Anda di halaman 1dari 15

JURNAL

JURNAL HUMANTECH
JURNAL ILMIAH MULTI DISIPLIN INDONESIA
VOL X NO X 20XX
TftYE-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

CULTURE SHOCK DAN HAMBATAN KOMUNIKASI PADA MAHASISWA PERANTAU


DI PERGURUAN TINGGI GARUT

Rd Mohammad Rizky1, Syarif Nurhidayat2, Tria Yunira3


1,2,3
Universitas garut
1
radeniki12345@gmail.com, 2 arifhdytxt@gmail.com, 3triayunira29@gmail.com

Info Artikel :
Diterima : Disetujui : Dipublikasikan :

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kesulitan mahasiswa perantau dalam mengalami


culture shock dan hambatan komunikasi saat menghadapi lingkungan dan budaya
baru salah satunya yakni di perguruan tinggi. Adapun beberapa perguruan tinggi
Garut yang banyak menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa perantau dari
beberapa daerah seperti Universitas Garut, Stikes Karsa Husada Garut, dan IPI
Garut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu dan mendeskripsikan
bagaimana pengalaman, makna, dan motif yang menjadi hambatan komunikasi
mahasiswa perantau saat mengalami culture shock di Perguruan Tinggi Garut.
Kata Kunci : Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Deskriptif dengan teori
Culture Shock, fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni
Hambatan observasi lapangan, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi.
Komunikasi,
Mahasiswa
Informan dalam penelitian ini yakni 7 mahasiswa yang merantau untuk mengabdi di
Perantau, perguruan tinggi Garut serta 1 narasumber dari sastrawan kota Garut. Hasil
Perguruan penelitian ini menunjukkan bahwa Peneliti menemukan bahwa 1) pengalaman
Tinggi mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut dalam menghadapi culture shock dan
hambatan komunikasi menunjukkan adanya perbedaan yang dialami oleh para
informan. Perbedaan bahasa menjadi hambatan utama dalam berkomunikasi sehari-
hari, sedangkan perbedaan budaya mempengaruhi kegiatan sehari-hari mereka. 2)
Motif mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut menunjukkan pengalaman
individu dalam memutuskan untuk masuk perguruan tinggi Garut. 3) Makna
mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut menunjukan rasa mengenai
pentingnya pengalaman individu dalam memahami, mengenal dan menjelajahi
budaya yang baru. namun mereka juga menunjukkan upaya dan kemauan untuk
beradaptasi dengan lingkungan baru.

1
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

ABSTRACT

This research is motivated by the difficulties of overseas students in experiencing


culture shock and communication barriers when facing a new environment and
culture, one of which is in tertiary institutions. As for several Garut tertiary
institutions which have become a gathering place for overseas students from
several regions such as Garut University, Stikes Karsa Husada Garut, and IPI
Garut. The purpose of this research is to find out and describe how experiences,
Keywords : meanings, and motives become barriers to communication for overseas students
Culture Shock, when they experience culture shock at Garut Higher Education. This study uses a
Communicatio descriptive qualitative approach with phenomenological theory. The data
n Barriers,
collection techniques used in this study were field observations, in-depth
Overseas
Students,
interviews, literature studies and documentation. The informants in this study were
Universities 7 students who migrated to serve at the Garut college and 1 resource person from
the city of Garut writer. The results of this study indicate that the researcher found
that 1) the experiences of overseas students at Garut tertiary institutions in dealing
with culture shock and communication barriers showed that there were differences
experienced by the informants. Language differences are the main obstacle in daily
communication, while cultural differences affect their daily activities. 2) The
motives of overseas students at Garut tertiary institutions show individual
experiences in deciding to enter Garut tertiary institutions. 3) The meaning of
overseas students at Garut tertiary institutions shows a sense of the importance of
individual experience in understanding, knowing and exploring new cultures.
However they also show effort and a willingness to adapt to new environments.

PENDAHULUAN
Budaya didefinisikan sebagai cara hidup masyarakat, yang dipindahkan dari generasi
ke generasi melalui berbagai proses pembelajaran untuk menciptakan cara hidup yang paling
sesuai dengan lingkungannya. Budaya atau culture adalah konsep yang berasal dari bidang
antropologi sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat dijadikan sebagai salah satu
penyampai informasi, karena ruang lingkup kebudayaan sebenarnya sangat luas. Budaya
seperti perangkat lunak dalam otak manusia yang memandu persepsi, mengenali apa yang
dilihat, mengarahkan fokus pada satu hal dan menghindari yang lain (Sumarto, 2019).
Dalam bahasa Inggris budaya disebut culture yang berasal dari kata latin colere yang
berarti mengolah atau mengerjakan. Bisa juga diartikan bercocok tanam atau bertani. kata
culture juga terkadang diterjemahkan sebagai "kebudayaan" dalam bahasa Indonesia
(Syakhrani & Kamil, 2022)
Budaya adalah produk manusia, tetapi manusia itu sendiri adalah produk budaya.
Dengan kata lain, budaya ada karena manusia menciptakannya, dan manusia dapat hidup di
tengah-tengah budaya yang diciptakannya. Budaya hidup ketika penghuninya adalah manusia,
dan budaya sangat bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka (Mahdayeni et al., 2019)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa budaya adalah hasil kreativitas manusia
yang mencakup nilai-nilai, norma, kepercayaan, bahasa, seni, dan pengetahuan yang diperoleh
dan diwariskan melalui proses pembelajaran. Budaya membentuk cara hidup suatu masyarakat,
mempengaruhi pemikiran dan perilaku individu, serta memberikan landasan bagi interaksi
sosial dan pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya budaya seseorang
bisa belajar banyak hal, mulai dari cara menggunakan Bahasa, cara bersikap, dan mengetahui
budaya lain yang berbeda dengan budaya asal. Namun, dalam memahami atau menetap pada
budaya lain, akan terjadi gejala sosial yang dinamakan dengan culture shock.
Culture Shock itu sendiri merupakan kondisi dimana seseorang merasakan ketakutan
dan kekhawatiran yang berlebihan berada di lingkungan baru yang asing (Chafsoh, 2020).

2
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

Culture shock disebut sebagai kondisi yang dialami oleh individu ketika hidup di luar
lingkungan kulturnya yang berbeda dari kulturnya sendiri dalam usaha menyesuaikan diri
terhadap lingkungan baru (Wardah & Sahbani, 2020). Menurut littlejohn culture shock
merupakan fenomena yang dialami oleh setiap orang yang berpindah dari satu budaya ke
budaya lain sebagai reaksi pindah dan hidup dengan orang-orang yang memiliki pakaian,
selera, nilai, bahkan bahasa yang berbeda dari orang yang bersangkutan berbicara (Suryandari,
2017). Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa culture shock adalah reaksi atau kondisi
yang dialami oleh seseorang ketika berada di lingkungan budaya yang baru dan berbeda secara
signifikan dari budaya asalnya. Hal ini melibatkan perasaan ketidaknyamanan, kebingungan,
kecemasan, dan ketakutan yang timbul akibat perbedaan dalam nilai-nilai, norma sosial,
kebiasaan, bahasa, dan cara berinteraksi dengan orang lain.
Culture shock atau gegar budaya pertama kali diperkenalkan oleh para antropolog,
salah satunya menurut Oberg pada tahun 1960 menjelaskan bahwa culture shock reaksi yang
dalam depresi, frustasi, disorientasi yang dialami oleh orang yang tinggal di lingkungan budaya
baru (Devinta et al., 2013). Konsep culture shock yang diperkenalkan oleh Oberg (1960) dan
kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa culture
shock biasanya terjadi karena satu atau lebih dari tiga alasan berikut, yaitu:
1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari
kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian- bagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah atau kebiasaan yang dapat memberitahu seseorang bagaimana berperilaku
dalam situasi tertentu.
2. Terputusnya komunikasi interpersonal baik pada tingkat yang disadari yang menyebabkan
frustrasi dan kecemasan. Hambatan bahasa adalah penyebab yang jelas dari gangguan ini.
3. Krisis identitas dengan meninggalkan daerahnya, seseorang akan mengevaluasi kembali
gambaran tentang dirinya (Devinta et al., 2013).
Ada beberapa gejala dan reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami
cultur shock, diantaranya 1) gegar budaya sebagai nostalgia; 2) gegar budaya sebagai
disorientasi dan hilangnya kontrol; 3) gegar budaya sebagai ketidakpuasan atas hambatan
bahasa; 4) gegar budaya sebagai hilangnya kebiasaan dan gaya hidup; 5) gegar budaya sebagai
anggapan adanya perbedaan; 6) gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan nilai
(Mayasari & Sumadyo, 2018). Sementara itu, menurut Guanipa (1998), dapat disederhanakan
bahwa gejala gegar budaya seperti ketidaknyamanan, perasaan tidak stabil, tidak aman, mudah
stres dan cemas, dan perasaan ada sesuatu yang hilang dan kurang pada diri sendiri, dan
akhirnya merindukan keluarga (Raharjo & Pebriyenni, 2020).
Culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantau biasanya terjadi karena adanya
kendala dalam interaksi sosial seperti sulitnya berkomunikasi dan hanya bergaul dengan
mahasiswa yang memiliki latar belakang yang sama. Hal itu membuat sulitnya individu
tersebut dalam beradaptasi, karena proses pengenalan budaya merupakan sebuah pembelajaran
bagi individu tersebut bahkan menjadi pengalaman baginya untuk mengenal budaya lain.
Perasaan tersebut membuat seseorang merasakan khawatir, cemas dan gelisah akibat
dari asingnya budaya lain atau sulitnya dalam penyesuaian diri. Seperti terjadinya Culture
Shock yang bisa saja dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa rantau, terjadinya masalah tersebut
memicu masalah penyesuaian diri Mahasiswa atau yang biasa disebut dengan proses
penyesuaian. Penyesuaian diri adalah salah satu syarat terpenting untuk menciptakan kesehatan
mental individu. Ketika seseorang mengalami ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, tidak jarang seseorang mengalami stres atau depresi. Namun jika individu
mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan maka akan lahir individu yang
mencapai keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan individu dan lingkungan (Maizan et al.,
2020).

3
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

Perguruan Tinggi merupakan salah satu tempat terjadinya culture shock, apalagi
mahasiswa kampus tersebut terdiri dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia tentu
menjadikan kampus tersebut rentan terhadap culture shock (Gegar Budaya) dan hambatan
komunikasi antar budaya yang dilakukan mahasiswa di daerah rantau ataupun dikampusnya
(Novianti et al., 2009). Kampus menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa dari beberapa
daerah, yang latar belakang budayanya berbeda dengan lingkup yang ada dikampus tersebut.
Adapun beberapa perguruan tinggi Garut yang banyak menjadi tempat berkumpulnya
mahasiswa perantau dari beberapa daerah seperti Universitas Garut, Stikes Karsa Husada
Garut, dan IPI Garut.
Berdasarkan penjelasan yang telah di uraikan, maka permasalahan yang diteliti adalah
kesulitan mahasiswa perantau dalam mengalami culture shock dan hambatan komunikasi saat
menghadapi lingkungan dan budaya baru salah satunya yakni di perguruan tinggi Garut.
Hambatan komunikasi yang terjadi akibat culture shock di perguruan tinggi daerah Garut bisa
menjadi sebuah tantangan bagi mahasiswa, terutama yang berasal dari luar daerah.
Hal-hal yang mendasari munculnya permasalahan tentang culture shock dan hambatan
komunikasi pada mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut adalah kesulitan - kesulitan
sosial antara individu tersebut dengan penduduk asli dari daerah yang didatangi. Individu yang
berbeda dalam budaya yang berbeda secara alami mengalami (culture shock), tetapi pada
tingkat tertentu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan frustrasi dalam tekanan yang
berbeda antar individu. Kejutan budaya dapat menyebabkan perasaan terasing atau kesepian,
perasaan berbeda dari orang lain, dan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang-
orang dari budaya yang berbeda, menyebabkan mereka melakukan kesalahan yang serius dan
berulang. Culture shock disebabkan oleh beban psikologis yang terkait dengan
ketidakmampuan beradaptasi dengan budaya baru. Kehadiran budaya baru yang berbeda
dengan budaya asli terkadang dapat menimbulkan ketidaknyamanan, keterkejutan, keheranan
bahkan tekanan. Itu karena pendatang baru tidak bisa mengerti, menerima dan beradaptasi.
Untuk menerima budaya baru memang tidak mudah, membutuhkam proses (Mayasari &
Sumadyo, 2018).
Berdasarkan gambaran tersebut tentang fenomena culture shock yang terjadi di
mahasiswa perguruan tinggi, dari hasil observasi peneliti kemudian muncul pertanyaan
perspektif mahasiswa perantau terkait bagaimana makna, motif, dan pengalaman yang menjadi
culture shock dan hambatan komunikasi yang dialami mahasiswa perantau di perguruan tinggi
Garut. Para mahasiswa ini akan menghadapi lingkungan dan budaya yang berbeda di tempat
dimana ia beradaptasi. Pada saat yang sama, tujuan implementasi juga harus dipenuhi
pendidikan yang baik. Dengan latar belakang tersebut, peneliti berharap untuk mengetahui
penjelasan fenomena culture shock di dukung oleh data empirik untuk menganalisis fenomena
culture shock dan hambatan komunikasi yang dialami oleh mahasiswa perantau di perguruan
tinggi Garut.
Untuk mendapatkan data empirik, peneliti dapat menggunakan berbagai metode
penelitian seperti wawancara, observasi, studi kepustakaan dan dokumentasi. Wawancara
dengan mahasiswa perantau dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang
pengalaman pribadi mereka dan hambatan komunikasi yang dihadapi. Observasi dapat
membantu dalam memperoleh pemahaman tentang interaksi sosial di perguruan tinggi Garut
dan bagaimana mahasiswa perantau berinteraksi dengan lingkungan budaya baru mereka. Studi
kepustakaan dapat membantu mengumpulkan informasi yang telah ada mengenai culture shock
dan hambatan komunikasi pada mahasiswa perantau seperti mengacu pada buku, jurnal ilmiah,
artikel, dan sumber-sumber lainnya yang telah membahas topik ini sebelumnya. Dokumentasi
membantu peneliti dalam mengumpulkan data yang konsisten, valid, dan dapat diandalkan

4
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

untuk memahami fenomena tersebut dengan lebih baik dan memberikan rekomendasi yang
relevan bagi institusi pendidikan.
Hasil observasi peneliti terkait dengan culture shock dan hambatan komunikasi pada
mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat menyebabkan culture shock dan terjadinya hambatan komunikasi seperti mengenai
kesulitan dalam bergaul, mengenai perbedaan bahasa, adaptasi pada makanan dan gaya hidup.
Semua perbedaan ini dapat menyebabkan perasaan keterasingan, kebingungan, dan frustrasi
pada mahasiswa perantau di Garut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni teori Fenomenologi. Fenomenologi
adalah ilmu tentang Fenomena yang berbeda dari benda Menjadi bidang keilmuan yang
menerangkan dan menjelaskan penjelasan dari suatu fenomena atau studi tentang fenomena,
fenomenologi mempelajari fenomena yang muncul di depan kita dan seperti apa Fenomenologi
sekarang dikenal sebagai aliran filsafat dan cara berpikir seseorang yang mempelajari semua
fenomena manusia tanpa alasan dari fenomena tersebut (Nurhadi et al., 2022). terdapat asumsi
dasar teori Fenomenologi yaitu:
1. Makna, yakni suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari semantik dan selalu melekat
dari apa yang kita ucapkan. Makna yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya
merupakan suatu fenomena sosial. Makna sebagai suatu konsep komunikasi yang
mencakup lebih dari pada sekedar penafsiran atau pemahaman seseorang atau hanya
individu saja. Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) luas untuk
menggunakan atau menanggapi suatu bentuk bahasa (Sobur, 2017).
2. Pengalaman, pada dasarnya adalah suatu proses di mana rangsangan eksternal seperti
cahaya untuk mata, suara untuk telinga dan bau untuk hidung melewati alat sensorik untuk
ditransmisikan ke pusat tertentu di otak dan kemudian mulai menafsirkan suatu
pengamatan.
3. Motif, merupakan suatu sebab atau alasan manusia dalam melakukan dan mengambil suatu
keputusan dalam suatu hal tertentu. Motif yang ada pada diri seseorang akan mengarah
pada hasil sikap dan tindakan pada capaian tujuan yang ia tuju dalam mencapai sasaran
kepuasan. Menurut Schutz, motif dibagi menjadi dua yakni; 1). Motif untuk, motif untuk
ini merujuk pada sesuatu hal yang akan datang di masa depan, maka dengan demikian motif
ini akan menimbulkan suatu pernyataan, dengan sebagai contoh “menjaga baju tetap
kering”. Disisi lain motif ini ditemukan sebagai doroangan dalam mempertahankan
kehidupan yang lebih berorientasi pada apa yang akan ia capai dan kehendaki di masa yang
akan datang. 2). Motif karena, motif karena ini merujuk pada sesuatu hal yang terjadi di
masa lampau atau masa lalu yang telah terjadi, Pada motif ini, ditemukan karena
pengalaman masa lalu yang sulit dilupakan, karena sudah menjadi tradisi yang melekat di
dalam diri seseorang tersebut (Nurhadi et al., 2022).
Dalam melakukan sebuah penelitian, mengkaji penelitian-penelitian yang terdahulu
perlu dilakukan agar dalam penelitian ini penulis terhindar dari plagiasi dan kesamaan total
dalam penelitian. Mengkaji penelitian terdahulu ditujukan agar penulis tidak mengulangi serta
menduplikasi bahan penelitian yang sudah ada sebelumnya. Sebagai bahan studi referensi
peneliti, berikut beberapa penelitian terdahulu;
Arifah Munawaroh Chafsoh. Munculnya Culture Shock Pada Mahasiswa Baru dalam
Perkuliahan Daring Selama Pandemi Covid-19, 2020. Penelitian terdahulu ini di
latarbelakangi atas dasar perkuliahan secara daring membuat mahasiswa baru mengalami
kesulitan dalam beradaptasi sehingga memicu stres dari culture shock yang ia alami selama
perkuliahan daring. Tujuan dari penelitian terdahulu ini adalah untuk mendeskripsikan
seberapa besar pengaruhnya perkuliahan daring selama pandemi covid-19 sehingga
memunculkan gejala culture shock pada mahasiswa baru. Metode penelitian yang digunakan

5
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

adalah metode kajian literatur dan metode introspeksi diri oleh penulis. Hasil dari penelitian
terdahulu ini menunjukan bahwa adanya permasalahan psikologis individu yaitu culture shock
sebagai mahasiswa baru dalam menjalani perkuliahan daring (Chafsoh, 2020). Perbedaan
penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan adalah metode yang digunakan
penelitian terdahulu ini menggunakan metode kajian literatur dan metode introspeksi diri oleh
penulis, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode wawancara aktif pada
informannya kemudian dikaji lagi dengan teknik analisis interaktif.
Wardah dan Umrah Dea Sahbani, Adaptasi Mahasiswa Terhadap Culture Shock, 2020.
Penelitian terdahulu ini di latarbelakangi atas dasar Mahasiswa asal Bima menjadi salah satu
contoh mahasiswa yang mengalami culture shock sejak memutuskan kuliah di Makassar.
Tujuan dari penelitian terdahulu ini adalah untuk untuk mengetahui proses adaptasi mahasiswa
Bima terhadap culture shock di Unismuh Makassar serta hambatan yang diperolehdalam proses
adaptasi. Serta bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi budaya terhadap culture shock pada
mahasiswa Bima di Universitas Muhammadiyah Makassar. Metode penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif deskriptif, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer
dan sekunder dengan jumlah informan sebanyak 5 orang mahasiswa. Hasil dari penelitian
terdahulu ini menunjukan bahwa adanya perbedaan kondisi yang dialami masing-masing
mahasiswa Bima dalam lima fase adaptasi budaya. Perbedaan kondisi sosial budaya
mengakibatkan mahasiswa mengalami culture shock di Makassar. Namun mahasiswa memilih
bertahan dan menghadapi segala kondisi yang ada, sehingga secara keseluruhan semua
mahasiswa mampu beradaptasi di lingkungan budaya baru (Wardah & Sahbani, 2020).
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasi penelitian
terdahulu ini berlokasi di Makassar, sedangkan penelitian yang dilakukan berlokasi di Garut.
Umaimah Nazihah, Ayuning Atmasari, Roni Hartono, Pengaruh Gegar Budaya
(Culture Shock) Terhadap Adversity Quotient Pada Mahasiswa Universitas Teknologi
Sumbawa, 2020. Penelitian terdahulu ini di latarbelakangi atas dasar Gegar budaya (culture
shock) yang merupakan tantangan yang dialami oleh mahasiswa rantau mampu dihadapi
dengan adversity quotient. Adversity quotient adalah kemampuan seseorang dalam
menghadapi kesulitan atau tantangan dan mengubah menjadi peluang. Tujuan dari penelitian
terdahulu ini adalah untuk mengetahui pengaruh gegar budaya (culture shock) terhadap
adversity quotient. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif asosiatif.
Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan cluster sampling dan disproportionate
stratisfied random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 90 mahasiswa. Hasil dari
penelitian terdahulu ini menunjukan bahwa gegar budaya (culture shock) pada kategori baik
dengan aspek yang paling tinggi adalah aspek culture shock sebagai nostalgia. Sedangkan,
adversity quotient berada pada kategori cukup dengan aspek yang paling tinggi adalah aspek
endurance (Nazihah et al., 2020). Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan adalah metode yang digunakan penelitian terdahulu ini menggunakan metode
pendekatan Kuantitatif Asosiatif, sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan metode
pendekatan Kualitatif Deskriptif.
Sudah banyak penelitian yang mengkaji tentang culture shock pada mahasiswa
perantau, namun masing-masing daerah tentu memliki karakteristik tersendiri terkait tema
tersebut. Baik dari penyebab, pengaruh, tahapan, dan hambatan yang dialami oleh Mahasiswa
perantau. Adapun kebaruan dalam penulisan artikel ini adalah menggunakan pendekatan
metodologi yang berbeda untuk memecahkan suatu masalah, memperluas, dan mengkualifikasi
sejumlah kegiatan yang sudah ada sebelumnya.
Dengan demikian, Artikel penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu dan
mendeskripsikan bagaimana pengalaman, makna, dan motif yang menjadi hambatan

6
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

komunikasi mahasiswa perantau dari luar kota Garut saat mengalami culture shock di
Perguruan Tinggi Garut.

METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan
pendekatan fenomenologi, yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses adaptasi mahasiswa
terhadap culture shock. Sedangkan subjek penelitian ini adalah mahasiswa perantau yang ada
di perguruan tinggi Kabupaten Garut. Adapun masalah yang ditelitinya adalah perspektif
mahasiswa perantau terkait bagaimana makna, motif, dan pengalaman yang mejadi culture
shock dan hambatan komunikasi yang dialami mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi lapangan, wawancara
mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi. Sumber data dari penelitian ini terbagi atas
dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder dengan penarikan sampel melalui teknik
purposive sampling kemudian dikaji lagi dengan teknik analisis interaktif. Berikut data
informan dan narasumber pada penelitian ini.

Tabel 1. Data Informan Mahasiswa perantau di Perguruan Tinggi Garut


No Nama Universitas Jurusan Asal Kota

1. Salma Rosvita Universitas Garut Ilmu Komunikasi dan Banten


Informasi

2. Esa Muhammad Universitas Garut Farmasi Bogor

3. Refi Lestari Universitas Garut Farmasi Pekalongan


Castriani

4. Maria Ulfah STIKES Karsa Kebidanan Sukabumi


Husada Garut

5. Inri Sukma Ayu STIKES Karsa Keperawatan Sumedang


Husada Garut

6. Triyani Suminar STIKES Karsa Keperawatan Bandung


Dipura Husada Garut

7. Novia Julianti IPI Garut Pendidikan Bahasa Medan


Inggris
Sumber: Hasil Wawancara Peneliti, 2023

Tabel 2. Data Narasumber


No Nama Pekerjaan

1. Derry Hudaya Sastrawan


Sumber: Hasil Wawancara Peneliti, 2023

7
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian Pengalaman Mahasiswa Perantau Di Perguruan Tinggi Garut Dalam
Menghadapi Culture Shock Dan Hambatan Komunikasi.
Sebuah perguruan tinggi merupakan tempat di mana siswa dari latar belakang budaya
yang berbeda berkumpul untuk belajar pendidikan tinggi. Namun, bagi mahasiswa perantau
yang berasal dari luar daerah, pengalaman tersebut tidak selalu mudah. Mereka sering
menghadapi tantangan seperti perbedaan bahasa, perbedaan budaya, kesulitan beradaptasi,
norma sosial dan sistem komunikasi yang berbeda. Adapun implementasi pengalaman dalam
menghadapi Culture shock dan hambatan komunikasi ini diungkapkan oleh Mahasiswa
perantau sebagai informan dalam penelitian ini. Berikut adalah beberapa hasil wawancara yang
disampaikan oleh informan terkait pengalaman mahasiswa di perguruan tinggi Garut:
Pernyataan Informan 1 (Salma Rosvita Dewi) selaku Mahasiswa perantau.
“Bahwa untuk menghadapi culture shock dan hambatan komunikasinya bahwa Mahasiswa
perantau harus memperhatikan bahasa yang digunakan dibudaya baru tersebut karena
bahasa Sunda ditempat asal yaitu kota Serang memiliki perbedaan dengan bahasa yang
digunakan di Garut. Bahasa Sunda di daerah asalnya cenderung lebih kasar, sementara
bahasa Sunda di Garut lebih halus atau lemes. Hal ini menjadi tantangan dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya yang kurang memahami bahasa yang digunakan.
Pengaruh Perbedaan bahasa terutama dalam komunikasi mempengaruhi kegiatan sehari-
hari mahasiswa perantau, komunikasi dengan teman-teman terkadang sulit karena mereka
kurang memahami bahasa dan nada bicara yang digunakan. Namun, secara keseluruhan,
perbedaan budaya ini memberikan pengaruh positif bagi mahasiswa perantau dalam
memperluas pemahaman dan pengetahuan mereka”.
Pernyataan Informan 2 (Esa Muhammad) selaku Mahasiswa perantau.
“Culture shock dan hambatan yang paling mencolok adalah dalam hal bahasa sehari-hari.
Di Bogor, ia menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan di Garut teman-temannya
menggunakan bahasa sunda. saya menghadapi kesulitan karena menggunakan bahasa
Sunda. Selain itu, dalam mengalami culture shock saat pertama kali merantau adalah
kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman-teman. Mereka merasa bingung dan malu
untuk bertanya karena takut diasingkan. Akan tetapi, tidak ada yang terlalu mengejutkan
tentang budaya di daerah Garut bagi informan. Sebelum merantau, mereka sudah
menyadari bahwa setiap daerah memiliki bahasa dan budaya yang berbeda. Oleh karena
itu, mereka menerima perbedaan tersebut sebagai resiko yang harus dihadapi saat
memutuskan untuk merantau”.
Pernyataan Informan 3 (Refi Lestari Castriani) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman dalam mengalami culture shock saat pertama kali merantau adalah
kesulitan dalam memahami pembicaraan dalam bahasa Sunda. Karena saya berasal dari
Pekalongan yang bahasanya menggunakan bahasa Jawa, saya merasa terbatas dalam
berkomunikasi dan hanya bisa tersenyum karena tidak mengerti apa yang dibicarakan dan
kemudian ia harus mencari informasi melalui internet untuk memahami arti dari kata-kata
yang digunakan oleh teman baru mereka. Untuk menjaga kesehatan mental dan emosional
saat mengalami culture shock, saya melakukan kegiatan refreshing sendiri untuk
menghilangkan kejenuhan dan beban pikiran”.
Pernyataan Informan 4 (Maria Ulfah) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman mengalami culture shock saat pertama kali merantau saya lebih berfokus
pada adaptasi dengan lingkungan baru. Akan tetapi saya menghadapi kesulitan untuk
beradaptasi dengan budaya lokal, namun saya mengatasinya dengan mempelajari budaya
lokal tersebut agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Yang paling mengejutkan
bagi saya tentang budaya di daerah yang mereka tempati sekarang adalah adat istiadat

8
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

yang berbeda. Sebagai pendatang baru, menghormati adat istiadat di lingkungan baru
sebagai bentuk penyesuaian”.
Pernyataan Informan 5 (Inri Sukma Ayu) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman saya tidak merasakan perbedaan budaya yang paling mencolok karena
budaya di tempat asalnya Sumedang dengan kota Garut hampir sama. Pengalaman saya
saat pertama kali merantau adalah sedikit bingung dalam mencari teman di lingkungan
baru dan tidak mudah menghafal jalanan di Garut dan hal yang paling mengejutkan atau
sulit bagi saya saat mengalami culture shock adalah tidak terbiasa hidup sendiri karena di
tempat asalnya mereka tinggal bersama keluarga”.
Pernyataan Informan 6 (Triyani Suminar Dipura) selaku Mahasiswa perantau.
“Perbedaan budaya yang paling mencolok bagi saya adalah dalam urusan beribadah,
perbedaan budaya tersebut mempengaruhi kegiatan sehari-hari saya terutama dalam
ibadah yang menjadi sedikit berbeda. Kemudian ia pernah mengalami perbedaan dalam
cara berkomunikasi atau gaya berbicara di tempat baru. Untuk menyesuaikan diri, saya
berusaha menggunakan bahasa yang sopan dan sesuai dengan budaya lokal. Meskipun
terjadi culture shock, saya berusaha mengikuti budaya yang ada dan beradaptasi dengan
baik, sayaa berfokus pada komunikasi yang baik dan sopan”.
Pernyataan Informan 7 (Novia Julianti) selaku Mahasiswa perantau
“Pengalaman saat pertama kali merantau adalah buruk, karena saya merasa kesulitan
mendapatkan teman di semester pertama di kampus. Perbedaan budaya yang paling
mencolok bagi saya adalah etika dan ramah tamah orang-orang di Garut, maka saya
menghargai etika yang baik dan responsif dari orang-orang di Garut, namun saya juga
menganggap basa-basi yang berlebihan sebagai hal yang negatif. Hal yang paling
mengejutkan atau sulit bagi saya saat mengalami culture shock adalah melihat beberapa
orang yang melangkahi makanan, yang merupakan hal yang tidak dianjurkan di daerah
asal informan. Dalam hal Culture shock dan hambatan komunikasi, saya tidak merasa
kesulitan untuk beradaptasi dengan budaya yang ada di Garut. Perbedaan budaya tersebut
tidak mempengaruhi kegiatan sehari-hari sayakarena faktor paling penting baginya dalam
mengatasi culture shock adalah bersikap santai dan harus mudah beradaptasi”.
Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada diri seseorang atas dasar
kesadaran diri sebagai manusia. Pengalaman merupakan observasi antara perpaduan
penglihatan, pendengaran, penciuman (Nurhadi et al., 2022). Peneliti menemukan bahwa
pengalaman mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut dalam menghadapi Culture Shock
dan hambatan komunikasi menunjukkan adanya perbedaan yang dialami dari setiap para
informan dan beberapa tantangan yang dihadapinya dalam proses penyesuaian dengan budaya
Garut. Pertama, perbedaan bahasa menjadi hambatan utama dalam berkomunikasi sehari-hari.
Mahasiswa perantau yang berasal dari daerah lain menghadapi kesulitan dalam memahami dan
menggunakan bahasa Sunda yang umum digunakan di Garut. Perbedaan dalam logat dan
kosakata dalam komunikasi menjadi tantangan dalam berinteraksi dengan teman-teman sekelas
dan penduduk setempat. Kedua, adanya perbedaan budaya juga mempengaruhi kegiatan sehari-
hari mahasiswa perantau. Misalnya, adat istiadat yang berbeda, etika dan ramah tamah orang-
orang di Garut, serta adanya kebiasaan yang tidak biasa bagi mereka, seperti melangkahi
makanan. Beberapa informan mengungkapkan kejutan dan kesulitan dalam menerima
perbedaan ini, namun secara keseluruhan mereka berusaha untuk menghormati dan beradaptasi
dengan budaya setempat sebagai bentuk penyesuaian. Ketiga, pengalaman culture shock saat
pertama kali merantau. Beberapa informan menghadapi tantangan dalam mencari teman di
lingkungan baru, merasa bingung dalam berkomunikasi, atau kesulitan menghafal jalanan di
Garut. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka berusaha untuk mengatasi hambatan tersebut

9
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

dengan belajar bahasa lokal, memperluas jaringan sosial, dan meningkatkan keterampilan
komunikasi.
Dalam menghadapi culture shock dan hambatan komunikasi, para informan
menunjukkan sikap yang berbeda. Beberapa di antaranya mencoba untuk mempelajari dan
mengikuti budaya setempat, sementara yang lain lebih fokus pada komunikasi yang baik dan
sopan. Seperti yang dijelaskan Liliweri dalam komunikasi antarbudaya bahwa setiap individu
memiliki kepribadian, kebudayaan, dan persepsi masing- masing. Maka dari itu, saat
berinteraksi muncul perbedaan yang dapat memicu kegelisahan/ kecemasan (anxiety) dan
ketidakpastian (uncertainty)”(Dwiatmoko & Setiawan, 2019). Selain itu, Pengalaman yang
dialami informan yakni mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut juga memberikan
pengaruh positif bagi mereka, seperti memperluas pemahaman dan pengetahuan tentang
budaya serta mengembangkan sikap terbuka dan mudah beradaptasi.

Hasil Penelitian Motif Mahasiswa Perantau Di Perguruan Tinggi Garut Dalam


Menghadapi Culture Shock Dan Hambatan Komunikasi.
Motif merupakan suatu sebab atau alasan manusia dalam melakukan dan mengambil
suatu keputusan dalam suatu hal tertentu. Motif yang ada pada diri seseorang akan mengarah
pada hasil sikap dan tindakan pada capaian tujuan yang ia tuju dalam mencapai sasaran
kepuasan (Nurhadi et al., 2022). Berikut adalah beberapa hasil wawancara yang disampaikan
oleh informan terkait motif mahasiswa perantau di perguruan tinggi garut dalam menghadapi
culture shock dan hambatan komunikasi:
Pernyataan Informan 1 (Salma Rosvita Dewi) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasan memutuskan kuliah di Garut yaitu atas permintaan orang tua karena masih satu
daerah dengan kerabat sehingga orang tua tidak terlalu khawatir ketika jauh dengan orang
tua, ia juga ingin memperluas relasi dan ruang lingkup pertemanan di daerah baru
sehingga dapat mengembangkan diri dengan berwawasan luas juga meningkatkan
kemandirian diri”.
Pernyataan Informan 2 (Esa Muhammad) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasan kuliah di Garut yaitu ingin bebas dari orang tua sehingga dapat mencoba hal
yang baru, menjalani kehidupan baru dengan lingkungan dan orang-orang yang baru
pula. saya menikmati berbagai tempat wisata di Garut membuat pengalaman seru dan
menyenangkan yang bisa ia dapatkan dengan mengeksplorasi banyak hal baru sehingga
bisa mengatasi rasa bosan dan jenuh”.
Pernyataan Informan 3 (Refi Lestari Castriani) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasannya karena ingin memiliki banyak pengalaman baru untuk meningkatkan kualitas
diri, menurut saya pergaulan di Garut tidak separah di daerah lain dan ia sangat menyukai
sifat murah senyum dari masyarakat Garut”.
Pernyataan Informan 4 (Maria Ulfah) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasannya memutuskan kuliah di Garut yaitu ingin lebih mandiri, semua urusan dan
pekerjaan dikerjakan sendiri. Tidak ada orangtua yang dulunya setiap saat bisa
membantu, mulai dari mencuci pakaian, masak, mencuci piring, belanja dan berpergian
dilakukan seorang diri. Bagi yang belum terbiasa, mengatur waktu untuk diri sendiri itu
sulit. Harus bangun pagi, bersih-bersih, belajar, makan, dan tidur sesuai aturan sendiri.
Kalau hal ini tidak diatur dengan baik, efeknya akan membuat kehidupan yang jauh dari
orang tua menjadi kacau. Akibatnya lagi, Kesehatan akan menurun”.
Pernyataan Informan 5 (Inri Sukma Ayu) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasannya memutuskan kuliah di Garut menurutnya kualitas Pendidikan di Garut lebih
baik dari daerah asalnya dan juga biaya hidup yang terjangkau. saya juga ingin membuat
pengalaman baru di lingkungan baru, memperluas relasi dan mencoba banyak tempat

10
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

wisata di daerah baru karena menurutnya Garut membuat saya tenang dengan keindahan
alamnya”.
Pernyataan Informan 6 (Triyani Suminar Dipura) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasannya memutuskan kuliah di Garut yaitu biaya kuliah yang lebih murah dari tempat
asal saya, dan juga ingin mencoba hidup mandiri dengan jauh dari orang tua, saya ingin
melatih untuk bertanggung jawab atas diri saya seperti bangun pagi sendiri, membereskan
tempat tidur, mencuci baju dan piring”.
Pernyataan Informan 7 (Novia Julianti) selaku Mahasiswa perantau.
“Alasannya memutuskan kuliah di Garut yaitu karena ingin mencoba pengalaman baru,
karena ada saudara juga yang tinggal di Garut lebih tepatnya bibi, jadi saya
memberanikan diri. Kemudian biaya hidup di Garut relatif lebih murah, biaya konsumsi,
biaya sehari-hari dan tempat untuk di sewa terbilang cukup murah sehingga dapat
menghemat. Selain itu masyarakat di Garut sangat ramah sehingga ia sangat nyaman dan
tidak menyesal sudah mendatangi tempat baru dengan waktu yang cukup lama”.
Dari wawancara tersebut, peneliti menemukan bahwa motif mahasiswa perantau di
perguruan tinggi Garut menunjukkan pengalaman individu dalam memutuskan untuk masuk
perguruan tinggi Garut sebagai mahasiswa perantau karena ingin mengalami kehidupan yang
berbeda dan mencoba tantangan baru. Mereka merasa tertarik dengan lingkungan baru yang
menyediakan kesempatan untuk mengembangkan diri dan melatih kemandirian. Para informan
juga menyoroti keinginan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup, baik dari segi
pendidikan, biaya hidup, maupun pengalaman sosial. Mereka menemukan nilai positif dalam
keadaan baru, seperti lingkungan yang ramah, biaya hidup yang terjangkau, dan kualitas
pendidikan yang lebih baik. Dengan demikian, motif yang ada pada diri seseorang akan
mengarah pada hasil sikap dan tindakan pada capaian tujuan yang ia tuju dalam mencapai
sasaran kepuasan. Motif juga menggunakan keterkaitan sistematik antara respon dengan
dorongan, motif juga tidak harus selalu digambarkan secara sadar akan tetapi lebih mengarah
pada keadaan perasaan (Nurhadi et al., 2022). Motif memungkinkan mereka untuk memahami
bagaimana individu memberikan makna pada pengalaman mereka dan merespons perubahan
lingkungan. Motif merantau yang dimiliki oleh seorang mahasiswa perantau dapat
mempengaruhi cara mereka dalam berperilaku selama diperantauan. Motif menentukan apa
yang ingin dicari dan apa yang didapat selama merantau (Marta, 2014). Dengan demikian,
motif di balik keputusan menjadi mahasiswa perantau, dengan adanya pengalaman individu
yang mempengaruhi pemilihan mereka untuk menjadi mahasiswa perantau di perguruan tinggi
Garut yakni keinginan mereka untuk mengalami kehidupan yang berbeda, mencoba tantangan
baru, dan meningkatkan kualitas hidup.

Hasil Penelitian Makna Mahasiswa Perantau Di Perguruan Tinggi Garut Dalam


Menghadapi Culture Shock Dan Hambatan Komunikasi.
Makna merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari apa yang kita ucapkan. Makna yang berkaitan dengan komunikasi pada
hakikatnya merupakan suatu fenomena sosial. Makna sebagai suatu konsep komunikasi yang
mencakup lebih dari pada sekedar penafsiran atau pemahaman seseorang atau hanya individu
saja (Nurhadi et al., 2022). Menurut Umar Junus menyatakan bahwa makna dianggap sebagai
fenomena yang bisa dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur dengan setiap unsur itu. Secara
sendiri-sendiri, unsur tersebut tidak mempunyai makna sepenuhnya (Sobur, 2018). Makna
muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak
melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang
(Mulyana, 2014). Dengan demikian, makna dapat disimpulkan bahwa makna adalah hasil dari

11
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

perintah atau instruksi seseorang untuk menggunakan atau merespons bentuk bahasa tertentu.
Makna juga dapat dipandang sebagai kombinasi beberapa unsur yang saling berhubungan, di
mana setiap unsur itu sendiri tidak memiliki makna sepenuhnya. Sehingga makna tidak melekat
pada kata-kata itu sendiri, tetapi kata-kata tersebut membangkitkan makna dalam pikiran orang.
Berikut adalah beberapa hasil wawancara yang disampaikan oleh informan terkait pengalaman
merantau menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Garut:
Pernyataan Informan 1 (Salma Rosvita Dewi) selaku Mahasiswa perantau.
“Bahwa untuk menghadapi culture shock dan hambatan komunikasinya bahwa Mahasiswa
perantau harus memperhatikan bahasa yang digunakan dibudaya baru tersebut karena
bahasa Sunda ditempat asal yaitu kota Serang memiliki perbedaan dengan bahasa yang
digunakan di Garut. Bahasa Sunda di daerah asalnya cenderung lebih kasar, sementara
bahasa Sunda di Garut lebih halus atau lemes. Hal ini menjadi tantangan dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya yang kurang memahami bahasa yang digunakan.
Pengaruh Perbedaan bahasa terutama dalam komunikasi mempengaruhi kegiatan sehari-
hari mahasiswa perantau, komunikasi dengan teman-teman terkadang sulit karena mereka
kurang memahami bahasa dan nada bicara yang digunakan. Namun, secara keseluruhan,
perbedaan budaya ini memberikan pengaruh positif bagi mahasiswa perantau dalam
memperluas pemahaman dan pengetahuan mereka”.
Pernyataan Informan 2 (Esa Muhammad) selaku Mahasiswa perantau.
“Culture shock dan hambatan yang paling mencolok adalah dalam hal bahasa sehari-hari.
Di Bogor, ia menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan di Garut teman-temannya
menggunakan bahasa sunda. saya menghadapi kesulitan karena menggunakan bahasa
Sunda. Selain itu, dalam mengalami culture shock saat pertama kali merantau adalah
kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman-teman. Mereka merasa bingung dan malu
untuk bertanya karena takut diasingkan. Akan tetapi, tidak ada yang terlalu mengejutkan
tentang budaya di daerah Garut bagi informan. Sebelum merantau, mereka sudah
menyadari bahwa setiap daerah memiliki bahasa dan budaya yang berbeda. Oleh karena
itu, mereka menerima perbedaan tersebut sebagai resiko yang harus dihadapi saat
memutuskan untuk merantau”.
Pernyataan Informan 3 (Refi Lestari Castriani) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman dalam mengalami culture shock saat pertama kali merantau adalah
kesulitan dalam memahami pembicaraan dalam bahasa Sunda. Karena saya berasal dari
Pekalongan yang bahasanya menggunakan bahasa Jawa, saya merasa terbatas dalam
berkomunikasi dan hanya bisa tersenyum karena tidak mengerti apa yang dibicarakan dan
kemudian ia harus mencari informasi melalui internet untuk memahami arti dari kata-kata
yang digunakan oleh teman baru mereka. Untuk menjaga kesehatan mental dan emosional
saat mengalami culture shock, saya melakukan kegiatan refreshing sendiri untuk
menghilangkan kejenuhan dan beban pikiran”.
Pernyataan Informan 4 (Maria Ulfah) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman mengalami culture shock saat pertama kali merantau saya lebih berfokus
pada adaptasi dengan lingkungan baru. Akan tetapi saya menghadapi kesulitan untuk
beradaptasi dengan budaya lokal, namun saya mengatasinya dengan mempelajari budaya
lokal tersebut agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Yang paling mengejutkan
bagi saya tentang budaya di daerah yang mereka tempati sekarang adalah adat istiadat
yang berbeda. Sebagai pendatang baru, menghormati adat istiadat di lingkungan baru
sebagai bentuk penyesuaian”.
Pernyataan Informan 5 (Inri Sukma Ayu) selaku Mahasiswa perantau.
“Pengalaman saya tidak merasakan perbedaan budaya yang paling mencolok karena
budaya di tempat asalnya Sumedang dengan kota Garut hampir sama. Pengalaman saya

12
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

saat pertama kali merantau adalah sedikit bingung dalam mencari teman di lingkungan
baru dan tidak mudah menghafal jalanan di Garut dan hal yang paling mengejutkan atau
sulit bagi saya saat mengalami culture shock adalah tidak terbiasa hidup sendiri karena di
tempat asalnya mereka tinggal bersama keluarga”.
Pernyataan Informan 6 (Triyani Suminar Dipura) selaku Mahasiswa perantau.
“Perbedaan budaya yang paling mencolok bagi saya adalah dalam urusan beribadah,
perbedaan budaya tersebut mempengaruhi kegiatan sehari-hari saya terutama dalam
ibadah yang menjadi sedikit berbeda. Kemudian ia pernah mengalami perbedaan dalam
cara berkomunikasi atau gaya berbicara di tempat baru. Untuk menyesuaikan diri, saya
berusaha menggunakan bahasa yang sopan dan sesuai dengan budaya lokal. Meskipun
terjadi culture shock, saya berusaha mengikuti budaya yang ada dan beradaptasi dengan
baik, sayaa berfokus pada komunikasi yang baik dan sopan”.
Pernyataan Informan 7 (Novia Julianti) selaku Mahasiswa perantau
“Pengalaman saat pertama kali merantau adalah buruk, karena saya merasa kesulitan
mendapatkan teman di semester pertama di kampus. Perbedaan budaya yang paling
mencolok bagi saya adalah etika dan ramah tamah orang-orang di Garut, maka saya
menghargai etika yang baik dan responsif dari orang-orang di Garut, namun saya juga
menganggap basa-basi yang berlebihan sebagai hal yang negatif. Hal yang paling
mengejutkan atau sulit bagi saya saat mengalami culture shock adalah melihat beberapa
orang yang melangkahi makanan, yang merupakan hal yang tidak dianjurkan di daerah
asal informan. Dalam hal Culture shock dan hambatan komunikasi, saya tidak merasa
kesulitan untuk beradaptasi dengan budaya yang ada di Garut. Perbedaan budaya tersebut
tidak mempengaruhi kegiatan sehari-hari sayakarena faktor paling penting baginya dalam
mengatasi culture shock adalah bersikap santai dan harus mudah beradaptasi”.
Dari hasil wawancara tersebut, terdapat makna dari sudut pandang Fenomenologi ini
yakni dari bagaimana mereka memaknai dalam menghadapi culture shock dan hambatan
komunikasi di perguruan tinggi Garut. Berikut adalah makna-makna yang dapat diidentifikasi;
1). Perbedaan Bahasa, Salah satu hambatan komunikasi yang paling mencolok bagi mahasiswa
perantau adalah perbedaan bahasa. Beberapa informan mengungkapkan bahwa bahasa yang
digunakan di tempat asal mereka berbeda dengan bahasa yang digunakan di Garut. Misalnya,
bahasa Sunda yang digunakan di Garut memiliki perbedaan dalam kekasaran dan kelembutan
nada bicara dibandingkan dengan bahasa asal informan. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam
berkomunikasi dengan teman-teman yang kurang memahami bahasa dan nada bicara yang
digunakan. 2.) Kesulitan dalam Memahami Pembicaraan, Mahasiswa perantau juga
menghadapi kesulitan dalam memahami pembicaraan dalam bahasa dan kata yang tidak
familiar bagi mereka. Beberapa informan merasa terbatas dalam berkomunikasi dan hanya bisa
tersenyum karena tidak mengerti apa yang dibicarakan. Dalam menghadapi hal ini, beberapa
informan mencari informasi melalui internet untuk memahami arti kata-kata yang digunakan
oleh teman-teman baru mereka. 3). Adaptasi dengan Budaya Lokal, Mahasiswa perantau juga
menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan budaya lokal yang berbeda. Mereka harus
belajar menghormati adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda di lingkungan baru. Beberapa
informan menyebutkan bahwa perbedaan budaya ini mempengaruhi kegiatan sehari-hari
mereka, terutama dalam ibadah atau etika dalam berinteraksi dengan orang-orang di Garut. 4).
Kesulitan dalam mencari teman, Beberapa informan mengungkapkan bahwa mereka
mengalami kesulitan dalam mencari teman di lingkungan baru saat pertama kali merantau.
Mereka merasa kesepian dan menghadapi kesulitan dalam membentuk hubungan sosial di
perguruan tinggi Garut. 5). Perluasan Pemahaman dan Pengetahuan. Meskipun mengalami
tantangan dalam culture shock dan hambatan komunikasi, beberapa informan juga melihat
pengalaman ini sebagai kesempatan untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan mereka.

13
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

Mereka menganggap perbedaan budaya sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh positif
dalam hal memahami dan menghargai keanekaragaman budaya.
Makna-makna ini menunjukkan pengaruh yang signifikan dari culture shock dan
hambatan komunikasi pada mahasiswa perantau di perguruan tinggi Garut. Mereka harus
mengatasi tantangan ini melalui upaya beradaptasi, belajar bahasa dan budaya lokal, serta
memperluas pemahaman mereka tentang perbedaan budaya. Setiap informan menghadapi
tantangan dan perbedaan budaya yang berbeda-beda, namun mereka juga menunjukkan upaya
dan kemauan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini selaras dengan hasil penelitian
dari penelitian Umaimah An Nazihah, Ayuning Atmasari, Roni Hartono bahwa Gegar budaya
(culture shock) yang dimaknai sebagai sebuah tantangan hidup yang harus dihadapi mahasiswa
rantau dapat dihadapi salah satunya dengan menggunakan adversity quotient. Stoltz (2005)
mengartikan adversity quotient sebagai kemampuan seseorang dalam menghadapi rintangan
dan mengubah rintangan tersebut menjadi sebuah peluang (Nazihah et al., 2020).

KESIMPULAN
Pada tahap ini, dapat disimpulkan bahwa pengalaman mahasiswa perantau di perguruan
tinggi Garut dalam menghadapi culture shock dan hambatan komunikasi menunjukkan adanya
perbedaan yang dialami oleh para informan. Perbedaan bahasa menjadi hambatan utama dalam
berkomunikasi sehari-hari, sedangkan perbedaan budaya mempengaruhi kegiatan sehari-hari
mereka. Pengalaman culture shock saat pertama kali merantau juga menjadi tantangan yang
dihadapi oleh para mahasiswa perantau. Meskipun menghadapi tantangan tersebut, mahasiswa
perantau di perguruan tinggi Garut berusaha untuk mengatasi hambatan dengan berbagai cara,
seperti belajar bahasa lokal, memperluas jaringan sosial, meningkatkan keterampilan
komunikasi, dan beradaptasi dengan budaya setempat. Pengalaman ini memberikan pengaruh
positif bagi informan, seperti memperluas pemahaman dan pengetahuan tentang budaya di
Garut, serta mengembangkan sikap terbuka dan mudah beradaptasi. Dalam aspek motif,
mahasiswa perantau dalam menghadapi culture shock dan hambatan komunikasi di perguruan
tinggi Garut menunjukkan motif di balik keputusan menjadi mahasiswa perantau, dengan
adanya pengalaman individu yang mempengaruhi pemilihan mereka untuk menjadi mahasiswa
perantau di perguruan tinggi Garut. Motif tersebut mencerminkan keinginan mereka untuk
mengalami kehidupan yang berbeda, mencoba tantangan baru, dan meningkatkan kualitas
hidup. Dalam aspek makna, secara garis besar bahwa yang diterapkan informan dalam
menghadapi culture shock dan hambatan komunikasi di perguruan tinggi Garut memiliki
makna. Hal tersebut dapat dikatakan makna karena mereka harus mengatasi tantangan ini
melalui upaya beradaptasi, belajar bahasa dan budaya lokal, serta memperluas pemahaman
mereka tentang perbedaan budaya. Setiap informan menghadapi tantangan dan perbedaan
budaya yang berbeda-beda, namun mereka juga menunjukkan upaya dan kemauan untuk
beradaptasi dengan lingkungan baru.
Secara fenomenologi penelitian ini memberikan wawasan yang berharga dalam
pengembangan pendekatan dan strategi untuk mendukung mahasiswa perantau dalam
mengatasi hambatan budaya dan komunikasi di lingkungan baru mereka dan dapat memiliki
kebaruan dan sudut pandang yang berbeda dari teori yang lain, peneliti yakin jika penelitian
tentang culture shock dan hambatan komunikasi pada mahasiswa perantau di perguruan tinggi
ini dapat di kaji ulang dengan teori dan metode penelitian yang berbeda, akan menghasilkan
sudut pandang baru, karena penelitian mengenai culture shock dan hambatan komunikasi pada
mahasiswa perantau di perguruan tinggi ini akan tetap menarik di kaji dengan kebaruan-
kebaruan penelitian selanjutnya.

14
HUMANTECH : JURNAL ILMIAH MULTIDISPLIN INDONESIA
VOL X NO X BULAN 20XX
E-ISSN : 2809-1612, P-ISSN : 2809-1620

DAFTAR PUSTAKA
Chafsoh, A. M. (2020). Munculnya Culture Shock Pada Mahasiswa Baru Dalam Perkuliahan
Daring Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Sejarah Artikel, 1(1), 1–11.
Devinta, M., Hidayah, N., & Hendrastomo, G. (2013). FENOMENA CULTURE SHOCK
(GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA.
Jurnal Pendidikan Sosiologi 2015, 3(3), 42–52.
https://journal.student.uny.ac.id/index.php/societas/article/viewFile/3946/3612
Dwiatmoko, M. F., & Setiawan, E. (2019). Culture Shock dalam Komunikasi Antar Budaya.
128–133. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29313/.v0i0.16024
Mahdayeni, M., Alhaddad, M. R., & Saleh, A. S. (2019). Manusia dan Kebudayaan (Manusia
dan Sejarah Kebudayaan, Manusia dalam Keanekaragaman Budaya dan Peradaban,
Manusia dan Sumber Penghidupan). Tadbir: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 7(2),
154–165. https://doi.org/10.30603/tjmpi.v7i2.1125
Maizan, S. H., Bashori, K., & Hayati, E. N. (2020). Analytical Theory : Gegar Budaya (Culture
Shock). Psycho Idea, 18(2), 147. https://doi.org/10.30595/psychoidea.v18i2.6566
Mayasari, I., & Sumadyo, B. (2018). Culture Shock ( Gegar Budaya ) Penutur Jawa Dan
Jakarta : perbedaan makna bahasa dan realitas sosialnya. Jurnal Pendidikan Bahasa
Indonesia, 1, 7–20. https://docplayer.info/128888845-Culture-shock-gegar-budaya-
penutur-jawa-dan-jakarta-perbedaan-makna-bahasa-dan-realitas-sosialnya.html
Mulyana, D. (2014). Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya.
Nazihah, U. A., Atmasari, A., & Hartono, R. (2020). Pengaruh gegar budaya (culture shock)
terhadap adversity quotient pada mahasiswa Universitas Teknologi Sumbawa. Jurnal
Psimawa, 3(1), 1–10. https://jurnal.uts.ac.id/index.php/PSIMAWA/article/view/600
Novianti, D., Warsini, S., & Suriyanto, R. (2009). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Culture
Shock Pada Mahasiswa Baru Angkatan 2008 PSIK FK UGM. In Jurnal Ilmu
Keperawatan UGM (Vol. 4, Issue 3, pp. 171–180).
Nurhadi, Z. F., Salamah, U., Fadhilah, M. I., & Mogot, Y. D. Y. (2022). Makna Pesan Etika
Menggunakan Media Sosial Bagi Santri Di Era Transformasi Digital. Jurnal Common,
6(1), 97–115. https://doi.org/10.34010/common.v6i1.7537
Raharjo, Q. S., & Pebriyenni. (2020). Fenomena Culture Shock Pada Mahasiswa Fkip Tingkat
1 Universitas Bung Hatta. Bhineka Tunggal Ika: Kajian Teori Dan Praktik Pendidikan
PKn, 7(2), 143–151. https://doi.org/10.36706/jbti.v7i2.10882
Sobur, D. A. (2017). Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya.
Sobur, D. A. (2018). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Analisis Framing. Remaja Rosdakarya.
Sumarto, S. (2019). Budaya, Pemahaman dan Penerapannya “Aspek Sistem Religi, Bahasa,
Pengetahuan, Sosial, Kesenian dan Teknologi.” Jurnal Literasiologi, 1(2), 16.
https://doi.org/10.47783/literasiologi.v1i2.49
Suryandari, N. (2017). Culture Shock Communication Mahasiswa PERANTAUAN DI
MADURA. Jurnal Kommas.
https://journal.student.uny.ac.id/index.php/societas/article/viewFile/3946/3612
Syakhrani, A. W., & Kamil, M. L. (2022). Budaya Dan Kebudayaan: Tinjauan Dari Berbagai
Pakar, Wujud-Wujud Kebudayaan, 7 Unsur Kebudayaan Yang Bersifat Universal.
Journal Form of Culture, 5(1), 1–10.
https://jurnal.literasikitaindonesia.com/index.php/literasiologi/article/download/49/63
Wardah, & Sahbani, U. D. (2020). Adaptasi Mahasiswa Terhadap Culture Shock. Jurnal
Komunikasi Dan Organisasi (J-KO), 2(2), 120–124.
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/jko/article/download/8077/4869

15

Anda mungkin juga menyukai