JAMIYATUL WASLIYAH
Email : mharwasyahputra@uinsu.ac.id1
Skomariah295@gmail.com2
Sri24666@gmail.com3
irnanasution2002@gmail.com4
Natasyahusna0304@gmail.com5
Abstrak
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat culture shock yang
dialami oleh anak di panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah dengan berbagai
indikator dari penyebab hingga dampak yang dialami. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kuantitatif dengan jenis pendekatan yaitu survey. Penelitian ini
menggunakan intrumen jenis angket untuk mengumpulkan data tentang kondisi
culture shock yang dialami anak panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah. Adapun
subjek yang terlibat dalam penelitian ini yaitu para anak di panti asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah. Dari hasil angket yang telah peneliti sebar, peneliti
mendapatkan hasil bahwa 90% anak yang dijadikan sebagai subjek mengalami
tingkat culture shock sedang dan 5% yang mengalami tingkat culture shock
rendah seperti cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman.
The purpose of this study was to determine the level of culture shock experienced
by children in the Al-Jamiyatul Wasliyah orphanage with various indicationators
from the cause to the impact thati experienced. This research uses a quantitative
descriptive method with a type of approach, namely survey. This study used
questionnaire-type instruments to collect data on the condition of culture shock
experienced by children in the Al-Jamiyatul Wasliliyah orphanage. The subjects
involved in this penelitian are the children in the Al-Jamiyatul Wasliyah
orphanage. From the results of the questionnaire that the researchers have
distributed, researchers found that 90% of children who were used as subjects
experienced moderate levels of culture shock and 5% who experienced low levels
of culture shock such as tending to feel worried and uncomfortable.
PENDAHULUAN
Seseorang yang mengalami culture shock cenderung merasa khawatir dan tidak
nyaman. Jika hal tersebut mulai merambat ke fisik, maka dimungkinan mengalami sakit
kepala atau sakit perut, bahkan mulai khawatir banyak hal tentang masalah kesehatan.
Seseorang juga menjadi lebih sulit berkonsentrasi dan juga lebih sering menangis. Hal
tersebut juga akan mempengaruhi moodatau situasi emosi orang yang mengalaminya
menjadi sulit ditebak karena terjebak dalam kecemasan tingkat tinggi. (IPKA, 2022).
Culture shock dapat terbentuk pada kalangan mana saja, termasuk diantaranya mahasiswa
yang berkuliah di luar daerah tempat tinggalnya. Seperti dalam penelitian tentang
“Culture Shock Communication Mahasiswa Perantauan di Madura”, mengungkapkan
bahwa culture shock merupakan fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau
mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami culture shock atau gegar budaya
berada dalam kondisi belum terbiasa atau belum menemukan kenyamanan baik secara
fisik maupun emosional. Adanya perbedaan latar belakang budaya, cara pandang, bahasa,
lingkungan sosial, iklim dan cuaca, makanan, pakaian serta kebiasaan hidup menjadi
serangkaian masalah yang harus dihadapi oleh mahasiswa perantau.
1. Stress Reaction Stres menimbulkan reaksi fisiologis dalam jangkauan luas yang
menyebabkan kerusakan fungsi sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan
kerentanan pada semua penyakit. Individu yang berada di lingkungan dan budaya
yang baru mengalami pengalaman stres yang disebabkan oleh faktor fisiologis
maupun psikologis.
2. Cognitive Fatigue Budaya yang baru menuntut suatu usaha yang penuh kesadaran
untuk memahami halhal yang diproses tanpa disadari dalam budaya seseorang.
3. Role Shock Perubahan peran sosial dan relasi interpersonal memengaruhi
kesejahteraan dan konsep diri, sehingga mengakibatkan individu mengalami syok
peran. Dalam budaya yang baru, peran sebelumnya digantikan oleh peran yang
belum dikenalnya.
4. Personal Shock Harga diri, identitas diri, kesejahteraan, kepuasan hidup dijaga oleh
sistem budaya individu.
Selain itu, ada empat tahapan timbulnya culture shock. yaitu:1) Tahapan pertama
yaitu the honeymoon phase, suatu tahapan di mana kamu akan merasa bahagia
setibanya di negara yang baru, apalagi yang belum pernah kamu kunjungi
sebelumnya. 2) Tahap kedua, the crisis phase yaitu perbedaan di negara baru tidak
pas baik itu makanannya, logat yang susah dimengerti, kebiasaan jual beli dan
merasa kesepian. Hal tersebut hanya membuat kamu merasa terasing dari
lingkungan. Namun kamu akan segera melaluinya jika mampu menyesuaikan diri
dengan baik. 3) Tahap ketiga, the adjustment phase, dalam fase ini, kamu sudah
mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan di negara baru. 4) Tahap keempat
bicultural phase, kamu merasa nyaman hidup dengan dua kebudayaan sekaligus.
Ini merupakan indikasi bagus, karena kamu telah berhasil melalui suatu seleksi
alam kecil. Namun ada pula mahasiswa yang terlalu memuja kebudayaan asing
sehingga ketika pulang ke negeri sendiri, ia malah merasa asing kembali.(Nuraini
& DKK, 2021)
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan jenis
pendekatan yaitu survey. Jenis pendekatan survey dilakukan bertujuan untuk mengukur
tingkat culture shock pada anak dipanti asuhan al-wasliyah. Alat pengumpulan data
yang dilakukan adalah dengan menggunakan instrumen jenis angket. kemudian angket
tersebut disebarkan kepada anak dipanti asuhan untuk mendapatkan hasil data yang
lebih akurat. Penelitian ini dilakukan di salah satu panti asuhan yang ada di sumatera
utara yaitu panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah.
Culture shock atau dalam bahasa Indonesia gegar budaya merupakan sitilah yang
menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi
lingkungan sosial budaya yang berbeda. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk
mampu dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar yang baru. Dalam
lingkungan baru akan memungkinkan adanya tuntutan untuk dapat memahami budaya
yang berlaku dan respon yang diberikan juga tidak selalu dapat langsung menunjukkan
hasil yang dikehendaki karena adanya beberapa perbedaan seperti : perbedaan bahasa,
adat istiadat, tata cara dalam berkomunikasi. Yang semuanya memerlukan proses dalam
memepelajari suatu hal baru. (Devinta, hidayah, & Hendrastomo, 2015)
Deskripsi penyebab culture shock yang dialami oleh anak Panti Asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah
Subjek Skor Kriteria
1 38 Sedang
2 38 Sedang
3 37 Sedang
4 35 Sedang
5 38 Sedang
6 35 Sedang
7 37 Sedang
8 46 Tinggi
9 40 Sedang
10 38 Sedang
11 42 Sedang
12 43 Sedang
13 39 Sedang
14 36 Sedang
15 38 Sedang
16 40 Sedang
17 38 Sedang
18 42 Sedang
19 35 Sedang
20 43 Sedang
Keterangan Interval :
R : 15-30
S : 31-45
T : 46-60
Keterangan Interval :
R : 5-10
S : 11-15
T : 16-20
Dilihat dari tabel diatas bahwa penyebab culture shock yang dialami oleh
anak panti asuhan Al- Jamiyatul Al-Washliyah memiliki kriteria sedang.
Deskripsi dampak culture shock yang dialami oleh anak Panti Asuhan Al-
Jamiyatul Wasliyah
Subjek Skor Kriteria
1 71 Sedang
2 71 Sedang
3 84 Sedang
4 76 Sedang
5 88 Sedang
6 77 Sedang
7 80 Sedang
8 84 Sedang
9 84 Sedang
10 79 Sedang
11 83 Sedang
12 79 Sedang
13 77 Sedang
14 59 Redah
15 69 Sedang
16 78 Sedang
17 77 Sedang
18 85 Sedang
19 81 Sedang
20 70 Sedang
Keterangan Interval :
R : 30-60
S : 61-90
T : 91-120
Dilihat dari tabel diatas bahwa dampak culture shock yang dialami anak panti
asuhan Al- Jamiyatul Al-Washliyah memiliki kriteria rendah. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dampak culture shock pada
anak di Panti Asuhan Al-Washliyah mengalami dampak serta penyebab culture shock,
yang mana tingkat ataupun skor rata-rata anak di Panti Asuhan yang mengalami culture
shock sedang dan hanya ada satu orang yang mengalami culture shock yang tinggi serta
rendah. Jadi jika di bandingkan antara hasil penelitian yang telah kelompok penulis buat
dengan yang telah dilakukan penelitian lain sebelum kelompok penulis buat
kesimpulannya anak-anak di panti asuhan sama-sama mengalami culture shock dengan
tingkat sedang. Peneliti mendapatkan hasil bahwa 90 % siswa yang jadikan sebagai subjek
mengalami tingkat culture shock sedang yaitu bisa lihat dari hasil pengolahan data yang
telah diperoleh bahwa skor rata-rata itu dari angka 61-90. Dan bisa dilihat juga bahwa ada
1 anak yang mengalami tingkat culture shock rendah yaitu pada angka 30-59. Dan dari
hasil keseluruhan data, anak yang mengalami tingkat culture shock tersebut terlihat pada
indikator cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman, skor yang paling tinggi pada
indikator tersebut ialah 8.
Hasil dari pengolahan data culture shock yang ada di panti asuhan AL-jamiyatul
wasliyah di perkuat dengan adanya penelitian pada kondisi culture shock santri di
PPSAA Darul Inayah. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan di Panti Sosial Asuhan Anak Pondok Pesantren Yatim Piatu dan Dhuafa Darul
Inayah mengenai tahapan culture shock yang dialami oleh santri di lingkungan baru
memiliki kesamaan menurut Mulyana, Dkk (2017: 147) yang disebut kurva U. Beberapa
tahap fase kurva U terjadinya culture shock para santri, sebagai berikut: 1. Fase Optimis;
individu merasa gembira, penuh harapan, serta euphoria memasuki budaya baru
(Mulyana, Dkk, 2017: 147). Seperti hasil wawancara dari informan yang berasal dari
Riau, ia mengatakan bahwa “Ds. Kertawangi dikelilingi oleh penduduk yang
berkepribadian sangat ramah dan sopan santun, begitu pula biaya hidup di Ds.
Kertawangi masih murah bila dibandingkan dengan daerah tempat asalnya”. (Wawancara
dengan Nanda salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13
Mei 2022). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari informan yang berasal
dari Lampung, ia menyatakan bahwa “Bandung merupakan kota yang kental akan
keragaman seni dan 44 kebudayaannya, bahkan masing-masing daerah memiliki karakter
budayanya tersendiri”. (Wawancara dengan Ami salah satu santri Pondok pesantren
Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). 2. Culture Shock; individu mulai
merasa bingung, merasa kecewa dan tidak puas dengan budayanya sekarang, (Mulyana,
Dkk, 2017: 147) Seperti hasil wawancara informan yang berasal dari Pontianak,
Kalimantan Barat, ia mengungkapkan bahwa penyebab utama dari culture shock yang dia
alami adalah komunikasi yang terkendala bahasa dan perbedaan cara bicara. (Wawancara
dengan Riki salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13
Mei 2022). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari informan yang berasal
dari Tegal, ia menyatakan bahwa “pertama kali tinggal di pondok merasa kesusahan
dalam berkomunikasi, dikarenakan penggunaan bahasa dan logat yang berbeda.
Meskipun sama-sama Jawa tetapi penggunaan bahasa di Bandung adalah bahasa Sunda”.
(Wawancara dengan Surur salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab.
Bandung Barat. 13 Mei 2022). Selanjutnya, salah satu informan mengungkapkan ia
merasa kurang nyaman apabila harus bangun pagi untuk mengikuti 45 kegiatan pondok,
dan tidur malam dikarenakan banyaknya kegiatan pondok. Sedangkan siang ada kegiatan
sekolah. (Wawancara dengan Maksum salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah
Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). Sejalan dengan pendapat dari informan, ia
menyampaikan bahwa pertama kali tinggal di pondok merasa tidak nyaman akan
kebiasaan santri di pondok, seperti makan bersama, tidur bersama. (Wawancara dengan
Aisyah salah satu santri Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei
2022). Adapun bentuk culture shock yang paling sering dialami oleh para santri di
lingkungan pondok pesantren Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung Barat,
berdasarkan hasil penelitian adalah mayoritas berasal dari segi bahasa maupun dalam
logat atau gaya bicara. Persoalan bahasa dan cara gaya berbicara menjadi penyebab
utama dalam proses penyesuaian kebudayaan di lingkungan Pondok pesantren Darul
Inayah Kab. Bandung Barat. Hal tersebut berdampak pada komunikasi sehingga
membuat sebagian besar para santri tidak bisa menghindari terpaan culture shock. 3. Fase
Recovery; individu mulai memahami budaya barunya, sehingga dinilai tidak terlalu
menekan dirinya. (Mulyana, Dkk, 2017: 147) Berdasarkan hasil penelitian, pemahaman
terhadap bahasa Sunda diketahui bahwa sebagian besar dari para santri sudah cukup
memahami bahasa Sunda. Walaupun intensitasnya tidak terlalu besar, namun cukup
memadai untuk sekedar memahami lawan bicara yang menggunakan bahasa Sunda. Hal
tersebut sudah cukup untuk mengetahui bahasan apa yang sedang diungkapkan oleh
lawan bicara. Sedangkan mengenai permasalahan peraturan dan kebiasaan di lingkungan
pondok diketahui bahwa sebagaian besar dari para santri sudah cukup bisa mengikuti
budaya dan mengimbangi para santri yang sudah terbiasa di lingkungan pesantren,
sehingga dapat mengikuti kegiatan sehari-hari. (Hasil Observasi santri Pondok pesantren
Darul Inayah Kab. Bandung Barat. 13 Mei 2022). Persepsi yang datang dari mereka
bukan dalam hal materi atau ajaran-ajarannya baik atau buruk, namun dalam hal
kesukarannya. Sebagian besar dari mereka merasakan bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam
budaya pesantren adalah sebuah kerumitan yang sulit untuk dimengerti. 4. Fase
Penyesuaian; individu mulai terbiasa dalam budaya barunya seperti sistem, peraturan,
nilai-nilai, adab, pola komunikasi, keyakinan, dan hal-hal lainnya. (Mulyana, Dkk, 2017:
147). Proses migrasi berlatar belakang pendidikan yang dilakukan oleh santri perantauan
mereka harus meninggalkan kebudayaan yang dimiliki menuju budaya baru yang
ditempatinya. Terbawanya budaya asal yang masih terlihat pada santri sebagian besar
terletak pada komunikasi verbal secara lisan, yaitu antara lain mengenai bahasa, gaya
bicara, serta dalam tata cara penyampaian komunikasi lisan. (Hasil Observasi santri
Pondok pesantren Darul Inayah Kab. Bandung. Barat. 13 Mei 2022). (HASIKIN, 2022)
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa dampak dan penyebab
culture shock yang dialami oleh anak- anak di panti asuhan jami'atul al-wasliyah rata-
rata mengalami culture shock dengan tingkat sedang. namun ada satu orang yang
memiliki dampak dengan tingat culture shockr rendah. sedangkan pada penyebab dari
culture shock ada salah satu anak yang memiliki tingkat penyebab cuture shock yang
tinggi. Dari permasalahan tersebut peran angket sangat membantu sekali dalam penelitian
ini. dengan adanya angket penulis dapat mengetahui lebih akurat dan jelas seberapa tinggi
dan rendahnya penyebab dan dampak culture shock yang dialami oleh anak- anak yang
ada dipanti asuhan. Peneliti mendapatkan hasil bahwa 90 % siswa yang dijadikan sebagai
subjek mengalami tingkat culture shock sedang yaitu bisa lihat dari hasil pengolahan data
yang telah diperoleh bahwa skor rata-rata itu dari angka 61-90. Dan bisa dilihat juga
bahwa ada 1 siswa/anak yang mengalami tingkat culture shock rendah yaitu pada angka
30-59. Dan dari hasil keseluruhan data, anak yang mengalami tingkat culture shock
tersebut terlihat pada indikator cenderung merasa khawatir dan tidak nyaman, skor yang
paling tinggi pada indikator tersebut ialah 8.
SARAN
Penelitian ini memang belum sempurna, maka perlu ditingktkan lagi berbagai
referensi sebagai rujukan terhadap hasil penelitian. Kemudian peneliti harus mencari
subjek dengan identitas sosial yang berbeda-beda untuk dijadikan sebagai perbandingan
atau rujukan kedepamya. Peneliti berharap dengan adanya artikel ini bisa menjadi
rujukan bagi para mahasiswa atau dosen.
REFERENSI
Amanda rosetia, D. (2020). Stereotip Dan Dampaknya Ditengah Kehidupan
Sosial Masyarakat. NACOSPRO, 135-145.
Devinta, M., hidayah, N., & Hendrastomo, G. (2015). Fenomena Culture Shock
(Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauran Di Yogyakarta. Pendidikan
Sosiologi, 1-15.
Sinaga, M. H., & dkk. (2022). Deskripsi Masalah Diri Siswa Dan Implikasinya
Terhadap Bimbingan Dan Konseling. Jurnal Bimbingan Konseling Dan
Psikologi, 1-9.
Hasikin, A. Z. (2022). Konseling Multikulturak Dan Fungsinya Dalam Mengatasi
Culture Shock Santri Di Panti Asuhan Anak Pondok Pesantren Yatim Piatu
Dan Dhuafa Darul Inayah Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
SKRIPSI, 43-47.
Sinaga, M. P., & dkk. (2022). Gambaran Umum Permasalahan Anak Korban
Perceraian. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4398-4408.
Mayasari, K. (2019, April 13). Sulit Tidur, Tanda, Penyebab, Gejala, Cara
Mengobati. hal. 1.
Nuraini, C., & DKK. (2021, Agustus 1). Tingkat Culture Shock Di Lingkungan.
SAP, 84-90.
Oktavia, L. (2015, September 19). Pengaruh Hubungan Sosial Dan Konsep Diri.
hal. 1. Sari, I. P. (2013). Pendidikan Kesehatan Sekolah Sebagai Proses .
Pendidikan Jasmani Indonesia, 141-147.
Space, C. (2020, Mei 22). Kenali 5 Cara Untuk Problem Solving Yang Ada Di
Kantor Anda. hal. 1.