Anda di halaman 1dari 18

DAMPAK CULTURE SHOCK PADA ANAK DI PANTI ASUHAN AL-

JAMIYATUL WASLIYAH

M. Harwansyah Putra Sinaga 1, Siti Komariah Sipahutar2, Sri Rahayu3, Irna


Delima Nasution4, Natasya Husna4, Mutiara Fadhilah Al-Panzil6

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

Email : mharwasyahputra@uinsu.ac.id1

Skomariah295@gmail.com2

Sri24666@gmail.com3

irnanasution2002@gmail.com4

Natasyahusna0304@gmail.com5

Abstrak

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat culture shock yang
dialami oleh anak di panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah dengan berbagai
indikator dari penyebab hingga dampak yang dialami. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kuantitatif dengan jenis pendekatan yaitu survey. Penelitian ini
menggunakan intrumen jenis angket untuk mengumpulkan data tentang kondisi
culture shock yang dialami anak panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah. Adapun
subjek yang terlibat dalam penelitian ini yaitu para anak di panti asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah. Dari hasil angket yang telah peneliti sebar, peneliti
mendapatkan hasil bahwa 90% anak yang dijadikan sebagai subjek mengalami
tingkat culture shock sedang dan 5% yang mengalami tingkat culture shock
rendah seperti cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman.

Kata kunci : Culture Shock, Dampak, Penyebab


Abstract

The purpose of this study was to determine the level of culture shock experienced
by children in the Al-Jamiyatul Wasliyah orphanage with various indicationators
from the cause to the impact thati experienced. This research uses a quantitative
descriptive method with a type of approach, namely survey. This study used
questionnaire-type instruments to collect data on the condition of culture shock
experienced by children in the Al-Jamiyatul Wasliliyah orphanage. The subjects
involved in this penelitian are the children in the Al-Jamiyatul Wasliyah
orphanage. From the results of the questionnaire that the researchers have
distributed, researchers found that 90% of children who were used as subjects
experienced moderate levels of culture shock and 5% who experienced low levels
of culture shock such as tending to feel worried and uncomfortable.

Keywords : Culture Shock, Impact, Causes

PENDAHULUAN

Penelitian merupakan suatu proses mencari suatu informasi secara sistematis


dalam waktu tertentu dengan menggunakan metode. Penelitian ini dilaksanakan untuk
melihat dan mengukur tingkat culture shock para anak dengan melihat penyebeb serta
dampak yang ditimbulkan. Dilingkungan sosial peneliti sering menemukan, banyak
sekali individu yang mengalami culture shock. Adanya perbedaan yang mencolok yang
diterima maupun dialami membuat hal tersebut jadi masalah. Hal tersebut dikatakan
menjadi masalah, karena adanya perbedaan yang begitu signifikan. Karena culture shock
atau gegar budaya yaitu perasaan di mana seseorang merasa tertekan serta terkejut ketika
berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Seseorang yang mengalami gegar
budaya, biasanya akan merasa cemas, bingung, frustasi. Sebab, dia kehilangan tanda.
Atau lambang, dan cara pergaulan sosial yang diketahuinya dari culture shock.

Seseorang yang mengalami culture shock cenderung merasa khawatir dan tidak
nyaman. Jika hal tersebut mulai merambat ke fisik, maka dimungkinan mengalami sakit
kepala atau sakit perut, bahkan mulai khawatir banyak hal tentang masalah kesehatan.
Seseorang juga menjadi lebih sulit berkonsentrasi dan juga lebih sering menangis. Hal
tersebut juga akan mempengaruhi moodatau situasi emosi orang yang mengalaminya
menjadi sulit ditebak karena terjebak dalam kecemasan tingkat tinggi. (IPKA, 2022).
Culture shock dapat terbentuk pada kalangan mana saja, termasuk diantaranya mahasiswa
yang berkuliah di luar daerah tempat tinggalnya. Seperti dalam penelitian tentang
“Culture Shock Communication Mahasiswa Perantauan di Madura”, mengungkapkan
bahwa culture shock merupakan fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau
mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami culture shock atau gegar budaya
berada dalam kondisi belum terbiasa atau belum menemukan kenyamanan baik secara
fisik maupun emosional. Adanya perbedaan latar belakang budaya, cara pandang, bahasa,
lingkungan sosial, iklim dan cuaca, makanan, pakaian serta kebiasaan hidup menjadi
serangkaian masalah yang harus dihadapi oleh mahasiswa perantau.

Dalam sebuah penelitian dari(Nuraini & DKK, 2021) menyebutkan bahwa


mahasiswa perantau seperti halnya pendatang atau pelancong, mereka harus menghadapi
perbedaan budaya serta harus melakukan penyesuaian diri Penyesuaian sebagai proses
terus menerus yang merupakan tuntutan dari situasi satu ke situasi lainnya yang tidak bisa
terjadi hanya dalam satu malam. Banyak hal yang dapat mempengaruhi proses
penyesuaian diri, seperti variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, yakni faktor
personal (intrapersonal), seperti karakteristik personal, motivasi individu, persepsi
individu, pengetahuan individu dan pengalaman sebelumnya, selain itu juga dipengaruhi
oleh keterampilan (kecakapan) komunikasi individu dalam komunikasi sosial
(antarpersonal) serta suasana lingkungan komunikasi budaya baru tersebut. Karena itulah,
bukanlah hal yang baru jika mulai banyak peneliti yang mengangkat pengalaman gegar
budaya mahasiswa sebagai tema penelitiannya menganai culture shock termasuk
penelitian mengenai tingkat culture shock pada mahasiswa UNSIKA. Dan Winkelmen
menyatakan bahwa menyebabkan gegar budaya atau culture shock antara lain:

1. Stress Reaction Stres menimbulkan reaksi fisiologis dalam jangkauan luas yang
menyebabkan kerusakan fungsi sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
kerentanan pada semua penyakit. Individu yang berada di lingkungan dan budaya
yang baru mengalami pengalaman stres yang disebabkan oleh faktor fisiologis
maupun psikologis.
2. Cognitive Fatigue Budaya yang baru menuntut suatu usaha yang penuh kesadaran
untuk memahami halhal yang diproses tanpa disadari dalam budaya seseorang.
3. Role Shock Perubahan peran sosial dan relasi interpersonal memengaruhi
kesejahteraan dan konsep diri, sehingga mengakibatkan individu mengalami syok
peran. Dalam budaya yang baru, peran sebelumnya digantikan oleh peran yang
belum dikenalnya.
4. Personal Shock Harga diri, identitas diri, kesejahteraan, kepuasan hidup dijaga oleh
sistem budaya individu.

Selain itu, ada empat tahapan timbulnya culture shock. yaitu:1) Tahapan pertama
yaitu the honeymoon phase, suatu tahapan di mana kamu akan merasa bahagia
setibanya di negara yang baru, apalagi yang belum pernah kamu kunjungi
sebelumnya. 2) Tahap kedua, the crisis phase yaitu perbedaan di negara baru tidak
pas baik itu makanannya, logat yang susah dimengerti, kebiasaan jual beli dan
merasa kesepian. Hal tersebut hanya membuat kamu merasa terasing dari
lingkungan. Namun kamu akan segera melaluinya jika mampu menyesuaikan diri
dengan baik. 3) Tahap ketiga, the adjustment phase, dalam fase ini, kamu sudah
mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan di negara baru. 4) Tahap keempat
bicultural phase, kamu merasa nyaman hidup dengan dua kebudayaan sekaligus.
Ini merupakan indikasi bagus, karena kamu telah berhasil melalui suatu seleksi
alam kecil. Namun ada pula mahasiswa yang terlalu memuja kebudayaan asing
sehingga ketika pulang ke negeri sendiri, ia malah merasa asing kembali.(Nuraini
& DKK, 2021)

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan jenis
pendekatan yaitu survey. Jenis pendekatan survey dilakukan bertujuan untuk mengukur
tingkat culture shock pada anak dipanti asuhan al-wasliyah. Alat pengumpulan data
yang dilakukan adalah dengan menggunakan instrumen jenis angket. kemudian angket
tersebut disebarkan kepada anak dipanti asuhan untuk mendapatkan hasil data yang
lebih akurat. Penelitian ini dilakukan di salah satu panti asuhan yang ada di sumatera
utara yaitu panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah.

HASIL DAN PEMBAHSAN

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia gegar budaya merupakan sitilah yang
menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi
lingkungan sosial budaya yang berbeda. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk
mampu dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar yang baru. Dalam
lingkungan baru akan memungkinkan adanya tuntutan untuk dapat memahami budaya
yang berlaku dan respon yang diberikan juga tidak selalu dapat langsung menunjukkan
hasil yang dikehendaki karena adanya beberapa perbedaan seperti : perbedaan bahasa,
adat istiadat, tata cara dalam berkomunikasi. Yang semuanya memerlukan proses dalam
memepelajari suatu hal baru. (Devinta, hidayah, & Hendrastomo, 2015)

Furhan menyebutkan bahwa culture shock adalah bentuk disorientasi,


kebingungan, cemas, gejala, perubahan mental atau kebingungan dengan transisi. Jadi
disepakati bahwa culture shock adalah pengalaman disorientasi yang tiba-tiba
menemukan bahwa perspektif, perilaku, dan pengalaman individu atau kelompok atau
seluruh masyarakat tidak dimiliki oleh orang lain. Namun juga disepakati bahwa ini
adalah tahap di mana-mana hal ini dikatakan normal dalam setiap proses adaptif
akulturatif yang dialami semua "pelancong". Pergi ke 'tempat-tempat aneh' dan
kehilangan kekuatan komunikasi yang mudah dapat mengganggu identitas diri,
pandangan dunia dan memang semua sistem akting, perasaan dan pemikiran.

Penyebab Culture Shock

1. Ketidaksetaraan pandangan antara lingkungan lama dengan lingkungan baru.


Pada indikator ketidaksetraan pandangan antara lingkungan lama dengan
lingkungan baru, anak di panti asuhan mengalami adanya perbedaan yang ada
dilingkungan barunya. Mereka merasa sulit untuk beradaptasi dilingkungan
barunya. Seperti halnya pada mahasiswa, larassati menyatakan bahwa
mahasiswa yang berada diperantauan jauh dari keluarga dan harus dapat
menerima dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru yang sekarang
ditempati. Hal tersebut dikarenaan agar dapat membangun relasi dengan
individu lain yang memiliki sifat dan sikap yang beragam. Namun sebaliknya
apabila di perantauan mahasiswa tidak dapat membangun relasi dengan baik
sehingga membuatnya tidak memiliki hubungan teman akrab maupun teman
kelompok.
2. Banyaknya aturan yang ada dilingkungan baru yang harus dipahami. Individu
yang berada dilingkungan baru khususnya dipanti asuhan biasanya akan
dihadapkan dengan aturan-aturan baru yang berbeda dengan lingkungan mereka
sebelumnya, sehingga hal tersebut ada memunculkan efek negatif bagi mereka
salah satunya adalah adanya rasa tertekan, merasa kewalahan saat menjalankan
aturan tersebut karena belum terbiasa. Contohnya pada mahasiswa perantauan,
Pittman (dalam Hastuti dan Sinaga, 2015) menyatakan bahwa mahasiswa yang
menuntut ilmu di tempat yang jauh dari keluarga akan kehilangan aturan yang
biasa mereka jalankan di rumah, dan menghadapi aturan baru yang mereka
belum tahu dengan jelas bagaimana menjalankan atura-naturan tersebut. Mereka
mungkin kehilangan dukungan dari teman-teman lama sehingga membuat
mereka harus mencari teman baru. Biasanya mereka juga akan kewalahan dalam
menjalani aturan-aturan baru di tempat tinggal yang sekarang karena belum
terbiasa seperti kewalahan dalam mengatur pola makan, mengatur waktu belajar
dan sebagainya.(TINGKAT PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA (Studi
Deskriptif Pada Mahasiswa Angkatan 2016 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang Berasal dari Nusa Tenggara Timur)
SKRIPSI. Yulianus Ryan Saputra Nangkut. 2018. hal. 3
3. Perilaku yang tidak sesuai dengan lingkungan lama. Adanya perilaku yang tidak
sesuai dialami oleh anak panti asuhan seperti perlakuan teman- teman barunya
yang ada dilingkungan baru. Terkadang ada anak yang bisa menerima perilaku
teman- temannya karena menganggap sepemikiran, namun terkadang juga
sebaliknya.
Selain penyebab anak mengalami culture shock ialah dilihat dari latar
belakang keluarga seperti kasus perceraian. Perceraian berarti keterpisahan
antara ibu, ayah dan anak-anak apapun penyebabnya, bisa memberi dampak
buruk pada anak. Karena sebuah keluarga tidak lagi utuh dan umumnya yang
terjadi adalah ibu bersama anak-anak disatu pihak dana yah hidup sendiri.
Akibatnya, anak kehilangan salah satu tokoh identifikasi mereka. Hal ini
tentunya menuntut penyesuain diri lagi setelah anak mampu mengatasi kesulitan
menghadapi perceraian orangtua kandungnya. Anak korban perceraian akan
merasa sedih, malu, minder karena orang tua yang dibanggakannya ternyata
berakhir cerai. Sebagai pelampiasan perasaan tersebut, anak melampiaskan
dengan :
1. Mengurung diri di kamar, tidak bergaul dengan teman-teman karena merasa
malu, sedih dan minder.
2. Keluyuran, sebagai tanda protes terhadap orang tua. Berharap dengan cara ini
orangtua akan rujuk kembali, tetapi dengan cara seperti itulah akan
menjerumuskan anak ke hal-hal yang negatif.
3. Aktif dalam kegiatan, pengalaman pahit karena perceraian orangtua justru
semangat bekerja, belajar dan melakukan aktivitas yang positif. Meski aktif
dalam kegiatan tetapi masih terbayangbayang sedih, malu dan minder atas
perceraian orang tua. (Sinaga & dkk, 2022)

Dampak dari culture shock

1. Kesedihan dan kesepian. Apabila berada di lingkungan baru individu akan


mengalami perasaan kesepian dan kesedihan saat berada di lingkungan baru yang
ditempatinya. Karena adanya permasalahan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.
2. Preokupasi. preokupasi merupakan salah satu jenis gangguan dari isi pikiran
manusia yang dapat diartikan sebagai kondisi dimana pikiran seseorang dalam
jangka waktu yang panjang. biasanya anak panti asuhan akan mengalami kondisi
pikiran negatif tentang lingkungan baru yang ditinggali nya sekarang ini.
3. Kesulitan Tidur. Kesulitan tidur yang membuat seseorang merasa menderita atau
membuat gangguan fungsional dalam kehidupan seseorang.(Mayasari, 2019).
Kesulitan tidur adalah kondisi yang terjadi ketika seseorang mengalami
ketidaknyaman dalam dirinya sehingga dia merasa kesulitan untuk tidur.
4. Perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini dapat terjadi karena adanya suatu
kegiatan pada individu sebagai akibat dari stimulus baik stimulus eksternal maupun
stimulus internal.
5. Keengganan untuk berhubungan dengan orang lain. Perasaan dimana seseorang
lebih menutup dirinya untuk lebih berhubungan dengan orang lain dikarenakan
perasaan yang masih disesuaikan dengan lingkungan barunya.
6. Adanya penolakan. Adanya penolakan disini karena terdapat perbedaan seperti
perbedaan keyakinan, pandangan hidup, ras dan lainnya yang membuat individu
merasa tidak berharga dari sudut pandang orang lain.
7. Kehilangan identitas. Individu yang mengalami dampak culture shock seperti
kehilangan identitas apabila ia berada dilingkungan baru yang ditempatinya maka ia
akan merasakan adanya keanehan yang ada dalam (Sari, 2013) dirinya.Individu juga
akan merasakan penyesuaian terhadap identitas barunya dikarnakan perubahan
lingkungan pada dirinya. (Dampak Culture Shock Terhadap Pembentukan Karakter
Mahasiswa PPKN Universitas Muhammadiyah Makassar, Skripsi, Nur alisa, 2021 )
8. Terlalu keras dalam menyerap sesuatu dilingkungan baru. Individu yang berada
dilingkungan baru biasanya akan berusaha untuk memahami dan menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan barunya yaitu dengan menerima segala bentuk keadaan
apapun dilingkungan barunya.
9. Tidak mampu memecahkan masalah.Yang mana tidak mampu memecahkan
masalah disini bisa terjadi karena individu belum bisa beradaptasi, sehingga
individu akan kesulitan dalam mengambil suatu keputusan.
10. Tidak percaya diri. Individu yang berada dilingkungan baru biasanya memiliki rasa
percaya diri yang rendah, rendahnya kepercayaan diri itu biasanya muncul secara
alami yang dimana terkadang individu sulit untuk bisa percaya diri karena adanya
beberapa hal yang berpengaruh pada dirinya dilingkungan sekitar. (GIE, 2020).
Tidak percaya diri juga merupakan perasaan yang terjadi jika seseorang menilai
dirinya kurang dibandingkan orang lain. Seperri yang dijelaskan bahwa kurangnya
kepercayaan diri biasanya diakobatkan oleh beberapa sebab yakni peran orangtua.
Karena orangtua meruapakn orang terdekat bagi anak anaknya dan orang yang
memebsarkan anaknya. Selain itu lingkungan juga menjadi faktor yang dapat
memebantuk kepribadian anak. hal tersebut membuat individu mengalami
kecemasan sehingga tidak memiliki kepercayaan diri. Kecemasan yang dialami oleh
anak disebabkan beberapa faktor seperi ; Disabilitas, fisik yang kurang
memuaskan,ekonomi yang buruk,status sosial, daya saing yang buruk, kecerdasan
yang buruk, pendidikan yang buruk, perbedaan lingkungan, kurang persiapan.
Sehingga situasi ini membuat anak merasa tidak aman, tidak stabil, pemalu, tidak
ramah, sulit beradaptasi, tidak terbiasa dan sedikit gugup. (Sinaga & dkk, 2022)
11. Merasa kekurangan dan kehilangan. Merasa kekurangan dan kehilangan disini
maksudnya adalah individu yang baru datang ke lingkungan baru akan merasa
kehilangan teman dekat dari lingkungan lamanya.
12. Mengembangkan stereotype tentang kultur baru. Yang mana mengembangkan
stereotype tentang kultur baru disini menurut Amanda Rosetia, 2020 dapat
menyebabkan diskriminasi karena penilaian buruk individu terhadap indvidu baru
serta terhadap lingkungan barunya.
13. Mengembangkan obsesi. obsesi merupakan isi pikiran atau isi ide yang sifatnya
mendesak secara berulang. biasanya individu yang berada dilingkungan baru akan
merasa terobsesi dengan apa yang ingin dilakukannya.
14. Rindu kelurga. Solihat, 2018 menyebutkan bahwa individu yang jauh dari
keluarganya maka akan membuat individu tersebut rinduakan suasana rumahnya.
Sehingga cara yang dapat dilakukan oleh individu tersebut adalah memanfaatkan
teknologi yang sudah ada saat ini. Rindu akan rumah ini akan terobati dengan saling
menguatkan dengan teman- temannya.
15. Cenderung merasa khawatir dan tidaknyaman. Cenderung merasa khawatir dan
tidak nyaman ini dapat terbentuk karena adanya pikiran negatif sehingga
mengakibatkan kegelisahan yang dialami oleh individu.

Deskripsi penyebab culture shock yang dialami oleh anak Panti Asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah
Subjek Skor Kriteria
1 38 Sedang
2 38 Sedang
3 37 Sedang
4 35 Sedang
5 38 Sedang
6 35 Sedang
7 37 Sedang
8 46 Tinggi
9 40 Sedang
10 38 Sedang
11 42 Sedang
12 43 Sedang
13 39 Sedang
14 36 Sedang
15 38 Sedang
16 40 Sedang
17 38 Sedang
18 42 Sedang
19 35 Sedang
20 43 Sedang

Keterangan Interval :
R : 15-30
S : 31-45
T : 46-60

Penyebab culture shock


Indikator Skor Kriteria
Ketidaksetaraan pandangan 13,8 Sedang
Banyaknya aturan 11,1 Sedang
Perilaku yang tidak sesuai 14,5 Sedang

Keterangan Interval :
R : 5-10
S : 11-15
T : 16-20
Dilihat dari tabel diatas bahwa penyebab culture shock yang dialami oleh
anak panti asuhan Al- Jamiyatul Al-Washliyah memiliki kriteria sedang.

Deskripsi dampak culture shock yang dialami oleh anak Panti Asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah
Subjek Skor Kriteria
1 71 Sedang
2 71 Sedang
3 84 Sedang
4 76 Sedang
5 88 Sedang
6 77 Sedang
7 80 Sedang
8 84 Sedang
9 84 Sedang
10 79 Sedang
11 83 Sedang
12 79 Sedang
13 77 Sedang
14 59 Redah
15 69 Sedang
16 78 Sedang
17 77 Sedang
18 85 Sedang
19 81 Sedang
20 70 Sedang

Keterangan Interval :
R : 30-60
S : 61-90
T : 91-120

Dampak culture shock


Indikator Skor Kriteria
Kesedihan dan kesepian 4.1 Rendah
Preokupasi 5.5 Rendah
Kesulitan untuk tidur 5.8 Rendah
Adanya perubahan perilaku 4.5 Rendah
Enggan berkomunikasi dengan orang baru 5.1 Rendah
Adanya penolakan 5.6 Rendah
Kehilangan identitas 5 Rendah
Berusaha terlalu keras menyerap hal baru 5.3 Rendah
Tidak mampu memecahkan masalah sederhana 5.5 Rendah
Tida percaya diri 5.3 Rendah
Merasa kekurangan dan kehilangan 5.8 Rendah
Mengembangkan stereotype 5.3 Rendah
Mengembangkan obesesi 4.4 Rendah
Rindu keluarga 3.6 Rendah
Cenderung khawatir dan tidak nyaman 5.8 Rendah

Dilihat dari tabel diatas bahwa dampak culture shock yang dialami anak panti
asuhan Al- Jamiyatul Al-Washliyah memiliki kriteria rendah. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dampak culture shock pada
anak di Panti Asuhan Al-Washliyah mengalami dampak serta penyebab culture shock,
yang mana tingkat ataupun skor rata-rata anak di Panti Asuhan yang mengalami culture
shock sedang dan hanya ada satu orang yang mengalami culture shock yang tinggi serta
rendah. Jadi jika di bandingkan antara hasil penelitian yang telah kelompok penulis buat
dengan yang telah dilakukan penelitian lain sebelum kelompok penulis buat
kesimpulannya anak-anak di panti asuhan sama-sama mengalami culture shock dengan
tingkat sedang. Peneliti mendapatkan hasil bahwa 90 % siswa yang jadikan sebagai subjek
mengalami tingkat culture shock sedang yaitu bisa lihat dari hasil pengolahan data yang
telah diperoleh bahwa skor rata-rata itu dari angka 61-90. Dan bisa dilihat juga bahwa ada
1 anak yang mengalami tingkat culture shock rendah yaitu pada angka 30-59. Dan dari
hasil keseluruhan data, anak yang mengalami tingkat culture shock tersebut terlihat pada
indikator cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman, skor yang paling tinggi pada
indikator tersebut ialah 8.

Hasil dari pengolahan data culture shock yang ada di panti asuhan AL-jamiyatul
wasliyah di perkuat dengan adanya penelitian pada kondisi culture shock santri di
PPSAA Darul Inayah. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan di Panti Sosial Asuhan Anak Pondok Pesantren Yatim Piatu dan Dhuafa Darul
Inayah mengenai tahapan culture shock yang dialami oleh santri di lingkungan baru
memiliki kesamaan menurut Mulyana, Dkk (2017: 147) yang disebut kurva U. Beberapa
tahap fase kurva U terjadinya culture shock para santri, sebagai berikut: 1. Fase Optimis;
individu merasa gembira, penuh harapan, serta euphoria memasuki budaya baru
(Mulyana, Dkk, 2017: 147). Seperti hasil wawancara dari informan yang berasal dari
Riau, ia mengatakan bahwa “Ds. Kertawangi dikelilingi oleh penduduk yang
berkepribadian sangat ramah dan sopan santun, begitu pula biaya hidup di Ds.
Kertawangi masih murah bila dibandingkan dengan daerah tempat asalnya”. (Wawancara
dengan Nanda salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13
Mei 2022). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari informan yang berasal
dari Lampung, ia menyatakan bahwa “Bandung merupakan kota yang kental akan
keragaman seni dan 44 kebudayaannya, bahkan masing-masing daerah memiliki karakter
budayanya tersendiri”. (Wawancara dengan Ami salah satu santri Pondok pesantren
Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). 2. Culture Shock; individu mulai
merasa bingung, merasa kecewa dan tidak puas dengan budayanya sekarang, (Mulyana,
Dkk, 2017: 147) Seperti hasil wawancara informan yang berasal dari Pontianak,
Kalimantan Barat, ia mengungkapkan bahwa penyebab utama dari culture shock yang dia
alami adalah komunikasi yang terkendala bahasa dan perbedaan cara bicara. (Wawancara
dengan Riki salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13
Mei 2022). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari informan yang berasal
dari Tegal, ia menyatakan bahwa “pertama kali tinggal di pondok merasa kesusahan
dalam berkomunikasi, dikarenakan penggunaan bahasa dan logat yang berbeda.
Meskipun sama-sama Jawa tetapi penggunaan bahasa di Bandung adalah bahasa Sunda”.
(Wawancara dengan Surur salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab.
Bandung Barat. 13 Mei 2022). Selanjutnya, salah satu informan mengungkapkan ia
merasa kurang nyaman apabila harus bangun pagi untuk mengikuti 45 kegiatan pondok,
dan tidur malam dikarenakan banyaknya kegiatan pondok. Sedangkan siang ada kegiatan
sekolah. (Wawancara dengan Maksum salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah
Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). Sejalan dengan pendapat dari informan, ia
menyampaikan bahwa pertama kali tinggal di pondok merasa tidak nyaman akan
kebiasaan santri di pondok, seperti makan bersama, tidur bersama. (Wawancara dengan
Aisyah salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei
2022). Adapun bentuk culture shock yang paling sering dialami oleh para santri di
lingkungan pondok pesantren Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat,
berdasarkan hasil penelitian adalah mayoritas berasal dari segi bahasa maupun dalam
logat atau gaya bicara. Persoalan bahasa dan cara gaya berbicara menjadi penyebab
utama dalam proses penyesuaian kebudayaan di lingkungan Pondok pesantren Darul
Inayah Kab. Bandung Barat. Hal tersebut berdampak pada komunikasi sehingga
membuat sebagian besar para santri tidak bisa menghindari terpaan culture shock. 3. Fase
Recovery; individu mulai memahami budaya barunya, sehingga dinilai tidak terlalu
menekan dirinya. (Mulyana, Dkk, 2017: 147) Berdasarkan hasil penelitian, pemahaman
terhadap bahasa Sunda diketahui bahwa sebagian besar dari para santri sudah cukup
memahami bahasa Sunda. Walaupun intensitasnya tidak terlalu besar, namun cukup
memadai untuk sekedar memahami lawan bicara yang menggunakan bahasa Sunda. Hal
tersebut sudah cukup untuk mengetahui bahasan apa yang sedang diungkapkan oleh
lawan bicara. Sedangkan mengenai permasalahan peraturan dan kebiasaan di lingkungan
pondok diketahui bahwa sebagaian besar dari para santri sudah cukup bisa mengikuti
budaya dan mengimbangi para santri yang sudah terbiasa di lingkungan pesantren,
sehingga dapat mengikuti kegiatan sehari-hari. (Hasil Observasi santri Pondok pesantren
Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). Persepsi yang datang dari mereka
bukan dalam hal materi atau ajaran-ajarannya baik atau buruk, namun dalam hal
kesukarannya. Sebagian besar dari mereka merasakan bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam
budaya pesantren adalah sebuah kerumitan yang sulit untuk dimengerti. 4. Fase
Penyesuaian; individu mulai terbiasa dalam budaya barunya seperti sistem, peraturan,
nilai-nilai, adab, pola komunikasi, keyakinan, dan hal-hal lainnya. (Mulyana, Dkk, 2017:
147). Proses migrasi berlatar belakang pendidikan yang dilakukan oleh santri perantauan
mereka harus meninggalkan kebudayaan yang dimiliki menuju budaya baru yang
ditempatinya. Terbawanya budaya asal yang masih terlihat pada santri sebagian besar
terletak pada komunikasi verbal secara lisan, yaitu antara lain mengenai bahasa, gaya
bicara, serta dalam tata cara penyampaian komunikasi lisan. (Hasil Observasi santri
Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung. Barat. 13 Mei 2022). (HASIKIN, 2022)

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa dampak dan penyebab
culture shock yang dialami oleh anak- anak di panti asuhan jami'atul al-wasliyah rata-
rata mengalami culture shock dengan tingkat sedang. namun ada satu orang yang
memiliki dampak dengan tingat culture shockr rendah. sedangkan pada penyebab dari
culture shock ada salah satu anak yang memiliki tingkat penyebab cuture shock yang
tinggi. Dari permasalahan tersebut peran angket sangat membantu sekali dalam penelitian
ini. dengan adanya angket penulis dapat mengetahui lebih akurat dan jelas seberapa tinggi
dan rendahnya penyebab dan dampak culture shock yang dialami oleh anak- anak yang
ada dipanti asuhan. Peneliti mendapatkan hasil bahwa 90 % siswa yang dijadikan sebagai
subjek mengalami tingkat culture shock sedang yaitu bisa lihat dari hasil pengolahan data
yang telah diperoleh bahwa skor rata-rata itu dari angka 61-90. Dan bisa dilihat juga
bahwa ada 1 siswa/anak yang mengalami tingkat culture shock rendah yaitu pada angka
30-59. Dan dari hasil keseluruhan data, anak yang mengalami tingkat culture shock
tersebut terlihat pada indikator cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman, skor yang
paling tinggi pada indikator tersebut ialah 8.

SARAN

Penelitian ini memang belum sempurna, maka perlu ditingktkan lagi berbagai
referensi sebagai rujukan terhadap hasil penelitian. Kemudian peneliti harus mencari
subjek dengan identitas sosial yang berbeda-beda untuk dijadikan sebagai perbandingan
atau rujukan kedepamya. Peneliti berharap dengan adanya artikel ini bisa menjadi
rujukan bagi para mahasiswa atau dosen.

REFERENSI
Amanda rosetia, D. (2020). Stereotip Dan Dampaknya Ditengah Kehidupan
Sosial Masyarakat. NACOSPRO, 135-145.

Devinta, M., hidayah, N., & Hendrastomo, G. (2015). Fenomena Culture Shock
(Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauran Di Yogyakarta. Pendidikan
Sosiologi, 1-15.

Furhan, A. (2012). Culture Shock. Psychology and Education, 9-22.

GIE, K. K. (2020, Agustus). 7 Cara Mengatasi Kurangnya Kepercayaan Diri


Saat Di Kampus. hal. 1.

Sinaga, M. H., & dkk. (2022). Deskripsi Masalah Diri Siswa Dan Implikasinya
Terhadap Bimbingan Dan Konseling. Jurnal Bimbingan Konseling Dan
Psikologi, 1-9.
Hasikin, A. Z. (2022). Konseling Multikulturak Dan Fungsinya Dalam Mengatasi
Culture Shock Santri Di Panti Asuhan Anak Pondok Pesantren Yatim Piatu
Dan Dhuafa Darul Inayah Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
SKRIPSI, 43-47.

HASIKIN, A. Z. (2022). Konseling Multikultural Dan Fungsinya . SKRIPSI, 1-


75.

IPKA. (2022, September 16). Mengalami Culture Shock ,Simak Tips


Mengatasinya. hal. 1.

Lestari, M. (2021). Hubungan Antara Sense Of Belonging Dengan Homesickness


Pada Siswa Baru Di Pondok Pesantren. Psikologi Islam, 39- 50.

Sinaga, M. P., & dkk. (2022). Gambaran Umum Permasalahan Anak Korban
Perceraian. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4398-4408.
Mayasari, K. (2019, April 13). Sulit Tidur, Tanda, Penyebab, Gejala, Cara
Mengobati. hal. 1.

Nuraini, C., & DKK. (2021, Agustus 1). Tingkat Culture Shock Di Lingkungan.
SAP, 84-90.
Oktavia, L. (2015, September 19). Pengaruh Hubungan Sosial Dan Konsep Diri.
hal. 1. Sari, I. P. (2013). Pendidikan Kesehatan Sekolah Sebagai Proses .
Pendidikan Jasmani Indonesia, 141-147.

Solihat, M. (2018). Adaptasi Komunikasi Dan Budaya Mahasiswa Asing Program


International Di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM BANDUNG ).
Common, 57-70.

Space, C. (2020, Mei 22). Kenali 5 Cara Untuk Problem Solving Yang Ada Di
Kantor Anda. hal. 1.

UNIVERSITY, N. C. (2019). Pre Okupasi . NUSA CENDANA UNIVERSITY

Anda mungkin juga menyukai