Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pancasila Sebagai Dasar Negara


Sebelum kita beranjak mengenali pancasila dalam lingkungan kampus. Maka terpikir
sangatlah perlu bagi kita semua untuk mengetahui posisi, fungsi atau peran pancasila sebagai
dasar negara, sebelum kita akan melanjutkan pemahaman terhadap pancasila dan
aktualisasinya dalam kampus. Karena dengan mengetahui lebih jauh dan lebih dalam
pancasila sebagai dasar Negara kita nanti akan lebih paham untuk mengaktualisasikan dalam
kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam kampus.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang
menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan
dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966
jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang
menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber
dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara
(philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu
(le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa
Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman
dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan
Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi
merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam
seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
3
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak
mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat
Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik
… Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga
tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala
golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara
Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk
kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai
hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang
didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan
mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan
yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia,
mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin,
memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh)
sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan
martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan
martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia
qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan
keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara
hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan
menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar
satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena
itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak
dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari
Pancasila akan menyebabkan
4
Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat
dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain.
Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat
hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai
basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai
oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap
orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang
perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari
sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
sesungguhnya berisi:

1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-
Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang
adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, yang ber-Ketuha nan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.

5
2.2 Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi berasal dari kata aktual, yang berarti betul-betul ada, terjadi, atau sesungguhnya,
hakikatnya. Dimana pancasila memang sudah jelas berdiri di Negara Indonesia sebagai dasar
Negara dan ideologi Negara.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar dapat
tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai dari aparatur dan pimpinan
nasional sampai kepada rakyat biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah bersifat universal,
tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan dalam setiap aspek dalam
penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma-norma, baik norma hukum, kenegaraan,
maupun norma-norma moral yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga
Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
A. Aktualisasi objektif
Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah aktualisasi pancasila dalam berbagai
bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara antara lain, legislatif,
eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya.
Seperti politik, ekonomi, hokum terutama dalam penjabaran kedalam undang-undang, garis-
garis besar haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan lainnya.
B. Aktualisasi Subjektif 
Aktualisasi Pancasila yang subyektif adalah aktualisasi pancasila pada setiap individu
terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup Negara dan masyarakat.
Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak terkecuali baik warga Negara biasa, aparat
pentelenggara Negara, penguasa Negara, terutama kalangan elit politik dalam kegiatan
politik, maka dia perlu mawas diri agar memiliki moral ketuhanan dan kemanusiaan
sebagaimana terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang memungkinkan segenap lapisan masyarakat
yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat dalam perilaku.
Perpaduan ciri tersebut di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri yang
merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus sebagai pedoman dan
harapan masyarakat.
6
2.3 Tridarma Perguruan Tinggi
Pembangunan di Bidang Pendidikan yang dilaksanakan atas falsafah Negara Pancasila
diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila,
membentuk manusia-manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi disertai budi
pekerti yang luhur, mencintai bangsa dan negara dan mencintai sesama manusia.
Peranan perguruan tinggi dalam usaha pembangunan mempunyai tugas pokok
menyelenggarakan pendidikan dan pegajaran di atas perguruan tingkat menengah
berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia dengan cara ilmiah  yang meliputi: pendidikan dan
pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang disebut Tri Darma
Perguruan Tinggi.
Peningkatan peranan Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam usaha pembangunan selain diarahkan untuk
menjadikan Perguruan Tinggi sebagai pusat pemeliharaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni, juga mendidik mahasiswa untuk berjiwa penuh
pengabdian serta memiliki tanggung jawab yang besar pada masa depan bangsa dan Negara,
serta menggiatkan mahasiswa, sehingga bermanfaat bagi usaha pembangunan nasional dan
pengembangan daerah.
Perlu diketahui, bahwa pendidikan tinggi sebagai institusi dalam masarakat bukanlah
merupakan menara gading yang jauh dari kepentingan masyarakat, melainkan senantiasa
mengembangkan dan mengabdi kepada masarakat. Maka menurut PP. No. 60 Th. 1999,
bahwa Perguruan Tinggi mempunyai 3 tugas pokok, yaitu:
1. Pendidikan tinggi
2. Penelitian
3. Pengabdian terhadap masyarakat
Jadi, di Perguruan Tinggi atau yang biasa disebut dengan kampus, tidak hanya
mengajar akan tetapi mendidik. Dimana dengan didikan tersebut mahasiswa akan lebih
didampingi baik secara intelektual dan emosional. Contoh umumnya adalah bagaimana cara
mahasiswa bergaul dalam sehari-hari mereka dengan berpedoman pada pancasila.

7
2.4 Budaya Akademik
Budaya merupakan nilai yang dilahirkan oleh warga masyarakat yang mendukungnya.
Budaya akademik merupakan nilai yang dilahirkan oleh masyarakat akademik yang
bersangkutan.
         Pancasila merupakan nilai luhur bangsa Indonesia.
         Masyarakat akademik di manapun berada, hendaklah perkembangannya dijiwai oleh nilai
budaya yang berkembang di lingkungan akademik yang bersangkutan. Suatu nilai budaya
yang mendorong tumbuh dan berkembangnya sikap kerja sama, santun, mencintai kemajuan
ilmu dan teknologi, serta mendorong berkembangnya sikap mencintai seni.
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki cirri khas
tersendiri disamping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi
adalah insane-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu
masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan
esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi. Terdapat sejumlah cirri masyarakat ilmiah
sebagai budaya akademik. Yaitu, 1. kritis 2. kreatif 3. objektif 4. analitis 5. konstruktif 6.
dinamis 7. dialogis 8. menerima kritik 9. menghargai prestasi ilmiah/akademik 10. bebas
dari prasangka 11. menghargai waktu 12. memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah 13.
berorientasi ke masadepan 14. kesejawatan/kemitraan (PPMB 1990 II-2). Masyarakat ilmiah
inilah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik.

2.5 Kampus Sebagai Moral Force Pengembangan Hukum Dan HAM


Kampus merupakan wadah kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,
sekaligus merupakan tempat persemaian dan perkembangan nilai-nilai luhur. Kampus
merupakan wadah perkembangan nilai-nilai moral, di mana seluruh warganya diharapkan
menjunjung tinggi sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh pancasila.
Kampus merupakan wadah membentuk sikap yang dapat memberikan kekuatan moral
yang mendukung lahir dan berkembangnya sikap mencintai kebenaran dan keadilan dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.

8
Masarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan
budaya akademik. Masarakat kampus wajib senantiasa bertanggung
jawab secara moral atas kebenaran obyektif, bertanggung jawab terhadap masarakat bangsa
dan negara, serta mengabdi pada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu sikap masarakat
kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga benar-
benar luhur dan mulia.
A. Kampus Sebagai Sumber Pengembangan Hukum
Dalam rangka bangsa Indonesia melaksanakan reformasi dewasa ini suatu agenda
yang sangat mendesak untuk mewujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan
peraturan perundang- undangan. Negara indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum,
oleh karena itu dalam rangka melakukan penataan Negara untuk mewujudkan masyarakat
yang demokratis maka harus menegakkan supremasi hukum. Agenda reformasi yang pokok
untuk segera direalisasikan adalah untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum.
Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu tatanan hukum yang demokratis, maka harus
dilakukan pengembangan hukum positif.
Sesuai dengan tatib hukum Indonesia dalam rangka pengembangan hukum harus
sesuai dengan tatib hukum Indonesia. Berdasarkan tatib hukum Indonesia maka dalam
pengembangan hukum positif Indonesia, maka falsafah negara merupakan sumber materi dan
sumber nilai bagi pengembangan hukum. Hal ini berdasarkan Tap No. XX/MPRS/1966, dan
juga Tap No. III/MPR/2000. namun perlu disadari, bahwa yang dimaksud dengan sumber
hukum dasar nasional, adalah sumber materi dan nilai bagi penyusunan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Dalam penyusunan hukum positif di Indonesia nilai pancasila sebagai
sumber materi, konsekuensinya hukum di Indonesia harus bersumber pada nilai-nilai hukum
Tuhan (sila I), nilai yamh terkandung pada harkat, martabat dan kemanusiaan seperti jaminan
hak dasar (hak asasi) manusia (sila II), nilai nasionalisme Indonesia (sila III), nilai demokrasi
yang bertumpu pada rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara (sila IV), dan nilai keadilan
dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan (sila V).
Selain itu, tidak kalah pentingnya dalam penyusunan dan pengembangan hukum
aspirasi dan realitas kehidupan masyarakat serta rakyat adalah merupakan sumber materi
dalam penyusunan dan pengembangan hukum.
B. Kampus Sebagai Kekuatan Moral Pembangunan Hak Asasi Manusia
Dalam penegakan hak asasi manusia tersebur, mahasiswa sebagai kekuatan
9
moral harus bersikap obyektif, dan benar-benar berdasarkan kepentingan moral demi harkat
dan martabat manusia, bukan karena kepentingan politik terutama kepentingan kekuasaan
politik dan konspirasi kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia.
Perlu kita sadari bahwa dalam penegakan hak asasi tersebut, pelanggaran hak asasi dapat
dilakukan oleh seseorang, kelompok orang termasuk aparat negara, penguasa negara baik
disengaja ataupun tidak disengaja (UU. No. 39 Tahun 1999).
Dasawarsa ini, kita melihat dalam menegakkan hak asasi seringkali kurang adi.
Misalnya kasus pelanggaran di Timur-timur, banyak kekuatan yang mendesak untuk
mengusut dan mernyeret bangsa sendiri ke Mahkamah Internasional. Namun, ratusan ribu
rakyat kita. Seperti korban kerusuhan Sambas, Sampit, Poso dan lainnya tidak ada kelompok
yang mau memperjuangkannya. Padahal hak asasi mereka sudah diinjak-injak, jelaslah
kejadian serta menderitanya mereka sama. Akan tetapi tetap tidak ada yang mau menolong.
Jadi, marilah kita sebagai mahasiswa pencetus terjadinya reformasi, mari kita tujukan
pada dunia bahwa kita mampu dalam merealisasikan semua cita-cita dan tujuan dasar dari
reformasi. Akan tetapi disamping itu, perlu kita sadari juga bahwasanya kita merupakan
mahasiswa sebagai tonggak dari penjunjung tinggi hak asasi manusi masihlah belum
maksimal kinerjanya untuk hal yang disebutkan diatas. Maka, dari detik ini. Kita sebagai
generasi bangsa haruslah benar-benar menanamkan nilai-nilai pancasila dalam setiap prilaku
kita. Dimanapun, dan pada siapapun.

Anda mungkin juga menyukai