Anda di halaman 1dari 16

Gegar Budaya sebagai proses Komunikasi Antar Budaya

4 April 2008 in Komunikasi | Tags: culture shock, gegar budaya, komunikasi


antar budaya | by dossuwanda

9 Votes

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu
dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya.
Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan
menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi
tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari
seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan
(bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah
lain.

Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi
dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat
istiadat dan kebiasaan.
Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu
keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana
dalam buku komunikasi antar budaya mengatakan bahwa Gegar budaya
ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang dalam pergaulan sosial.

Berikut ini adalah cerita dari salah satu keterkejutan budaya atau gegar budaya
yang dialami saat berada di tempat tugas yang jauh dari daerah asal.

Cerita pertama :
Dua hari setelah di lantik dan menerima SK, saya pergi ke tempat tugas sesuai
dengan SK penempatan yaitu di SMP yang ada di daerah Rangkasbitung. Setelah
bertanya-tanya akhirnya sampai juga di tempat yang dituju.

Setelah beberapa lama mengajar di tempat yang baru dengan lingkungan dan
dialek bahasa yang sedikit berbeda dengan daerah asal saya yaitu dari Bandung.
Pada prose belajar mengajar saya pernah memarahi seorang murid yang selalu
nakal saat belajar di kelas walau sudah beberapa kali diperingatkan tetapi masih
juga membandel. Akhirnya saya panggil murid tersebut ke ruang guru lalu saya
tanya dengan menggunakan bahasa Sunda :
Heh ari maneh kunaon di kelas baong-baong teuing, itu pertanyaan yang saya
lontarkan ke murid saya , tetapi saya kaget mendengar jawaban anak yang
menurut saya (kebiasan di Bandung) itu adalah kata-kata melawan guru.
Jawabnya seperti ini : Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh.
Tadinya saya mau marah karena merasa dilawan. Tapi seorang rekan guru yang
kebetulan ada di sana manggil saya dan bilang, Pak, Kalao marahin anak jangan
bilang baong, baong disini berbeda dengan baong di Bandung, itu katanya, lalu
saya tanya memang apa artinya baong di Rangkas. Dia bilang baong di Rangkas
katanya tidak melihat. Saya Cuma bisa bilang ohh! begitu, pantas aja anak
menjawab Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh artinya kalo tidak
melihat dia tidak akan sekolah.

Cerita kedua :
Hari itu saya pergi ke mesjid dekat rumah kontrakan untuk sholat jumat, karena
agak terlambat akhirnya saya kebagian di teras dekat bedug. Setelah sholat sunat
saya bersalaman dan duduk, tetapi tidak lama kemudian saya melihat orang tua
yang berkata sambil agak mebentak ke anak-anak yang kebetulan saat itu banyak
anak-anak yang duduk dekat tiang bedug yang ngobrol sambil beracanda.

Ini perkataan orang tua ke anak-anak yang sedang ngobrol:


Hey dak ulang deukeut teuing tihang, mantog geura, itu katanya.
Saya mendengar dan sedikit agak bingung juga karena saya pikir kenapa Anak
yang mau sembahyang disuruh mantog (dalam bahasa sunda di Bandung
mantog adalah bahasa kasar yang artinya pulang atau pergi).

Besoknya saya menceritakan kejadian di mesjid mengenai anak yang di bilang


mantog ke teman kerja saya yang sudah lama bekerja.
Setelah saya cerita ternyata teman saya malah tertawa,.
Saya bingung ko cerita begitu malah ditertawakan, saya desak untuk
menjawabnya. Dan akhirnya selesai dia ketawa lalu menjelaskan maksud dari kata
mantog. Dan akhirnya saya juga ikut tersenyum karena sikap saya tentang kata
mantog, ternyata mantog di Bandung bukan berarti mantog di Rangkas, mantog di
Rangkas artinya terbentur (ti dagor) jadi yang dimaksud di atas artinya Jangan
dekat kayu penyangga bedug nanti terbentur kayu.

Itulah sebagian kecil dari cerita pengalaman yang dialami yang berhubungan
dengan keterkejutan /gegar budaya, dan mungkin andapun pernah mengalami
walau dalam kontek yang berbeda.

April 23, 2009} Culture Shock


Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali
di luat negeri, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa
disekelilingnya banyak orang asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa
terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah
berubah.

Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang


cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang
mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat
diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika
seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu
lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.

Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru
mengalami kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan:
lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang
tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.
Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai
masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan
sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan,
perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang
rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami
gegar/ kejutan budaya/ culture shock.

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan


dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba
berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan
oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambing-
lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang
harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita
memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan,
dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat,
ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang
perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing,
semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari
air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan.
Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan
ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung
halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari
perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan
yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip
dengan cara negatif. Misalnya, Orang-orang Amerika Latin yang malas Orang
Indonesia yang anarkis, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan beberapa orang
Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia, mereka
sama-sama mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya
bisa menerima makanan dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz,
Pizza Huts, dll, atau restorant Jepang. Orang Belanda tersebut langsung
melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang higenis.

Sojourneys dan Settlers

Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang


yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti
yang dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak
dengan budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada
daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan
sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya
bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai pelajar asing dalam beberapa tahun.

Definisi Culture Shock


Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis
bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan
yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang
familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang
mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi
perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu
merespon.

Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya,
jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami
seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana
nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak
lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi
yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-
nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan
baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru
dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.
Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia
dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar
kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk
besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang
kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut
mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan
bathtub dan shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat
beasiswa study di Paris, merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra
para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa
dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih
tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia.
Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah
independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak
dianggap suatu perbuatan memalukan.
Reaksi pada culture shock

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu


lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang
mungkin terjasi, antara lain:

1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.


2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan


perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini
dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari
kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah
baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini
adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan
dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap
permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan
perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa
dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi
elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi,
keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya
uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan
bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu
beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan
tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang


mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya
adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut
kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak
berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya,
marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang
sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung
halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada


beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula
yang berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana
juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan
barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang
disebut tahap bulan madu berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan
dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat
dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua
dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai
dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi
yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya
kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak
menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian
bergerombol dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi,
adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke
kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi
menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu
atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, ini
masalahku dan aku harus menyelesaikannya. Pada tahap keempat, penyesuaian
diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai
cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa
cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam
pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah
memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang
ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa
dan dirindukan.

<! /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-


style-parent:"; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:right; mso-
pagination:widow-orphan; direction:rtl; unicode-bidi:embed; font-size:12.0pt;
font-family:Times New Roman; mso-fareast-font-family:Times New
Roman;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;}
div.Section1 {page:Section1;} >

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:Table Normal;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:Times New Roman;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar Edisi Revisi. 2008.

Indonesia : Rosda.

Mulyana, Deddy. Komunikasi AntarBudaya.Paduan Berkomunikasi dengan


Orang-Orang Berbeda Budaya.

Samovar
dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa -
b a h a s a ya n g d i p a k a i . P a n d a n g a n M a c k e y didukung oleh Weinreich
(1970).Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan
batasan tersebut adalah bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam
bahasa kedua hanya sebatas mengerti dan dapat memahami tuturan bahasa
keduatetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang
melibatkan dirinya, ia tidak dapatm e m a k a i n y a s e c a r a b e r t a n t i - g a n t i .
S i t u a s i ya n g d e m i k a n t e n t u d i l u a r b a t a s a n k e d w i b a h a s a a n
y a n g k e t a t sebagaimana diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich.
Padahal sosiolinguistik berkepentingandalam hal tersebut.Macnamara (1967)
mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya
kedwibahasaan itu mengacukepada pemilikan kemampuan sekurang-
kurangnya bahasa pertama dan bahasa kedua, meskipun kemampuandalam
bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh
Haugen (1972) mengenai dua bahasa. Ini berarti bahwa seorang
dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif
produktif sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia
memiliki kemampuan reseptif dalam bahasakedua.Haugen (1972)
merumuskan kedwibahasaan dengan rum usan yang lebih longgar, yaitu
tahu dua bahasa.Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua
bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan
seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan
sebagaimenguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau
bahasa yang sama.Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasaan
dari para ahli di atas, pengertian Haugen dijadikankerangka konsep dalam
penelitian ini karena gambaran kedwibahasaan a nggota masyarakat
memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang
tampak di dalam pemakaiannya.Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam
mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknyadiperhatikan
kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama
kali oleh Ferguson(1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di
Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Disetiap negara itu terdapat dua
ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah
Katharevusa
dan
Dhimtiki
diYunani,
Al-fusha
dan
Ad-dirij
di negara-negara Arab,
Schriftsprache
dan
Schweizerdeutsch
d i S w i s , s e r t a bahasa Prancis dan kreol di Haiti. Ragam yang disebut
pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi,
sedangkan yang disebut kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai
dalam situasisehari-hari tak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi
resmi (seperti perkuliahan, sidang parlemen,dan khotbah di tempat-tempat ibadah)
dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasayang
bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah
sejak lama mengenal ragam tulisd a n m e n i k m a t i g e n g s i ya n g t i n g g i
itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di
k a l a n g a n p a r a pemakainya. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan
harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiaporang mempunyai kesempatan
untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam
situasitidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam
ini tidak mengenal ragam tulis dantidak menjadi sasaran pembakuan bahasa.
Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya.Oleh
karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah;
masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa ini di
sekolah. Oleh para pemakainya ragam ini dianggap
berkedudukanrendah dan tidak bergengsi. Penguasaan atas ragam -
ragam itu dapat dipakai sebagai penentu terpelajar atautidaknya
seseorang. Oleh karena itu, orang yang hanya menguasai ragam rendah
saja sering merasa malukarena hal itu menunjukkan tingkat pendidikannya
yang rendah.Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai
berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation in which, in addition to the
primary dialects of the language (which may include a satandard
or regional standars), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and
respected body of written literature, either of an earlier period or in
another speech community, which is learned largely by formal
education and is used for most written and formal spoken purposes but
is not used in any sector of the community for the ordinary
conversation.
(Diglosiaadalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di
samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa7

(yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal


suatu ragam yang ditinggikan, yangsangat berbeda, yang terkodifikasikan
secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktuyang
lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari
melalui pendidikan formal dansebagian besar dipakai untuk keperluan formal
lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalammasyarakat itu
untuk percakapan sehari-hari).Pengertian tentang diglosia kemudian
dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia tidak
hanyadikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi
juga dikenakan pada bahasa yangsama sekali tidak serumpun. Yang menjadi
tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasay a n g
bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat
b a h w a d i g l o s i a t i d a k h a n ya t e r d a p a t p a d a masyarakat yang mengenal
satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga
ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dai dua bahasa. Di
samping perbedaan, ada juga persamaan antarakeduanya, yaitu bahwa
ragam-ragam bahasa itu mengisi alokasi fun gsi masing-masing dan
bahwa ragam Thanya dipakai di dalam situasi resmi dan ragam R di dalam
situasi yang tidak atau kurang resmi. Oleh Fishman(1972: 92) diglosia
diartikan sebagai berikut.
diglossia exits not only in multilingual societies which officially
recognize several language, and not only in societies which employ separate
dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever
kind
( diglosia tidak hanya terdapat di dalammasyakat aneka bahasa yang
secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya terdapat
terdapat didalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari -hari dan
klasik, tetapi terdapat juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai
logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apa pun yang berbeda secara
fungsional.Implikasi teoretis dari definisi di atas, menurut batasan Fishman dapat
dibedakan adanya (a) masyarakat bahasayang bilingual sekaligus diglosik,
(b) masyarakat bahasa yang bilingual tetapi tidak diglosik, (c)
masyarakatyang tidak bilingual dan sekaligus tidak diglosik, dan (d) masyarakat
yang tidak bilingual tetapi diglosik.Di samping itu, ada pendapat lain dari Fasold
(1984) yang mencatat ada empat masalah yang perlu diperjelas,masing-masing
yang berkaitan dengan masalah bahasa baku dan d ialek, masalah
pembagian yang serba dua,m a s a l a h b u n g a n g e n e t i s b a h a s a ,
dan masalah fungsi. Masalah pertama dipersoalkan
k a r e n a a d a n y a kemungkinan adanya masyarakat bahasa yang
menganggap ragam T justru bukan sebagai ragam T. Kalaudemikian
halnya, maka situasi semacam ini bukanlah situasi diglosia tetapi
sekedar siatuasi yang mengenaladanya bahasa baku dan dialek. Oleh karena
itu, Fasold memberikan pengertian masyarakat diglosik sebagais a t u a n
m a s ya r a k a t ya n g m e m i l i k i r a g a m T d a n r a g a m R b e r s a m a - s a m a .
A d a k e m u n g k i n a n j u g a b a h w a masyarakat diglosik itu memiliki ragam T
yang sama tetapi ragam R yang berbeda-beda dan ini berarti bahwam a s ya r a k a t
i t u m e r u p a k a n m a s y a r a k a t d i g l o s i k ya n g b e r b e d a - b e d a p u l a .
O l e h F a s o l d k e a d a a n s e p e r t i i t u digambarkan sebagai
berikut:TinggiR e n d a h
1 R e n d a h
2 R e n d a h
3 R e n d a h
4 Masalah yang kedua adalah masalah yang menyangkut pertanyaan
apakah gejala diglosia itu hanya terwujud didalam pembagian ragam bahasa
yang menjadi pembagian serba dua, yakni ragam tinggi dan ragam
rendahsemata-mata. Berbagai laporan hasil penelitian di beberapa tempat yang
berbeda, Fasold mengambil simpulan bahwa ada beberapa jenis diglosia,
yang masing-masing disebutnya sebagai
double overlapping diglossia
(diglosia bertindih ganda), dan
linear polyglossia
(poliglosia linear). Diglosia bertindih ganda adalah situasi kebahasaan
yang mengenal ragam T dan R juga, tetapi salah satu dari ragam R itu merupakan
ragam tinggi (T)terhadap ragam r lain. Situasi kebahasaan seperti itu
terdapat di Tanganyika. Mikilifi (1978) menyebutnyadengan istilah
polgylgossia
).Diglosia ganda adalah situasi kebahasaan yang mengenal ragam T dan
ragam R dan di dalam masing-masingragam terdapat ragam t dan ragam r
juga. Keadaan seperti ini didapatkan di Khalapur yang terletak di sebelahutara
New Dehli, India (Gumperz (1964).Dari pengamatan terhadap jenis- jenis diglosia
di berbagai negara itu dapat disimpulkan bahwa istilah diglosiatidak harus
diartikan sebagai situasi kebahasaan yang hanya melibatkan dua ragam saja.8

Demikian juga halnya dengan masalah yang ketiga. Antara ragam T


dan ragam R tidak harus ada hubungangenetis. Fasold malah mencatat
adanya gejala yang mirip seperti diglosia yang melibatkan hubungan
antarasubdialek dan antara gaya seperti yang terjadi di dalam bahasa
Rusia.Berdasarkan pertimbangan itu semua, Fasold mengusulkan nama baru
menjadi
broad diglossia
(diglosia luas)yang diartikan sebagai
the reservation of higly valued segments of communitys linguistic repertoire
(whichare not the first to be learned, but are learned later and more consciously,
usually through formal education) for situations perceived as more formal
and guarded, and the reservation of less highly valued segments (which
are learned first with little or no conscious effort), of any degree of linguistic relatedneess to the
higher valued segments, from stylistic differences to separate languages, for
situations perceived as more informal and intimate
( pelestarian segmen khazanah bahasa yang dinilai sangat tinggi (yang tidak
dipelajari pertamakali, tetapi dipelajari lebih kemudian dan dipelajari
secara lebih sadar, biasanya melalui pendidikan formal) dalam suatu
masyarakat, untuk situasi-situasi yang dianggap sebagai lebih formal dan terjaga,
dan pelestariansegmen yang dinilai kurang tinggi (yang dipelajar i
pertama kali dengan sedikit usaha atau tanpa usaha yangdisadari),
berapa derajat pun hubungan kebahasaannya dengan segmen yang
dinilai lebih tinggi, dari (hanya sekedar) perbedaan stilistik sampai perbedaan
bahasa, untuk situasi yang dianggap sebagai lebih resmi.Sepanjang
pengetahuan penulis ini, situasi diglosia di Indonesia selalu dilihat
sebagai gejala diglosia biner seperti yang dikemukakan oleh Ferguson
(1959), Fishman (1971), Suwito (1987), dan Moeliono
(1988).Berdasarkan hasil pengamatan di dalam masyarakat Banyumas, gejala
diglosik di Banyumas bukanlah sekedar gejala diglosik biner melainkan lebih
mirip dengan diglosia ganda seperti dikemukakan oleh Fasold (1985).

PENGERTIAN BUDAYA Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana


disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunyaAntropologi Kontemporer
yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang
dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan
pendapat di atas Claud Levi-Straussmemandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama,yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik.Adapun Gooddenough sebagaimana
disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasamengatakan
bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan
dipercayai seseorangsehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai
yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu
yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan
karenaketurunan. Karena itu budaya merupakan cara yang harus dimiliki
seseorang untuk melaksanakan kegiatansehari-hari dalam hidupnya.Dalam konsep
ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan
kebudayaanlebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangkakehidupan bermasyarakat. Karenanya
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat olehkebudayaan
yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme
kontrol bagitingkah laku manusia.Adapun Menurut Canadian Commision for
UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakankebudayaan adalah
sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi
asumsi,kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan
anggota kelompok untuk berhubungandengan yang lain serta mengadakan
komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.Definisi-definisi di atas dan
pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan
menurutAbdul Chaer yaitu:1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan
pada unsur-unsur kebudayaan.2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan
bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.3. Definisi normatif yakni
definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan
tingkahlaku.4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam menyesuaikan dirikepada lingkungan, pemecahan persoalan
dan belajar hidup.5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat
kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.6. Definisi genetik yang
menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.Dengan
demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tatakelakuan tetapi suatu sistem
perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan
segikehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.Dalam
konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya,
menjadikan perbedaanantar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam
mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakattersebut.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada
sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya
nasional
.HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang
mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang
mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua halyang berbeda,
namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat
dipisahkan.12

Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga


segala hal yang ada dalamkebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangatdipengaruhi
kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.Menurut
Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yangsubordinatif, di mana bahasa
berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada
yangmengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang
koordinatif, yakni hubungan yangsederajat, yang kedudukannya sama
tinggi.Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan
dua sistem yang melekat padamanusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang
mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, makakebahasaan adalah suatu
sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.Dengan
demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah
fenomena sangat eratsekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai
sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistemkebudayaan.
FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYABahasa bukan saja
merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para
ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu
diiringi oleh interpretasi yang didalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang
wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selaluditentukan oleh berbagai
konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam
kehidupanmanusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah
lepas dari konteks budaya dankeberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.Dalam
analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubunganyang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya,
maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam
bahasaIndonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa
dimakan sebagai lauk; dalam bahasaInggris sepadan dengan fish; dalam bahasa
banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukanhanya berarti ikan
atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman
pemakannasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut
iwak.Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk
budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Dalam budaya masyarakat inggris yangtidak mengenal nasi sebagai
makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah,
dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain
berarti gabah dan pada kontekslain lagi berarti beras atau padi. Lalu karena makan
nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasaInggris dan juga bahasa
lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang
menyatakanlauk atau iwak (bahasa Jawa).Contoh lain dalam budaya Inggris
pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan
jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia membedakan
berdasarkan usia: yanglebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik.
Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga
berarti adik.
http://anaksastra.blogspot.com/2009/05/hubungan-bahasa-dengan-budaya.html
Masyarakat BahasaBahasa Sebagai Komunikasi Sosial
13

Anda mungkin juga menyukai