Anda di halaman 1dari 24

Adaptasi Budaya Mahasiswa Etnis Batak Toba di Politeknik Negeri

Bandung (Polban)

USULAN PENELITIAN
Diajukan untuk menempuh seminar usulan penelitian Program Studi
Antropologi

Disusun Oleh :
Gita Junita BR Sagala
170510150006

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana adaptasi budaya yang


dilakukan oleh mahasiswa rantau etnik Batak Toba yang melanjutkan
pendidikannya di Politeknik Negeri Bandung. Adaptasi ini akan dilihat dari
kegiatan sehari-hari dari para mahasiswa rantau menjalani perkuliahannya dan
saat mereka berinteraksi dengan lingkungan di Politeknik Negeri Bandung.

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu


ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk
perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut
dan universitas (Hartaji, 2012:5). Maka dari itu dalam prosesnya seorang
mahasiswa harus membuat cara agar menjadi sosok yang ideal sebagai cerminan
Bangsa Indonesia di masa depan, salah satunya dengan menimba ilmu.
Mendapatkan ilmu dan pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor yang
mendorong seseorang untuk merantau. Hal tersebut lahir dari kenyataan sekarang
ini bahwa pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang guna mengadaptasi situasi dan kondisi yang selalu mengalami
perubahan secara dinamis (Adiarta, dkk 2013:3).

Salah satu kota yang menjadi incaran para pelajar dari berbagai penjuru
tanah air adalah Bandung. Hampir setiap tahun universitas yang tersebar di
Bandung dipenuhi oleh pelajar yang berasal dari luar kota, luar provinsi, bahkan
luar negeri dengan tujuan untuk menuntut ilmu, salah satunya adalah Politeknik
Negeri Bandung (Polban).

Perguruan tinggi Polban berada di Desa Ciwaruga, Kecamatan Parongpong,


Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dengan corak kebudayaan yang ada di
lingkungan Polban adalah kebudayaan Sunda. Pemilihan lokasi penelitian di
Polban karena mahasiswa Polban adalah mahasiswa dari berbagai latar belakang
yang berbeda satu dengan yang lainnya akan tetapi memiliki satu tujuan yang

1
sama yaitu pendidikan yang bermutu dan layak. Hal ini dibuktikan karena Polban
masuk ke dalam 100 perguruan tinggi terbaik yang ada di Indonesia pada tahun
20171, sehingga banyak mahasiswa perantau dari berbagai latar belakang budaya
yang berbeda datang untuk menuntut ilmu di kampus tersebut, salah satu
mahasiswa perantau etnik Batak Toba yang berasal dari Sumatera Utara.

“Batak” memiliki arti yaitu petualang, pengembara, sedangkan “membatak”


mempunyai arti yaitu berpetualang, pergi mengembara2 Naim (dalam Sinaga,
2012:1) mengatakan bahwa orang Batak sangat suka untuk mengembara.
Mobilitas yang tinggi dan semangat serta perasaan ingin tahu yang tinggi
menjadikan salah satu faktor yang membuat etnik Batak tersebar di seluruh daerah
Nusantara bahkan hingga ke luar negeri. Napitupulu (dalam Nauli dan Fransisca,
2015:372) mengatakan bahwa motto orang Batak Toba “anakkokin do hamoraon
di ahu” yang berarti bahwa anak adalah harta yang paling berharga. Para orangtua
akan berusaha menyekolahkan anaknya walaupun dalam keadaan terbatas. Hal ini
menunjukan bahwa pendidikan anak menjadi tempat dan nilai yang lebih tinggi
dari nilai yang lain. Sehingga tidaklah asing jika banyaknya mahasiswa etnik
Batak Toba merantau untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya ke Kota Bandung,
terutama ke perguruan tinggi Polban.

Mahasiswa etnik Batak Toba akan dihadapkan dengan berbagai tantangan


budaya, salah satunya adalah adaptasi yang dimana mereka harus menyesuaikan
cara dan gaya hidup dengan lingkungan tuan rumah yaitu etnik Sunda. Akan
banyak sekali tantangan budaya yang dihadapi, inilah yang akan memacu
kemunculan cara adaptasi dari para mahasiswa rantau tersebut, apalagi dikalangan
masyarakat tercipta stereotip bahwa orang Sunda menjunjung tinggi sopan santun,
murah senyum, lemah-lembut dan sangat menghormati orang tua dalam
kehidupan sehari-hari (Intan dan Handayani, 2017:2), sedangkan orang Batak
memiliki ciri-ciri yang sangat bertolak belakang dengan orang Sunda yaitu

1
Menristekdikti Umumkan Klasterisasi Perguruan Tinggi Tahun 2017.
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017/08/17/menristekdikti-umumkan-klasterisasi-
perguruan-tinggi-tahun-2017/ . Diakses pada 20 Agutus 2018.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.web.id/batak. diakses pada 20 Agustus 2018.

2
memiliki suara keras dan cenderung kasar, memiliki rasa percaya diri yang tinggi,
mengeluarkan kritikan pedas dengan tujuan membangun orang lain dan bersikap
secara spontan dengan orang lain (Mudrikah, 2017:34-35). Sehingga salah satu
cara agar mereka dapat bertahan di Polban adalah dengan beradaptasi. Adaptasi
memiliki arti yaitu penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan, tidak hanya
lingkungan secara fisik melainkan lingkungan sosial karena setiap orang
membutuhkan satu dengan lainnya, maka harus menyesuaikan nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungan baru tersebut (Mareza dan Nugroho, 2016:28).
Selain perbedaan karakteristik, mahasiswa etnik Batak Toba harus juga
beradaptasi dengan perbedaan di dalam lingkungan fisik seperti cuaca, suhu dan
lingkungan sosial budaya seperti berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Apalagi,
budaya juga melihat bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, teknologi dan
sebagainya. (Mulyana dan Rakhmat, 2010:18).

Tidak semua proses adaptasi dapat berjalan dengan lancar. Terdapat


hambatan-hambatan yang muncul di kalangan mahasiswa etnik Batak, seperti
ditulis dalam skripsi Andriana Noro Iswara pada tahun 2012 dengan judul
“Komunikasi Antar Budaya Di Kalangan Mahasiswa”. Stereotipe, dikriminasi,
jarak sosial, dan kecemasan sering dialami mahasiswa etnik Batak di Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Hambatan yang muncul disebabkan adanya image yang
melekat pada orang Batak yakni galak dan kasar sehingga mempengaruhi
komunikasi antar budaya mereka dengan mahasiswa yang berbeda etnis dengan
mereka seperti banyak yang segan bahkan takut karena mereka dianggap kasar
dan galak oleh teman-teman yang berbeda etnik dengan mereka.

Penelitian yang dilakukan Oktolina Simatupang, Lusiana Lubis, dan Haris


Sanjaya (2015) dengan judul “Gaya Berkomunikasi dan Adaptasi Budaya
Mahasiswa Batak di Yogyakarta”, menyebutkan bahwa adaptasi yang terjadi pada
mahasiswa bersuku bangsa Batak di Yogyakarta didasari dengan paksaan karena
adanya perlawanan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan individu
tersebut. Perubahan adalah inti dari adaptasi. Individu tersebut bisa saja mengubah

3
lingkungan sekitarnya walaupun hanya dalam jangka pendek, atau dirinya yang
berubah menyesuaikan lingkungan tempatnya hidup pada saat itu.

Penelitian mengenai adaptasi lainnya adalah penelitian Kumalasari dan


Ahyani (2012). Penelitian ini mengkaji mengenai hubungan antara dukungan
sosial dengan penyesuaian diri pada remaja di panti asuhan. Penelitian ini
menggunakan metode skala dalam mengumpulkan data. Hasil dalam penelitian ini
mengatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri
pada remaja di panti asuhan. Semakin besar dukungan sosial dari lingkungan
sekitar maka proses penyesuaian diri seseorang akan berefek positif, sehingga
dalam hal ini remaja merasa dirinya diterima dan diperhatikan oleh lingkungan
sekitarnya.

Penelitian sejenis sebelumnya pernah dilakukan oleh Rachmat Indryanto di


Kelurahan Sumpang Binangae yang dilakukan pada tahun 2016. Penelitian ini
membahas mengenai adaptasi sosial etnis Jawa di Kelurahan Sumpang Binangae
di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Hasil penelitiannya menemukan bahwa
bentuk adaptasi sosial antara Etnis Jawa dengan masyarakat di Kelurahan
Sumpang Binangae diawali dengan adanya interaksi yang baik antara etnis jawa
terhadap masyarakat setempat. Kerja sama tersebut merupakan salah satu bentuk
keselarasan dalam bermasyarakat. Faktor pendukung adaptasi sosial yang terjadi
dalam masyarakat setempat dikarenakan adanya tujuan yang sama sehingga
tercapai kesejahteraan hidup yang baik. Dalam melakukan adaptasi Etnis Jawa
cenderung mengalami hambatan karena adanya perbedaan pola pikir dalam
bertindak. Hambatan lainnya yaitu faktor bahasa yang menghambat adaptasi
sosial yang dilakukan etnis jawa. Adapun faktor pendukung etnis Jawa dalam
berdaptasi yaitu dengan adanya rasa nyaman dalam bermasyarakat.

Penelitian lainnya yang serupa pernah dilakukan oleh oleh Faradita Prayusti
pada tahun 2017 dengan menggunakan metode kualitatif. Faradita menulis tesis
dengan judul “Adaptasi Mahasiswa Indonesia dalam Gegar Budaya di Fukuoka
Jepang: Studi Kasus Mahasiswa Indonesia di Universitas Kyushu”. Penelitian

4
Faradita membahas mengenai bagaimana para mahasiswa Indonesia beradaptasi
dalam menghadapi gegar budaya selama di Fukuoka. Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa adaptasi komunikasi menjadi cara bagi mahasiswa Indonesia
untuk menghadapi gegar budaya selama berada di Fukuoka, Jepang. Mahasiswa
Indonesia berkomunikasi dengan orang-orang Jepang untuk meningkatkan
kompetensi komunikasi mereka. Serta keadaan lingkungan yang terbuka dan
memiliki teloransi, membuat para mahasiswa merasa diterima dengan baik
sehingga komunikasi antara mahasiswa dengan masyarakat Jepang berjalan baik.

Perbedaan penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada


fokus telitinya. Fokus teliti dari penelitian ini adalah bagaimana penelitian ini
akan mengkaji cara adaptasi budaya dari mahasiswa rantau etnik Batak Toba yang
menuntut ilmu di Politeknik Negeri Bandung hingga akhirnya dapat pertahanan
hidup dalam kebudayaan berbeda dari budaya yang selama ini mereka jalani.

1.2 Rumusan Masalah

Mahasiswa etnik Batak Toba pergi merantau ke luar daerahnya untuk


menuntu ilmu yang lebih tinggi dan layak. Saat mereka merantau ke daerah lain
khususnya Politeknik Negeri Bandung, mahasiswa etnik Batak Toba harus
beradaptasi dengan lingkungan baru yang bercorak kebudayaan Sunda. Terhadap
proses adaptasi tersebut, ada faktor penghambat dan faktor pendukung yang
mempengaruhi jalannya adaptasi mahasiswa etnik Batak Toba agar dapat bertahan
hingga lulus dari Polban.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan


masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana adaptasi budaya yang dilakukan oleh mahasiswa rantau


etnik Batak Toba agar dapat bertahan di Polban?
2. Faktor-faktor penghambat dan pendukung mahasiswa rantau etnik
Batak Toba agar dapat bertahan di Polban?

5
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis


maupun secara praktis.

1. Secara teoritis manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menambah pengetahuan atau wawasan untuk pembaca, khususnya
bagi kajian Antropologi Sosial mengenai adaptasi yang dilakukan oleh
mahasiswa rantau etnik Batak Toba.
b. Dapat dijadikan bahan acuan di bidang penelitian sejenis apabila akan
dilakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan adaptasi.
2. Secara praktis manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Dapat memberikan informasi kepada mahasiswa yang akan merantau
agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda dari
lingkungan tempat asalnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Adaptasi

Masyarakat menurut Koentjaraningrat (2009:116) adalah sekumpulan


manusia yang saling berinteraksi. Sebagai mahluk sosial, manusia dapat
berkembang dan bertahan hidup melalui kerja sama dengan orang lain. Oleh
karena itu, manusia membutuhkan kemampuan untuk dapat bergaul dan diterima
oleh lingkungan tempat tinggal mereka. Demikian halnya ketika seseorang
memasuki lingkungan yang baru dan belum pernah dihadapinya.

Untuk menghadapi lingkungan yang berbeda, mereka perlu beradaptasi


dengan lingkungan yang baru untuk tetap bertahan hidup. Untuk bertahan hidup di
lingkungan barunya, organisme (individu-kelompok) harus dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dialaminya. Individu atau kelompok orang harus mampu
untuk: bertahan hidup sebagai resisten terhadap musuh alaminya; memperoleh
sumber daya pemenuhan kebutuhan primernya yaitu air, udara dan makanan;

6
membentuk keluarga dan keturunan; dan siap menghadapi segala perubahan yang
terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Keseluruhan proses pertahanan
diri itu, disebut sebagai proses adaptasi (Nopianti, dkk. 2018). Adaptasi adalah
proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu maupun kelompok terhadap
perubahan yang terjadi pada norma, kondisi maupun lingkungan. Proses dari
adaptasi ini akan menghasilkan sebuah tindakan yang dilakukan secara terus
menerus hingga menjadi suatu kebiasaan bagi individu maupun kelompok untuk
bertahan hidup dalam lingkungannya (Putra, 2017).

Menurut Bennet (2005) adaptasi dibagi menjadi tiga yaitu adaptasi


perilaku (adaptive behavior), adaptasi proses (adaptive processes) dan adaptasi
siasat (adaptive strategy). Adaptasi perilaku adalah perilaku yang dianggap
sebagai sesuatu yang terus menerus berubah, seiring dengan berjalannya waktu.
Perilaku yang muncul biasanya digunakan sebagai alat oleh individu maupun
kelompok untuk mempertahankan diri terhadap lingkungan dan kelompok yang
berubah dengan mengikuti alur di dalam lingkungan tersebut. Dengan demikian,
adaptasi perilaku sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh organisme (individu
maupun kelompok) dalam upaya mengalami perubahan.

Adaptasi proses merupakan proses adaptasi yang dibagi menjadi dua level,
yaitu individu dan kelompok. Individu mengarah pada kemampuan seseorang
untuk mengatasi hambatan dalam suatu lingkungan alam. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan sumber daya dianggap sebagai alat pemuas kebutuhan. Sedangkan
pada kelompok, adaptasi dikatakan sebagai suatu cara yang digunakan untuk
mempertahankan hidup (survival). Pada dasarnya, individu-individu akan hidup
bersama dalam suatu lingkungan sosial, oleh sebab itu, antar individu harus dapat
mempertahankan hidup dengan melakukan pemecahan permasalahan bersama di
dalam lingkungan sosial. Hal ini karena masalah yang timbul tidak selamanya
dapat dipecahkan oleh individu, akan tetapi dalam penyelesaian masalah selalu
membutuhkan orang lain

Adaptasi siasat adalah perilaku yang dilakukan oleh individu digunakan

7
sebagai cara untuk menyiasati suatu perubahan yang terdapat di lingkungan
sekitar. Hal tersebut dilakukan karena melalui perubahan yang terjadi dalam
lingkungan maupun keadaan sekitar membutuhkan suatu solusi untuk mengatasi
hambatan tersebut, karena cara yang digunakan oleh organisme (individu-
kelompok) pada umumnya tidak dapat lepas dari masalah yang mendasari,
walaupun perubahan-perubahan tersebut tidak menimbulkan suatu hal yang buruk
(negatif), akan tetapi organisme (individu-kelompok) perlu untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang ada dengan melakukan pemeriksaan agar dapat
berada pada posisi yang tepat, sehingga dapat mempertahankan hidup.

Terkait dengan adaptasi, Soekanto dalam Winata (2014) memberikan


beberapa batasan pengertian tentang adaptasi:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.


2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan
lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.

Berdasarkan batasan-batasan yang disebutkan diatas, dapat disimpulkan


bahwa adaptasi adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit
sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang
diciptakan.

1.5.1.1 Adaptasi Budaya

Adaptasi menurut Usman dalam Kusnandar (2017:11) ialah


kemampuan yang dimiliki setiap mahluk hidup untuk menyesuaikan diri
terhadap daerah tempat tinggalnya yang baru, sehingga dapat tetap bertahan
dan hidup dengan baik cara-cara yang dipakai para perantau untuk
mengatasi rintangan-rintang yang mereka hadapi dan untuk memperoleh

8
keseimbangan positif dengan kondisi latar belakang perantau.

“Budaya” yang dipakai sebagai singkatan dari “kebudayaan” adalah


keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2009:144-146). Selain definisi tersebut, Muchtar, dkk
(2016:116) mengatakan bahwa budaya berkenaan dengan cara hidup
manusia, dimana manusia belajar, berfikir, merasa, mempercayai dan
mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan,
kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan sosial, kegiatan ekonomi
dan politik, dan teknologi, semua hal itu berdasarkan pada pola budaya yang
ada di masyarakat.

Menurut Young Yun Kim dalam Arnik (2016:15) adaptasi budaya


adalah proses panjang menyesuaikan diri dan akhirnya menemukan rasa
nyaman dengan lingkungan yang baru. Proses adaptasi tersebut berlangsung
saat seseorang memasuki budaya yang baru dan mempelajari segala aspek
yang berkaitan dengan budaya baru tersebut, misalkan mempelajari bahasa,
bagian wilayah, dan perilaku dari masyarakat budaya tersebut.

Sverre Lysgaard dalam (Wahyunita 2018:24-25) membagi empat


tahapan adaptasi budaya yaitu sebagai berikut:

1. Honeymoon
Tahap honeymoon adalah masa dimana seseorang masih memiliki
semangat dan rasa penasaran dengan suasana baru yang akan
dihadapinya. Perantau tersebut mungkin akan tetap merasa asing,
merindukan rumah dan merasa sendiri, tetapi masih terlena dengan
keramahan pendudukan lokal terhadap pendatang.
2. Frustration
Tahap frustration adalah tahap dimana rasa semangat dan penasaran
tersebut berubah menjadi frustasi, menyebalkan dan tidak mampu
berbuat apa-apa karena realita yang sebenernya tidak sesuai dengan

9
ekspektasi yang dipikirkan sejak awal.
3. Readjustment
Tahap readjustment ialah tahap penyesuaian kembali, dimana seseorang
mulai untuk mengembangkan berbagai cara untuk bisa beradaptasi
dengan keadaan lingkungan yang ada.
4. Resolution
Sepanjang berjalannya waktu, seseorang kemudian akan mencapai
empat kemungkinan di tahap resolution ini, yaitu: (1) full participation,
dimana individu mencapai titik nyaman dan berhasil membina hubungan
dan menerima kebudayaan baru tersebut, (2) accommodation, dimana
individu dapat menerima tetapi dengan berbagai catatatan tertentu yang
tidak dapat ditolerir, (3) fight, dimana individu tidak merasa nyaman
tetapi berusaha menjalaninya sampai kembali ke daerah asalnya dengan
berbagai cara dan (4) flight, dimana perantau secara fisik dan psikologi
menghindari kontak untuk lari dari situasi yang membuat dirinya tidak
nyaman.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi proses adaptasi


budaya menurut Gudykunst & Kim dalam Simatupang (2015:43-44)
yaitu:

a. Adanya persamaan atau kemiripan budaya baru dengan budaya asal.


Lebarnya jarak budaya akan mengakibatkan pendatang secara psikologis
cenderung memilih berada pada kelompok sukunya.
b. Dukungan sosial dari budaya asal.
Saat individu berada di luar tempat asalnya, maka individu tersebut akan
turut membawa budaya dari tempat asalnya dan berusaha untuk tetap
terus terhubung dengan tempat asalnya. Dukungan sosial dari budaya
asal akan menjembatani jarak budaya dan secara perlahan individu akan
membangun hubungan dengan budaya baru.
c. Karakteristik pribadi dan latar belakang individu.
Faktor demografis misalnya usia, pendidikan, bahasa, pengalaman

10
pribadi, paparan budaya lain dan karakteristik pribadi, akan
mempengaruhi proses adaptasi budaya.
d. Interaksi dengan intergroup.
Sering melakukan interaksi antara individu dengan daerah asalnya akan
berpengaruh pada proses adaptasi terhadap budaya baru.

1.5.2 Mahasiswa

Mahasiswa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah mereka yang


sedang belajar di perguruan tinggi3. Siswoyo dalam Papilaya dan Huliselan (2016)
mengatakan bahwa mahasiswa adalah seseorang sedang melakukan pendidikan
ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang
setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai mempunyai tingkat
intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam
bertindak. Berfikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tangkas merupakan sifat
yang cenderung melekat pada diri mahasiswa.

Hartaji dalam Murjainah (2016) mendefinisikan mahasiswa sebagai


seseorang yang sedang menempuh pendidikan atau menimba ilmu dan terdaftar
sedang menjalani pendidikan pada salah satu perguruan tinggi yang terdiri dari
akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

Yusuf dalam Pradipta (2018) menyebutkan bahwa seorang mahasiswa


dikategorikan pada tahap perkembangan yang berusia 18 sampai 25 tahun. Pada
tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal
dan dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini
yaitu pemantapan pendirian hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah


seseorang peserta didik yang berusia 18 sampai 25 tahun yang terdaftar dan
sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi baik akademik, politeknik,
sekolah tinggi, institut dan universitas.

3
Kamus Besar Bahasa Indoensia. https://kbbi.web.id/. Diakses pada 27 September 2018.

11
1.5.2.1 Mahasiswa Rantau

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merantau memiliki


arti berlayar atau mencari penghidupan di tanah rantau atau pergi ke negeri
lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya. Perantau sendiri
ialah orang yang mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya di negeri
lain4.

Sahur dalam Irfan (2017) mengartikan merantau yaitu seseorang


maupun kelompok yang meninggalkan kampung halaman dalam waktu
dekat atau lama dengan sukarela yang bertujuan mencari nafkah atau
menuntut ilmu serta mengusahakan kembali ke kampung halamannya pada
hari raya Islam.

Sedangkan mahasiswa menurut Hartaji dalam Murjainah (2016)


ialah sebagai seseorang yang sedang menempuh pendidikan atau menimba
ilmu dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu perguruan
tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan
universitas.

Budiman dalam Lingga dan Tuapattinaja (2012) menyebutkan


mahasiswa perantau ialah seseorang yang tinggal di daerah lain untuk
menuntut ilmu di perguruan tinggi dan mempersiapkan diri dalam
mencapaian suatu keahlian dalam jenjang perguruan tinggi diploma,
sarjana, magister atau spesialis.

Berdasarkan uraian diatas mahasiswa perantau adalah seseorang


yang meninggalkan kampung halamannya dalam waktu dekat maupun
lama bertujuan untuk menuntut ilmu pada salah satu perguruan tinggi dan
mencapai suatu keahlian dalam jenjang perguruan tinggi diploma, sarjana,
magister ataupun spesialis.

4
Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.web.id/. Diakses pada 27 September 2018.

12
1.5.3 Suku Bangsa Batak Toba

Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia ada suku bangsa Batak.
Suku bangsa Batak mendiami daerah pergunungan Sumatera Utara, mulai dari
perbatasan Daerah Istimewa Aceh di utara sampai ke perbatasan dengan suku
Riau dan Sumatera Barat di selatan. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa sub
suku bangsa yaitu:

1. Karo, mendiami suatu daerah induk meliputi Dataran Tinggi , Langkat


Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi;
2. Simalungun, mendiami daerah induk Simalungun
3. Pakpak, mendiami daerah induk Dairi;
4. Toba, mendiami suatu daerah induk meliputi daerah tepi Danau Toba,
Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, daerah Asahan, Silindung, daerah
antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahae dan
Habinsaran;
5. Angkola, mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari
Sibolga dan Batang Toru dan bagian utara dari Padang Lawas;
6. Mandailing, mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan dan
bagian selatan dari Padang Lawas (Koentjaraningrat, 2004:94-95).

Struktur sosial pada masyarakat Batak Toba yaitu berdasarkan garis


keturunan bapak (patrilineal) yang memiliki tiga unsur fungsional yang dikenal
sebagai Dalihan Na Tolu (Manik, 2015:2). Dalihan Na Tolu adalah pedoman
hidup dalam kebudayaan suku bangsa Batak yang mengatur sistem kekerabatan
Batak. Dalihan Na Tolu adalah tungku nan tiga. Masyarakat suku bangsa Batak
diumpamakan sebagai kuali, maka Dalihan Na Tolu adalah tungkunya. Tungku
yang digunakan tempat kuali untuk memasak terdiri dari tiga buah batu dan dari
tiga buah itu terjadilah keseimbangan kuali atau periuk yang digunakan untuk
memasak, dari situ pula menyala api solidaritas masyarakat (Tambunan,
1982:112). Suku bangsa Batak Toba melambangkan alat masak Dalihan Na Tolu
sebagai lambang struktur sosial mereka, karena terdapat tiga golongan fungsional

13
di dalam masyarakat Batak yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Suku
bangsa batak Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo memiliki sebutan lain
dalam tiga golongan fungsional di Dalihan Na Tolu. Dalam Batak Mandailing ada
mora, kahanggi dan anak boru; Batak Simalungun ada tondong, sanina dan anak
boru; Batak Dairi ada kula-kula, sabeltek dan berru; Batak Karo ada kalimbubu,
sembuyak dan anak beru. Hula-hula adalah pihak yang memberikan pengantin
perempuan, boru adalah suami anak perempuan dan anak-anaknya, orang tua
suaminya dan dongan sabutuha suaminya dan dongan sabutuha kelompok yang
lahir dari perut yang sama atau disebut dengan orang-orang yang semarga
(Tambunan, 1982: 114-116).

Dapat disimpulkan bahwa Dalihan Na Tolu diartikan sebagai lambang


kiasan aturan dan sikap hidup suku bangsa Batak Toba sehari-hari dalam
hubungan sosialnya yang ditopang dengan tiga kekuatan yaitu hula-hula, boru
dan dongan sabutuha.

1. Hula-hula
Hula-hula digambarkan sebagai keluarga pihak mempelai wanita. Hula-
hula adalah panggilan kepada saudara laki-laki istri kita, saudara laki-laki ibu
yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kita,
saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek kita. Selain yang disebut
diatas, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan istri kita, saudara laki-laki dari
istri saudara kita laki-laki, dan orang tua dari istri anak kita adalah juga sebagai
hula-hula (Simbolin, 2017:29).

2. Dongan Sabutuha
Dongan Sabutuha atau dongan tubu disebut dengan orang yang lahir dari
perut yang sama dalam arti luas adalah orang-orang yang semarga. Sifat-sifat
dongan sabutuha adalah sekata dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan adat
dan kehidupan sehari-hari. Sebagai orang yang memiliki marga yang sama,
mereka sepererasaan, sepenanggungan sebagai saudara kandung. (Tambunan,
1982:114).

14
3. Boru
Boru adalah anak perempuan. Boru adalah kebalikan dari hula-hula. Boru
adalah suami anak perempuan suhut dan suami anak perempuan dongan tubunya.
Anak dari anak perempuan suhut yang sudah berkeluarga yang dikenal dengan
sebutan bere juga termasuk dalam tergolong boru di sebuah acara adat (Simbolon,
2017:30-31).

Masyarakat Batak Toba berpedoman pada Dalihan Na Tolu dalam segala


gerak sehari-harinya, termasuk dalam menegakkan pergaulan dan adat istiadat.
Dalihan Na Tolu merupakan suatu sistem kognitif yang dijadikan sebagai
pedoman orang Batak, yang berisi nilai-nilai kehidupan seperti Hasangapon
(mencari kekayaan), Hagabeon (keturunan), dan Hasangapon (kehormatan dan
kemuliaan) atau disebut 3H (Harahap & Siahaan, 1987:160-183). Hagabeon
berarti memiliki keturunan yang banyak. Keturunan yang banyak merupakan
idaman orang Toba, dimana menggambarkan harapan putra dan putri yang
banyak, umur panjang dan menjadi panutan. Hamoraon berarti kekayaan yang
membuatnya terpandang di lingkungannya. Hasangapon berarti kehormatan dan
kemuliaan, tempat terhormat di masyarakat merupakan tujuan yang harus dicapai
dalam hidup. Untuk mencapai Hagabeon, orang Batak Toba harus menikah; lalu
untuk mencapai Hamoraon, orang Batak Toba harus mandiri, kerja keras dan
berpendidikan; sehingga mencapai Hasangapon yaitu kemuliaan dimana
Hasangapon adalah hasil puncak dari 3H tersebut.

Merantau didasarkan oleh nilai-nilai Dalihan Na Tolu, terutama hamoraon


dan hamajuon yang mengarah pada nilai hasangapon. Irnawati (2008)
mengatakan mahasiswa suku bangsa Batak Toba pada umumnya adalah
mahasiswa yang menunjukan tingkat keberhasilan belajar yang lebih tinggi
daripada mahasiswa suku lain. Mahasiswa suku bangsa Batak Toba tidak hanya
berusaha lulus, tetapi lulus dengan nilai yang baik. Penelitian Irnawati
memperlihatkan bahwa suku bangsa Batak Toba meletakkan pendidikan sebagai
hal yang paling penting dalam kehidupan mereka. Keluarga suku bangsa Batak
Toba satu dengan lainnya saling berkompetisi dalam menyekolahkan anak-

15
anaknya. Hal tersebut dilandasi oleh nilai-nilai utama orang Batak Toba yaitu
hagabeon “keturunan”, hamoraon “upaya mencari kekayaan”, dan hasangapon
“kehormatan dan kemuliaan” (Harahap dan Siahaan, 1987).

1.5.3.1 Karakteristik Batak Toba

Orang Batak memiliki stereotipe sebagai orang yang bersuara keras


saat berbicara dengan orang lain, memiliki rasa percaya diri yang tinggi,
sikap yang spontan dan juga sering mengeluarkan kritikan pedas
(Mudrikah, 2017:34-35). Loeb dan Heine Geldern dalam (Saraswati,
2016:41) mengatakan bahwa Tanah Batak adalah tanah yang dipenuhi oleh
perhutanan dan pegunungan, sehingga orang-orang yang tinggal disana
harus bekerja keras untuk tetap bertahan dilingkungan tersebut. Kondisi
alam yang keras menuntut setiap orang harus bekerja keras untuk mencari
nafkah keluarga, seperti yang tertuang dalam ajaran turun menurun
(Tambunan, 1982).

Karakteristik orang Batak lainnya yang sangat menonjol adalah


kesukaannya untuk berkumpul dan mengobrol, dimana mereka
bermusyawarah atau mendiskusikan berbagai hal. Orang Batak juga
digambarkan memiliki sikap solidaritas yang sangat kuat, baik dalam
persahabatan maupun kekerabatan. Mereka mengajarkan kepada anak-
anaknya, bahwa solidaritas bukan hanya dalam duka, tetapi dalam suasana
gembira.

Warneck dalam (Simanjuntak, 2009) ciri khas orang Batak, yaitu


selain pengasih, tulus, murah hati, setia dan jujur, mereka juga memiliki
ciri sombong, pongah, pencuriga atau cemburu, malas, acuh tak acuh dan
kikir, bersemangat pejuang dan perang.

1.6 Kerangka Pemikiran

Suku bangsa Batak Toba memiliki motto yaitu “anakkokin do hamoraon di

16
ahu” yang dimana motto tersebut mengartikan bahwa anak adalah harta yang
paling berharga, sehingga para orangtua suku bangsa Batak Toba berlomba-lomba
untuk menyekolahkan anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
tinggi. Sehingga tidak asing jika banyak mahasiswa suku bangsa Batak Toba
merantau ke berbagai daerah di Indonesia termasuk menuntut ilmu di Politeknik
Negeri Bandung (Polban).

Mahasiswa etnik Batak Toba memiliki karakteristik sebagai masyarakat


Batak secara umum yakni bersuara keras, memiliki rasa percaya diri yang tinggi,
bersikap spontan, pekerja keras, dan kuat akan persaudaraan. Karakteristik
tersebut dibawa oleh mahasiswa Batak Toba saat merantau ke daerah lain juga ke
tempat dimana mereka akan menuntut ilmu. Konteks dalam penelitian ini adalah
Politeknik Negeri Bandung.

Saat mahasiswa etnik Batak Toba menuntut ilmu di Polban yang dimana
lingkungan di perguruan tersebut berbeda dengan daerah tempat asalnya,
mahasiswa Batak Toba dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan
setempat agar dapat bertahan dan menuntut ilmu di Polban. Lingkungan yang
dimaksud tidak hanya berupa lingkungan fisik (cuaca, suhu dan sebagainya)
melainkan juga lingkungan sosial dan budaya (berinteraksi dengan masyarakat
sekitar, bahasa, makanan, nilai dan norma). Adaptasi budaya ini dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki oleh mahasiswa Batak Toba sehingga penelitian ini
bermaksud untuk menelusuri bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang baru dibekali karakteristik yang mereka miliki.

17
Skema kerangka berpikir pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Karakteristik mahasiswa
Batak Toba

Mahasiswa Batak Toba


merantau ke Polban Honeymoon

Frustration

Melakukan Adaptasi
Readjustment

Resolution

Faktor Faktor
Penghambat Pendukung

1.7 Metode Penelitian

Penelitian mengenai proses adaptasi mahasiswa rantau etnik Batak Toba di


Politeknik Negeri Bandung akan menggunakan metode kualitatif. John Creswell
dalam (Gunawan, 2014:83), mengartikan penelitian kualitatif sebagai suatu proses
penelitian untuk mengeksporasi dan memahami masalah-masalah manusia dan
sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh yang disajikan dengan kata-
kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari informan, sera dilakukan
dengan setting alamiah. Metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif
digunakan agar dapat menjelaskan secara lengkap tentang gambaran tempat
adaptasi budaya mahasiswa rantau etnik Batak Toba di Polban, khususnya sebagai
bentuk dari bertahan hidup dengan kondisi budaya yang berbeda.

18
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data di dalam
metode kualitatif dimana akan dilakukan tanya jawab antara peneliti
dengan informan atau mahasiswa rantau etnik Batak Toba sebagai
obyek penelitian. Alat bantu yang digunakan dalam wawancara ialah
berupa alat rekam, buku kecil untuk mencatat hal-hal penting yang
diberikan oleh informan. Wawancara ditunjukan kepada kategori
informan yang telah ditetapkan yaitu mahasiswa rantau etnik Batak
Toba yang berstatus mahasiswa aktif di Polban dan belum pernah
datang ke Jawa Barat, guna memperoleh data secara lebih mendalam
yaitu dalam rangka mengetahui bagaimana proses adaptasi budaya
pada mahasiswa rantau etnik Batak Toba agar dapat bertahan di
lingkungan Polban.
b. Observasi
Observasi dilakukan agar peneliti dapat melihat fenomena secara
langsung di lapangan serta menyesuaikan atas informasi yang telah
didapat dari hasil wawancara dengan informan. Penelitian ini
menggunakan observasi non-partisipasi, dimana peneliti tidak
mengambil bagian secara langsung dalam situasi yang akan
diobservasi, namun hanya berperan sebagai penonton yang bertugas
melihat kejadian-kejadian yang akan diteliti. untuk mengamati
kegiatan mahasiswa rantau etnik Batak Toba sehari-hari di Polban.
Observasi dilakukan untuk melihat empat bagian adaptasi yaitu dalam
Honeymoon, Frustration, Readjustment dan Resolution; dan melihat
faktor penghambat dan pendukung dalam proses adaptasi mahasiswa
etnik Batak Toba.
c. Studi Literatur
Studi literatur akan menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini,
terutama jurnal, buku dan skripsi mengenai adaptasi budaya di

19
Indonesia ataupun internasional. Studi literatur ini dilakukan oleh
peneliti sebelum dan sesudah melakukan penelitian.
d. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mengabadikan peristiwa yang ada
dilapangan. Dokumentasi juga digunakan untuk mendapatkan data
sekunder, baik berupa gambar atau video di lokasi penelitian.

1.7.2 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini berfokus pada mahasiswa rantau etnik
Batak Toba yang berkuliah di Politeknik Negeri Bandung (Polban). Kriteria
informan adalah:

1. Merupakan mahasiswa aktif Polban.


2. Merupakan mahasiswa perantau etnis Batak Toba yang berasal dari
Sumatera Utara.
3. Merupakan mahasiswa aktif di Polban yang bersuku bangsa Batak Toba
dan sebelumnya belum pernah tinggal di Jawa Barat.

1.7.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Perguruan tinggi Polban berada di Desa


Ciwaruga, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Adapun pemilihan lokasi penelitian di Polban dilakukan karena jumlah pendaftar
mahasiswa ke Polban setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2016
jumlah pendaftar sebanyak 12.550 orang lalu pada tahun 2017 jumlah pendaftar
menjadi meningkat yaitu 22.716 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa Polban
merupakan salah satu perguruan tinggi yang diminati oleh mahasiswa dan disana
peneliti dapat menemui pelajar dari hampir semua daerah di Indonesia yang
mempunyai latarbelakang kebudayaan yang berbeda-beda terutama mahasiswa
rantau etnis Batak Toba.

20
Daftar Pustaka
Adiarta, I., Sunu, I., & Sanjaya, D. (2013). Arah Kebijakan Pengembangan
Kompetensi Guru Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Penanaman Nilai
Karakter Bangsa di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Volume 1, Nomor 5.
Arnik, Rayi Inkang. (2017). Analisis Komunikasi Antar Budaya pada Film
Ngenest. Depok: Universitas Indonesia.
Bennet, W. John. (2005). The Ecological Transsition Cultural Antrhropology And
Human Adaption. Washingtin University at st Louis.
Gunawan, Imam. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Harahap dan Siahaan. (1987). Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta:
Sanggar Willem Iskander.
Hartaji, D. A. (2012). Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah
Dengan Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma.
Indryanto, R. (2016). Adaptasi Sosial Etnis Jawa Pada Masyarakat Di Kelurahan
Sumpang Binangae, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
Intan dan Handayani. (2017). Stereotipe Penuturan Bahasa Sunda Pembelajaran
Bahasa Perancis: Suatu Kajian Fonologis Dan Interkultural. Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
Irfan, M. (2017). Merantau dan Problematikanya. Kendari: Universitas Halu
Oleo.
Irnawati. 2008. Pemberdayaan Kearifan Lokal Melalui Pendekatan Psikologis
Ulayat Untuk Pembangunan Bangsa. Universitas Sumatera Utara.
Iswara, Andriana Noro. (2012). Komunikasi Antar Budaya Di Kalangan
Mahasiswa. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kumalasari dan Ahyani. (2012). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan
Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan. Jurna Psikologi: Pitutur
Volume 1, Nomor 1.
Kusnandar, Agus. (2017). Pola Komunikasi Mahasiswa Asing di Pesma
Internasional Kh. Mas Mansyur Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lingga dan Tuapattinaja. (2012). Gambaran Virtue Mahasiswa Perantau. Jurnal
Predicara Volume 1, Nomor 2.
Manik, Mangari. (2015). Sosialisasi Nilai Adat Dalihan Na Tolu pada Remaja
Batak di Punguan Silau Raja Pekanbaru. Jom Fisip Volume 2 Nomor 1.
Mareza dan Nugroho. (2016). Minoritas Ditengah Mayoritas (Strategi Adaptasi
Sosial Budaya Mahasiswa Asing dan Mahasiswa Luar Jawa di Ump).
Jurnal Ilmiah LPPM UST Yogyakarta Volume 2, Nomor 2.
Muchtar, K., Koswara, I., & Setiaman, A. (2016). Komunikasi Antar Budaya
Dalam Perspektif Antropologi. Jurnal Manajemen Komunikasi Volume 1,
Nomor 1.
Mudrikah. (2017). Regulasi Emosi Ditinjau dari Suku Batak Toba dan Suku Jawa.
Medan: Universitas Medan Area.
Mulyana dan Rakhmat. (2010). Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Murjainah. (2016). Kemampuan Mahasiswa Pendidikan Geografi Melalui
Penugasan Pembuatan Blog Pada Mata Kuliah Teknologi Informasi dan
Komunikasi Semester Gasal Tahun Ajaran 2015/2016. Jurnal
Swarnabhumi Volume 1, Nomor 1.
Nauly dan Fransisca. (2015). Identitas Budaya Pada Mahasiswa Batak Toba yang
Kuliah di Medan. Jurnal Psikologi Ulayat Volume 2, Nomor 1.
Nopianti, R., Melinda, T., & Harahap, J. (2018). Strategi Adaptasi Masyarakat
Terdampak Pembangunan Waduk Jatigede di Dusun Cipondoh Desa
Pawenang Kecamatan Jatinunggal Kabupaten Sumedang. Patanjala
Volume 10, Nomor 1.
Papilaya dan Husiselan. (2016). Identifikasi Gaya Belajar Mahasiswa. Jurnal
Psikologi Undip Volume 15, Nomor 1.
Pradipta, D. M. (2018). Integritas Akademik Pada Mahasiswa: Studi Kasus di
Perguruan Tinggi Swasta X Surakarta. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Prayusti, Faradita. (2017). Adaptasi Mahasiswa Indonesia Dalam Menghadapi
Gegar Budaya di Fukuoka Jepang: Studi Kasus Mahasiswa Indonesia di
Universitas Kyushu. Jakarta: The London School Of Public Relations.
Putra, R. E. (2017). Strategi Adaptasi Masyarakat yang Bekerja di Kawasan
Wisata Panorama. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Saraswati, Indiena. (2016). Gambaran Kebahagiaan Mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Padjadjaran Dengan Latar Belakang Budaya Batak,
Jawa, Minang, Dan Sunda. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Simatupang, Oktolina, Lubis, Lusiana, Wijaya, Haris. (2015). Gaya
Berkomunikasi dan Adaptasi Budaya Mahasiswa Batak Asal Sumatera
Utara di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Simanjuntak, Antonius. (2009). Konflik Status Dan Kekuasaan Orang Batak
Toba: Bagian Sejarah Batak. Edisi revisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Simbolon, Eric Evonsus. (2017). Peranan Dalihan Na Tolu dalam Hukum
Perkawinan Adat Batak Toba. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Sinaga, M. S. (2012). Migrasi dan Proses Interaksi Sosial Migran Batak. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Tambunan. (1982). Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan
Kebudayaannya. Bandung: Tarsito.
Wahyunita, Malinda Eka. (2018). Adaptasi Mahasisa Perantau Asal
Minangkabau Berdasarkan Gender. Jatinangor: Universitas Padjadjaran.
Winata, A. (2014). Adaptasi Sosial Mahasiswa Rantau Dalam Mencapai Prestasi
Akademik. Universitas Bengkulu.

Anda mungkin juga menyukai