Anda di halaman 1dari 20

PERAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM MENGHADAPI

CULTURE SHOCK

(Studi kasus Pada Mahasiswa Perantauan Di Universitas Amikom


Yogyakarta)

Dosen Pengampu: Riski Damastuti, S.Sos, M.A

Disusun Oleh :

Ikbal Santosa (18.96.0963)

Rifky Sutonto (18.96.0957)

Jordy Setyo Budi (18.96.0992)

Faisal Bactiar (18.96.1012)

Monic Aurelia (18.96.0989 )

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi yang efektif akan terjadi Ketika ada Kerjasama dan interaksi yang baik
dengan orang lain. Proses interaksi tersebut dapat juga dikatakan sebagai proses
komunikasi di mana akan ada dua pihak yang terlibat didalamnya, yakni komunikator
(pengirim pesan) dan komunikan (penerima pesan). Kegiatan dari interaksi ini bisa
menjadi sebuah proses komunikasi didalamnya, sehingga terjadi kesepahaman makna dan
tujuan yang sama. Komunikasi yang dilakukan dengan tidak baik akan berakibat
berubahnya pesan yang disampaikan atau ketidak selarasanantara penyampaian pesan dan
penerimaan makna.

Budaya secara umum adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam suatu daerah
atau masyarakat yang menyepakati seperangkat aturan dan norma sebagai bagian yang
khusus menggambarkan daerah atau masyarakat terjait. Budaya sendiri dapat menjadi
penjembatan dalam berkomunikasi, dua budaya yang sama akan menghasilkan makna
dan pengertian yang sama Ketika terjadi interaksi. Berbeda Ketika dua individu
berkomunikasi dengan latar budaya yang berbeda, maka akan timbul culture shock yang
akan menghambat proses komunikasi. Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang
berbeda mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah
lainnya dalam negerinya sendiri dan individu yang berpindah ke negeri lain untuk periode
waktu lama (Dayakisni, 2012: 266).

Gegar budaya didefinisikan sebagai kegelisahan yang ada pada diri individu ketika
menemati lingkungan yang baru. Manusia dalam hidupnya pasti akan mengalami culture
shock, apabila individu memasuki lingukungan baru berarti meraka akan melakukan
kontak antarbudaya. Individu tersebut pasti akan bertemu dengan orang di lingkungan
baru yang ia kunjungi, maka komunikasi antarbudaya tidak dapat terhindarkan. Budaya
menjadi sebuah programming of mind karena interaksi yang terjadi akan membentuk
sebuah pola tertentu berdasarkan situasi dan kondisi seseorang pada saat berkomunikasi
(Nasrullah Rulli, 2012:16).

Mahasiswa sangat identik dengan perantauan, banyaknya Universitas yang tersebar di


seluruh kota besar Indonesia dengan kualitas dan fasilitas yang berbeda-beda memicu
pandangan yang berbeda pada setiap calon mahasiswa untuk menentukan pilihan
universitas. Hal inilah yang menyebabkan banyak mahasiswa perantauan di kota-kota
besar dengan universitas yang mempunyai kualitas yang bagus. Hal ini sangat
memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk Indonesia dari berbagai suku
dan budaya. Maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para
individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin besar

Yogyakarta adalah satu satu propinsi di Indonesia yang menjadi kota tujuan
pendidikan para mahasiswa perantauan untuk datang dan menlanjutkan Pendidikan ke
berbagai perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Yogyakarta sendiri memiliki jumlah
universitas kurang lebih 166 dengan fakultas dan jurusan yang berbeda di setiap
kampusnya (AyoKuliah.id). Data tersebut menunjukan tingginya kemungkinan pelajar
dari luar kota Yogyakarta untuk melanjutkan Pendidikan di tinggat perguruan tingggi ke
kota Yogyakarta. Hal inilah yang menjadikan kota Yogyakarta dijuluki sebagai kota
pelajar. Banyaknya perpindahan pelajar yang ingin melanjutkan Pendidikan di kota
Yogyakarta memungkinkan berbagai macam etnis hidup bersama dan saling berhubungan
satu sama lain.

Mahasiswa yang merantau ke kota Yogyakarta terkadang harus berinteraksi dengan


lingkungan baru yang ia tempati dalam jangka waktu tertentu, sehingga menimbulkan
komunikasi antarbudaya. Menurut Stewart (1974), komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi yang terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma,
adat istiadat, dan kebiasaan. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi
simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang
yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan memberikan interpretasi dan
harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu
sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig & Koester, 2007:11).

Universitas Amikom Yogyakarta adalah salah satu perguruan tinggi di kota


Yogyakarta dengan jumlah mahasiswa perantauan yang cukup banyak. Dengan jarang
dari rumah yang jauh membuat mahasiswa perantauan ini mau tidak mau harus tinggal
dan menetap di kota Yogyakarta, termasuk menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat
Yogyakarta. Karena Yogyakarta memiliki latar belakang suku dan budaya Jawa membuat
masyarakat Yogyakarta seringkali menggunakan Bahasa daerah sebagai Bahasa sehari-
hari dan masyarakat jawa dalam tata perilaku menjunjung tinggi adat istiadat jawa dalam-
berperilaku seperti tata krama, unggah -ungguh dan nilai norma. Padahal mahasiswa
perantauan yang berkuliah di Universitas Amikom Yogyakarta memiliki karakteristik
sosial budaya yang tentu saja berbeda dengan kondisi sosial budaya kota Yogyakarta.

Berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda tersebut mahasiswa perantauan dari
luar kota Yogyakata harus menjalani proses penyesuaian diri dengan budaya baru yang
ada di kota Yogyakarta, pastinya mahasiswa perantauan tersebut harus melewati proses-
proses komunikasi antarbudaya sebagai upaya untuk menanggulangi culture shock yang
terjadi pada dirinya. Dengan upaya mengatasi masalah culture shock tersebut diharapkan
dapat mengurangi masalah culture shock dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi
dalam diri meraka akibat berada di lingungan baru, sehingga diharapakan mampu
membuat mereka lebih nyaman serta dapat menjalin interaksi dengan masyarakat
Yogyakarta.

B. Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa referensi yang peneliti ambil untuk dijadikan dasar melakukan penelitian ini
untuk menjadi tolak ukur agar dapat memberikan keberhasilan dari penelitian ini.

a. Penelitan Terdahulu Pertama

Penelitian mengenai Peran Komunikasi Antar Budaya Dalam Mengatasi Gegar


Budaya Mahasiswa Asing UNS (Studi Deskriptif Kualitatis Peran Komunikasi
Antarbudaya Dalam Mengatasi Gegar Budaya yang Dialami Oleh Mahasiswa Asing S-1
UNS) oleh Rahma Yudi Amartina Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Sebelas Maret Tahun 2015.
Dari hasil peneltian yang dilakukan menunjukan bahwa bentuk-bentuk gegar budaya
yang muncul adalah Bahasa, makanan, lingkungan, karakteristik masyarakat Solo,
spiritualitas, dan budaya Jawa. Komunikasi antarbudaya merupakan sebuah cara yang
efektif untuk mengatasi gegar budaya para mahasiswa asing, hingga sampai pada taham
penyesuaian diri dengan lingkungan dan budaya baru melalui komunikasi tatap muka dan
pemanfaat teknologi. Komunikasi kelompok, massa, dan budaya juga membantu dalam
proses adaptasi dan penyesuaian diri melalui interaksi kelompok, media massa, dan acara-
acara kebudayaan. Komunikasi yang dijalin tidak akan berakhir, justru malah semakin
membantu para mahasiswa asing S-1 UNS untuk menyesuaika diri dengan lingkungan
dan budaya yang ada di UNS dan kota Solo.
b. Penelitian Terdahulu Kedua
Penelitian tentang Culture Shock Dalam Komunikasi Antar Budaya (Studi Kasus
Kualitatif Pada Ikatan Pelajar Mahasiswa Musi Banyuasin Sumatra Selatan Di
Yogyakarta) jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora Universitas
Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2017. Hasil penelitian ini menunjukan
Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa IKPM Musi Banyuasin berupa kesulitas
dalam penyesuaian Bahasa baik verbal maupun Nonverbal. Hal ini membuat kesulitan
dalam berinteraksi dengan-teman yang berbeda budaya, sehingga menimbulkan miss-
comunication. Selain itu mahasiswa IKPM Musi Banyuasin tidak suka dengan makanan
yang ada di Jogja yang memiliki rasa makanan yang cenderung manis.

c. Penelitian Terdahulu Ketiga

Jurnal tentang Komunikasi Dalam Adaptasi Budaya (Studi Deskriptif pada


Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) oleh
Fajar Iqbal. Hasil dari penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa
Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga untuk dapat beradaptasi dengan
keadaan lingkungan kampus dilakukan dengan proaktif melalui diskusi dengan kakak
angkatan, mengikuti organisasi dan perkuliahan dengan rajin, untuk mengurangi
ketidakpastian pada dri mereka tentang keadaan disekitar mereka dan komunikasi yang
terjadi diantara mereka. Selain itu, komunikasi yang fleksibel dengan lingkungan kampus
membuat ketegangan dan perselisihan dapat dihindari, tanpa menghilangkan identitas
budaya masing-masing mahasiswa

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu

Nama Penulis,
Tahun, dan Judul
No Metode Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian
Terdahulu
1 Rahma Yudi Kualitatis Komunikasi antarbudaya merupakan
Amartina. 2015. sebuah cara yang efektif untuk
Peran Komunikasi mengatasi gegar budaya para
Antarbudaya mahasiswa asing, hingga sampai
dalam Mengatasi pada tahap penyesuaian diri dengan
Gegar Budaya lingkungan dan budaya baru melalui
yang Dialami oleh komunikasi tatap muka dan
Mahasiswa Asing pemanfaat teknologi. Komunikasi
UNS kelompok, massa, dan budaya juga
membantu dalam proses adaptasi
dan penyesuaian diri melalui
interaksi kelompok, media massa,
dan acara-acara kebudayaan
2. Hajriadi. 2017. Deskriptif Culture Shock yang dialami oleh
Culture Shock Kualitatif mahasiswa IKPM Musi Banyuasin
Dalam Komunikasi berupa kesulitas dalam penyesuaian
Antarbudaya Fajar Bahasa baik verbal maupun
Iqbal. 2017. (Studi Nonverbal. Hal ini membuat
Kasus Pada kesulitan dalam berinteraksi dengan-
Mahasiswa teman yang berbeda budaya,
Fakultas Ilmu sehingga menimbulkan miss-
Sosial Dan comunication. Selain itu mahasiswa
Humaniora UIN IKPM Musi Banyuasin tidak suka
Sunan Kalijaga dengan makanan yang ada di Jogja
Yogyakarta) yang memiliki rasa makanan yang
cenderung manis.
3. Fajar Iqbal. 2017. Kualitatif Komunikasi yang dilakukan oleh
Komunikasi mahasiswa Fakultas Sosial dan
Antarbudaya Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Mahasiswa Suku untuk dapat beradaptasi dengan
Banjar Di lingkungan kampus dilakukan
Yogyakta(Studi dengan proaktif melalui diskusi
Kasus Pada dengan kakak angkatan, mengikuti
Mahasiswa organisasi dan perkuliahan dengan
Fakultas Ilmu rajin. Selain itu, komunikasi yang
Sosial Dan fleksibel dengan lingkungan kampus
Humaniora UIN membuat ketegangan dan
Sunan Kalijaga perselisihan dapat dihindari, tanpa
Yogyakarta) menghilangkan identitas budaya
masing-masing mahasiswa.

Tabel 2.2. Persamaan dan Perbedaan Penelitian

Nama Penulis,
Tahun, Dan Judul
No Persamaan Perbedaan
Penelitian
Terdahulu
1 Rahma Yudi Membahas mengenai Subjek pada penelitian ini
Amartina. 2015. peran komunikasi adalah mahasiswa asing S-1
Peran Komunikasi antarbudaya untuk UNS, sedangkan penelitian
Antarbudaya dalam menanggulangi culture yang akan dilakukan
Mengatasi Gegar shock mengambil subjek
Budaya yang mahasiswa perantauan di
Dialami oleh Universitas Amikom
Mahasiswa Asing Yogyakarta
UNS
2. Hajriadi. 2017. Metode penelitian yang Batasan objek penelitian ini
Culture Shock digunakan, mulai dari mendeskripsikan penyebab
Dalam Komunikasi Teknik pengumpulan data, terjadinya gegar budaya dan
Antarbudaya Teknik pengambilan upaya mengatasi gegar
sumber, dan Teknik budaya, sedangkan
validasi data penelitian yang akan
dilakukan meliputi
keseluruhan fase gegar
budaya, serta peran
komunikas antarbudaya
dalam mengatasi culture
shock.
3. Fajar Iqbal. 2014. Pengambilan teori Subjek pada penelitian ini
Komunikasi Dalam pengurangan mengambil mahasiswa
Adaptasi Budaya ketidakpastian, Fakultas Ilmu Sosial dan
(Studi Kasus Pada penggunaan metode Humaniora UIN
Mahasiswa kualitatif, pemilihan lokasi Sunankalijaga, sedangkan
Fakultas Ilmu penelitian di Yogyakarta penelitian yang akan
Sosial Dan dilakukan mengambil subjek
Humaniora UIN mahasiswa perantauan di
Sunan Kalijaga Universitas Amikom
Yogyakarta) Yogyakarta. Penelitian
terdahulu menekankan pada
adaptasi budaya, sedangkan
penelitian yang akan
dilakukan sekarang culture
shock pada mahasiswa
perantauan.

Berdasarkan paparan diatas peneliti tertarik untuk meneliti fenomena culture

shock pada mahasiwa perantauan di Universitas Amikom Yogyakarta. Bagaimana peran

serta komunikasi antarbudaya dalam mengatasi culture shock yang mereka jalani ketika

memasuki lingkungan baru agar tercipta suatu adaptasi dan interaksi yang baik dan

dapat menyatu dengan masyarakat di lingkungan. baru yang ia tempati. Alasan

pemilihan tempat berkolasi di Universitas Amikom Yogyakarta karena peneliti melihat

banyaknya mahasiswa perantaun yang melanjutkan studinya di kampus ini, peneliti

ingin melihat bagaimana proses culture shock itu terjadi pada diri setiap individu.

Peneliti ingin melihat bagaimana meraka bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya di

kota Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk-bentuk culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan
Universitas Amikom Yogyakarta?
2. Bagaimana peran komunikasi antarbudaya dalam upaya mengatasi culture shock
yang dialami mahasiswa perantauan Universitas Amikom Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk culture shock yang dialami oleh mahasiswa
perantauan Universitas Amikom Yogyakarta
2. Untuk mengetahui peran komunikasi antarbudaya dalam upaya mengatasi culture
shock yang dialami mahasiswa perantauan Universitas Amikom Yogyakarta
BAB II

KERANGKA TEORI

A. Definisi Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi dan kebudayaan bukan hanya sekadar kata, melainkan suatu konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Komunikasi antar budaya adalah suatu proses komunikasi
simbolik, interpretative, transaksaional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang
yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu memberikan interpretasi
dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku
tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. (Lustig dan koester intercultural
Comunication Competnece, 19923).

Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antar budaya meliputi komunikasi


yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok dengan tekanan pada latar belakang
kebudayaan yang memepengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Dood, 1991: 5).
Komunikasi antar budaya memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pribadi dan fungsi
social. Fungsi pribadi dipecah lagi menjadi fungis menyatakan identitas social, sungsi
integrasi social, menambahkan pengetahuan, dan fungsi melepaskan jati diri. Sedangkan
fungsi social meliputi fungsi pengawasan, fungsi menghubungkan, fungsi sosialisai, dan
fungsi menghibur (Liliweri, 2007:36-44)

Berdasarkan pengertian menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar
budaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok dengan
tekanan pada latar belakang kebudayaan yang memepengaruhi perilaku komunikasi para
peserta. Komunikasi antar budaya terjadi pada orang dengan latar belakang suku dan
budaya yang berbeda, pada dasarnya komunikasi dalam praktinya memperhatikan
prinsip-prinsip komunikasi, baik disadari atau tidak oleh pelakunya. Maka dari itu
perilaku dari komunikasi antar budaya adalah karakter dari budaya aslinya.

B. Definisi Culture Shock

Gegar budaya adalah kondisi dimana seseoarang merasakan kecemasan dan keanehan
dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang baru dan berbeda.
Sebagian besar orang biasanya akan melewati empat fase culture shock, meskipun
terhadap beberapa individu terdapat reaksi yang berbeda terhadpa gegar budaya dan
jangka waktu penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Konsep gegar budaya
diperkenalkan oleh Kalvero Oberg, ada empat tingkatan yang digambarkan dalam bentuk
kurva U, sehingga disebut U-curve (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:336).
Fase-fase tersebut yaitu:
1. Fase Optimistik (Optimistic Phase), yaitu euforia atau gempita yang berfungsi sebagai
antisipasi memasuki kehidupan baru.
2. Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), di mana masalah-masalah lingkungan
mulai muncul dan berkembang. Fase ini ditandai dengan timbulnya rasa kecewa dan tidak
puas terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tuan rumah (negara yang ditinggali saat ini).
3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), ketika ia mulai memahami keadaan kultural di
tempat dirinya tinggal sekarang, yang menjadi budaya barunya.
4. Fase Penyesuaian (Adjustment Phase), yaitu ketika seseorang memahami elemen-
elemen kunci dari budaya barunya, seperti nilai-nilai khusus, adat istiadat, keyakinan-
keyakinan, dan pola komunikasi.

B. Penyebab Terjadinya Culture Shock

Kalervo Oberg (1991), seorang antropolog Belanda, menjabarkan gegar budaya


(culture shock): “culture shock as a mental illness, an occupational pathology for
persons transplanted abroad „precipitated by the anxiety that results from losing all our
familiar signs and symbols of social intercourse‟.” (gegar budaya sebagai sebuah
penyakit mental, sebuah patologi kerja bagi orang-orang yang berpindah ke luar negeri
yang dipicu oleh kecemasan yang dihasilkan akibat kehilangan semua tanda dan simbol
pergaulan yang sebelumnya akrab‟).
Culture shock dapat terjadi pada individu yang mengalami perpindahan dari satu
daerah ke daerah laiinya dalam negrinya sendiri dan individu yang berpindah ke negara
lain untuk periode yang lama (Dayakisni, 2012: 266). Oberg lebih lanjut menjelaskan
bahwa hal-hal yang benar-benar dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya
tanda dan lambang hubungan sosial, sperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata,
isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan, dan norma-norma individu yang diperoleh selama
perljalanan hidup sejak individu dilahirnya (Mulyana, 2006:175).
Barna (1991) mengidentifikasi faktor-faktor spesifik yang dianggap sebagai tekanan
utama (primary stressors) dari peristiwa gegar budaya: ambiguitas (ambiguity),
kurangnya kepastian (lack of certainty), dan ketidakmampuan untuk meramal
(unpredictability), dan menunjukkan bagaimana hal-hal tersebut berhubungan secara
langsung dengan pengalaman seseorang memasuki budaya baru. Hal yang akan timbul
adalah muncul perasaan-perasaan yang kuat untuk pulang ke rumah atau ke negara asal.
Dimana ia bisa dengan nyaman untuk berinteraksi dengan orang yang satu pemahaman
dan gaya Bahasa. Dan yang paling penting adalah bisa betemu dan berinteraksi dengan
orang yang dia kenal dan dirasa nyaman untuk diajak berkomunikasi.

C. Teori Pengurangan Ketidakpastisan

Komunikasi menjadi hal yang penting di setiap bagian kehidupan manusia sosial,
setiap individu selalu berhubungan dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dalam
komunikasi antar budaya hal yang paling sulit adalah ketika merekan harus memulai
komunikasi dengan seseorang yang mereka tidak kenal, dan berbeda latar belakang
budaya yang berbeda. Agar komunikasi berjalan dengan lancar mereka harus
mempersiapkan diri mereka agar komunikasi berikutnya berjalan dengan baik.

Salah satu perspekif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan dari


komunikasi antar budaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain
(Liliweri, 2007:19). Tujuannya adalah agar komunikasi yang digunakan dapat
mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembiaraan satu
sama lainnya untuk pertama kali. Hal ini menunjukan bahwa, ketika seseorang baru saja
menganal lingkungan baru, individu memerlukan sebuah pegangan untuk bisa menganali
keadaannya, yaitu dengan komunikasi. Komunikasi disini berfungsi untuk mengurangi
adanya ketidakpastian seseorang terhadap orang yang baru ia kenal pertama kalinya.

Dalam Teori pengurangan keidakpastian, terdapat dua tahapan seseorang ketika


pertama kali bertemu, yakni predisi dan penjelasan (Ibid., hlm.179). Ketika seseorang
bertemu dengan orang baru untuk pertama kalinya dan orang itu dianggap asing baginya,
maka timbul perasaan yang membuat dirinya memperkirakan lawan bicara dari segi
sikap, perilaku dan gaya berbicaranya. Perkiraan yang dibuat akan menentukan sikap
yang akan diterima oleh orang asing tersebut, hal ini akan berbeda pada setiap individu,
tinggal bagaimana mereka menggunakan perkiraan kepada orang asing.
Dalam konteks komunikasi antar budaya komunikasi interpersonal adalah alat yang
utama untuk mengurangi ketidakpastian, karena biasanya kebanyakan orang mamulai
interaksi dalam bentuk fase awal, yakni sebagai tahap awal interaksi dengan orang asing
(Berger & Calabrese, 1995). Liliweri (2007:19-20) menjelaskan, tindakan untuk
mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yaitu:

1. Prakontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun nonverbal,
apakah komunikan menyukai atau bahan menghindari komunikasi.

2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari
kontak awal tersebut; misalnya apakah kita sama dengan mereka, apakah mereka
mengerti kita, atau apakah kita akan dirugikan dengan proses komunikasi dengan mereka.

3. Closure, mulai membuka diri yang mulanya tertutup, melalui atribusi dan
pengembangan kepribadian implisit.
D. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori yang telah diurailan, maka peneliti Menyusun
kerangkan berfikir sebagai berikut :

Bagan 2.1 Kerangka berfikir penelitian

Mahasiswa Perantaun di Universitas


Amikom Yogyakarta

Culture Shock dalam Komunikasi


Antarbudaya

Fase Culture Shock (Kalvero Penyebab Terjadinya


Oberg) Culture Shock Barna
(dalam Zapf, 1991:5)
Konsep Komunikasi 1. Fase Optimistik (Optimistic
antar budaya Phase) 1. Ambiguitas
(ambiguity),
(Komunikasi simbolik, 2. Fase Masalah Kultural
Interpretative, (Cultural Problems 2. Kurangnya
Transaksaional, kepastian (lack of
3. Fase Kesembuhan certainty),
Kontekstual) (Recovery Phase)
3. Ketidakmampuan
4. Fase Penyesuaian untuk meramal
(Adjustment Phase) (unpredictability),

Peran Komunikasi Antar Budaya Dalam


Mengatasi Culture SHock atau Gegar
Budaya
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan paradigma penelitian

Paradigma menentukan pandangan peneliti. Sehingga paradigma yang


digunakan dalam penelitian ini adalah naturalistic paradigm atau paradigma alamiah.
Penelitian ini memang terjadi secara alamiah, dalam situasi normal yang tidak
dimanipulasi keadaan dan kondisinya. Paradigma alamiah bersumber pada pandangan
fenomenologis. Menurut (Saparinah Faisal,1990) fenomenologis berusaha memahami
perilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun bertindak, atau senantiasa masuk
ke dalam dunia konseptual para manusia pelaku yang menjadi subjek peneliti. Sebab
apa yang tampak di permukaan (tingkah laku) merupakan pantulan dari ide atau
makna yang tersembunyi di bagian dalam, maka untuk memahaminya diperlukan
penghayatan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


lapangan (field research), yang mana penelitian ini menitik beratkan pada hasil
pengumpulan data dari informan yang ditentukan. Penelitian lapangan (field
research) adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di mana objek yang
diteliti yaitu mahaiswa pertantauan di Universitas Amikom Yogyakarta untuk
memperoleh data-data yang berkaitan dengan pembahasan yakni “Peran komunikasi
antarbudaya dalam menghadai culture shock”

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Karena


menggunakan metode kualitatif lebih mudah untuk menyesuaikan apabila berhadapan
dengan kenyataan ganda selain itu, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dengan informan.

Penelitian yang menggunakan perspektif kualitatif lebih memusatkan diri


untuk memahami persepsi individu mengenai dunia, dan berupaya mencari wawasan.
Dalam hal ini, akan mendapatkan data- data yang akurat dan otentik, dikarenakan
peneliti langsung mewancarai dan berdialog dengan informan. Kemudian peneliti
mendeskripsikan tentang objek yang diteliti secara sistematis dan mencatat semua hal
yang berkaitan dengan objek yang diteliti yaitu mahasiswa perantauan di Universitas
Amikom Yogyakarta

B. Metode Penelitian

a. Observasi
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya
melalui hasil kerja panca indera mata yang dibantu panca indera yang lain (Burhan,
2001). Dalam hal ini peneliti melakukan observasi secara terang-terangan dan
tersamar dengan jenis observasi non partisipasi atau pengamatan secara langsung
terhadap suatu fenomena yang dikaji.

Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan secara langsung fenomena gegar


budaya pada hahasiswa perantauan di Universitas Amikom Yogyakarta. Peneliti
melakukan observasi dalam dua tahap, tahap pertama observasi dilakukan untuk
mengetahui komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat tingal mahasiswa, baik
komunikasi dengan masyarakat sekitar atau warga. Tahap kedua observasi dilakukan
untuk mengetahui kemampuan penyesuaian diri hinga sosialisasi mahasiswa
peranauan di Universitas Amikom Yogyakarta

b. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang
yang ingin memperoleh informasi dari seseorang laiinya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2010: 180). Menurut
Lincoln dan Guba dalam Moleong (2014: 186) tujuan dilakukan wawancara antara
lain: mengkrontruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, dan kepedulian. Ada dua jenis wawancara, wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur mirip dengan percakapan
informal (Mulyana, 2010b: 181). Hal ini dapat membantu proses wawancaa yang
tidak terlalu kaku dan dapat mencairkan suasana antara peneliti dengan narasumber.
Tujuannya supaya narasumber tetap merasa nyaman dengan suasana hati yang santai,
tetapi peneliti masih tetep memperoleh poin-poin informasi jawaban pertanyaan
wawancara dari narasumber.
c. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan untuk memperkuat gambaran lapangan bagi peneliti.
Hasil dokumentasi dapan dijadikan sebagai bukti otentik yang valid tentang
keabsahan penelitian yang dilakukan. Dokumentasi dapat berupa pengambilan
gambar ataupun video lapangan

d. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan berguna untuk mencari referensi mengenai penelitian.
Gambara langapanga, kondisi sosiokultural dapat diperkual dan diperdalam dengan
referensi catatan kepustakaan.

C. Sumber data primer dan sekunder


a. Sumber data primer

Dalam penelitian ini sumber data primer adalah hasil wawancara langsung
dengan informan yaitu mahasiswa perantauan di Universitas Amikom Yogyakarta
yang mengalami culture shock

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah data-data pelengkap dari data primer. Dalam penelitian
yang akan dilaksanan data sekunder adalah berupa buku, hasil penelitian, karta ilmiah,
artikel-artikel, literatur, serta segala informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

D. Subjek dan Objek Penelitian

1.Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang yang terkait dengan penelitan yang
akan dilakukan. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah Mahasiswa perantauan di
Universitas Amikom Yogyakarta. Subjek ditentuakn melalui purposive samling,
menurut Rachmat Kriyantono (2006: 156) menyatakan bahwa

Teknik purposive sampling pemilihan subjek dengan cara menyelekso informan


atau narasumber atas dara kriteria tertentu yang dibuta peneliti berdasarkan tujuan
penelitian. Untuk kriteria informas yang ditentukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Informan adalah mahasiswa perantauan yang sedang menempuh Pendidikan di


Universitas Amikom Yogyakarta
2. Mahasiswa pernah mengalami Culture Shock selama tinggal di Yogyakarta

3. Mahasiswa berasal dari luar daerah Yogyakarta dan sudah menetap di kota
Yogyakarta

2. Objek Penelitian

Objek penelitian merupakan apa yang menjadi sasaran dalam penelitian


(Bungin, 2007:76) dengan kata lain, objek penelitian adalah focus masalah yang akan
dicari jawabannya melelui penelitian. Adapaun objek penelitian ini adalah peran
komunikasi antarbudaya dalam mengatasi culture shock.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang digunakan peneliti dalam
pengumpulan data. Instrumen utama dari penelitian kualitatif adalah peneliti itu
sendiri, sehingga dalam penelitian menggunakan instrumen penelitian berupa peneliti
itu sendiri, selanjutnya akan dikembangkan dengan instrument peneliian sederhana,
dengan tujuan dapat melengkapi data dan membandingkan data dengan data yang
telah ditemukan. Peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan
pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti
dibantu dengan 3 alat penelitian yaitu:

a. Lembar observasi
Lembar observasi berisikan pedoman peneliti dalam melakukan pengamatan di
lingkungan saat ini, untuk mencari data tentang keadaan tempat penelitian dan peran
komunikasi antarbubaya dalam mengatasi culture shock

b. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk pedoman utama dalam pengumpulan data
responden sebagai bahan analisis dari informasi yang sifatnya umum ke khusus.
Wawancara ini ditujukan untuk mahasiswa perantauan yang sedang menempuh
Pendidikan di Universitas Amikom Yogyakarta

c. Pedoman Dokumentasi
Pedoman dokumentasi dilaksanakan dengan menggunakan dokumen, arsip untuk
menambah informasi dan dapat dijadikan sebagai bukti otentik penelitian. Dalam
penelitian ini dokumentasi berbentuk foto-foto, catatan,dan data pendudung laiinya.
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri. 2003. Dasar-dasar Komunnikasi Antarbudaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Bungin, Burham. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi. Ekonomi, Kebijakan, Publick, dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan, 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan
Kualitatif, Surabaya: Airlangga University Press,
Dayakisni, T., & Yuniardi, S. 201). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Publisher.
Ibid., hlm.179
Fajar Iqbal. 2017. Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Suku Banjar Di Yogyakta(Studi
Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Hajriadi. 2017. Culture Shock Dalam Komunikasi Antarbudaya Fajar Iqbal. 2017. (Studi
Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Lustig, Myron W. and Jolene Koester. 2003. Intercultural Competence: Intercultural
Communication Across Cultures (4th Edition). Boston: Pearson Education
Liliweri, Alo. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Cetakan Ketiga). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mulyana M.a., Dr Deddy dan Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. (eds), KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi AntarBudaya Di Era Budaya Siber, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group
Rakhmat, Jalaluddin. 1986. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remadja Rosdakarya.
Rahma Yudi Amartina. 2015. Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Mengatasi Gegar
Budaya yang Dialami oleh Mahasiswa Asing UNS
Samovar, L.A, Richard Porter, dan Edwin McDaniel. 2007. Komunikasi Lintas Budaya Edisi
5 .Jakarta: Salemba Humanika
Saparinah Faisal, Penelitian Kualitatif Dasar- Dasar dan Aplikasi, (Malang: YA3 Malang,
1990), Hlm. 13.
Zapf, Michael Kim. 1991. “Cross-cultural Transitions and Wellness: Dealing with Culture
Shock”. International Journal for the Advancement of Counseling. Netherland:
Kluwer Academic Publisher.
WEB :
Daftar Universitas di D I Yogyakarta | Universitas Terbaik | AyoKuliah.id (Diakses Pada
Tanggal 17,Januari 2021) pada Jam 05.12 PM

Anda mungkin juga menyukai