Anda di halaman 1dari 12

GEGAR BUDAYA PADA MAHASISWA RANTAU BARU DI ERA

PASCA PANDEMI

Ferdi Rahman Efendi (175221080)

Dapertemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Alamat: Jalan Dharmawangsa Dalam, Surabaya 60286

E-mail: ferdi.rahman.efendi-2022@fisip.unair.ac.id

ABSTRAK
Gegar budaya atau culture shock sering disandingkan pada kondisi gangguan mental.
Kejadian ini sering dijumpai di lingkungan sekitar, khususnya pada individu yang berada
di posisi adaptasi dengan lingkungan baru. Kehidupan mahasiswa baru menjadi contoh
salah satu dari peristiwa tersebut. Tak sedikit pula mahasiswa baru merasakan perubahan
emosional dan berbagai dampak reaksi yang ditimbulkan. Menjadi mahasiswa rantau
mengharuskan seseorang harus menerima keadaan yang sedikit terpaksa. Penelitian yang
dilakukan dengan wawancara dan penelitian yang relevan bertujuan untuk mendefinisikan
dan menggambarkan pengaruh dunia baru bagi seorang mahasiswa. Semakin berbeda
kebudayaan antara daerah asal dan daerah yang kini didiami, semakin menambah besar
probabilitas seseorang mengalami gegar budaya. Resah, kaget, kecewa, gelisah,
emosional, bingung, dan sebagainya menjadi sedikit dari berbagai dampak yang muncul.
Banyak juga pengaruh yang ditimbulkan salah satunya berdampak pada kesehatan
individu. Seiring dengan waktunya mahasiswa dengan masa perkuliahannya, membuat
pola sehari-hari akan mengalami perubahan. Hasil penelitian ini menunjukkan ada
masalah psikologis yaitu gegar budaya yang kembali muncul di era pasca pandemi.

Kata Kunci: Adaptasi, Gegar Budaya, Covid-19.


ABSTRACT
Cultural shock or culture shock is often associated with mental disorders. This
phenomenon is often found in the surrounding environment, especially in individuals who
are in the process of adapting to a new environment. The experience of new students is
an example of one such event. Many new students also experience emotional changes and
various reaction effects. Being a student in a new place requires one to accept a somewhat
forced condition. Research conducted through interviews and relevant research aims to
define and describe the influence of the new world on a student. The greater the cultural
difference between the place of origin and the place currently inhabited, the greater the
probability of experiencing cultural shock. Anxiety, shock, disappointment, restlessness,
emotionality, confusion, and so on are just a few of the various effects that arise. Many
other influences are also caused, one of which has an impact on the individual's health.
As time goes on and the student's study period progresses, the daily routine will change.
The results of this study show that there is a psychological problem, namely cultural
shock, which re-emerges in the post-pandemic era.
Keywords: Adaptation, Cultural Shock, Covid-19.

PENDAHULUAN

Adaptasi budaya merupakan sebuah gelisah, keliru yang dirasakan apabila


proses individu dalam memadukan seseorang bersentuhan dengan
kebiasaan pribadinya dan adat istiadat kebudayaan yang berlainan sama sekali.
agar sesuai dengan budaya tertentu. Begitu pula yang dirasakan Mahasiswa
Gegar budaya (cultural shock) perantau. Mahasiswa perantau adalah
merupakan hal yang selalu dan hampir mahasiswa yang datang untuk menuntut
pasti terjadi dalam adaptasi budaya. ilmu dan merupakan individu yang di
Gegar budaya sendiri merupakan gejala anggap asing dalam lingkungan
sosial yang dialami oleh seorang kebudayaan kampus serta harus memulai
perantau ketika pindah ke daerah dan untuk beradaptasi dengan
budaya baru. lingkungannya. Mahasiswa perantau
dalam hal ini merupakan mahasiswa
Gegar budaya digunakan untuk
yang mengalami perubahan pada dirinya.
menggambarkan perasaan terkejut,
Mahasiswa perantau biasanya rentan
terkena gegar budaya karena mahasiswa tersebut harus bisa menghadapi terpaan
perantau tersebut harus bersosialisasi dan masalah sosial, psikologis, dan filosofis
mengenal budaya baru. Tinggal di daerah dari perbedaan budaya (Kim, 2001).
rantau sendiri bagaikan berada di negara Melalui proses pendidikan dan
asing karena pola kehidupan yang sangat sosialisasi, kepribadian dan perilaku
berbeda dengan sebelumnya. Perasaan individu ditanamkan dapat melalui pola-
ini timbul akibat adanya perbedaan dan pola budaya. Proses belajar yang
kesukaran dalam beradaptasi dengan diinternalisasikan ini memungkinkan
budaya baru. Gegar budaya dapat individu untuk berinteraksi dengan
mencakup aspek yang ada di kehidupan anggota-anggota budaya lainnya yang
sehari-hari seperti makanan, cara juga memiliki pola-pola komunikasi
berpakaian, harga barang, kebiasaan, dan serupa. Proses memperoleh pola
lain sebagainya. Semakin berbeda demikian oleh individu itu disebut
budayanya, semakin besar efek yang enkulturasi (Mulyana, Deddy & Rahmat,
ditimbulkan. 2006).

Menurut Oberg (dalam Ridwan, 2016), Faktor-faktor yang memengaruhi gegar


gegar budaya adalah sebuah penyakit budaya faktor antar pribadi, antara lain
yang diderita karena hidup di luar keterampilan komunikasi, pengalaman
lingkungan budayanya, dan dalam proses dalam konteks lintas budaya, personal
untuk menyesuaikan diri di lingkungan (mandiri atau toleransi), dan akses ke
barunya. Sementara, menurut Adler sumber daya. Karakteristik fisik seperti
(1975) gegar budaya adalah sebuah penampilan, umur, kesehatan,
reaksi emosional yang diakibatkan kemampuan sosialisasi juga
hilangnya penguatan dari budaya lama mempengaruhi. Individu yang lebih
karena adanya kesalahpahaman pada muda cenderung mengalami gegar
pengalaman baru yang berbeda. Gegar budaya yang lebih tinggi dari pada
budaya bukan hanya sebuah reaksi individu yang lebih tua dan wanita lebih
negatif yang dirasakan seseorang, tetapi mengalami gegar budaya dari pada pria
juga merupakan proses pembelajaran. (Pederson, 1995). Variasi budaya
mempengaruhi transisi dari satu budaya
Gegar budaya adalah proses penting
ke budaya lain. Gegar budaya terjadi
yang harus dilewati individu yang
lebih cepat jika budaya tersebut semakin
berpindah ke lingkungan baru. Individu
berbeda, hal ini meliputi sosial, perilaku, Individu akan merasa bingung, cemas,
adat istiadat, agama, pendidikan, norma disorientasi, curiga, dan juga sedih
dalam masyarakat dan bahasa. Semakin karena datang ke lingkungan yang tidak
beda antar dua budaya, maka interaksi dikenal (Ward et al., 2001).
sosial dengan mahasiswa lokal akan
Dimensi afektif berhubungan dengan
semakin rendah (Pederson, 1995).
perasaan dan emosi seseorang yang bisa
Manifestasi sosial politik juga
mengarah pada hal positif atau negatif.
mempengaruhi gegar budaya. Sikap dari
Pendekatan afektif mengacu pada
masyarakat setempat dapat
kebingungan yang banyak ditunjukkan
menimbulkan prasangka, stereotip dan
sebagai pengaruh negatif: kebingungan,
intimidasi, dari pernyataan di atas
kecemasan, disorientasi, kecurigaan,
menunjukkan gegar budaya dipengaruhi
bahkan kesedihan dan berkabung karena
oleh faktor internal dan faktor eksternal
rasa kehilangan benda-benda fisik yang
yang ada pada diri individu yang
akrab dan hubungan sosial. Tetapi
bersangkutan. Faktor internalnya adalah
penyesuaian sosial-budaya juga
adanya pengaruh antar pribadi dalam diri
memiliki respons yang aktif dan adaptif,
individu sedangkan faktor eksternalnya
selaras dengan self-efficacy (Bandura,
antara lain adanya variasi antar budaya
1977).
yang berbeda dan manifestasi sosial
politik yang meliputi prasangka, Dimensi perilaku berhubungan dengan

stereotip dan intimidasi. proses belajar budaya dan keterampilan


hidup di lingkungan sosial. Dimensi
Gegar Budaya merupakan kecemasan
kognitif yang merupakan efek dari
yang timbul akibat hilangnya simbol
kondisi afektif dan perilaku
hubungan sosial yang dikenal dan hadir
mempengaruhi persepsi seseorang
pada situasi budaya yang tidak dikenal
terhadap lingkungannya yang baru.
(Ward, Bochner, & Furnham, 2001).
Proses aktif tersebut meliputi afektif, Dalam penelitian ini, permasalahan yang

perilaku, dan kognitif individu yakni ingin diangkat oleh peneliti adalah:

individu merasa, berperilaku dan berpikir Bagaimana gegar budaya yang terjadi

ketika menghadapi budaya kedua. Afektif pada mahasiswa perantau pada pasca

berhubungan dengan perasaan dan emosi pandemi Covid-19? Adapun tujuan ini

yang dapat menjadi positif atau negatif. adalah: untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimana proses adaptasi mahasiswa perantau baru dari berbagai
mahasiswa perantau pasca Covid-19 daerah. Unit analisis yang digunakan
dalam menghadapi gegar budaya. terdiri dari adaptasi dan gegar budaya.
Adapun metode pengumpulan data pada
METODE PENELITIAN
penelitian ini meliput: Wawancara
Metode yang digunakan pada penelitian
Terstruktur. Pengumpulan data
ini adalah metode penelitian kualitatif.
penelitian ini menggunakan wawancara
Metode kualitatif dilakukan dengan
mendalam dengan Mahasiswa perantau
wawancara terstruktur dengan
untuk menggali informasi faktor–faktor
Mahasiswa perantau serta penelusuran
apa yang menyebabkan terjadinya gegar
dokumen (buku, tesis, skripsi, jurnal
budaya dan bagaimana cara mereka
penelitian dan situs internet). Subjek
beradaptasi dalam menghadapi gegar
dalam penelitian ini adalah Mahasiswa
budaya.
Perantau baru. Sedangkan objek dalam
penelitian ini adalah gegar budaya. PEMBAHASAN
Pendekatan yang digunakan dalam Faktor–faktor yang menyebabkan gegar
penelitian ini kualitatif yaitu peneliti budaya adalah antara pribadi,
adalah sebagai instrumen kunci, keterampilan komunikasi, pengalaman
pengambilan sampel sumber data yang berbeda, serta karakteristik fisik
dilakukan secara purposif teknik seperti penampilan, umur, kesehatan,
pengumpulan data dengan triangulasi kemampuan sosialisasi menyebabkan
(gabungan), analisis data bersifat gegar budaya yang dialami oleh para
induktif kualitatif, dan hasil penelitian mahasiswa perantau yang tinggal di
lebih menekankan makna dari pada lingkungan yang baru dengan budaya
generalisasi (Sugiyono: 2009). yang baru khususnya pasca Pandemi

Paradigma yang digunakan dalam Covid-19 seperti yang di ungkapkan oleh

penelitian ini adalah paradigma informan 1: “Gegar budaya akibat

konstruktivis, dengan metode kualitatif. perbedaan akitivitas per hari sehingga

Pengumpulan data yang digunakan mengalami penurunan kekebalan tubuh

dengan melakukan wawancara dan depresi. Saya waktu itu memiliki

terstruktur, dalam wawancara ini kegiatan yang hampir tanpa henti dari

informan yang digunakan ada 8 orang jam 4 subuh hingga jam 12 malam.
Tubuh saya dan psikis saya kurang dapat membuatnya mengalami gegar budaya.
beradaptasi dengan perbedaan waktu Informan 3 mengungkapkan:
aktivitas per harinya sehingga saya “Perbedaan pembelajaran sebelum dan
mengalami depresi dan juga sering jatuh sesudah mahasiswa lebih mengerti
sakit.” (Wawancara, 13/12/2022). materi yang disampaikan oleh dosen
karena bertatap muka secara langsung.
Berdasarkan hasil wawancara di atas
ada. cara mengatasi nya dengan mencari
menunjukkan bahwa faktor antar pribadi
sumber" penunjang belajar dari youtube,
seperti karakteristik fisik yaitu
buku, jurnal, dll.” (Wawancara,
penampilan dan kesehatan merupakan
13/12/2022).
faktor yang membuatnya mengalami
gegar budaya. Sedangkan untuk Berdasarkan hasil wawancara di atas
keterampilan komunikasi, pengalaman menunjukkan jika faktor antar pribadi
yang berbeda, umur dan kemampuan seperti pengalaman yang berbeda dan
sosialisai bukan faktor yang karakter fisik penampilan, kesehatan
membuatnya mengalami culture shock. merupakan faktor yang membuat dirinya
Informan 2 mengungkapkan: “Yang mengalami gegar budaya. Sedangkan
dapat dilihat (yaitu) dari materi yang untuk keterampilan komunikasi, karakter
disampaikan secara luring menjadi fisik seperti umur dan kemampuan
daring sehingga kurangnya pemahaman sosialisasi bukan faktor yang
konsep, menimbulkan sikap malas membuatnya mengalami gegar budaya.
karena tidak ada pengawasan misal dari Informan 4 mengungkapkan: “Tingkat
teman maupun dosen” (Wawancara, semangat belajar menurun saat pandemi
13/12/2022). Berdasarkan hasil covid karena sudah terbiasa juga dengan
wawancara, Informan 2 di atas aktivitas pembelajaran online yang
menunjukkan bahwa faktor antar pribadi kebanyakan tidak melakukan
seperti pengalaman yang berbeda dan pembelajaran sebagimana mestinya. Hal
karakter fisik penampilan merupakan itu berhubungan dengan culture shock
faktor yang membuatnya mengalami dan cara mengatasinya bisa dengan
gegar budaya. Sedangkan untuk membuka diri terhadap segala
keterampilan komunikasi, karakteristik perubahan pada lingkungan dan siap
seperti umur, kesehatan dan kemampuan menerima segala perubahan yang
sosialisasi bukan faktor yang
bertentangan dengan kebiasaan seperti penampilan, umur dan
sebelumnya.”(Wawancara, 13/12/2022). kemampuan sosialisasi bukan faktor
yang membuatnya mengalami gegar
Berdasarkan hasil wawancara, Informan
budaya. Penyebab Kedua Adalah Variasi
4 di atas menunjukkan jika faktor
Budaya. Seperti sosial, adat istiadat,
hubungan antar pribadi seperti
agama, pendidikan, norma dalam
pengalaman yang berbeda dan karakter
masyarakat dan Bahasa adalah
fisik umur merupakan faktor yang
merupakan salah satu faktor yang
membuat dirinya mengalami gegar
menyebabkan terjadinya gegar budaya
budaya. Sedangkan untuk keterampilan
yang dialami oleh para Mahasiswa
komunikasi, karakter fisik seperti
perantau yang tinggal di lingkungan yang
penampilan, kesehatan dan kemampuan
baru dengan budaya yang baru di masa
sosialisasi bukan faktor yang
pandemi Covid-19 seperti yang di
membuatnya mengalami gegar budaya.
ungkapkan oleh informan 6: “Kaget
Informan 5 mengungkapkan: “Selama
pastinya tapi pada akhirnya menerima
pandemi kemarin saya belajar secara
juga karena sadar kita hidup di dunia
online, berbeda dengan kondisi sekarang
dengan budaya yang luas” (Wawancara,
dimana covid 19 sudah mulai menjadi
13/12/2022).
endemi sehingga pembelajaran
dilakukan secara offline. Tentunya ini Dari pernyataan Informan 6 di atas
menjadi penyebab munculnya culture menunjukkan bahwa variasi budaya
shock pada saya, karena selama seperti social distance, perilaku,
pandemi saya melakukan berbagai pendidikan merupakan faktor yang
kegiatan secara online dan dirumah membuat dirinya mengalami gegar
(jarang bertemu orang secara langsung” budaya. Sedangkan untuk adat istiadat,
(Wawancara, 13/12/2022). agama, norma dalam masyarakat dan
Bahasa bukan faktor yang membuatnya
Berdasarkan hasil wawancara, Informan
mengalami gegar budaya. Informan 7 ia
5 di atas menunjukkan jika faktor antar
mengungkapkan: “kalau stress untuk
pribadi seperti pengalaman yang berbeda
mengatasinya saya biasanya mencari
dan karakter fisik kesehatan merupakan
kegiatan yang menurut saya
faktor yang membuat dirinya mengalami
menyenangkan seperti jalan-jalan, main
gegar budaya. Sedangkan untuk
keterampilan komunikasi, karak terfisik
sama teman, dan sebagainya” (Wawancara, 13/12/2022). Dari
(Wawancara, 13/12/2022) pernyataan Informan di atas
Dari pernyataan Informan 7 di atas menunjukkan bahwa variasi budaya
menunjukkan bahwa variasi budaya seperti agama, pendidikan, dan Bahasa
seperti perilaku, pendidikan merupakan merupakan faktor yang membuat dirinya
faktor yang membuat dirinya mengalami mengalami gegar budaya. Sedangkan
gegar budaya. Sedangkan untuk sosial, untuk sosialisasi, perilaku, adat istiadat,
adat istiadat, agama, norma dalam dan norma dalam masyarakat bukan
masyarakat dan Bahasa bukan faktor faktor yang membuatnya mengalami
yang membuatnya mengalami gegar gegar budaya.
budaya. Informan 1 mengungkapkan:
Fase Perencanaan
“Di Pesantren saya mengalami depresi
Fase ini adalah Mahasiswa perantau
dan penurunan kekebalan tubuh. Di
masih berada pada kondisi asalnya dan
Surabaya, saya menjadi sedikit terkejut
menyiapkan segala sesuatu, mulai dari
dan stress akibat kemacetan yang parah
ketahanan fisik sampai kepada mental,
dan juga pengendara yang ugal-
termasuk kemampuan komunikasi yang
ugalan.” (Wawancara, 13/12/2022).
dimiliki untuk dipersiapkan, yang
Dari pernyataan Informan 1 di atas
nantinya digunakan pada masa pandemi
menunjukkan bahwa variasi budaya
Covid-19. Informan pertama 1: Ia
seperti perilaku, pendidikan dan agama
menyiapkan mental dirinya dengan
merupakan faktor yang membuat dirinya
memberanikan diri mengenal orang-
mengalami gegar budaya. Sedangkan
orang baru. “Saya mencoba mengenal
untuk sosial, adat istiadat, norma dalam
orang-orang yang paling dekat terlebih
masyarakat dan Bahasa bukan faktor
dahulu, seperti teman satu prodi, teman
yang membuatnya mengalami gegar
sekelompok, sekelas, dll.” (Wawancara,
budaya. Informan 4 mengungkapkan:
13/12/2022)
“Berbaur dengan siapa saja dan
berusaha mengakrabkan diri dengan Informan 2: Ia menyiapkan dirinya
lawan bicara untuk saling mengenal dengan usaha-usaha berbaur kembali
lebih dalam. Tidak ada hambatan, dengan lingkungan barunya, khsusunya
mungkin cuma sulit untuk menyamakan di lingkungan terdekatnya seperti di
frekuensi agar lebih akrab.” kelas.“Dengan berusaha berbaur secara
perlahan-lahan untuk saling mengenal “Berbaur dengan siapa saja dan
satu dengan yang lain mulai dari temen berusaha mengakrabkan diri dengan
prodi maupun luar prodi.” (Wawancara, lawan bicara untuk saling mengenal
13/12/2022). Hal ini juga dapat dilihat lebih dalam. Tidak ada hambatan,
pada informan 6 dimana ia menyiapkan mungkin cuma sulit untuk menyamakan
dirinya untuk terus mengupayakan frekuensi agar lebih akrab.”
dirinya berbaur dengan lingkungan (Wawancara, 13/12/2022)
barunya. “Berusaha membaur dan
Informan 5 : Ia selalu berusaha mengenal
menerima akan tetapi jika tidak sesuai
orang baru dan berusaha memahami
dengan apa yang saya biasa lakukan
karakter orang-orang di sekitarnya.
saya tidak memaksa diri saya untuk
“Cara yang saya lakukan adl berusaha
berbaur dengan mereka.” (Wawancara,
membaur dengan teman-teman lainnya
13/12/2022).
juga berusaha memahami karakter
Informan 3: Ia lebih sederhana mereka.” (Wawancara, 13/12/2022)
menghadapi, yaitu dengan menyiapkan
Fase Resolusi
diri untuk memahami bahasa baru yang
Fase dari adaptasi budaya, berupa jalan
ia kenal. “bertanya makna dari kata
akhir yang diambil mahasiswa perantau
yang tidak saya tahu” (Wawancara,
sebagai jalan keluar dari kondisi tidak
13/12/2022). Kesederhanaan ini juga
nyaman yang di rasakannya. Dalam
dilihat dari informan 7, dimana ia dalam
tahap ini ada beberapa hal yang dapat
menghadapi persoalan dalam
dijadikan pilihan oleh orang tersebut,
menghadapi sesuatu hal barunya adalah
seperti:
dengan mencoba bertanya dengan
lingkungan sekitar. “Cara saya a) Flight, yaitu ketika seseorang
bersosialisasi dan mengatasi apabila tidak tahan dengan
ada hambatan ya belajar lingkungannya dan merasa tidak
dan meminta bantuan teman yang lebih dapat melakukan usaha untuk
paham untuk membantu.” (Wawancara, beradaptasi yang lebih dari apa
13/12/2022). yang telah dia lakukan. Fight,
yaitu orang yang masuk pada
Informan 4: Ia menyiapkan diri dengan
lingkungan dan kebudayaan baru
berusaha mengenal orang baru dan
dan dia sebenarnya merasa tidak
lingkungan baru yang ia ketahui.
nyaman, namun dia berusaha menghadapi segala hal yang membuat Ia
untuk tetap bertahan dan berusaha merasa tidak nyaman.
menghadapi segala hal yang
Informan 2 dan informan 6, proses
membuat dia merasa tidak
adaptasi budaya yang di gunakan adalah
nyaman.
accomodation, yaitu tahapan dimana ia
b) Accomodation, yaitu tahapan
mencoba untuk menikmati apa yang ada
seseorang mencoba untuk
di lingkungannya yang baru, awalnya
menikmati apa yang ada di
mungkin orang tersebut merasa tidak
lingkungannya yang baru,
nyaman, namun dia sadar bahwa
awalnya mungkin orang tersebut
memasuki budaya baru memang akan
merasa tidak nyaman, namun dia
menimbulkan sedikit ketegangan, maka
sadar bahwa memasuki budaya
dia pun berusaha berkompromi dengan
baru memang akan menimbulkan
keadaan, baik eksternal maupun internal
sedikit ketegangan, maka dia pun
dirinya.
berusaha berkompromi dengan
keadaan, baik eksternal maupun Informan 3 dan informan 7, proses

internal dirinya. adaptasi budaya yang di gunakan adalah

c) Full participation, yaitu ketika accomodation, yaitu tahapan ia mencoba

seseorang sudah mulai merasa untuk menikmati apa yang ada di

nyaman dengan lingkungan dan lingkungannya yang baru, awalnya

budaya barunya. Tidak ada lagi mungkin orang tersebut merasa tidak

rasa khawatir, cemas, kondisi nyaman, namun Ia sadar bahwa

tidak nyaman, dan bisa mengatasi memasuki budaya baru memang akan

rasa frustrasi yang dialami menimbulkan sedikit ketegangan, maka

dahulu. Ia pun berusaha berkompromi dengan

Informan 1: Proses adaptasi budaya yang keadaan, baik eksternal maupun internal

di gunakan Klaudia adalah fight yaitu dirinya.

yang masuk pada lingkungan dan Informan 4, proses adaptasi budaya yang
kebudayaan baru dan dia sebenarnya di gunakan ia adalah full participation,
merasa tidak nyaman, namun Ia berusaha yaitu ketika ia sudah mulai merasa
untuk tetap bertahan dan berusaha nyaman dengan lingkungan dan budaya
barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir,
cemas, kondisi tidak nyaman, dan bisa faktor yang mempengaruhi terjadinya
mengatasi rasa frustrasi yang dialami gegar budaya pada mahasiswa perantau
dahulu. pasca pandemi Covid-19 yaitu faktor
antar pribadi, variasi budaya.
Informan 5 dalam proses adaptasi budaya
yang di gunakan ia adalah full Gegar budaya yang dialami mahasiswa
participation, yaitu ketika Veni sudah baru di era pasca pandemi mulai menjadi
mulai merasa nyaman dengan hal yang lama kembali terjadi. Beragam
lingkungan dan budaya barunya. Tidak reaksi muncul seperti kaget, kecewa,
ada lagi rasa khawatir, cemas, kondisi gelisah, emosional, bingung, dll.
tidak nyaman, dan bisa mengatasi rasa Perlunya penyesuaian adaptasi juga
frustrasi yang dialami dahulu. mengajarkan seorang mahasiswa untuk
berlatih membuka diri terhadap
PENUTUP
lingkungan barunya dari berbagai cara
Berdasarkan seluruh uraian pada bab agar tidak berpengaruh dalam
sebelumnya, maka dapat ditarik kesehatannya.
kesimpulan sebagai berikut: faktor –
DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change.


Psychological Review. https://doi.org/10.1037/0033-295X.84.2.191
Gudykunst, W. B., & Mody, B. (2002). Handbook of international and intercultural
communication. Sage.
Kim, Y. Y. (2001). Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and
Cross-Cultural Adaptation. Thousand Oaks, CA.: SAGE Publication Inc.
Mulyana, Deddy & Rahmat, J. (2006). Komunikasi Antar Budaya “Panduan
Berkomunikasi Dengan OrangOrang Berbeda Budaya.” Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pederson, P. (1995). The Five Stages of Culture Shock. London: Greenwood Publishing
Group.
Ridwan, A. (2016). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Rohim, S. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Rineka Cipta.
Ruben, B., & Stewart, L. P. (2006). Communication and Human Behavior. USA: Alyn
and Bacon.
Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2001). The Psychology of Cultural Shock (2nd
ed.). Canada: Routledge & Kegan Paul.
West, R. L., Turner, L. H., & Zhao, G. (2010). Introducing communication theory:
Analysis and application (Vol. 2). New York: McGraw-Hill Higher Education.

Anda mungkin juga menyukai