Anda di halaman 1dari 16

MODUL KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

(KODE MATA KULIAH)

MODUL 08
MODEL-MODEL
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

DISUSUN OLEH
SUMARTONO, S.Sos., M.Si

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 16
Model-model Komunikasi Antar Budaya

Setiap mahluk hidup, baik itu hewan, tumbuhan dan tentunya manusia perlu
berkomunikasi dengan indvidu atau kelompok individu lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia perlu berkomunikasi dengan sesamanya, untuk
menunjukkan eksistensi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Dilain pihak, kita
juga mengetahui bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki
latar budaya yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,
pada dasarnya komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan.
Komunikasi antar budaya membicarakan metoda-metoda, variasi langkah
dan cara yang digunakan manusia untuk berkomunikasi lintas sosial dengan
sesamanya. Komunikasi antar budaya menyangkut komunikasi antar individu,
individu dengan kelompok, kelompok dengan individu atau antar kelompok yang
memiliki latar kebudayaan yang berbeda. Misalnya berbeda ras, suku, etnik,
ataupun kelas sosial
Kebudayaan yang berbeda menciptakan perbedaan pengalaman, nilai dan
cara pandang seseorang terhadap dunia. Hal tersebut akan mempengaruhi prilaku
komunikasi seseorang, menciptakan pola komunikasi yang berbeda antar suatu
kelompok budaya yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu komunikasi antar
budaya perlu dipelajari dengan tujuan agar dapat memahami perbedayaan budaya
yang mempengaruhi komunikasi, mengindentifikasi kesulitan yang muncul,
kemudian meningkatkan keterampilan verbal dan non verbal yang diperlukan agar
komunikasi dapat berjalan secara efektif.
Berikut ini akan Pakar Komunikasi paparkan beberapa model komunikasi
antar budaya menurut para ahli sebagai referensi anda dalam mempelajari
komunikasi antar budaya.

1. Model Porter & Larry A. Samovar


Budaya mempengaruhi prilaku komunikasi individu, budaya yang berbeda
akan menghasilkan pengaruh serta sifat komunikasi yang berbeda pula. Ketika
seorang individu berkomunikasi dengan individu lain yang memiliki kebudayaan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 16
berbeda maka makna pesan yang disampaikan komunikator akan berubah
mengikuti persepsi budaya komunikan.

Misalkan individu dengan budaya A menyampaikan pesan kepada individu dengan


budaya B dan budaya C, dimana budaya A dengan budaya B memilki lebih banyak
kemiripan sedangkan budaya C memiliki perbedaan yang cukup besar dibanding
budaya A. Maka pesan yang diterima B hanya akan sedikit berubah, cukup
mendekati pesan asli yang disampaikan oleh A, karena memiliki persepsi budaya
yang mirip dengan A. Namun pesan yang diterima oleh C akan sangat berbeda,
sebab dipengaruhi budaya yang sangat berbeda pula.
Contohnya komunikasi mengenai eksistensi Tuhan yang dilakukan oleh individu
yang beragama Kristen (budaya A) dengan individu yang beragama Islam (budaya
B). Keduanya akan sepakat bahwa Tuhan itu memang ada. Berbeda jika komunikasi
mengenai eksistensi Tuhan dilakukan oleh individu beragama tersebut (budaya A)
dengan seorang atheis (budaya C). Maka komunikasi tidak akan efektif, sebab
terdapat persepsi yang sangat berbeda mengenai keberadaan Tuhan, budaya A
mengakui adanya Tuhan, namun budaya C tidak mengakui adanya Tuhan

2. Model William B. Gudykunst dan Young Yun Kim


Model komunikasi antar budaya menurut William B.Gudykunst dan Young Yun
Kim merupakan komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari
budaya yang berlainan, atau orang asing. Dalam model ini, masing-masing individu

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 16
berperan sebagai pengirim sekaligus juga penerima pesan. Dengan begitu, pesan
yang disampaikan seseorang merupakan umpan balik untuk lawan bicaranya.
Terjadi penyandian serta penyandian balik pesan.
PROSES KOMUNIKASI

ELEMEN-ELEMEN PROSES KOMUNIKASI


1. Pengirim (sender/encoder)= orang yang memberikan pesan
2. Penerima (receiver/decoder)= sasaran/tujuan/penyandi balik
3. Pesan (messsage) = sesuatu yang disampaikan atau dikomunikasikan
4. Umpan Balik (feedback)
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses komunikasi (filter-filter
konseptual) Menurut Gudykunst dan Kim, ada 4 filter konseptual yang
mempengaruhi kita dalam berkomunikasi (melakukan penyandian pesan dan
penyandian balik pesan), yaitu:
1. Faktor budaya: meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan
perbedaan budaya. (Agama, budaya, sikap, bahasa).
Contoh: Ketika kita harus memilih mau peduli dengan individu atau dengan
kelompok.
2. Faktor sosiobudaya: Pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial.
(keanggotaan, kelompok, konsep diri, ekspektasi diri)

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 16
Contoh: Jika kita menjadi ketua dalam suatu organisasi, tentunya konsep diri
dan ekspektasi diri kita sangat tinggi.
3. Faktor psikobudaya: Mempengaruhi proses penataan pribadi (stereotip dan
sikap)
Contoh: Etnosentrisme (menafsirkan perilaku orang lain dengan pemikiran diri
sendiri dan ingin orang lain berlaku sama seperti kita).
4. Faktor lingkungan: mempengaruhi persepsi kita akan lingkungan. (lokasi
geografis, iklim, situasi arsitektural, persepsi atas lingkungan).
Contoh: Seorang Amerika Utara dan seorang warga Kolombia yang memiliki
cara pandang berbeda tentang ruang keluarga.. (Bagi orang Amerika ruang
keluarga adalah tempat berkumpul dan bercanda (informal), bagi
orang Kolombia, ruang keluarga adalah tempat formal).
Menurut gambaran model komunikasi Gudykunst dan Kim, kedudukan
sender/decoder dengan receiver/decoder sama. Pribadi A dan probadi B dapat
berperan sebagai pengirim sekaligus penerima. Masing-masing pribadi dapat
melakukan penyandian pesan sekaligus penyandian balik pesan. Pesan suatu dari
pribadi A dapat juga menjadi umpan balik bagi pribadi B. Begitu pula sebaliknya.
Dalam penyampaian pesan, ada factor-faktor yang mempengaruhi sang receiver
untuk menanggapi pesan itu. Faktor-faktor tersebut berupa filter-filter konseptual
yang terdiri dari faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya, dan lingkungan.
Menurut Godykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik
pesan merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konspetual
yang dikategorikan menjadi faktor-faktor buday, sosiobudaya, psikobudaya dan
faktor lingkunga. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara
penyandian pesan paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian
pesan dan penyandian pesan balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang
merepresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya. Ketiga
lingkaran dengan garis putus-putus mencerminkan hubungan faktor-faktor yang
tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi.
Lingkungan merupakan salah satu unsur yang melengkapi model
Gudykunst dan Kim. Garis putus-putus yang melambangkan Lingkungan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 16
merupakan pembuktian bahwa lingkungan tersebut bukanlah daerah tertutup atau
terisolasi. Lingkungan mempengaruhi kita dalam menyandi dan menyandi balik
pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektual (lingkungan fisik). Dan persepsi
kita atas lingkunga tersebut mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang
datang dan prediksi yang kita buat mengenai perilaku orang lain.

Menambah pengetahuan antar budaya Sering muncul kesalahpahaman

Memperbesar toleransi antar budaya Dapat memicu terjadinya konflik

Memperluas pergaulan Tidak ada media

Model komunikasi Gudykunst dan Kim membuat kita dapat mengenal


budaya lain secara lebih dalam. Dengan komunikasi Gudykunst and Kim ini juga
kita dalam mempelajari dan mengetahui latar belakang suatu budaya, agama, suku,
lingkungan, pendidikan, dll . Akan tetapi model komunikasi ini seringkali
menimbulkan kesalahpahaman dan konflik akibat perbedaan latar belakang budaya.

3. Model Dimensi Waktu menurut Tom Bruneau


Menurut model ini waktu merupakan variable penting yang mendasari
semua situasi komunikasi. Waktu menentukan hubungan, pola hidup antar manusia,
dan pola hidup manusia tersebut dipengaruhi oleh budayanya. Dimensi waktu
meliputi perbedaan konsepsi waktu dan tempo khusus dari tiap kelompok budaya
(prilaku temporal). Terdapat dua jenis konsep waktu, yaitu:

Waktu Polikronik:
Konsep waktu Polikronik memandang bahwa waktu merupakan suatu putaran yang
akan kembali dan kembali lagi. Orang yang menganut konsep ini beranggapan
bahwa apa yang dilakukan di waktu ini, merupakan sesuatu yang bisa di perbaiki di
waktu atau kesempatan lain. Misalnya ketika tidak belajar dengan baik sehigga

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 16
mendapatkan nilai buruk, pelajar yang menganut konsep waktu polikronik akan
berpikir dapat memperbaikinya di waktu lain
Orang yang menganut konsep polikronik juga cenderung lebih
mementingkan kegiatan yang terjadi dalam suatu waktu dibandingkan waktu itu
sendiri. Cenderung lebih menekankan keterlibatan tiap individu serta penyelesaian
suatu hal, dibanding menepati jadwal waktu. Misalnya seorang mahasiswa yang
tetap bersikap santai meski jam kuliah sudah hampir mulai, sehingga meskipun
tetap masuk kuliah, mahasiswa tersebut datang terlambat

Waktu Monokronik
Konsep waktu monokronik memandang bahwa waktu berjalan lurus dari masa
lsilam ke masa depan. Orang yang menganut konsep ini cenderung lebih
menghargai waktu itu sendiri, sehingga tidak ingin melewatkan waktu dengan hal
yang sia-sia atau tidak berguna. Misalnya seorang pelajar yang menganut konsep
waktu monokronik akan terus belajar dengan baik, agar dapat memperoleh nilai
yang baik disetiap kesempatan. Atau seorang mahasiswa yang menganut konsep
monokronik akan berusaha keras (terburu-buru berlari) agar tidak terlambat masuk
kelas saat kuliah.

Waktu Dan Perbedaan Budaya


Sekali waktu Oswald Spengler berkata, “Makna yang secara Intuitif
diterapkan pada waktulah yang menyebabkan satu budaya di bedakan dari budaya
yang lain” (1926:130).Menerima pernyataan Spengler ini sama sekali tdak berarti
bahwa kita menerima pandangan bahwa orientasi tertentu ada kaitannya dengan
“budaya lebih tinggi”(1926:117-160). Pandangan bahwa temporalitas (ihwal
waktu) satu budaya lebih baik dari temporalitas budaya yang lain tampak
sebagai dasar utama persepsi antar terhadap inferioritas dan superioritas.
Literatur Barat tentang budaya dan persepsi antarbudaya tampaknya dipenuhi
dengan Contoh perbedaan konsepsi waktu,peerspektif waktu (dahulu,masa kini,dan
masa depan), dan hal mengalami waktu (menjaga waktu, perwaktuan, pengaturan
kecepatan atau pacing, dan perilaku waktu atau temporal behavior. asumsi-asumsi

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 16
yang tak disadari: hal mengalami waktu (time experiencing) di Barat paling
maju,paling berguna,dan paling baik untuk pengembangan pada masa depan.
Bagi kelompok budaya yang telah menerima bentuk-bentuk temporalitas
Newtonian dan Objektif untuk mendefenisikan waktu, asumsi-asumsi ini sulit
untuk di permasalahkan. Jika suatu kelompok budaya menganggap bahwa “waktu
mereka” lebih tinggi dari pada waktu, perwaktuan, dan tempo kelompok budaya
lai; maka mereka telah meletakkan dasar untuk lebih menyukai aspek-aspek budaya
berkenaan dengan ruang, penetapan ruang, dan gerak lewat ruang. Kedalamnya
termasuk ruang batin atau hal mengalami waktu yang subjektif dan personal.
Bahkan bahasa dapat dikaitkan dengan pandangan superioritas dan
inferioritas waktu. Dalam hubungan ini,falsafah Cassirer yang secara meluas
diterima dan dihormati mempunyai praduga kasar bahwa bahasa-bahasa yang
“maju adalah bahasa yang lebih terperinci”dalam Zeitworternya (kata waktu) dari
bahasa-bahasa yang kurang maju (Cassirer 1953:215-226). Tampaknya pada setiap
tingkat analisis waktu, perwaktuan, dan tempo ada peerbedaan di antara berbagai
budaya. Cara suatu Bangssa membayangkan historisitas atau cara kelompok budaya
menggunakan memori mereka tampaknya di dasarkan pada orientasi waktu di
tentukan oleh budaya. Berbagai cara mengingat,juga cara mengguanakan
nostalgia,secara kebetulan bersifat khas kultural.

Futurisme Dan Komunikasi Interkultural


Sebagaimana konsep perspektif masa lalu tampak berbeda dari budaya
yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa depan. Masa depan brsifat
konseptual dan prosesual-juga masa kini dan masa lalu. Studi mendalam untuk
mengetahui bagaiamana budaya-budaya berbeda dalam orientasi futuristik dan
tempoalnya baru dimulai. Futurisme adalah sebuah gerakan yang bersifat
multidisipliner dan dengan cepat berkembang menjadi upaya intensif dan terus-
menerus seerta sangat penting dalam disiplin ilmu.Jalan-jalan baru menuju cara-
cara berpikir ke depan yang belum di teliti akan berkembang. Tetapi cara-cara baru
“berpikir ke depan “akan menghasilkan jarak yang lebih besar antara budaya yang

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 16
secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan budaya
di mana citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada beberapa budaya yang tampaknya memilki ke ajegan citra yang kaku
dalam masa depannya. Tingkat keajegan citra masa depan berbeda-beda di antara
kelompok-kelompok budaya. Contohnya,bagi budaya tertentu, pandangan masa
depan itu di takuti dan disembunyikan dari alam pikiran. Bagi budaya lain
lagi,berpikir tentang masa depan di anggap sebagai: kegiatan mubazir, aktivitas
romantik yang tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau
orang jahat.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menganggap bahwa setiap
kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang tertentu, yang boleh jadi sama
atau berbeda dengan citra masa depan yang dimiliki oleh anggota kelompok budaya
yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan perspektif budaya yang berbeda adalah
perbedaan utama di antara kelompok-kelompok budaya dan perlu di perhatikan
oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antar budaya. Kemampuan
mengantisipasi akibat dan menangguhkan pemuasan kebutuhan meerupakan
kegiatan yang diperkokoh secara kultural dan melibatkan perspektif futuristik.
Penangguhan pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan dengan
kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan suatu kelompok budaya. Ini terjadi pada
kebanyakan kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya mempunyai
cara-caranya sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat maupun
menangguhkan gratifikasi.Cara yang khas ini dapat berinteraksi dengan perubahan
kondisi ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan dengan bermacam-
macam cara. Dalam sebagian kelompok budaya,arah yang jelas dan tindakan masa
depan di lakukan dengan menetapkan dan mengguanakan berbgai macam jadwal
kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang di tetapkan adat dan kebiasaan,
atau dengan cara-cara menciptakan suasana peluang. Kadang-kadang, benturan
perspektif budaya dapat di kontraskan secara tajam. Simaklah contoh terinci di
bawah ini. Kemacetan lalu lintas antar budaya.
Misalkan, ada orang dari satu latar belakang budaya (orang A) membeli
mobilnya yang pertama, belajar mengemudikannya, dan mengembangkan pola

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 16
antisipasi kondisi lalu lintas, tanda, dan lampu lalu lintas. Pola atisipasi akan tanda-
tanda brlalu lintas dari orang A ini tumbuh dari sejenis konsepsi “berpikir” yang
dinilaipositif dalam kebudayaan A. Marilah kita bayangkan orang A termasuk pada
kelompok budaya yang menilai positif sikap mengenai “ganjaran berpikir kemuka”.
Orang B ketika membeli mobil yangg pertama, berasal dari kelompok budaya yang
sedikit mengenal antisipasi akibat perbuatannya, yang diperlukan dalam tempo
kehidupan kota yang cepat. Orang B berasal dari dan dipengaruhi oleh kelompok
budaya dimana orang bertindak segera dari dalam hubungannya dengan kondisi
yang dipersepsi segera juga.
Dalam budaya B, perlunya berpikir kemuka dengan cepat secara tradisional
tidak diperlukan keculi untuk adat dan kegiatan budaya tertentu. Ini tidak berarti
budaya B tak dapat berpikir futuristik. Kebanyakan orang dalam budaya B memang
jarang di desak untuk berpikir seperti itu. Futurisme mereka jelas berkaitan dengan
adat dan mereka telah mengembangkan pola perilaku untuk menghadapi problem
dan kondisi baru seccara spontan.Dengan perkataan lain;orang B tidak mempunyai
nilai berpikir kemuka,tidak mengalami peneguhan dari kelompok budayanya untuk
berpikir kemuka. Karena itu, responnya terhadap kondisi lalu lintas berorientasi
masa kini,saat ini juga, bersifat segera.
Fred Polak (1961)adalah pemikir penting tentang pengembangan citra masa
depan.Polak kelihatan ekstrem dalam memandang pentingnya orientasi futuristik
dalam membentuk budaya. Tampaknya Polak berpendapat bahwa peerspektif masa
depan yang berbeda sangat berpengaruh dalam penciptaan yang sesungguhnya dari
jenis buddaya tertentu(1961), yang spesifik, terikat budaya, dan sentral bagi
identitas dan berfungsinya budaya. Tesis Polak tentang budaya dan perspektif masa
depan dinyatakan dengan jelas.
Kesadaran akan nilai-nilai ideal adalah langkah pertama dalm penciptaan
secara sadar citra masa depan dan karena itu penciptaan secara sadar budaya.
Karena nilai, menurut defenisinya, adalah apa yang membimbing kita menuju masa
depan “ternilai” ...Jelaslah ssekarang bahwa ilmu gaib, agama, filsafat, sains, dan
etika mungkin bersal dan berkembang secara kreatif dari kebutuhan pokok untuk
memporoleh pengetahuan terlebih dahulu tentang masa depan. Dengan kata

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 16
lain,bidang budaya yang asasi ini mungkin telah di kembangkan mula-mula sebagai
cara dan sarana untuk memvisualisasikan dan mempengaruhi masa.

Mengatur Waktu (timing) Dan Menjaga Waktu (Timekeeping) Di Antara


Budaya -Budaya
Aspek penting dari dimensi waktu berkenaan dengan cara bagaimana dan
sejauh mana menjaga waktu yang objektif digunakan dan bagaimana hal demikian
mempengaruhi kecepatan waktu (temporal pacing) dan pola-pola waktu dalam
budaya tertentu. Lebih penting lagi bagi kita ialah bagaimana kendala dan kendali
waktu objektif dapat mempengaruhi orang dari berbagai budaya dengan orientasi
waktu yang berlainan. Dengan kata lain, cara-cara waktu (time devices), metode
menjaga waktu, dan dan formulasi waktu yang objektif merupakan inti pacu
kehidupan modern. Pacu kehidupan berinteraksi dengan mesin dan segala mesin.
Mesin (jam) kecil yang melingkar di pergelangan tangan merupakan mesin yang
paling pokok dan paling perkasa di dunia.Jam tampaknya mengendalikan mesin
dan semua alat-alat elektronik. Gagasan waktu objektif sebagai bentuk waktu yang
benar dan real adalah perkembangan penting dalam sejarah perilaku manusia.Kata
Munford, “Jam adalah mesin kunci dari abad industri. Karaktristik pertama dari
peradaban mesin modern adalah keteraturan waktu. Sejak bangun tidur, ritme hari
diatur oleh jam. Tanpa memperdulikan lelah dan penat, keengganan atau apati,
rumah tangga bergerak sesuai dengan jam yang telah di setel”,(1962:14,269).
Penggunaan jam yang meluas dan alat-alat menjaga waktu mungkin tumbuh
ke satu arah yang tidak dapat di ulangi selama paruh terakhir abad ini. Pertumbuhan
ekspansi penjagaan waktu ini bukan tanpa bahaya terhadap kesehatan orang.Wright
(1968:7) mengatakan bahaya ini secara singkat dalam bukunya tentang tirani jam:
“Inilah sejarah kronarki(kekuasaan waktu) yang terus meningkat, tidak terhambat,
dan tak dapat di tahan. Kata tersebut tidak ada dalam The Oxford English
Dictionary. Penciptanya berhak mndefenisikannya.Marilah kita defenisikan
kronarki bukan hanya “rule by time”, tetapi juga rejimentasi manusia dengan
penjagaan waktu. ”Jam menjadi standar untuk membandingkan peristiwa-peristiwa
dan bagaimana peristiwa-periwtiwa yang sama dapat di nilai berebeda. Jika

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 16
waktunya di pandang sebagai penjagaan menjaga waktu yang objektif lebih diberi
nilai dari pada metode lainnya. Dengan mengutip gambaran jam yang menarik dari
Dora Marsden, “seluruh alam semesta bergrak menuju ritme, di mana-mana seperti
dalam tarian kosmik, jasad-jasad alamiah melakukan putaran mereka, alam semesta
di penuhi jam”.(1955:12)
Sejauh mana kelompok budaya yang berlainan menilai berbagai jenis
penjagaan waktu objektif dapat menentukan jenis-jenis interaksi komunikatif yang
potensial.Perbedaan sejauh mana penjagaan waktu yang objektif dinilai, akan
mempengaruhi cara orang dari berbagai budaya menyesuaikan diri dengan standar
waktu objektif dan mengikuti tuntutan orang-orang yang mengontrol,
memanipulasi, dan menafsirkan waktu objektif. Perbedaan kurtural dalam menilai
waktu objektif, dapat menjadi dasar untuk memahami sejumlah masalah
komunikasi antarbudaya. Lebih-lebih lagi jika kita memahami bahwa penjagaan
waktu dan standar waktu objektif dapat mengontrol ruang dan gerak melalui
ruang dan memang seringkali begitu. Pemaksaan waktu objektif kelompok budaya
tertentu pada kelompok budaya lain dapat di anggap sebgai salah satu bentuk
pengaruh atau persuasi budaya.

Pacu Hidup,Tempo Budaya, Dan Komunikasi Interkultural


Banyak jenis waktu yang membentuk sistem seseoang: waktu biologis,
waktu fisiologis, waktu perseptual, waktu objektif, waktu psikologis, waktu sosial,
dan waktu kultural. Bagaimana tingkata waktu yang saling bergantung ini
berinteraksi menjadi “kronemika”perilaku manusia (Bruneeau,1997:3). Kronemika
adalah bidang ilmu komunikasi yang relatif baru, yang dapat di defenisikan sebagai
makna pengalaman waktu manusia, yang mempengaruhi dan di pengaruhi oleh
komunikasi insani. Pacu hidup kelompok budaya berkenaan dengan bagaimana
tingkat-tingkat pengalaman waktu terintegrasikan oleh anggota atau kumpulan
individu dalam kelompok tersebut.Selanjutnya,pacu hidup satu kelompok budaya
addalah standar dan kebiasaan perilaku waktu yang mendasari interaksi di antara
anggota-anggota kelompok budaya (perlu disebutkan disini bahwa jenis-jenis dan
tingkat –tingkat perilaku waktu akan disajikan secara singkat pada Taksonomi

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 16
Lingkungan Waktu). Hal lain yang juga penting dalam pacu hidup kelompok
budaya adalah bagaimana bentuk pengalaman waktu subjektif dan objektif
berinteraksi. Dengan kata lain, bagaimana interaksi antara bentuk-bentuk
pengalaman waktu yang berbeda dalam budaya tertentu dengan bentuk-bentuk
pengalaman waktu yang agak konstan dan konsisten membantu menentukan tempo
yang khas dari satu budaya.
Sebagian kelompok budaya menggunakan bentuk-bentuk waktu objektif
yang agak konstan (jam, timers, bel, jadwal harian).Kelompok budaya ini
mengembangkan lingkungan waktu yang khas dengan membaurkan waktu objektif
dengan kegiatan dan peristiwa personal, sosial, dan kultural. Kelompok budaya
yang menekankan pentingnya standar waktu yang objektif, kecermatan waktu, dan
pengaturan pacu hidup yang di hubungkan dengan jam dapat menjadi kelompok
budaya yang “terikat jam” (clock-bound). Kelompok budaya yang “clock- bound”
tampaknya lebih menekankan waktu objektif ketimbang bentuk-bentuk
pengalaman waktu yang personal dan subjektif. Seringkali kessepakatan pada
waktu jam menjadi dasar bagi kesepakatan-kesepakatan yang lain
(misalnya,kebiasaandan adat proksemik dan kinesik).
Kronofilia dapat menjadi patologi kronik dalam arti yang sebenarnya.
Hidup menjadi rangkaian kebosanan yang terus-menerus dan kelabu. Pada
rangkaian membosankan seperti itu para pemain makin mempercepat tarian mereka
dalam upaya yang sia-sia untuk memperkaya ddan menyemarakkan rangkaian.
Tetapi-bila kita menggunakan kalimat Whitehead yang lebih keras-hasil dari
kegiatan yang makin intensif itu sangat jelas: “Intensitas adalah upah kesempitan”.
Tempo khas dari suatu kelompok budaya dapat dibandingkan dengan tempo khas
dari setiap anggota kelompok budaya tersebut. Setiap individu harus menyesuaikan
temporalitasnya yang unik dan personal dengan tempo yang unik dari kelompok
budayanya. Bila orang-orang dari berbagai tempo budaya berussaha
berkomunikasi,lingkungan temporalnya merupakan perpaduan dari tempo kultural
dan tempo personal. Dalam situasi komunikasi interkultural, tingkat perilaku dan
harapan berkenaan dengan tingkat-tingkat ini berbeda dari orang ke orang. Dalam

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 16
situasi demikian ,nilai-nilai yang dianut dalam menghadapi berbagai bentuk waktu
objektif dapat menimbulkan secara luas salah pengertian dan salah tafsir.
Bila kita pahami bahwa perilaku proksemik dan kinesika didasarkan pada
kepercayaan waktu (temporal beliefs), sikap ,motif ,dan nilai dan perilaku temporal
semua peserta dalam situasi interkultural, jelaslah bahwa dimensi waktu adalah
faktor paling penting dalam komunikasi interkultural. Dengan
mengonseptualisasikan secara kreatif cara orientasi dan perspektif waktu
berinteraksi dengan identitas kultural,perilaku budaya,ddan komunikasi
interkultural,kita dapat memperoleh bahan untuk kegiatan penelitian selama
bertahun-tahun.

Taksonomi Lingkungan Waktu.


Taksonomi yang di ikhtisarkan dibawah ini mula-mula dikembangkan
sebagai usaha persial dalam mendefenisikan kronemika perilaku manusia
(Bruneau:1978). Taksonomi dapat digunakan untuk menganalisis dan
menelaah perilaku waktu dan lingkungan waktu dari berbagai bentuk interaksi
manusia. Dorongan waktu (temporal drives): meliputi kegiatan bioritmis ;
keteraturan hormonal dan metabolis; impuls ergis ( cattell 1957,1965); meliputi
pengurangan tegangan kebutuhan fisiologis,pola tegangan kebutuhan ;dan
sebagainya.
Petunjuk waktu (temporal signals);berkenaan dengan penginderaan awal
dan mendeteksi dorongan waktu orang lain. Sinyal waktu (temporal signals):
meliputi penetuan keberlangsungan perseptual dan interval yang menimbulkan
indera waktu individu;kontinuitas dan diskontinuitas yang menimbulkan
pengenalan urutan dan keberlangsungan yang menjadi kebiasaan atau berubah-
ubah; fenomena keberlangsungan dan proses yang membentuk informasi perseptual
berkenaan dengan pengaturan tempo, pengendaliaan, pengaturan, atau fasilitasi
perilaku manusia; berkenaan dengan pengenalan karakteristik waktu dari perilaku
nonverbal;danseterusnya. Perkiraan waktu(temporal estimates):berkenaan dengan
indera waktu dan perwaktuan;penggunaan sinyal waktu untuk membuat ,
mempertahankan, atau mengubah pengenalan sejauh mana kecepatan atau

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 16
kelambatan waktu mengalir dalam hubungan dengan dasar waktu yang personal
dan habitual atau standar waktu yang objektif ;perkiraan mengenai tingkat tempo
yang personal dan atau tingkat peristiwa perilaku; dan seterusnya.
Lambang waktu (temporal symbols):berkenaan dengan gambaran
simbolik urutan dan keberlangsungan,perubahan dan
keperemanenan,atau perspektif dan orientasi waktu ;konsep tempo subjektif dan
objektif ;berkenaan dengan fungsionalisasi dan gambaran linguistik yang
berkaitan dengan tingkat pengalaman waktu dan seluruh perilaku (termasuk
mental)yang tercakup dalam butir-butir taksonomi.
Keperccayaan waktu (temporal beliefs): berkenaan dengan asumsi-asumsi
yang ditereima orang sehubungan dengan sifat waktu dan rang;berkenaan dengan
tingkat kekakuan dalam mempersepsi dan mengonseptualisasi perilaku ruang-
waktu ;mengenai validitas petunjuk dan perkiraan waktu; mengenai validitas
informasi waktu yang timbul dari dorongan waktu,sinyal waktu,dan simbolisme
waktu;berkenaan dengan validitas dan sifat penilaan waktu dan seterusnya.
Motif waktu (temporal motives):berkenaan dengan maksud psikologis
untuk mempengaruhi perilaku waktu;mengenai proses mengubah tempo
objektif dan personal;mengenai upaya mempengaruhi dorongan,keperluan,dan
motivasi;maksud yang berkaitan dengan tujuan dan perilaku tujuan ;dan
seteerusnya. Penilaian waktu (temporal judgments): berkenaan dengan validitas
kepercayaan waktu, motif waktu dan nilai waktu seperti yang di jalankan individu
atau kellompok indivu dalam konteks sosiokultural; dan seterusnya. Nilai waktu
(temporal values): mengenai pemberian nilai pada waktu, waktu-waktu (peristiwa),
dan perwaktuan ketika dikaitkan dengan perilaku personal, sosial, dan kultural.
Sumber Referensi:

Daftar Pustaka
Hanafi Abdillah, 1984, Memahami Komunikasi Antar Manusia (Surabaya: Usaha
Nasional).

Kitley Philip, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (Jakarta: Institutv Studi
Arus Informasi).

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 16
Liliweri Alo, 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).

Larry A. Samovar, dkk., 1981, Understanding Intercultural Communication


(Belmont, California: Wadsworth Publishing Company).

Leach Edmund. Culture and Communication, The Logic by which symbols are
connected. (Cambridge, University Press).

Maletzke Gerhard, 1978, “Intercultural and Internation Communication”, dalam


Heinz-Dietrich Fischer dab John C. Merril (eds), Intercultural and International
Communication (New York: Hastings House Publisher).

Porter dan Larry A Richard E.. Samovar, 2003, “Suatu Pendekatan terhadap
Komunikasi Lintas Budaya”, dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat
(eds.), Komunikasi Lintas Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang
Berbeda Budaya (Bandung: Rosdakarya)

Sunarwinadi Ilya, Komunikasi Antar Budaya (Jakarta: Pusat Antar Universitas


Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, tt.).

Susanto, Eko Harry, 2016, Komunikasi & Gerakan Perubahan: Kemajemukan dan
Kontelasi Sosial, Ekonomi, Politik, Mitra Wacana Media, Jakarta.

……….., 2009, Etnosentrime, Pemekaran Wilayah dan Komunikasi Antarbudaya,


Jurnal Online Dinamika Fisip UNBARA Volume 2, No. 4, p. 15-21, 21Desember
2009 ISSN: 1979–0899X

Tulsi B. Saral, 1979, “Intercultural Communication Theory and Research: An


Overview of Challengnes and Opportunities”, dalam Dan Nimmo (ed.),
Communication Yearbook 3 (New Brunswick, New Jersey: Transaction Book).

……….., 1979, “Intercultural Communication Theory and Research: An Overview


of Challengnes and Opportunities”, dalam Dan Nimmo (ed.), Communication
Yearbook 3 (New Brunswick, New Jersey: Transaction Book).

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 16

Anda mungkin juga menyukai