Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era


reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu
disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah
bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.

Sebagai dasar negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila


memang merupakan karunia terbesar dari Tuhan YME dan ternyata merupakan
light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai
pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu
dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk
kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan
sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila


itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat
dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari
guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik
dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila
berarti dia menentang toleransi.

Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat


mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain
yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk
memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri
dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh
Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan
ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.

1
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan
dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa
Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena
bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa
Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.

Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara


Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar
menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah
dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah
berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda
maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya
keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

Kesadaran untuk melindungi agama dan umat beragama di negara ini


terhitung masih lemah. Setidaknya indikasi itu dilihat dari belum adanya respon
dari penegak hukum yang memuaskan dalam kasus penistaan Ahok terhadap al-
Qur’an.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah pancasila dan perannya sebagai dasar negara?


2. Bagaimanakah contoh kasus yang berkaitan dengan pelanggaran pancasila
di Indonesia?
3. Apa analisis yangdapat diterapkan pada kasus jika dikaitkan dengan
pancasila?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah pancasila dan peranan sebagai dasar negara.


2. Untuk mengetahui contoh kasus berkaitan dengan pelanggaran pancasila
di Indonesia.
3. Untuk memahami pancasila dengan menganalisis kasus dengan pedoman
pancasila.

2
1.4 Manfaat

a. Bagi Penulis

Pembuatan makalah ini dapat menambah dan mengembangkan


pengetahuan penulis terkait dengan pancasila serta kasus pelanggarannya melalui
analisis kasus terkait.

b. Bagi Pembaca

Adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang


pancasila dan contoh kasus pelanggaran pancasila serta analisis kasus tersebut
dengan pedoman pancasila.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pancasila dan Peran Pancasila sebagai Dasar Negara

Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat


Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR
9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang
telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi
dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh
MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan
kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari
tertib hukum di Indonesia.

Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar
negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang
terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan
sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat
dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.

Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak


untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya
dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus
nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan
dan lapisan masyarakat Indonesia.

Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi


keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap
adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak
menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam
satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka
Tunggal Ika”.

4
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita
hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan
corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran
Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri dengan
golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan
golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala
perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”

Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian


bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa
negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh
perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan:
“Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat
dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan
beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia,
mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap
mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh
rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”

Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan


menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang
didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa
Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan
kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya.

Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan


ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun
1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki
hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa
hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari
pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu,

5
Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh,
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan
yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan
esensinya sebagai dasar negara.

Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan


yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat
diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959,
Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan
menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid
Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila
“Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap
orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah
sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya
hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar


negara sesungguhnya berisi:

Ketuhanan yang MahaEsa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab,


yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,


yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-


Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

6
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang


mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan

2.2. Peranan Pancasila Di Era Reformasi

2.2.1. Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan

Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi


kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa
setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-
sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik
dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus
berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya
tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

2.2.2. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang sosial politik

Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik


mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia
merdeka di implementasikan sbb :

a. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,


agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

7
b. Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan keputusan

c. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan


konsep mempertahankan kesatuan ;

d. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan


kemanusiaan yang adil dan beradab ;

e. Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan


toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.

2.3 Contoh Kasus Pelanggaran Pancasila

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama divonis hukuman 2 tahun


penjara atas kasus dugaan penodaan agama. Vonis tersebut dibacakan oleh hakim
dalam persidangan di Kementerian Pertanian, Ragunan, Selasa (9/5/2017).

Kisah ini bermula dari peristiwa pada 27 September 2016, ketika Ahok
berpidato saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,
yang lalu dianggap menghina agama. Sejumlah masyarakat melaporkan Ahok
terkait dugaan penistaan agama sejak 6 Oktober 2016.

Mereka menilai pernyataan Ahok di depan warga Kepulauan Seribu pada


27 September 2016 telah menodai agama.Semula Ahok hanya berbicara perihal
program nelayan yang telah dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Ahok
lalu berjanji kepada nelayan meski dia tidak lagi terpilih sebagai gubernur pada
pemilihan gubernur 2017 mendatang.

"Jadi jangan percaya-percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak
Ibu, gak bisa pilih saya. Ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51," ucap
Ahok.

Pernyataan Ahok pun menyulut kemarahan.Demo menuntut Ahok pun


digelar akbar pada 4 November 2016. Usai demo akbar tersebut, polisi
memutuskan gelar perkara tentang penistaan agama dilakukan secara terbuka,
namun terbatas. Peserta gelar perkara diperkirakan mencapai lebih dari 50 orang.
Mereka terdiri dari tim penyelidik, ahli yang dihadirkan pelapor maupun terlapor,

8
serta pimpinan gelar perkara dari Bareskrim Polri. Kompolnas dan Ombudsman
hanya bertindak sebagai pengawas.

Awalnya pidato Ahok itu tidak ada yang mempermasalahkan. Namun pada
6 Oktober 2016 barulah menjadi isu besar ketika Buni Yani mengunggah video
rekaman pidato itu di akun Facebooknya, berjudul 'Penistaan terhadap Agama?'
dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'. Ia menuliskan
'karena dibohongi Surat Al Maidah 51' dan bukan "karena dibohongi pakai Surat
Al Maidah 51', sebagaimana aslinya.

Ahok pun sudah meminta maaf pada 10 Oktober, kepada umat Islam,
terkait ucapannya soal surat Al Maidah ayat 51. Ahok pun berinisiatif mendatangi
Bareskrim Mabes Polri untuk memberikan klarifikasi terkait ucapannya di Pulau
Seribu itu.

Pada 14 Oktober lalu, tanpa jadwal pemeriksaan, Ahok datang ke kantor


Bareskrim terkait permasalahan hukum itu. Rabu 16 November 2016, kasus
hukum Ahok dimulai ketika dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus dugaan
penistaan agama. Hal ini disampaikan Kabareskrim Komjen Ari Dono kepada
wartawan, Rabu (16/11/2016).

Anggota penyelidik kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan


Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Ahok ternyata sempat berbeda pendapat. Selain
menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama, hari itu juga
Bareskrim langsung menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) kasus ini.

Selasa (22/11/2016), Ahok menjalani pemeriksaan sebagai tersangka


untuk pertama kalinya. Jumat (25/11/2016), rombongan penyidik Bareskrim Polri
yang diketuai oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Agus
Andrianto, menyerahkan berkas perkara kasus dugaan penistaan agama dengan
tersangka Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Ahok ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Berkas berkas Ahok adalah seberat 826 halaman. Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Umum (Jampidum), Noor Rachmad telah menunjuk 13 orang jaksa

9
yang ditugaskan untuk meneliti berkas perkara kasus dugaan penistaan agama
dengan tersangka Ahok. Kamis (1/12/2016), sejumlah penyidik Bareskrim Polri
menggiring masuk Ahok ke kantor Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM
Pidum) Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, Kamis (1/12/2016).

Selasa (13/12/2016) , sidang perdana Gubernur nonaktif Ahok atas kasus


dugaan penistaan agama akan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara,
Selasa (13/12/2016). Ketua Majelis Hakimnya H. Dwiarso Budi Santiarto, akan
pimpin sidang Ahok. Dwiarso akan didampingi oleh empat hakim anggota yaitu
Jupriyadi, Abdul Rosyad, Joseph V. Rahantoknam dan I Wayan Wirjana. Dwiarso
adalah juga Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Ahok meneteskan air mata saat membacakan nota keberatan atas dakwaan
penistaan agama Jaksa Penuntut di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah
Mada, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2016). Ahok membantah bermaksud
menistakan agama. Hal itu diutarakan saat membaca nota keberatan.

"Apa yang saya utarakan bukan untuk menafsirkan Surat Al-Maidah 51 apalagi
berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk menghina para Ulama," kata
Ahok.

Selasa (3/1/2017). Dedi Suhardadi, salah seorang tim advokat Gerakan


Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, menceritakan jalannya persidangan
kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang
digelar di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2017).

Menurutnya, Sekretaris Jenderal DPD FPI Jakarta Novel Chaidir Hasan


Bamukmin alias Habib Novel menjadi saksi pertama yang duduk memberikan
keterangan dalam persidangan.

Sidang pemeriksaan saksi ini tertutup bagi awak media. Tidak ada siaran
langsung televisi, berbeda dengan sidang sebelumnya. Selasa (31/1/2017). Ketua
Majelis Ulama Indonesia Maruf Amin menjadi saksi. Ia gatakan pihaknya
akhirnya mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan yang menyatakan

10
petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghina Al
Quran dan Ulama.

Berdasarkan keterangan yang disampaikan Maruf dalam sidang lanjutan


dakwaan dugaan penistaaan agama Basuki Tjahaja Purnama, keputusan tersebut
diperoleh berdasarkan rapat Empat Komisi dan Pengurus Harian.

"Menurut pendapat yang kita bahas kesimpulannya bahwa terdakwa itu


memposisikan Al Quran itu sebagai alat melakukan kebohongan maka itu
memposisikan Al Quran sangat rendah dan itu berarti penghinaan," kata Maruf
Amin saat itu.

Selasa (28/2/2017). Tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
menolak Rizieq Shihab sebagai ahli agama dalam persidangan dugaan penodaan
agama.

Salah satu alasan penolakan karena Rizieq berstatus residivis. Pengacara


Ahok, Humphrey Djemat, mengatakan, Rizieq sudah dua kali dijatuhkan hukum
pidana. Kamis (20/4/2017). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Ahok
terbukti bersalah menodai agama. Untuk itu jaksa menuntut Ahok hukuman
pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Selasa (25/4/2017). Ahok menegaskan dirinya bukanlah penoda agama


sebagaimana yang didakwakan Jaksa penuntut Umum terhadap dirinya. Dalam
nota pembeaan atau pleidoi yang dibacakan, Ahok mengatakan dirinya hanya lah
sebagai korban sehingga menjadi pesakitan di persidangan.

Menurut Ahok, dirinya menjadi korban fitnah juga diakui Jaksa Penuntut
Umum yang mengtakan ada peran Buni Yani dalam kasus tersebut yang
mengunggah potongam video pidato Ahok di Kepulauan Seribu dan
menambahkan kalimat provokatif.

Selasa (9/5/2017). Majelis hakim dalam sidang kasus dugaan penodaan


agama menilai bahwa kasus yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (
Ahok) tidak terkait dengan Pilkada DKI Jakarta 2017.

11
Terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjalani
sidang vonis perkara penistaan agama yang di gelar Pengadilan Negeri Jakarta
Utara di aula kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5). Dalam sidang tersebut
majelis hakim membacakan pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis.

Terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjalani


sidang vonis perkara penistaan agama yang di gelar Pengadilan Negeri Jakarta
Utara di aula Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (9/5). Dalam sidang tersebut
majelis hakim membacakan pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis.

Majelis hakim menilai kasus tersebut murni penodaan agama. Majelis


hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan terdakwa Ahok dijatuhkan
hukuman dua tahun penjara. Hakim Ketua Dwiarso menjelaskan beberapa poin
yang memberatkan hingga Ahok sapaan Basuki dijatuhkan vonis dua tahun
penjara.

"Yang memberatkan terdakwa tidak merasa bersalah, perbuatan terdakwa telah


mencederai perasaan umat Islam dan juga memecah kerukunan," kata Hakim
Dwiarso dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta
Selatan, Selasa (9/5/2017).

Sementara yang meringankan adalah belum pernah dihukum, bersikap


sopan dan kooperatif selama persidangan. Sebelumnya, majelis hakim menilai
Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan
agama.

"Menyatakan terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan pidana penodoaan agama. Menjatuhkan pidana
kepda terdakwa oleh Karena itu pidana penjara dua tahun," kata hakim Dwiarso.
Hakim juga memerintahkan Ahok untuk ditahan."Memerintahkan terdakwa
ditahan," kata hakim.

Sekadar informasi, Basuki jadi terdakwa kasus penodaan agama Islam


terkait pernyatannya yang menyinggung Surat Almaidah 51. Basuki telah dituntut
hukuman pidana penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.

12
2.4 Analisis Kasus Terkait Pancasila

Filsafat pancasila memberi ruang reflektif untuk memahami ulang tentang


arti penting pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai
pandangan hidup, bangsa ini akan memandang persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana memecahkan besar yang
pasti akan muncul. Dengan pandangan hidup pancasila yang jelas, suatu bangsa
akan memiliki pegangan dan pedomana bagaimana bangsa ini memecahkan
masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang timbul dalam gerakan
masyarakat yang makin maju dan cerdas. Pandangan hidup pancasila juga dapat
mempersatukan bangsa Indonesia serta memberi petunjuk dalam masyarakat yang
beraneka ragam sifatnya (Suswanto, 2015: 33).
Sebagai dasar Negara, Pancasila digunakan untuk mengatur seluruh
tatanan kehidupan bangsa dan juga negara Indonesia, segala sesuatu yang
hubungannya dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang wajib atau harus berdasarkan Pancasila. Demo
yang terjadi di Jakarta pada tanggal 4 November 2016 erat kaitannya dengan
Pancasila. Statement Ahok yang dianggap menistakan agama Islam dengan
membawa ayat Al-Qur’an telah melanggar nilai-nilai dalam Pancasila.
Segala hal mengenai kenegaraan harus sesuai dengan hakikat Tuhan.
Hakikat Tuhan sebagai suatu realitas tertinggi dapat dicapai melalui berbagai
aspek. Moralitas merupakan salah satu aspek untuk mendekati hakikat Tuhan
dalam hal kenegaraan. Tidak ada yang salah mengenai tuntutan umat muslim
terhadap pengusutan statement Ahok pada demo 4 November 2016. Sikap Ahok
dirasa tidak etis karna melampaui batas apa yang seharusnya dilakukan.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bersinggungan dengan nilai-nilai agama.
Demo 4 November 2016 yang diikuti oleh sejumlah umat muslim meminta Ahok
untuk diberi sanksi atas statement yang telah diucapkan. Dalam hal ini, Ahok
yang merupakan seorang penganut agama Kristen dianggap tidak berhak untuk
membicarakan ayat-ayat suci dari kitab selain agamanya. Sikap Ahok yang diduga
menistakan agama sangat berhubungan dengan nilai ketuhanan. Pancasila yang
menjadi dasar negara sudah menegaskan bahwa kesadaran akan ketuhanan telah
menjadi esensi terdalam dari Bangsa Indonesia. Dengan demikian, apabila ada

13
seseorang yang telah menistakan agama baik secara sengaja ataupun tidak
sengaja, orang tersebut telah melanggar nilai ketuhanan.
Sila Persatuan Indonesia adalah persatuan kemanusiaan yang
berketuhanan. Dalam peristiwa demo 4 November 2016, tidak dapat dihindari
bahwa demo sebagai alat untuk memecah persatuan bangsa Indonesia. Terdapat
beberapa indikasi bahwa demo bertujuan untuk mengganti ideologi Indonesia
menjadi ideologi yang berlandaskan pada satu agama tertentu. Padahal, sudah
sangat jelas bahwa sila Persatuan Indonesia adalah pengikat dari bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam agama.
Semangat Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu keseimbangan. Bangsa
Indonesia yang memiliki beragam suku, adat, tradisi, agama tidak serta merta
harmonis tanpa ada satu landasan yang mengikat. Penerapan sila Persatuan
Indonesia melalui semangat persatuan dan kesadaran akan keragaman merupakan
kewajiban yang harus dihayati oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketika ada suatu
kelompok agama yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi
teologi, maka tidak ada lagi semangat keberagaman dari bangsa Indonesia.
Kesadaran nilai keragaman atau ke-Bhineka-an menjadi point penting dalam
meredam konflik.
Demo 4 November 2016 yang telah dilalui berjalan dengan damai. Umat
muslim yang menuntut Ahok atas penistaan agama dilakukan dengan tidak anarki.
Namun, yang terjadi pada akhir demo (lewat dari pukul 18.00) ialah terdapat
provokasi-provokasi yang menyebabkan kericuhan. Jika memang provokasi yang
dilakukan adalah sengaja untuk membuat konflik, maka jelas bahwa demo
dijadikan media. Permasalahan yang sesungguhnya ialah apakah konflik yang
dibuat atas dasar dugaan penistaan agama oleh Ahok ataukah ada maksud lain dari
konflik tersebut.
Q.S al-Maidah: 51 tersebut tidak ada hubungan dengan pemilihan kepala
negara atau kepala daerah. Kepala negara atau kepala daerah sebaiknya orang
yang mampu berbuat adil tanpa memandang suku dan agama. Hal ini relevan
dengan nilai ketuhanan dalam Pancasila. Tuhan diyakini sebagai entitas tertinggi
yang diyakini dalam kehidupan bernegara.

14
Demo 4 November 2016 merupakan demonstrasi dalam menyampaikan
aspirasi. Hal ini dilindungi Undang-Undang mengingat negara Indonesia
merupakan negara demokrasi. Menyampaikan pendapat di muka umum adalah
hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Menyampaikan aspirasi merupakan
hak setiap warga. Demo damai yang dilakukan atas dasar tuntutan umat muslim
kepada Ahok yang dianggap menistakan agama dan melanggar hukum yang
berlaku di Indonesia.
Tinjauan dimensi hukum dalam demo 4 November 2016 berkaitan dengan
nilai keadilan dalam Pancasila. Adil dalam pengertian ini ialah ketika umat
muslim menuntut Ahok dengan menggunakan pasal 156a KUHP, dan dinyatakan
bersalah maka ia harus menjalankan sanksi sesuai dengan pasal tersebut. Namun,
keadilan juga harus dijalankan ketika apa yang dituntut oleh umat muslim kepada
Ahok tidak termasuk dalam penistaan agama. Nilai keadilan harus dijunjung
tinggi.
Demo 4 November 2016 diinisasi sejumlah ormas keagamaan untuk
mendesak proses hukum terhadap Ahok yang dituduh menista agama. Demo
tersebut merupakan gerakan moral anak bangsa yang mengekspresikan pandangan
berdasarkan keyakinannya yang terusik. Gerakan demonstrasi ini adalah murni
penyampaian pendapat dan pengawalan penegakan hukum yang dibolehkan dalam
peraturan perundang-undangan sebagai bentuk kemerdekaan berserikat dan
mengeluarkan pendapat, karenanya seluruh pengawalan keamanannya hendaknya
dilakukan secara simpatik dan persuasif. Kedua, ia mengimbau seluruh pihak,
khususnya para demonstran dan aparat keamanan agar aksi tersebut dapat
berlangsung tertib, aman dan damai serta tak mengganggu kepentingan umum.
Islam itu cinta kedamaian dan damai itu indah, maka pertunjukkanlah Islam
rahmah, sambungnya. Romy juga mengingatkan agar seluruh pihak tak terpancing
terhadap kemungkinan adanya pihak ketiga yang memanfaatkan aksi tersebut
untuk tindakan yang memancing SARA, provokasi, intimidasi, maupun subversif
baik dari dalam maupun luar. Seluruh tuntutan pada aksi tersebut juga diharapkan
ditindaklanjuti oleh Polri secara profesional, akuntabel, transparan dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Romy juga mengimbau agar demonstran
tak membawa asesoris parpol dan kontestan Pilkada DKI 2017 pada aksi besok.

15
Sebagai parpol Islam terbesar di DKI Jakarta yang menjadi pengusung kontestan
pilkada, PPP menyerukan agar seluruh pihak mampu menjaga kemurnian aksi
besok dari politisasi yang bisa saja dikait-kaitkan dengan pilkada DKI 2017.
Kebebasan dalam menyampaikan pendapat dimuka umum dijamin dalam
undang-undang di Indonesia, kebebasan dalam menyuarakan hal-hal yang
dianggap benar haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar hak-
hak orang lain. Demonstrasi yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam pada 4
November 2016 di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap pernyataan Ahok yang
dianggap menistakan agama dengan menyebutkan ayat suci dalam Al-Qur’an.
Respon dari berbagai lapisan masyarakat menunjukkan kepedulian dan rasa
terluka ketika apa yang diyakininya sebagai kebenaran dinodai oleh sekelompok
atau orang tertentu. Tentu dalam hal apapun penistaan terhadap agama tidak bisa
dibenarkan baik secara moral maupun secara hukum. Ketua PBNU Said Aqil
Siraj, menyatakan bahwa memang benar kalau pernyataan Ahok melukai umat
muslim, pernyataan yang disampaikan dipulau seribu sudah bukan kapasitasnya
sebagai Gubernur DKI. Pernyataan itu sudah diluar kompetensinya terlebih lagi
yang mengeluarkan pendapat tersebut dari nonmuslim (Kompastv.com,
14/11/2016).
Disisi lain, demonstrasi pada 4 November 2016 telah memberikan warna
tersendiri dalam perpolitikan di Indonesia, warna tersebut tidak bisa terlepas dari
aspek-aspek yang melatar belakangi rangkaian-rangkaian yang terjadi sebelum
demonstrasi itu dilakukan. Mengingat, Ahok merupakan petahana dan cagub DKI
2017. Reaksi dari ormas, tokoh masyarakat, partai politik dan masyarakat tidak
terdapat keseragaman dalam menanggapi dugaan penistaan agama yang dilakukan
Ahok, ada yang menolak dan ada yang mendukung Ahok. Umat muslim yang
melakukan demonstrasi menuntut proses hukum terhadap Ahok tidak semuanya
berlatarkan pada reaksi terhadap Surat Al-Maidah: 51, hal tersebut bisa terlihat
dari ormas-ormas dan tokoh politik yang hadir disana. Sebelum dugaan penistaan
itu terjadi, golongan yang menolak Ahok merupakan golongan yang sama saat
menentang pengangkatan Ahok menjadi Gubernur, menjadi lawan di Pilpres 2015
dan berlanjut ke Pilkada DKI 2017. Reaksi penolakan tersebut terlihat dari
beberapa argumen yang mereka lontarkan, Partai Gerindra secara terang-terangan

16
menolak pelantikan ahok sebagai Gubernur pada tahun 2014, alasan penolakan
tersebut adalah sikap Ahok yang keluar dari partai Gerindra. Langkah Partai
Gerindra diikuti oleh PPP, PKB, PAN dan PKS, tak hanya disitu saja penolakan
tersebut berlanjut pada tatanan ormas yang menjadi binaan partai dan termasuk
juga FPI (Ramadhany,2016:158).
Pelaksanaan Pilkada secara langsung dan Kepala Daerah yang terpilih
berasal dari salahsatu partai besar, maka hubungan antara Kepala daerah dan
DPRD akan cendrung berlangsung secara dinamis. Memunculkan “cheks and
balances’, yaitu adanya posisi yang sama kuat antara Kepala Daerah dan DPRD.
Disatu sisi, terdapat kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan
didukung langsung oleh salahsatu kekuatan politik di DPRD, namun di DPRD
juga terdapat kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengan Kepala Daerah
terpilih. Kepala Daerah yang terpilih tidak begitu saja sependapat dengan DPRD
guna meloloskan kebijakan-kebijakan daerah yang dibuatnya. Hal ini terjadi
karena kekuatan-kekuatan politik yang menjadi saingannya itu akan berusaha
kritis, bahkan bisa menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi terhadap Kepala
Daerah. Memang, DPRD sudah tidak lagi memiliki otoritas untuk menjatuhkan
Kepala Daerah melalui LPJ. Tetapi mengingat kebijakan-kebijakan daerah harus
melalui pembahasan dengan DPRD (Marijan, 206:2015).
Beberapa kebijakan yang diambil oleh Ahok selaku Gubernur DKI jakarta
mendapat protes keras dari beberapa anggota DPRD, protes juga dilayangkan oleh
ormas-ormas yang ada di DKI. Secara terang benderang beberapa ormas
menyuarakan penolakan gaya kepemimpinan Ahok yang dianggap arogan, kasar
dan tidak berpihak pada rakyat. Penolakan dari ormas tersebut termasuk FPI
mendapat dukungan secara moril dan politis dari anggota DPRD yang
berseberangan dengan Ahok. Penolakan terhadap Ahok yang dimotori oleh FPI
sudah berlangsung sebelum Pilkada DKI 2012. FPI selalu berusaha mencari celah
untuk menjegal dan melawan Ahok, berjuang dalam ranah politis melalui kolega-
koleganya yang ada di DPRD hingga menurunkan massa dijalanan merupakan
pemandangan yang sering dilihat oleh masyarakat Indonesia di media-media yang
ada. Mereka sepakat Ahok tak layak menjadi Pemimpin Jakarta karena minoritas
tak layak memimpin mayoritas. Kebijakan Ahok sesudah menjabat pemimpin

17
DKI dianggap telah mendiskriminasi umat Islam dan FPI khawatir dengan gaya
kepeminpinan Ahok yang terlalu arogan, kasar, dan tak bermoral akan merusak
DKI (Ramadhany, 2016:101).
Gerakan 4 November 2016 merupakan puncak penolakan terhadap Ahok
beserta seluruh kontroversi yang melekat pada dirinya dan diduga menjadi media
bagi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Ahok dan sekaligus
menjadi media penolakan terhadap pemerintahan Jokowi. Dugaan tersebut
mungkin saja benar, mengingat pernyataan-pernyataan yang dilancarkan oleh
tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang selalu berseberangan
dengan kebijakan pemerintah. Organisasi masyarakat yang berbasis agama yang
berusaha melupakan Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front
Pembela Islam (FPI), meskipun FPI tidak menolak Pancasila, tetapi mereka
berkeyakinan bahwa demokrasi berbasis konsensus seperti yang diatur dalam sila
keempat Pancasila telah disalah tafsirkan oleh kelompok nasional. Habib Riziek
misalnya mengatakan bahwa melaksanakan demokrasi liberal ala barat yang
sekarang diterapkan di Indonesia jauh lebih haram daripada memakan daging
babi. Rizieq lebih jauh mengatakan bahwa umat Islam yang melaksanakan
demokrasi liberal ini bisa menjadi murtad karena mengingkari hukum Islam
(Khanif, 2016:170). Melihat realitas yang terjadi di Indonesia, Pancasila sebagai
ideologi perekat nasional bangsa seakan kehilangan ruhnya dan tidak mempunyai
taring sama sekali. Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan sumber hukum
melainkan juga sejarah panjang pemikiran para pendiri bangsa dalam menetapkan
Pancasila sebagai konsensus nasional untuk menyatukan Indonesia. Pancasila
harus dijadikan inspirasi dalam berkehidupan hukum, politik dan kehidupan
sosial, dalam kasus penistaan agama seharusnya pemerintah merespon dengan
cepat karena kejadian tersebut merupakan hal yang sensitif. Ketika Pancasila
menjadi landasan dalam melakukan tindakan berupa demonstrasi maka hasilnya
adalah kepercayaan penuh terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
Setelah terjadinya demonstrasi 4 November 2016, dapat dilihat beberapa
unsur skenario sebagai tujuan dari gerakan tersebut. Pertama, gerakan tersebut
merupakan kegiatan yang murni keluar dari sanubari umat muslim sebagai bentuk
protes terhadap pemerintah bagaimana telah terjadi dugaan penistaan agama yang

18
memang tidak pantas untuk diucapkan oleh Gubernur dan harus diproses secara
hukum. Umat muslim berjumlah ratusan ribu dipimpin oleh ulama dan ustad
menyampaikan isi hatinya dengan damai. Demo ini terusik dan berakhir rusuh
oleh unsur yang selanjutnya, unsur kedua; mereka yang menyatakan pendapat
dengan mencari celah atau media sebagai lahan peperangan melawan Ahok.
Kelompok ini melancarkan penolakan terhadap Ahok dimulai sejak 2014,
tujuannya adalah menggagalkan pencalonan Ahok sebagai Cagub pada Pilkada
DKI 2017, hal-hal yang berhubungan dengan Ahok selalu mendapat kritik tajam
dan berujung penolakan. Dimotori oleh tokoh-tokoh yang menjagokan cagub dan
cawagub dari pasangan diluar Ahok dan Jarot. Unsur ketiga hadir dari kalangan
elit politik nasional, mereka merupakan barisan pendukung Prabowo pada Pilpres
2014. Demonstrasi menjadi media untuk menyerang pemerintah saat ini yang
dianggap melindungi penista agama dan kegagalan pemerintah dalam menjaga
kerukunan antar umat beragama, disisi lain barisan ini merupakan oposisi dalam
pemerintahan yang kerap berseberangan pendapat terhadap pemerintahan Jokowi,
sasarannya sangan jelas, menurunkan Jokowi dari tampuk kepemimpinan.
Unsur keempat adalah ormas-ormas yang anti Pancasila, menganggap
pemerintah DKI dan pemerintah Indonesia adalah haram karena menjalankan
sistem demokrasi. Dipelopori oleh FPI yang dalam berbagai kebijakan pemerintah
selalu menjadi barisan terdepan untuk menolak, terlebih lagi kebijakan daerah
DKI Jakarta yang jelas-jelas sangat dibenci oleh FPI. Unsur kelima adalah
kelompok yang memanfaatkan ketulusan umat muslim dengan menyisipkan
paham-paham radikal dan ingin menjadikan Indonesia layaknya ‘Timur Tengah’,
ingin menggantikan ideologi Pancasila dan merubah haluan negara, menjadikan
Indonesia dibawah kekuasaan agama tertentu.
Persoalan di atas sangatlah pelik dan bukan hanya persoalan kasus
penodaan agama yang menjadi titik polemik, banyak kelompok-kelompok tertentu
yang justru tarik ulur bukan sekedar melakukan demontrasi terhadap kasus
penodaan agama, tetapi juga merambat pada wilayah yang paling substansial,
yakni penolakan secara mendasar terhadap ideologi negara, yakni Pancasila. Ini
menjadi jelas bahwa jika persoalannya diperpanjang pada wilayah yang keluar
dari duduk perkara, maka permasalahan ini menjadi rumit dan berkepanjangan.

19
Sehingga titik fokusnya haruslah tetap pada wilayah atau koridor Pancasila
sebagai ideology pemersatu dan juga agar masyarakat tidak terpecah boleh.
Namun demikian, menjadi jelas bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa dan sekaligus ideologi negara menjadi jalan tengah yang memadai dalam
merumuskan nilai-nilai instrumental dalam memecahkan masalah ini. Pancasila
yang secara normatif memiliki kekuatan yuridis pada wilayah undang-undang,
harus memiliki justifikasi objektif sehingga ia berfungsi dengan baik sebagai
ideologi pemersatu dan pandangan hidup yang holistik bagi bangsa Indonesia. Itu
artinya bahwa tidak ada satu orotitaspun yang dapat memberikan wewenang atas
segala persoalan hukum kecuali dikembalikan kepada Pancasila dan UUD. Itulah
arti penting dan yang menjadi falsafah hidup bagi seluruh masyarakat di
Indonesia.

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penista agama itu tidak berjiwa Pancasila. Seharusnya yang bisa menjadi
pejabat negara itu orang yang berjiwa Pancasila dan taat undang-undang. Tetapi
persoalannya lagi-lagi ada pada etika politik yang buruk. Perilaku politik para
politikus masih seperti perdagangan atau jual beli. Ada tawar menawar,
kesepakatan dan ‘daftar harga barang’. Dalam sistem yang demikian, Pancasila,
undang-undang dan konstitusi tidak berfungsi dengan baik (off).

Politik dagang (trade politic) demikian sama sekali tidak konstitusional


dan tidak beretika. Di sini kapitalisme berkuasa, bukan partai politik. Bahkan
seorang pemimpin negara pun bisa tidak berkutik. Apa sebab? Para kapitalis
memainkan peran sebagai pemodal politikus. Tentu tujuannya adalah hegemoni
ekonomi dan mengamankan kerajaan bisnisnya. Politikus diberi modal untuk
membeli ‘kursi’ jabatan. Lihat saja fenomena pilkada. Siapa bermodal bersar, dia
yang berpeluang besar menang. Seperti kata pepatah “tak ada fulus, mampus”.

Pun ada tawar menawar. Bila ada uang banyak, maka mudah untuk
mendapatkan ‘barang’ yang berharga. Modal pas-pasan bisa mendapatkan kursi
yang mahal, asalkan pintar dalam menawar. Di sinilah terjadi kerja sama saling
menguntungkan dalam menutup aib-aib politiknya. Sama-sama mengamankan
posisi antara politikus dan pemodal kapitalis. Asalkan sama-sama aman, jalan
terus. Seorang politikus sering terpenjara oleh tawar-menawar ini. Bila keluar dari
kesepakatan dengan pemodal, ia bisa dibuka aibnya. Resikonya, karirnya
tumbang. Maka, mereka memilih menjadi orang jahat asalkan aman, daripada
orang sholih tapi dihancurkan hidupnya. Penjahat bisa menjadi pejabat. Dan
Pejabat bisa mendadak menjadi penjahat. Atau minimal menjadi pelindung
penjahat. Jadi, ini memang sudah sedemikian rusaknya etika politik kita.

Tentu saja tidak semua berperilaku seperti itu. Masih banyak yang baik
dan sholih. Berjiwa pejuang, Pancasilais dan taat agamanya. Namun, seberapa

21
besar pengaruh politikus yang baik ini dalam menentukan kebijakan negara? Kita
semua berdoa, semoga yang baik menang dan yang jahat kalah.

Seorang pejabat yang ‘terpenjara’ oleh trade politic itu tentu saja bisa lolos
dari ancaman pemodal kapitalis bila didukung rakyat. Dalam kasus penistaan al-
Qur’an ini seyogyanya Presiden kembali kepada Pancasila dan konstitusi. Saat ini,
jutaan rakyat tersakiti oleh pelaku penista agama. Sakitnya rakyat ini terobati bila
Pancasila dan konstitusi ditegakkan. Tetapi, bila Presiden meremehkan rakyat
yang mayoritas Muslim ini, maka resiko politik Presiden sangat besar. Seharusnya
isu agama itu tidak bisa ditawar dengan kepentingan politik tertentu.

Andaikan para pejabat sadar dengan sejarah pendirian Indonesia. NKRI ini
tegak dengan darah para ulama dan santri. Dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, peran ulama tidak bisa diabaikan. Konon, pada detik-detik menjelang
pengumuman kemerdekaan, Bung Karno tak melupakan ulama untuk diminta
nasihatnya.

Dalam menyikapi fenomena dugaan penistaan agama, baik yang dilakukan


oleh oknum, organisasi atau agama lain, umat jangan mudah terpancing dengan
isu-isu yang akan memecah belah umat, bangsa dan NKRI ini. Sebagaimana
anjuran para ulama dan para pakar, umat harus bertindak dengan akal pikiran yang
jernih dan menimbang antara manfaat dan madharat yang akan menimpa bangsa
ini dan umat Islam sehingga jika terjadi penistaan agama maka sudah ada lembaga
dan pihak-pihak terkait yang menganganginya. Dan pada akhirnya kerukunan
umat beragama masih tercipta secara kondusif dengan saling menghormati.
Sebagai ideologi pemersatu, Pancasila harus menjadi pandangan hidup
yang menyeluruh bagi bangsa Indonesia. Persoalan-persoalan yang muncul terkait
dengan isu agama dan politik harus dikembalikan pada Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada satu kelompok yang dapat menjastifikasi serta mengintervensi segala
sesuatu yang menjadi wewenang negara. Itu artinya bahwa demo tuntutan
keadilan tentang dugaan penistaan agama yang terjadi pada 04 November 2016
menjadi wewenang negara untuk memutuskan. Sehingga kelompok masyarakat
tertentu tidak boleh main hakim sendiri dan sudah sepatutnya menerima dengan

22
terbuka segala sesuatu yang telah menjadi keputusan negara berdasarkan landasan
hukum yang tegas melalui UUD 1945.

3.2 Saran

Warganegara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan


tinggal di negara Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia
harus lebih meyakini atau mempercayai, menghormati, menghargai menjaga,
memahami dan melaksanakan segala hal yang telah dilakukan oleh para pahlawan
khususnya dalam pemahaman bahwa Pancasila adalah sebagai dasar negara
Indonesia. Sehingga kekacauan yang sekarang terjadi ini dapat diatasi dan lebih
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia ini

Kita dapat dengan mudah mengaplikasikan sila-sila Pancasila dalam


kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya antara lain menghormati
anggota teman, guru keluarga dan orang yang lebih tua, melakukan musyawarah
mufakat dalam mengambil keputusan, serta menghargai dan menghormati teman
atau orang lain yang berbeda agama.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma

Al-Marsudi,Subandi. 2001. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi.


Jakarta: PT.Raja Garfindo Persada

https://tribunnews.com/rizalbomantama/ahok-penodaan-agama.html, diakses pada


tanggal 17 Mei 2018

www.repo.unimal.ac.id/analisis-kasus-pancasila.html, diakses pada tanggal 17


Mei 2018

Fenomena_Penistaan_Agama_dalam_Perspektif_Islam_dan_Filsafat_Pancasila/
Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat-Panangkaran, diakses pada tanggal 17
Mei 2018

24

Anda mungkin juga menyukai