sodjakusumah, 1996) yang menyatakan bahwa dampak negatif dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa baru di New Zealand adalah masalah akademis (termasuk didalamnya perbedaan bahasa dan sistem pembelajaran disana), masalah sosial (tidak bisa berinteraksi dengan lingkungan sekitar), dan masalah pribadi (karena merasa sendiri dan rindu rumah). Dugaan terjadinya gegar budaya (culture shock) juga didukung oleh data hasil diskusi kelompok yang melibatkan mahasiswa tahun pertama angkatan 1997 di Universitas Padjadjaran di Jatinangor yang berasal dari berbagai daerah diantaranya Pekanbaru dan Medan. Salah seorang diantaranya mengungkapkan .... kan gak tau kebiasaan-kebiasaan dsini, makanan juga beda, bahasa apa lagi... . Adapula yang mengungkapkan setelah meninggalkan rumah, ia baru menyadari bahwa hidup bermasyarakat tidak semudah yang dibayangkan karena harus berhadapan dengan orang-orang berasal dari latar belakang yang bermacam-macam (Hidayat, dkk,2000). Derajat gegar budaya (culture shock) yang mempengaruhi orang itu berbeda-beda. Meskipun tidak umum, terdapat juga orang-orang yang tidak dapat tinggal di negeri asing. Namun, mereka yang mampu bertahan dan mampu meyesuaikan diri di lingkungannya sekarang adalah berhasil dalam membina perilakunya. Itu semua mengalami proses yang tidak singkat. Perlu waktu berbulan-bulan atau ada yang hanya berminggu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya tergantung dari kepribadian seseorang. Apakah seseorang kuat akan budaya yang berbeda dari sebelumnya. Sewaktu kita berada dalam lingkungan dan situasi sosial, yakni ketika kita terlibat dalam interaksi sosial, pernahkah kita merasa betul-betul netral dan bereaksi tanpa rasa suka dan tidak suka terhadap mitra interaksi kita? Pernahkah kita dapat melepaskan sama sekali perasaan senang dan tidak senang dari persepsi dan perilaku kita? Agaknya hal ini sulit terjadi. pandangan dan peraaan kita terpengaruh oleh ingatan kita akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini. Nah di sini sikap kita sangat menentukan perilaku kita untuk menghadapi perbedaan-perbedaan budaya sebelumnya. Sikap sendiri mempunyai arti kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000). Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa. Sikap sendiri ada tiga yaitu sikap afektif, kognisi, dan konatif (perilaku). Tanpa mereka sadarai, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyararakat. Penulis mengambil sampel mahasiswa yang berasal dari Papua angkatan 2012 yang baru beradaptasi di lingkungan barunya yaitu Bandung. Sampel yang dambil adalah sampel acak. Untuk data sementara penulis akan mendatangi asrama Papua yang berada di Jl.Cilaki kemudian akan menanyakan siapa yang baru memasuki kuliah di tahun pertama yaitu 2012. Kemudian penulis mengambil sampel di ITB berdasarkan 15 mahasiswa ini adalah program afirmatif yang bertujuan mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas untuk masa depan Papua dan Papua Barat tersebut dikategorikan sebagai penerima beasiswa bidik misi dari kementerian Pendidikan Kebudayaan. Ke-15 mahasiswa yang terdiri atas sembilan mahasiswa Papua dan enam mahasiswa Papua Barat tersebut baru diterima dan didaftarkan sebagai mahasiswa ITB pada awal September 2012 ketika mahasiswa baru tahun akademik 2012 sudah dua pekan menjalani kuliah. (sumber: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/12/09/05/m9veko-15 mahasiswa-papua-diterima-di-itb-via-program-afirmatif) Adapun tujuan pengambilan sampel mahasiswa yang berasal dari Papua karena pertama P a p u a m e m i l i k i b e r b a g a i kebudayaan yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga dengan sendirinya kepribadian mereka juga agak berbeda dan unik dari daerah lainnya. Hal ini dapatdikatakan dengan melihat budaya Papua yang agak keras dan unik.Kedua dilihat dari karakter budaya akan mengalami hambatan komunikasi antarbudaya yakni stereotip orang Papua yang gaya bicaranya terkesan agak marah, prasangka mengenai latar belakang pendidikan Papua yang terbelakang serta cara hidup antara orang desa (katakanlah Papua) dan orang kota (katakanlah Bandung). Cara hidup di kota dan di desa yag berbeda (urban dan rural ways of life). Contoh perbedaan antara anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota terlihat lebih berani untuk enonjolkan diri diantara teman-temannya dan sikapnya lebih terbuka untuk menyesuiakan diri dengan perubahan sosial dan kebudayaan tertentu. Sedangkan seorang anak yang dibersarkan di desa lebih empunyai sikap percaya diri sendiri dan lebih banyak mempunyai sikap menilai (sense of value). (sumber: http://www.scribd.com/doc/50717584/PERAN-KEBUDAYAAN-DALAM-MEMBENTUKKEPRIBADIAN) Perbedaan karakteristik antarbudaya inilah akan mengalami terjadinya hambatan komunikasi dan terjadinya culture shock (gegar budaya). Ambil contoh, ketika orang Papua

sebagai komunikator karena dalam komunikasi antarbudaya, gaya personal seorang kmunikator mempengaruhi komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi akan terlihat efektif atau tidak melalui pengaruh gaya personal komunikator atau komunikan dalam menyampaikan atau menerima pesan. Ada orang yang menghargai lawan bicara dengan cara menatap mata, namun ada pula yang bersikap acuh dan menatap ke segala arah saat proses komunikasi berlangsung. (sumber: http://radhitgugii.blogspot.com/2011/03/hambatandalam-komunikasi-lintas-budaya.html)

I.2

Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan oleh penulis, maka penulis tertarik

dengan Mengetahui Bagaimana Pengaruh Gegar Budaya (culture shock) Terhadap Sikap Mahasiswa Papua Angkatan 2012 1.3 Identifikasi Masalah a Seberapa jauh pengaruh tingkat kecemasan terhadap pengetahuan mahasiswa asal Papua dalam menghadapi situasi b Seberapa jauh tingkat kecemasan terhadap ketakutan beradaptasi mahasiswa asal Papua dalam menghadapi situasi c Seberapa jauh tingkat kecemasan terhadap kecenderungan bertindak mahasiswa Papua dalam menghadapi situasi

1.4 Penggunaan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas adalah: 1 2 3 untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan mahasiswa Papua untuk menghadapi situasi yang dihadapinya untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan beradaptasi mahasiswa Papua dalam mengadapi situasi yang dihadapinya untuk mengetahui seberapa jauh kecenderungan mahasiswa asal Papua untuk bertindak mahasiswa Papua dalam menghadapi situasi yang dihadapinya I.5 Kegunaan Penelitian

I.5.1 Kegunaan Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat dijadikan referensi bagi ilmu komunikasi khususnya mengenai komunikasi antarbudaya lebih dikhususkan lagi ketika kita mengalami gegar budaya terhadap lingkungan baru. Sedangkan secara metodologis ingin memperbanyak tulisan-tulisan mengenai komunikasi antarbudaya. 1.5.2 Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang positif kepada pihak Universitas Islam Bandung fakultas ilmu komunikasi dalam memahami mahasiswa yang berbeda culture nya 2 Hasil penelitian ini dapat menjadi inspirasi untuk penulis-penulis lainnya dalam membahas komunikasi antarbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku: Rakhmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikas, Bandung: Remaja Rosdakarya Gerungan, DR. W.A, Psikologi Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, Juli 2004 Azwar, Saifuddin, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Edisi Kedua, Jakarta: Pustaka Belajar, Februari 1995 Mulyana Deddy.2006, Komunikasi Antarbudaya, Panduan Berkomunikasi Dengan OrangOrang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya B. Data Internet: http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana2.pdf http://dossuwanda.wordpress.com/2008/04/04/gegar-budaya-sebagai-proses-komunikasiantar-budaya/onno.vlsm.org/v01/OnnoWPurbo/contrib/aplikasi/politik/gegar-budaya03-2001.doc www.goodgovernance-bappenas.go.id (ambil tentang sikap) www.libarary.usu.ac.id (ambil tentang pengertian kebudayaan) http://radhitgugii.blogspot.com/2011/03/hambatan-dalam-komunikasi-lintas-budaya.html http://www.scribd.com/doc/46455585/LATAR-BELAKANG https://docs.google.com/viewer? a=v&q=cache:orScISkBpa4J:etd.eprints.ums.ac.id/831/1/F100030033.pdf+skripsi+cu lture+shock&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgpfJyuwddMaMRvqjMZxU8028t pCk9Ax_ZuUl36ImZ_UCdA79j7B5LGSGzobf4j_Rg4Uu8oU2l3BHXzvf6dgNnE7LqUbvHY6u6_jpFLyC_8ZQ1mPi7BW0_s VfztkgcYnjCVGRk&sig=AHIEtbTNrZLfWufCj6E5PeKqavrftLtOyA

Anda mungkin juga menyukai