9 Votes
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu
dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya.
Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan
menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi
tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari
seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan
(bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah
lain.
Menurut Stewart (1974) Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi
dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat
istiadat dan kebiasaan.
Dalam menjalani proses komunikasi antar budaya pasti akan mengalami suatu
keterkejutan budaya yang berbeda dengan budaya kita. Menurut Dedi Mulyana
dalam buku komunikasi antar budaya mengatakan bahwa Gegar budaya
ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan
lambang-lambang dalam pergaulan sosial.
Berikut ini adalah cerita dari salah satu keterkejutan budaya atau gegar budaya
yang dialami saat berada di tempat tugas yang jauh dari daerah asal.
Cerita pertama :
Dua hari setelah di lantik dan menerima SK, saya pergi ke tempat tugas sesuai
dengan SK penempatan yaitu di SMP yang ada di daerah Rangkasbitung. Setelah
bertanya-tanya akhirnya sampai juga di tempat yang dituju.
Setelah beberapa lama mengajar di tempat yang baru dengan lingkungan dan
dialek bahasa yang sedikit berbeda dengan daerah asal saya yaitu dari Bandung.
Pada prose belajar mengajar saya pernah memarahi seorang murid yang selalu
nakal saat belajar di kelas walau sudah beberapa kali diperingatkan tetapi masih
juga membandel. Akhirnya saya panggil murid tersebut ke ruang guru lalu saya
tanya dengan menggunakan bahasa Sunda :
Heh ari maneh kunaon di kelas baong-baong teuing, itu pertanyaan yang saya
lontarkan ke murid saya , tetapi saya kaget mendengar jawaban anak yang
menurut saya (kebiasan di Bandung) itu adalah kata-kata melawan guru.
Jawabnya seperti ini : Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh.
Tadinya saya mau marah karena merasa dilawan. Tapi seorang rekan guru yang
kebetulan ada di sana manggil saya dan bilang, Pak, Kalao marahin anak jangan
bilang baong, baong disini berbeda dengan baong di Bandung, itu katanya, lalu
saya tanya memang apa artinya baong di Rangkas. Dia bilang baong di Rangkas
katanya tidak melihat. Saya Cuma bisa bilang ohh! begitu, pantas aja anak
menjawab Pak, ari baong mah abdi moal bisa sakola atuh artinya kalo tidak
melihat dia tidak akan sekolah.
Cerita kedua :
Hari itu saya pergi ke mesjid dekat rumah kontrakan untuk sholat jumat, karena
agak terlambat akhirnya saya kebagian di teras dekat bedug. Setelah sholat sunat
saya bersalaman dan duduk, tetapi tidak lama kemudian saya melihat orang tua
yang berkata sambil agak mebentak ke anak-anak yang kebetulan saat itu banyak
anak-anak yang duduk dekat tiang bedug yang ngobrol sambil beracanda.
Itulah sebagian kecil dari cerita pengalaman yang dialami yang berhubungan
dengan keterkejutan /gegar budaya, dan mungkin andapun pernah mengalami
walau dalam kontek yang berbeda.
Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru
mengalami kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan:
lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang
tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.
Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai
masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan
sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan,
perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang
rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.
Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami
gegar/ kejutan budaya/ culture shock.
Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya,
jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami
seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana
nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak
lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi
yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-
nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan
baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru
dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.
Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia
dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar
kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk
besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang
kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut
mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan
bathtub dan shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat
beasiswa study di Paris, merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra
para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa
dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih
tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia.
Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah
independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak
dianggap suatu perbuatan memalukan.
Reaksi pada culture shock
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari
kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah
baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini
adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan
dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap
permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya
barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan
perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa
dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi
elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi,
keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya
uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan
bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu
beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan
tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:Table Normal;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:Times New Roman;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
Indonesia : Rosda.
Samovar
dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa -
b a h a s a ya n g d i p a k a i . P a n d a n g a n M a c k e y didukung oleh Weinreich
(1970).Permasalahan kebahasaan yang dapat muncul berkaitan dengan
batasan tersebut adalah bagaimana kalau kemampuan seseorang dalam
bahasa kedua hanya sebatas mengerti dan dapat memahami tuturan bahasa
keduatetapi tidak mampu bertutur sehingga dalam praktik pemakaian bahasa yang
melibatkan dirinya, ia tidak dapatm e m a k a i n y a s e c a r a b e r t a n t i - g a n t i .
S i t u a s i ya n g d e m i k a n t e n t u d i l u a r b a t a s a n k e d w i b a h a s a a n
y a n g k e t a t sebagaimana diungkapkan oleh Bloomfield, Mackey, dan Weinreich.
Padahal sosiolinguistik berkepentingandalam hal tersebut.Macnamara (1967)
mengemukakan rumusan yang lebih longgar. Menurutnya
kedwibahasaan itu mengacukepada pemilikan kemampuan sekurang-
kurangnya bahasa pertama dan bahasa kedua, meskipun kemampuandalam
bahasa kedua hanya sampai batas minimal. Rumusan ini diikuti oleh
Haugen (1972) mengenai dua bahasa. Ini berarti bahwa seorang
dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif
produktif sebagaimana dituntut oleh Bloomfield, melainkan cukup apabila ia
memiliki kemampuan reseptif dalam bahasakedua.Haugen (1972)
merumuskan kedwibahasaan dengan rum usan yang lebih longgar, yaitu
tahu dua bahasa.Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua
bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan
seseorang disebut dwibahasawan. Mengerti dua bahasa dirumuskan
sebagaimenguasai dua sistem kode yang berbeda dari bahasa yang berbeda atau
bahasa yang sama.Dengan membading-bandingkan pengertian kedwibahasaan
dari para ahli di atas, pengertian Haugen dijadikankerangka konsep dalam
penelitian ini karena gambaran kedwibahasaan a nggota masyarakat
memperlihatkan berbagai tingkat penguasaan bahasa atau ragam bahasa yang
tampak di dalam pemakaiannya.Fishman (1972: 92) menganjurkan bahwa dalam
mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknyadiperhatikan
kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Istilah diglosia diperkenalkan pertama
kali oleh Ferguson(1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di
Yunani, negara-negara Arab, Swis, dan Haiti. Disetiap negara itu terdapat dua
ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah
Katharevusa
dan
Dhimtiki
diYunani,
Al-fusha
dan
Ad-dirij
di negara-negara Arab,
Schriftsprache
dan
Schweizerdeutsch
d i S w i s , s e r t a bahasa Prancis dan kreol di Haiti. Ragam yang disebut
pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi,
sedangkan yang disebut kedua adalah ragam bahasa Rendah (R) yang dipakai
dalam situasisehari-hari tak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi
resmi (seperti perkuliahan, sidang parlemen,dan khotbah di tempat-tempat ibadah)
dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasayang
bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah
sejak lama mengenal ragam tulisd a n m e n i k m a t i g e n g s i ya n g t i n g g i
itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di
k a l a n g a n p a r a pemakainya. Ragam ini mengalami proses pembakuan dan
harus dipelajari di sekolah, sedangkan tidak setiaporang mempunyai kesempatan
untuk mempelajarinya. Sebaliknya, ragam bahasa yang dipakai di dalam
situasitidak resmi adalah ragam bahasa yang dipakai sehari-hari di rumah. Ragam
ini tidak mengenal ragam tulis dantidak menjadi sasaran pembakuan bahasa.
Penguasaan atas ragam ini merupakan kebanggaan bagi pemakainya.Oleh
karena itu, ragam R tidak tercantum sebagai mata pelajaran di sekolah;
masyarakat pemakainya tidak perlu mempelajari ragam bahasa ini di
sekolah. Oleh para pemakainya ragam ini dianggap
berkedudukanrendah dan tidak bergengsi. Penguasaan atas ragam -
ragam itu dapat dipakai sebagai penentu terpelajar atautidaknya
seseorang. Oleh karena itu, orang yang hanya menguasai ragam rendah
saja sering merasa malukarena hal itu menunjukkan tingkat pendidikannya
yang rendah.Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai
berikut:
Diglosia is a relatively stable language situation in which, in addition to the
primary dialects of the language (which may include a satandard
or regional standars), there is a very divergent, highly codified (often
grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and
respected body of written literature, either of an earlier period or in
another speech community, which is learned largely by formal
education and is used for most written and formal spoken purposes but
is not used in any sector of the community for the ordinary
conversation.
(Diglosiaadalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di
samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa7