Dosen Pengajar :
Drs. Arifin Rahman, M.Si
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD
1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas
nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR
No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara
(philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le
desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila
merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam
masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai
dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya
dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal
Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan
Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka
Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan
diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala
perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara
Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi
Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat
dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar
masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan
kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu
kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga
merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi
semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu
merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal.
Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain
sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari
pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha
memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan
Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan
utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat
dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal
Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid
Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang
Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada
Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4
dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya
berisi:
1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan
Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil
dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Masarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik.
Masarakat kampus wajib senantiasa bertanggung
jawab secara moral atas kebenaran obyektif, bertanggung jawab terhadap masarakat bangsa dan
negara, serta mengabdi pada kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena itu sikap masarakat kampus
tidak boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga benar-benar luhur
dan mulia.
A. Kampus Sebagai Sumber Pengembangan Hukum
Dalam rangka bangsa Indonesia melaksanakan reformasi dewasa ini suatu agenda yang
sangat mendesak untuk mewujudkan adalah reformasi dalam bidang hukum dan peraturan
perundang- undangan. Negara indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, oleh karena itu
dalam rangka melakukan penataan Negara untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis maka
harus menegakkan supremasi hukum. Agenda reformasi yang pokok untuk segera direalisasikan
adalah untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum. Konsekuensinya dalam mewujudkan suatu
tatanan hukum yang demokratis, maka harus dilakukan pengembangan hukum positif.
Sesuai dengan tatib hukum Indonesia dalam rangka pengembangan hukum harus sesuai
dengan tatib hukum Indonesia. Berdasarkan tatib hukum Indonesia maka dalam pengembangan
hukum positif Indonesia, maka falsafah negara merupakan sumber materi dan sumber nilai bagi
pengembangan hukum. Hal ini berdasarkan Tap No. XX/MPRS/1966, dan juga Tap No.
III/MPR/2000. namun perlu disadari, bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum dasar nasional,
adalah sumber materi dan nilai bagi penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam penyusunan hukum positif di Indonesia nilai pancasila sebagai sumber materi,
konsekuensinya hukum di Indonesia harus bersumber pada nilai-nilai hukum Tuhan (sila I), nilai
yamh terkandung pada harkat, martabat dan kemanusiaan seperti jaminan hak dasar (hak asasi)
manusia (sila II), nilai nasionalisme Indonesia (sila III), nilai demokrasi yang bertumpu pada rakyat
sebagai asal mula kekuasaan negara (sila IV), dan nilai keadilan dalam kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan (sila V).
Selain itu, tidak kalah pentingnya dalam penyusunan dan pengembangan hukum aspirasi dan
realitas kehidupan masyarakat serta rakyat adalah merupakan sumber materi dalam penyusunan dan
pengembangan hukum.
B. Kampus Sebagai Kekuatan Moral Pembangunan Hak Asasi Manusia
Dalam penegakan hak asasi manusia tersebur, mahasiswa sebagai kekuatan
moral harus bersikap obyektif, dan benar-benar berdasarkan kepentingan moral demi harkat dan
martabat manusia, bukan karena kepentingan politik terutama kepentingan kekuasaan politik dan
konspirasi kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara Indonesia. Perlu kita sadari
bahwa dalam penegakan hak asasi tersebut, pelanggaran hak asasi dapat dilakukan oleh seseorang,
kelompok orang termasuk aparat negara, penguasa negara baik disengaja ataupun tidak disengaja
(UU. No. 39 Tahun 1999).
Dasawarsa ini, kita melihat dalam menegakkan hak asasi seringkali kurang adi. Misalnya
kasus pelanggaran di Timur-timur, banyak kekuatan yang mendesak untuk mengusut dan mernyeret
bangsa sendiri ke Mahkamah Internasional. Namun, ratusan ribu rakyat kita. Seperti korban
kerusuhan Sambas, Sampit, Poso dan lainnya tidak ada kelompok yang mau memperjuangkannya.
Padahal hak asasi mereka sudah diinjak-injak, jelaslah kejadian serta menderitanya mereka sama.
Akan tetapi tetap tidak ada yang mau menolong.
Jadi, marilah kita sebagai mahasiswa pencetus terjadinya reformasi, mari kita tujukan pada
dunia bahwa kita mampu dalam merealisasikan semua cita-cita dan tujuan dasar dari reformasi.
Akan tetapi disamping itu, perlu kita sadari juga bahwasanya kita merupakan mahasiswa sebagai
tonggak dari penjunjung tinggi hak asasi manusi masihlah belum maksimal kinerjanya untuk hal
yang disebutkan diatas. Maka, dari detik ini. Kita sebagai generasi bangsa haruslah benar-benar
menanamkan nilai-nilai pancasila dalam setiap prilaku kita. Dimanapun, dan pada siapapun.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pancasila sebagai paradigma pembangunan merupakan suatu sumber nilai, kerangka piker, model,
orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan pembangunan. Yang meliputi pembangunan
politik, IPTEK, pengembangan bidang politik, poembangunan ekonomi, pembangunan social
budaya, pengembangan hankam, pembangunan pertahanan keamanan, dan sebagai reformsi, baik
itu reformasi hukum ataupun reformasi politik. Semuanya ditujukan untuk membuat menjadikan
bangsa yang semakin berkembang dan masyarakat yang semakin mapan.
Pancasila sebagai aktualisasi diri yang berarti betul-betul ada, terjadi atau sesungguhnya. Sehingga
terbentuklah aktualisasi objektif dan subjektif. Aktualisasi Pancasila yang objektif adalah
pelaksanaan Pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di
bidang legislatif, eksekutif, yudikatif maupun semua bidang kenegaraan lainnya. Aktualisasi
Pancasila yang subyektif adalah pelaksanaan dalam sikap pribadi, perorangan, setiap warga negara,
setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa, dan setiap orang Indonesia.
Aktualisasi diripun meliputi mencakup dalam tridarma perguruan tinggi, budaya akademik dan
lingkungan kampus sebagai moral force pengembangan hukum dan HAM, yang mencerminkan
bahwa aktualisasi diri itupun benar-benar ada dan terjadi disekitar kita. Terrmasuk dalam
lingkungan kampus.
3.2 SARAN
Sebelum kita terlampau melangkah jauh, menyisakan jejak yang tidak pantas bagi seorang
mahasiswa. Marilah kita kembali pahami arti dari keberadaan pancasila itu sendiri. Serta kita harus
sadar diri, bahwa kitalah yang akan memegang Negara kita ini. Maka dari itu, mulai saat ini,
biasakanlah berprilaku, bertindak bahkan menganbil keputusan dengan jiwa pancasila kita. Karena
dengan itulah, akan terwujud bangsa yang makmur serta tujuan Negara akan mudah dicapai.