Anda di halaman 1dari 15

RESUME PANCASILA

DOSEN PENGAMPU :
Drs. Joien Kosasih Legawa, SE
“ PENDIDIKAN PANCASILA “

Nama : Teodorus Jonathan Tonapa


NIM : 1810116733

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PANCA BHAKTI

2018/2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat serta kasih-
Nya, atas anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya sehingga
memberikan kemampuan serta kemudahan bagi saya di penyusunan Resume Pancasila ini .Di
Resume Pancasila ini saya selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan topik
“Pendidikan Pancasila”. Di mana topik tersebut ada beberapa hal yang bisa kita pelajari khususnya
pengetahuan tentang bagaimana kedudukan dan fungsi pendidikan pancasila itu.

Saya menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan serta pemahaman saya tentang pendidikan
pancasila, menjadikan keterbatasan saya juga untuk memberikan penjabaran yang lebih mendalam
tentang masalah ini, kiranya mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan serta
kesalahan pada penyusunan Resume Pancasila ini. Harapan saya, semoga Resume Pancasila ini
membawa manfaat bagi kita, setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita tentang
bagaimana Pendidikan Pancasila di kehidupan kita.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Jolen Kosasih Legawa, SE selaku
Dosen Pendidikan Pancasila, atas bimbingan serta dukungannya.

Pontianak, 12 November 2018

PEMAKALAH

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Resume

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pancasila.
2. Cita-Cita Dan Tujuan Yang Akan Dicapai Bangsa Indonesia
3. Landasan Kultural
4. Landasan Yuridis Pendidikan Pancasila
5. Landasan Filosofi
6. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup Yang Mempersatukan Bangsa Indonesia
7. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia
A. Konsep Negara/Pemerintahan Konstitusional
B. Konteks dan Peran Konstitusi
C. Reformasi Konstitusi
D. Perubahan Konstitusi dan Reformasi di Bidang Kekuasaan Kehakiman

BAB III.

PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Istilah “Pancasila” telah dikenal di Indonesia sejak zaman majapahit abad XIV, yaituterdapat
pada buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca dan dalam bukuSutasoma karangan Empu
Tantular. Tetapi baru dikenal oleh bangsa Indonesia sejak tanggal 1 Juni 1945, yaitu pada waktu Ir.
Soekarno mengusulkan Pancasila sebagaidasar negara dalam sidang Badan Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Dari Segi Etimologi, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta (bahasa Brahmana India) yang
artinya Panca “lima” dan  Sila / syila “batu sendi, tingkah laku atau dasar”.Tingkah laku disini
diartikan sebagai tingkah laku yang baik. Jadi, pancasila ialah lima batu sendi, yaitu lima dasar
tingkah laku baik yang menjadi sendi dari masyarakat.

Dari segi Terminologi, Istilah “Pancasila” di dalam “Falsafah Negara Indonesia” mempunyai
pengertian sebagai nama dari 5 dasar negara RI, yang pernah diusulkan oleh Bung Karno atas
petunjuk Mr. Moh. Yamin pada tanggal 1 Juni 1945, yaitu pada saat bangsa Indonesiasedang
menggali apa yang akan dijadikan dasar negara yang akan didirikan padawaktu itu. Lima dasar
negara yang diberikan nama Pancasila oleh Bung Karno, ialah :

1. Kebangsaan
2. Prikemanusiaan
3. Mufakat
4. Kesejahteraan Sosial
5. ketuhanan YME
B. Rumusan Masalah.
1. Apa itu Pancasila ?.
2. Bagaimana pendapat para ahli tentang pancasila ?.
3. Dimana letak pentingnya pancasila ?.
4. Kenapa pancasila itu penting ?.
C. Tujuan Resume.

Resume ini dibuat untuk mengerjakan tugas Pendidikan pancasila yang berjudul “
Pendidikan Pancasila”, saya akan mengulas sedikit dan mencoba untuk merancang resume ini
dengan data akurat dan catatan sehari-hari pada saat mata kuliah.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pancasila.

Pancasila adalah nilai-nilai kehidupan Indonesia sejak jaman nenek moyang sampai dewasa


ini. Berdasarkan hal tersebut terdapatlah perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan
masyarakat lain. Nilai-nilai kehidupan tersebut mewujudkan amal perbuatan dan pembawaan serta
watak orang Indonesia. Dengan kata lain masyarakat Indonesiamempunyai ciri sendiri, yang
merupakan kepribadiannya.

Dengan nilai-nilai pulalah rakyat Indonesia melihat dan memecahkan masalah kehidupan ini


untuk mengarahkan dan mempedomani dalam kegiatan kehidupannya bermasyarakat. Demikianlah
mereka melaksanakan kehidupan yang diyakini kebenaranya. Itulah pandangan hidupnya karena
keyakinan yang telah mendarah daging itulah maka pancasila dijadikan dasar negara serta ideologi
negara. Itulah kebulatan tekad rakyat Indonesia yang ditetapkan pada Tanggal 18 agustus 1945
melalui panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Kesepakatan bersama tersebut sifatnya luhur,
tiada boleh diganti ataupun dirubah. Masyarakat pancasila pulalah yang hendak kita wujudkan,
artinya suatu masyarakat Indonesiamodern berdasarkan nilai luhur tersebut.

Untuk mewujudkan masyarakat pancasila, diperlukan suatu hukum yang berisi norma-norma,
aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh setiap warga
negara Indonesia. Hukum yang dimaksud yaitu UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis dinegara
kita.

2. Cita-Cita Dan Tujuan Yang Akan Dicapai Bangsa Indonesia

Pancasila sebagai pedoman dalam masyarakat adil dan makmur baik secara materil dan
spritual seperti yang tercantum dalam alinea IV yang disimpulkan bahwa untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.

Melindungi segenap bangsa artinya ialah pemerintah berupaya untuk melindungi seluruh
bangsanya dari segi internal maupun eksternal. Tujuan nasional bangsa yang kedua ialah
memajukan kesejahteraan umum/bersama. Negara Indonesia menginginkan situasi dan kondisi
rakyat yang bahagia, makmur, adil dan sentosa.

Tujuan Indonesia UUD 1945 yang ketiga ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebuah bangsa akan maju bila didukung oleh rakyatnya yang memiliki pengetahuan luas, pintar
dan intelek. Tujuan nasional Indonesia yang terakhir ialah ikut berperan aktif dan ikut serta dalam
melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.

3. Landasan Kultural

Bangsa indonesia berdasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara, pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa indonesia sendiri.

Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam pancasila merupakan


hasil karya bangsa indonesia sendiri yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh
bangsa indonesia melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara, seperti soekarno, m.yamin,
m. Hatta, soepomo serta para tokoh pendiri lainnya.

4. Landasan Yuridis Pendidikan Pancasila

 UU NO.2 TAHUN 1989 ,DAN SISDIKNAS NO. 20 THN 2003.


 PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIDIKAN TINGGI.
 KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI NO.43/DIKTI/KEP/2006.
5. Landasan Filosofi

Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa indonesia. Oleh
karena itu sudah merupakan keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikannya dalam
setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

6. Pancasila Sebagai Falsafah Hidup Yang Mempersatukan Bangsa Indonesia

Pancasila merupakan sarana yang ampuh untuk mempersatukan bangsa Indonesia, karena
Pancasila ialah falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung niali-nilai dan
norma-norma yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar, adil, bijaksana dan tepat untuk
mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.

7. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia

Ideologi diartikan sebagai ilmu tentang ide atau gagasan yang bersifat mendasar, ideologi
ialah seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya suatu bangsa dan digunakan untuk menata
masyarakatnya. Pancasila sebagai ikatan budaya, mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia, fungsi pancasila sebagai ideologi negara ialah sebagai berikut:
Memperkokoh persatuan bangsa karena bangsa Indonesia ialah bangsa yang majemuk
mengarahkan bangsa Indonesia menuju tujuannya dan menggerakkan serta membimbing bangsa
Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.

Memelihara dan mengembangkan identitas bangsa dan sebagai dorongan dalam pembentukan
karakter bangsa berdasarkan pancasila. Menjadi standar nilai dalam melakukan kritik mengenai
keadaan bangsa dan negara.

A. Konsep Negara/Pemerintahan Konstitusional

Perumusan UUD yang baru, baik dalam bentuk amandemen sekarang ini apalagi kalau bisa
perubahan menyeluruh dan mendasar, haruslah mengacu kepada konsep pemerintahan
konstitusional karena memang sudah menjadi aspirasi dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Hal ini
nampak bukan saja dari sejarah perjuangan pra kemerdekaan, periode revolusi, maupun selama
tahun 1950-an, bahkan mencapai puncaknya pada perdebatan majelis konstituante yang memang
diberi mandat oleh rakyat Indonesia untuk merumuskan UUD baru yang definitif.

Namun demikian, untuk dapat merumuskan UUD yang benar-benar mengacu kepada
pemerintahan konstitusional, maka semua pikiran-pikiran lama yang bersumber pada paham
(konsep) negara integralistik dari Prof. Soepomo harus dibersihkan dari benak kepala kita.
Kerancuan yang terjadi selama ini disebabkan karena masih adanya dualisme dalam konsep
pemikiran ketatanegaraan kita.

Di satu pihak, ada keinginan yang kuat untuk memajukan kehidupan bernegara modern yang
mengacu kepada prinsip-prinsip universal tentang demokrasi konstitusionalisme, the rule of law,
maupun jaminan hak asasi manusia. Akan tetapi celakanya secara sadar ataupun tidak, sengaja
ataupun tidak, kita sering kembali kepada pikiran-pikiran partikularistik yang menjadi ciri negara
integralistik.

Yang dimaksudkan di sini adalah pikiran-pikiran yang menghendaki misalnya negara


persatuan dalam pengertian sebagai satu kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia dan negaranya dari
Sabang sampai Merauke. Artinya, persatuan Indonesia ditafsirkan secara ketat, monolitik, solid,
atau manunggal ibarat tubuh manusia antara kepala dan badan dari Sabang sampai Merauke.
Sehingga, segala pikiran atau gagasan untuk mencari alternatif bentuk lainnya lebih terbuka dan
luwes. Jangankan federasi, bahkan otonomi yang seluas-luasnya pun dikhawatirkan akan memecah
belah Indonesia atau merobek-robek bangsa.
Pemikiran yang keliru lainnya adalah dalam hal pembagian kekuasaan negara. Seharusnya,
pembagian ini lebih tegas dan definitif sesuai asas trias politika. Kekuasaaan yudikatif, termasuk
Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, seharusnya independen, bebas, mandiri, dan tidak
memihak. Namun, pernah ada pikiran bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR.

Yang paling parah, kedaulatan rakyat yang di manapun di dalam sistem demokrasi senantiasa
dipegang oleh rakyat dan tidak pernah diserahkan sepenuhnya kepada orang lain atau cabang
kekuasaan lainnya (eksekutif, legislative dan yudikatif), di Indonesia masih saja dipersepsikan
seolah-olah dengan adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka MPR lah yang
menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sehingga, rakyat tidak lagi berdaulat, kecuali lima
tahun sekali menyerahkan hak suaranya melalui Pemilu kepada DPR/MPR.

Pikiran ini, menurut saya bukan saja feodal otoriter, melainkan mencerminkan sisa-sisa
paham integralistik. Maka, perlu dipikirkan apakah lembaga MPR ini masih akan dipertahankan
jika kita benar-benar ingin kembali kepada asas kedaulatan rakyat yang sepenuhnya di tangan
rakyat.

B. Konteks dan Peran Konstitusi

Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dikemukakan secara tegas
seperti tersebut pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan
Pasal 1 ayat (2) menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang Undang Dasar”.

Negara hukum yang didasarkan atas kedaulatan rakyat tersebut adalah dasar suatu sistem dari
Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mempunyai tujuan “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan ... dan
keadilan sosial ...” sesuai dengan pembukaan konstitusi.

Pada konteks itu, organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman tidak hanya
dipersyaratkan harus merupakan kekuasaan yang bebas dan tidak memihak saja, tetapi juga harus
berpihak dan bertujuan untuk melindungi kepentingan dari rakyat sang pemilik kedaulatan.
Montesquieu sebagai French Jurist di dalam The Spirit of the Laws (1748) mengemukakan ide
constitutionalism yang dihubungkan the separation of powers dalam kaitannya dengan kekuasaan
kehakiman menyatakan “... the judiciary should be independent of the legislature and executive ...”.
C. Reformasi Konstitusi

Jika dilakukan analisis dalam perspektif sejarah maka setidaknya ada 3 (tiga) gelombang
perubahan konstitusi yang pernah terjadi dalam pembentukan konstitusi di dunia, yaitu misalnya
antara lain:

Pada periode kolonialisme. Pada kurun waktu tersebut, kekuatan dan sistem kekuasaan dari
negara penjajah telah memaksakan kekuasaannya pada setiap negara jajahannya untuk
menggunakan hukum yang berasal dan berpihak pada kepentingan penjajah. Inilah periode awal
perubahan hukum di sebagian besar negara jajahan pada periode zaman penjajahan. Pada masa itu,
tata hukum dan tata hubungan antarwarga negara dilakukan dengan menggunakan sistem dan
hukum kekuasaan dari penjajah. Negara yang dijajah “dipaksa” untuk tunduk di bawah aturan
konstitusi penjajah yang sebagiannya diatur secara eksepsional. Hak “bumiputera” berbeda dengan
warga negara Belanda ataupun kaum ningratnya. Hal ini dapat dilihat dalam periode penjajahan
Belanda atas Indonesia, ataupun negara-negara yang berada dalam penjajahan Inggris;

Pada dekade sekitar tahun 1940 an. Pada periode ini terjadi perlawanan dari negara jajahan
untuk membebaskan dirinya dari kekuasaan penjajah mulai terjadi dan sebagiannya berhasil
mendeklarasikan pembebasannya menjadi negara yang merdeka. Dalam kurun waktu ini, terjadi
perubahan konstitusi karena negara yang merdeka mulai melakukan reformasi konstitusinya agar
sesuai dengan kepentingannya sendiri. Perubahan konstitusi ditujukan untuk memberikan “moral
authority or legitimacy” pada awal kemerdekaan bangsa dimaksud guna membedakannya dari dan
dengan konstitusi penjajahnya. Tentu saja, ada beberapa negara yang mendapatkan
kemerdekaannya tidak melalui proses revolusi sehingga terjadilah proses adaptasi atau transplantasi
sistem kekuasaan negara penjajah kepada negara jajahannya dengan berbagai modifikasi tertentu
yang kemudian kelak dirumuskan dalam konstitusi. Hal ini dapat dilihat di hampir sebagian besar
negara Commonwealth;

Pada periode tahun 1990 an. Pada kenyataanya, di sebagian besar negara yang semula
berhasil membebaskan dirinya dari kekuasaan kolonialisme secara perlahan berubah menjadi
negara yang otoriter. Para penguasa yang semula diberikan mandat untuk menjalankan kekuasaan
demi dan untuk sepenuh-penuhnya kepentingan rakyat telah menjadi kekuasaannya itu untuk
kepentingan sendiri dan atau bersama kelompoknya saja. Penguasa dimaksud telah memegang
kekuasaan selama 2 hingga 4 dekade serta mereka telah memberikan justifikasi munculnya gerakan
masyarakat kritis yang akhirnya membesar menjadi gerakan sosial yang mempunyai tuntutan untuk
membebaskan masyarakat dari kekuasaan otoriter. Negara yang mengalami proses revolusi
dimaksud biasanya melakukan perubahan yang signifikan di dalam menata sistem kekuasaannya
melalui perubahan konstitusi. Hal ini dapat dilihat di berbagai negara seperti: Korea Selatan, Afrika
Selatan, Philipina, dan termasuk Indonesia.

D. Perubahan Konstitusi dan Reformasi di Bidang Kekuasaan Kehakiman

Perubahan konstitusi biasanya mempunyai pengaruh terhadap pola hubungan kekuasaan di


antara organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman. Secara umum, suatu konstitusi memuat
prinsip yang menolak pemusatan kekuasaan. Eric Barendt menyatakan “the principle is concerned
with the avoidance of concentration of power ... the each branch of goverment – legislature,
executive, and judiciary – is able to check and exercise of power by the others ...”.

Pada konteks perubahan konstitusi di Indonesia seperti telah diuraikan di atas sesungguhnya
perubahan dimaksud mempunyai pengaruh dan kaitan erat dengan sistem kekuasaan kehakiman.

Hal lain yang juga akan menjadi objek kajian adalah, problem dan dinamika dalam penerapan
kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD Tahun 1945 karena pada konstitusi amandemen,
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta
adanya lembaga Komisi Yudisial yang menjadi bagian dari sistem kekuasaan kehakiman.

Ada 2 (dua) perdebatan utama dalam kaitan antara UUD 1945 dengan Trias Politika.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem Trias Politika karena
pada dasarnya organ negara tidak hanya meliputi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja. UUD
1945 sebelum amandemen juga mengenal organ negara yang biasa disebut sebagai Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Pasca reformasi dan seperti tersebut di dalam amandemen konstitusi dalam UUD Tahun
1945, kini ada beberapa organ negara lainnya seperti: suatu lembaga bank sentral, suatu komisi
pemilihan umum, alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban dan alat negara yang bertugas
mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

Ada pendapat lainnya yang menyatakan, rumusan UUD Tahun 1945 dapat dikualifikasi
menganut ajaran Trias Politika karena organ negara terpenting hanyalah lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Organ negara lainnya tidak disebut sebagai organ negara utama sehingga
UUD 1945 dikualifikasi sebagai menganut ajaran Trias Politika.

Pasca amandemen UUD Tahun 1945, lembaga legislatif tidak hanya meliputi: Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja tetapi Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga Yudikatif tidak hanya menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi serta
adanya lembaga yang disebut sebagai Komisi Yudisial.

Kendati tidak menjadi salah satu perdebatan utama tetapi acapkali diajukan pertanyaan,
apakah sistem kekuasaan di Indonsia menganut sistem kekuasaan yang didasarkan pada
“pembagian” kekuasaan, ataukah “pemisahan “ kekuasaan. Secara umum, ahli tata negara di
Indonesia menganut pendapat yang menyatakan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia seperti
dirumuskan di dalam konstitusi adalah “pembagian” kekuasaan.

Jika pendapat di atas dikaitkan dan diletakkan dengan dan dalam konteks kekuasaan
kehakiman maka akan timbul pertanyaan, apakah kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi adalah kekuasaan yang didasarkan atas pembagian kekuasaan ataukah kekuasaan yang
terpisah dari kekuasaan lainnya.

Pada UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan “kekuasaan kehakiman dilakukan
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Lebih lanjut
dikemukakan “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.

Ketentuan pasal di atas hanya menjelaskan, siapa yang menjelaskan kekuasaan kehakiman
dengan tetap membuka peluang adanya lembaga lain yang juga dapat menjalankan kekuasaan
kehakiman. Selain itu, rumusan pasal di atas tidak secara tegas mengatur dan menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan dan
kedudukannya diserahkan pengaturannya dengan undang-undang.

Pada situasi sedemikian, eksekutif dan legislatif mempunyai potensi dan memiliki
keleluasaan untuk manafsirkan dan merumuskan kekuasaan kehakiman menurut interpretasinya
sendiri dan/atau kekuasaan kehakiman yang berpihak pada kepentingannya sendiri.

Ada perbedaan yang cukup tegas jika membandingkan rumusan pasal kekuasaan kehakiman
menurut UUD Tahun 1945 dengan konstitusi pasca amandemen. Rumusan pasal yang dikemukakan
di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”.

Pasal dimaksud menjelaskan sifat dan tujuan dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yaitu: kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum serta keadilan. Frasa kata “kekuasaan
yang merdeka” dalam pasal tersebut memperlihatkan dan sekaligus menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari cabang kekuasaan lainnya.

Pasal 24 ayat (2) juga telah mengemukakan, siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman
karena pasal dimaksud menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama,
militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Penyebutan yang tegas tentang siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman membuat


kejelasan, siapakah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Kendatipun demikian,
konstitusi juga menyatakan “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”.

Frasa seperti dikemukakan di atas akan menarik jika dikaitkan dengan lembaga Komisi
Yudisial yang dikemukakan secara eksplisit didalam Pasal 24B UUD 1945. Tugas wewenang
komisi mempunyai hubungan dan berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan kekuasaan
kehakiman, yaitu: Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi. Tugas dan wewenang dimaksud adalah: kesatu, mengusulkan pengangkatan
hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.

Jika diasumsikan bahwa Komisi Yudisial sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dengan wewenang tertentu, pertanyaan lainnya yang perlu diajukan, apakah konstitusi
memberikan legitimasi pada undang-undang untuk merumuskan tata cara dan mekanisme kerja
pelaksanaan wewenang tersebut di dalam suatu undang-undang?

Pada Pasal 24B ayat (4) UUD Tahun 1945 dikemukakan “susunan, kedudukan dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Jika berpijak secara rigid dari apa
yang dikemukakan di dalam konstitusi maka pasal dimaksud menjelaskan bahwa yang perlu
dirumuskan di dalam sebuah undang-undang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah mengenai
susunan, kedudukan, dan keanggotaan komisi tetapi tidak dikemukakan agar diatur hal yang
berkaitan dengan tata cara dan mekanisme kerja serta pelaksanaan wewenang komisi atau
mengenai hal lainnya di dalam suatu undang-undang.

Jika interpretasi rigid yang sangat legalistik itu digunakan maka Komisi Yudisial tidak dapat
melaksanakan tugas dan wewenangnya karena konstitusi tidak cukup mengatur pelaksanaan tugas
dan wewenang komisi. Seyogianya ada undang-undang yanag mengatur tata cara, mekanisme
pelaksanaan tugas, dan wewenang Komisi Yudisial agar tidak terjadi benturan dan bahkan konflik
dengan lembaga kekuasaan kehakiman lainnya. De facto, materi dan mekanisme pengawasan
masih belum dapat diselesaikan secara “tuntas” antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
dan Komisi Yudisial.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Komisi Yudisial agar tidak terjadi benturan dan bahkan konflik dengan lembaga kekuasaan
kehakiman lainnya. De facto, materi dan mekanisme pengawasan masih belum dapat diselesaikan
secara “tuntas” antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Frasa seperti dikemukakan di atas akan menarik jika dikaitkan dengan lembaga Komisi
Yudisial yang dikemukakan secara eksplisit didalam Pasal 24B UUD 1945. Tugas wewenang
komisi mempunyai hubungan dan berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan kekuasaan
kehakiman, yaitu: Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi. Tugas dan wewenang dimaksud adalah: kesatu, mengusulkan pengangkatan
hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Notosoetarjo. 1962. Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia.


Notonagoro. Pancasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III.
K.Wantjik Saleh 1978. Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI. Jakarta PT. Gramedia.
Soediman Kartohadiprojo 1970. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila. Bandung Alumni

Anda mungkin juga menyukai