Anda di halaman 1dari 15

PERAN NATO DALAM PERANG RUSIA UKRAINA MENURUT TEORI

POSTKOLONIALISME
Abstract
This discussion explores the multifaceted dynamics of the Russia-Ukraine conflict
through the lenses of postcolonial theory, cultural hybridity, and Orientalism.
Examining the historical legacies, power imbalances, and biased narratives, the
analysis reveals the complexities of cultural negotiation, linguistic influence, and
the subaltern perspective within the conflict zone. Moreover, the study
emphasizes the critical need for decolonizing knowledge, dismantling Eurocentric
biases, and recognizing Ukraine's agency in shaping its narrative. By engaging
with these frameworks, a nuanced and equitable understanding of the conflict
emerges, highlighting the ongoing relevance of postcolonial perspectives in
deciphering contemporary geopolitical events.
Keywords: Russia-Ukraine conflict, postcolonial theory, cultural hybridity,
Orientalism, decolonizing knowledge.
Pendahuluan
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memicu perhatian dan perdebatan
global, dimana Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mempunyai peran
penting dalam dinamika krisis ini. Dalam mengkaji peran NATO melalui
kacamata teori postkolonial, penting untuk mempertimbangkan konteks sejarah
yang mengarah pada pembentukan NATO dan transformasi geopolitik selanjutnya
yang membentuk tindakan-tindakannya.

NATO, yang didirikan pada tahun 1949, muncul setelah Perang Dunia II
sebagai aliansi pertahanan kolektif antara negara-negara Amerika Utara dan
Eropa. Organisasi ini dibentuk untuk melawan ancaman yang ditimbulkan oleh
Uni Soviet dan komunisme, yang mencerminkan pola pikir kolonial yang berlaku
pada saat itu. Perang Dingin, yang ditandai dengan persaingan ideologi dan
perebutan kekuasaan geopolitik, membuka peluang bagi keterlibatan NATO
dalam konflik, dan memperkuat pemahaman biner tentang dunia.

Ketika Perang Dingin berakhir pada awal tahun 1990an, NATO menghadapi
perubahan paradigma, sehingga memerlukan evaluasi ulang atas perannya di era
pasca-Soviet. Pembubaran Uni Soviet menandai berakhirnya tatanan dunia
bipolar, namun juga membuka tantangan dan peluang baru. Perluasan NATO ke
Eropa Timur, yang mencakup negara-negara bekas Uni Soviet, menimbulkan
kekhawatiran mengenai dampak postkolonial organisasi tersebut. Kritikus
berpendapat bahwa perluasan NATO mencerminkan pendekatan neo-kolonial,
yang berpotensi melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan dan dominasi
geopolitik1.

Kasus spesifik keterlibatan NATO dalam konflik Rusia-Ukraina harus


dianalisis berdasarkan kritik postkolonial terhadap intervensionisme. Tindakan
aliansi ini sering dilihat melalui kacamata Eurosentris, dimana negara-negara
anggota NATO mempunyai pengaruh dan kekuasaan pengambilan keputusan atas
konflik di Eropa Timur2. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh
mana intervensi NATO didorong oleh kepedulian yang tulus terhadap hak asasi
manusia dan demokrasi atau apakah intervensi tersebut melanggengkan agenda
neokolonial, sehingga memperkuat hierarki global.

Terlebih lagi, wacana seputar konflik mengungkap dampak warisan kolonial


terhadap persepsi pihak-pihak yang terlibat. Rusia, yang sering digambarkan
sebagai penerus Uni Soviet, tunduk pada narasi tertentu yang mencerminkan
stereotip Perang Dingin. Penempatan Rusia sebagai agresor dalam konflik dapat
dilihat sebagai kelanjutan dari Orientalisme era kolonial, yang membentuk
persepsi Barat terhadap Timur sebagai ancaman.

Tanggapan NATO terhadap konflik Rusia-Ukraina juga menujukkan


pentingnya mengkaji dinamika kekuatan aliansi secara internal. Dominasi negara-
negara Barat dalam NATO menimbulkan pertanyaan mengenai keterwakilan dan
kesetaraan, yang juga mencerminkan kekhawatiran postkolonial mengenai
pelestarian perspektif Barat-sentris dalam lembaga-lembaga global3.
1
Abid Rohmanu, “JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN (THE CLASH OF
CIVILIZATIONS): MENYELAMI IDENTITAS POSKOLONIAL KHALED MEDHAT
ABOU EL FADL Oleh:,” Globalization: Causes and Effects (2017): 385–412.
2
Fremdwahrnehmung Bosniens and Magdalena Byma, “Andrić Postkolonial
Diplomarbeit” (2014).
3
José Arce and Julia Suárez-Krabbe, “Racism, Global Apartheid and Disobedient
Mobilities: The Politics of Detention and Deportation in Europe and Denmark,” KULT:
Selain itu, penggunaan kekuatan militer oleh NATO dalam konflik tersebut
menjadikan refleksi terhadap warisan imperialisme dan pengaruhnya terhadap
kebijakan intervensionis kontemporer. Pengerahan sumber daya militer
mencerminkan kelanjutan pola sejarah di mana negara-negara kuat menegaskan
pengaruhnya melalui kekerasan, yang serupa dengan intervensi kolonial di masa
lalu.

Kritikus berpendapat bahwa keterlibatan NATO dalam konflik Rusia-


Ukraina mencerminkan pendekatan intervensi yang selektif, yang di mana
intervensi tersebut didasari oleh kepentingan geopolitik dan bukan komitmen
tulus terhadap prinsip-prinsip postkolonial. Penetapan prioritas konflik-konflik
tertentu dibandingkan konflik-konflik lain menimbulkan pertanyaan mengenai
peran aliansi ini dalam memperkuat kesenjangan global dan melanggengkan
struktur neokolonial.

Peran NATO dalam konflik Rusia-Ukraina melalui lensa teori postkolonial


mengungkap interaksi yang kompleks antara warisan sejarah, dinamika kekuatan
geopolitik, dan pertanyaan tentang representasi. Pemeriksaan ini menjadikan
evaluasi kritis terhadap tindakan NATO, meningkatkan pertimbangan penting
mengenai dampak aliansi terhadap politik global dan keselarasan dengan prinsip-
prinsip postkolonial.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perang Rusia Ukraina dari awal hingga saat ini ?
2. Bagaimana teori Postkolonialisme melihat peran NATO dalam perang
Rusia Ukraina ?
3. Bagaimana solusi dari teori Postkolonialisme untuk peran NATO dalam
perang Rusia Ukraina ?

Kajian Teori
Teori postkolonial adalah kerangka kritis yang muncul untuk mengkaji dan
mendekonstruksi dampak kolonialisme yang bertahan lama terhadap masyarakat,

Racism in Denmark 15, no. June (2018): 107–127, http://alice.ces.uc.pt/news/?p=5492.


budaya, dan identitas. Berkembang pada paruh kedua abad ke-20,
postkolonialisme menantang narasi Eurosentris yang secara historis mendominasi
wacana akademis dan budaya. Teori tersebut menjelaskan dampak kolonisasi
dalam berbagai segi, mencakup isu-isu seperti dinamika kekuasaan, hibriditas
budaya, dan perlawanan.

Pada intinya, teori postkolonial berupaya mengungkap hubungan yang


kompleks hubungan kekuasaan yang bertahan melampaui batas formal
pemerintahan kolonial. Sejarah kolonial telah membentuk struktur dominasi dan
subordinasi global. Pakar postkolonial berpendapat bahwa warisan penjajahan
tertanam kuat dalam institusi, bahasa, dan praktik budaya, sehingga memengaruhi
norma-norma masyarakat kontemporer dan struktur kekuasaan.

Salah satu konsep fundamental dalam teori postkolonial adalah gagasan


“Other”. Istilah ini mengacu pada konstruksi 'Other'—sebuah entitas yang
dianggap berbeda, inferior, dan sering kali tidak manusiawi. Proses Othering
merupakan aspek penting dalam wacana kolonial, yang memungkinkan penjajah
membenarkan dominasi dan eksploitasi mereka. Para ahli teori postkolonial
menekankan sifat Othering yang terus berlanjut dalam masyarakat postkolonial,
yang bermanifestasi dalam isu rasisme, xenofobia, dan marginalisasi budaya4.

Postkolonialisme juga menginterogasi gagasan hibriditas budaya, dengan


mengakui bahwa budaya bukanlah entitas yang statis, melainkan dinamis dan
terus berkembang. Pertemuan kolonial menghasilkan perpaduan berbagai elemen
budaya, menciptakan bentuk ekspresi dan identitas baru. Perspektif ini menantang
pandangan esensialis yang menghomogenisasi budaya dan menyoroti peran
masyarakat terjajah dalam membentuk narasi mereka sendiri.

Gerakan subaltern, yang merupakan bagian integral dari teori postkolonial,


berfokus pada pemberian suara kepada komunitas yang terpinggirkan dan
terbungkam dalam sejarah kolonial5. Dengan mengkaji pengalaman orang-orang

4
Lars Jensen, “Provincialising Scandinavia,” Kult 7, no. Special Issue (2010): 7–21.
5
Angga Nurdin Rachmat, “Kritik Postkolonialisme Terhadap Dominasi Negara Barat
Dalam Isu Nuklir (Postcolonialism Criticism Against Western States Domination in
yang sering dikecualikan dari narasi dominan, gerakan subaltern bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dampak penjajahan
terhadap kelompok yang beragam.

Para ahli teori postkolonial menaruh perhatian pada peran bahasa sebagai
alat kekuasaan dan perlawanan. Pemberlakuan bahasa kolonial dan penghapusan
bahasa asli merupakan mekanisme kontrol. Studi linguistik postkolonial
memberikan pemahaman bagaimana bahasa berkontribusi pada konstruksi
identitas, melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan, dan berfungsi sebagai
tempat perlawanan dan dekolonisasi.

Konsep Orientalisme Edward Said merupakan inti pemikiran postkolonial.


Ia mengkritik representasi akademis dan artistik Barat tentang Timur sebagai
sesuatu yang eksotik, terbelakang, dan inferior. Orientalisme mengungkap
dinamika kekuasaan yang melekat dalam produksi pengetahuan dan cara kekuatan
kolonial membangun narasi untuk memperkuat dominasi mereka.

Bertahannya neokolonialisme merupakan kekhawatiran yang signifikan


dalam wacana postkolonial. Struktur neokolonial, baik ekonomi, politik, atau
budaya, melanggengkan kesenjangan global dan terus mengeksploitasi wilayah-
wilayah yang dulunya merupakan wilayah jajahan 6. Para ahli teori postkolonial
berpendapat bahwa dekolonisasi sejati memerlukan pembongkaran struktur-
struktur ini dan mengatasi bentuk-bentuk eksploitasi yang sedang berlangsung.

Teori postkolonial telah mempengaruhi berbagai disiplin ilmu, termasuk


sastra, sejarah, antropologi, dan studi budaya. Para sarjana mengkaji teks, baik
sastra maupun non-sastra, melalui lensa postkolonial, menganalisis bagaimana

Nuclear Issues)” (2019): 60–70,


http://fisip.unjani.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Kritik-Postkolonialisme-Terhadap-
Dominasi-Negara-Barat-dalam-Isu-Angga-Nurdin-Rahmat.pdf.
6
F Al-Fadhat and J Savitri, Lembaga Keuangan Internasional Dan Persoalan
Sustainable Development Goals, 2023, https://www.researchgate.net/profile/Faris-Al-
Fadhat/publication/371829771_Lembaga_Keuangan_Internasional_dan_Persoalan_Sustai
nable_Development_Goals/links/6496e932b9ed6874a5d4f27f/Lembaga-Keuangan-
Internasional-dan-Persoalan-Sustainable-Development-Goals.
teks melanggengkan atau menantang ideologi kolonial 7. Bidang ini juga telah
diperluas untuk mencakup analisis budaya visual, media, dan praktik sehari-hari.

Kritik terhadap Eurosentrisme adalah tema yang berulang dalam teori


postkolonial. Para ahli berpendapat untuk desentralisasi perspektif Eurosentris dan
pengakuan berbagai epistemologi. Hal ini memerlukan pendekatan yang lebih
inklusif dan beragam terhadap produksi pengetahuan yang mengakui kontribusi
budaya dan perspektif non-Barat.

Interseksionalitas identitas merupakan pertimbangan penting dalam wacana


postkolonial. Teori ini mengakui bahwa individu menghuni berbagai kategori
sosial, seperti ras, gender, dan kelas, yang saling bersinggungan dan membentuk
pengalaman penjajahan dan perlawanan. Perspektif interseksional ini
memungkinkan adanya pemahaman yang berbeda tentang dinamika kekuasaan
dan menantang pandangan esensialis tentang identitas.

Pembahasan
Dinamika Kekuasaan Postkolonial
Konflik antara Rusia dan Ukraina pada dasarnya terkait dengan dinamika
kekuatan postkolonial, karena konflik ini mewakili hubungan yang kompleks
antara warisan sejarah, perebutan kekuasaan geopolitik, dan dampak kolonialisme
yang bertahan lama. Secara historis, Ukraina telah menjadi titik fokus ketegangan
geopolitik, terletak di persimpangan Eropa Timur dan telah mengalami
pemerintahan kekaisaran selama berabad-abad. Warisan kekaisaran Rusia dan
Soviet telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di kawasan ini,
memengaruhi dinamika politik, budaya, dan sosial. Dinamika kekuasaan
postkolonial dalam konteks ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari perjuangan
historis untuk mendapatkan dominasi dan kendali.

Intervensi Rusia di Ukraina dapat diartikan sebagai manifestasi dari


kecenderungan neokolonial, dimana sebuah negara kuat berupaya untuk
memberikan pengaruh terhadap negara tetangganya. Penerapan kemauan politik,
7
Valensius Ngardi, “Menggugat Simbol - Simbol Kekerasan Di Ruang Moderasi
Agama,” no. October (2023): 92–101.
tekanan ekonomi, dan kekuatan militer mencerminkan pola historis intervensi
kolonial, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik tindakan
tersebut dan dampaknya terhadap kedaulatan negara yang terkena dampak8.

Konsep “Othering” terlihat jelas dalam retorika dan narasi seputar konflik.
Rusia sering menggambarkan Ukraina sebagai 'Other', menekankan perbedaan
budaya dan sejarah untuk membenarkan intervensinya. Konstruksi 'Other' ini
mencerminkan dinamika kekuasaan yang berakar pada pola pikir kolonial,
melanggengkan stereotip dan membenarkan tindakan yang memperkuat hubungan
hierarkis.

Hibriditas budaya mengemuka dalam konteks konflik Ukraina-Rusia,


karena kedua negara memiliki ikatan sejarah, bahasa, dan budaya yang sama.
Perjuangan untuk mendapatkan identitas dalam menghadapi tekanan eksternal
menggarisbawahi sifat dinamis dari identitas budaya, menantang pandangan
esensialis. Konflik ini berfungsi sebagai medan pertempuran untuk negosiasi
identitas, yang berimplikasi pada pemahaman yang lebih luas mengenai dinamika
postkolonial.

Bahasa yang digunakan dalam wacana seputar konflik juga berdampak


dalam melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan. Pemaksaan narasi tertentu,
yang seringkali dibingkai dalam istilah Eurosentris, mempengaruhi persepsi
global mengenai konflik tersebut. Menelaah aspek linguistik melalui kacamata
postkolonial mengungkap bagaimana bahasa menjadi alat kekuasaan, membentuk
narasi yang memperkuat atau menantang struktur kekuasaan yang ada.

Bertahannya struktur neokolonial terlihat jelas dalam dimensi ekonomi


konflik. Tekanan ekonomi, kendali sumber daya, dan kepentingan geopolitik
merupakan pendorong utama dinamika kekuasaan antara Rusia dan Ukraina.
Dimensi ekonomi menyoroti kecenderungan neokolonial dari negara-negara kuat
yang berupaya mempertahankan kendali atas sumber daya dan membentuk
lanskap ekonomi di wilayah tersebut.
8
Syuryansyah Syuryansyah and Rethorika Berthanila, “Upaya Penyelesaian Konflik
Rusia-Ukraina,” Jurnal PIR : Power in International Relations 7, no. 1 (2022): 97.
Perspektif subaltern sangat penting dalam memahami pengalaman
komunitas marginal di Ukraina yang terkena dampak konflik. Suara-suara dari
kelompok yang paling terkena dampak seringkali tidak terdengar dalam wacana
geopolitik yang lebih luas, karena mereka menekankan pentingnya
mempertimbangkan subaltern dalam analisis postkolonial9. Narasi mereka
menyoroti konsekuensi perebutan kekuasaan bagi kemanusiaan dan memberikan
wawasan mengenai kompleksitas konflik.

Konsep Orientalisme Edward Said tercermin dalam kerangka konflik Barat,


di mana Rusia sering digambarkan sebagai agresor. Sudut pandang orientalis
mempengaruhi persepsi global, berkontribusi pada narasi yang memperkuat
dinamika kekuasaan yang ada dan membenarkan intervensi tertentu. Mengenali
dampak Orientalisme sangat penting untuk memahami konflik dan
keterwakilannya di arena global.

Dekolonisasi pengetahuan dalam konteks konflik Ukraina-Rusia


menimbulkan tantangan terhadap perspektif Eurosentris yang mendominasi
wacana. Hal ini memerlukan pengakuan terhadap lembaga Ukraina yang
membentuk narasinya sendiri dan menolak intervensi eksternal. Dekolonisasi,
dalam pengertian ini, merupakan seruan untuk pemahaman yang lebih inklusif
dan beragam mengenai konflik yang melampaui sudut pandang Barat-sentris.

Hubungan antara identitas terlihat jelas dalam beragamnya pengalaman


individu di zona konflik. Persinggungan berbagai faktor seperti kebangsaan, etnis,
dan status sosio-ekonomi membentuk cara berbagai kelompok mengalami dan
menavigasi dinamika kekuasaan yang sedang terjadi. Perspektif interseksional
memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kompleksitas yang
melekat dalam konflik.

Hibriditas Budaya dan Pembentukan Identitas

9
Baby Christina Martasari Rudolf Willems and Levina Yustitianingtyas, “Peran Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Penyelesaian Invasi Rusia Atas Ukraina
Tahun 2022,” ACADEMOS : Jurnal Hukum & Tatanan Sosial 1, no. 1 (2022): 49–62.
Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan hanya pertarungan geopolitik tetapi
juga panggung negosiasi hibriditas budaya dan pembentukan identitas.
Keterikatan historis antara kedua negara ini telah menghasilkan interaksi yang
kompleks antara unsur-unsur budaya, yang memengaruhi cara orang-orang di
kedua pihak yang berkonflik memandang identitas mereka sendiri dan identitas
orang lain.

Ukraina, yang terletak di Eropa Timur, memiliki sejarah yang kaya yang
dibentuk oleh beragam pengaruh budaya. Wilayah ini telah menjadi tempat
berkumpulnya berbagai etnis, bahasa, dan tradisi, sehingga berkontribusi terhadap
lanskap atau wajah budaya yang ada di dunia. Hibriditas budaya ini terlihat jelas
dalam beragamnya identitas di Ukraina, yang mencerminkan hidup berdampingan
dan interaksi selama berabad-abad dengan budaya tetangga.

Intervensi Rusia di Ukraina semakin membuat kompleksitas antar budaya


yang ada di dua negara tersebut, karena kedua negara memiliki ikatan sejarah,
bahasa, dan budaya yang sama. Perjuangan untuk mendapatkan identitas menjadi
nyata ketika menghadapi tekanan eksternal, yang mendorong individu untuk
menegosiasikan afiliasi budaya mereka dalam konteks konflik geopolitik.

Bahasa, sebagai komponen penting dari identitas budaya, mempunyai peran


penting dalam konflik Ukraina-Rusia. Penerapan dominasi linguistik, baik melalui
kebijakan atau propaganda, menjadi alat dalam membentuk narasi dan
memperkuat perbedaan budaya10. Aspek linguistik dari konflik ini merupakan
bagian integral dari negosiasi hibriditas budaya, ketika individu menavigasi
berbagai identitas linguistik dan menegaskan hak-hak linguistik mereka.

Konflik ini menjadi medan pertempuran untuk negosiasi identitas nasional


di Ukraina. Berbagai wilayah di suatu negara mungkin memiliki identifikasi yang
berbeda berdasarkan afiliasi sejarah dan pengaruh budaya. Perjuangan mencapai
otonomi dan penentuan nasib sendiri di wilayah-wilayah tertentu mencerminkan

10
Komang Febrinayanti Dantes, Universitas Pendidikan Ganesha, and Hukum
Internasional, “INTERNASIONAL” 10, no. 3 (2022): 260–268.
negosiasi identitas yang kompleks dalam kerangka negara-bangsa yang lebih luas,
yang semakin menekankan sifat hibrid dari afiliasi budaya.

Dimensi ekonomi dari konflik juga berkontribusi pada negosiasi hibriditas


budaya. Tekanan ekonomi, kendali sumber daya, dan kepentingan geopolitik
mempengaruhi cara masyarakat menentukan identitas ekonomi mereka. Dimensi
ekonomi dari konflik ini menggarisbawahi keterkaitan faktor budaya, politik, dan
ekonomi dalam membentuk identitas individu dan komunitas yang terkena
dampak konflik.

Perspektif subaltern menjadi penting dalam memahami pengalaman


komunitas marginal di Ukraina yang paling terkena dampak konflik. Komunitas-
komunitas ini sering kali memiliki identitas budaya unik yang mungkin berbeda
dari narasi dominan. Menelaah perspektif subaltern menyoroti beragam cara di
mana individu menavigasi afiliasi budaya mereka dan menolak pengaruh
eksternal.

Konsep Orientalisme Edward Said tercermin dalam kerangka konflik Barat,


di mana Rusia sering digambarkan sebagai agresor. Pandangan orientalis ini
mempengaruhi persepsi global, berkontribusi pada narasi yang memperkuat
perbedaan budaya dan membenarkan intervensi tertentu. Mengenali dampak
Orientalisme sangat penting untuk memahami konflik dan keterwakilannya di
arena global.

Dekolonisasi pengetahuan dalam konteks konflik Ukraina-Rusia


menimbulkan tantangan terhadap perspektif Eurosentris yang mendominasi
wacana. Hal ini memerlukan pengakuan terhadap Lembaga negara Ukraina yang
membentuk narasinya sendiri dan menolak intervensi eksternal. Interseksionalitas
identitas terlihat jelas dalam beragamnya pengalaman individu di zona konflik 11.
Beberapa faktor-faktor seperti kebangsaan, etnis, dan status sosial ekonomi
membentuk cara kelompok-kelompok berbeda mengalami dan mengarahkan

11
Diana Mayasari and Yulianah Prihatin, “Subaltern Dalam Novel Promise , Love And
Life Karya Nyi Penengah Dewanti : Kajian Postkolonial Gayatri Spivak,” Jurnal Ilmiah
Korpus 5, no. 3 (2021): 399–411.
negosiasi hibriditas budaya. Perspektif interseksional memungkinkan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai kompleksitas yang melekat dalam konflik.

Konflik Ukraina-Rusia menjadi tempat pertaruangan kontemporer di mana


hibriditas budaya dan pembentukan identitas terkait erat dengan pergulatan
geopolitik. Negosiasi elemen budaya yang beragam, dinamika linguistik, tekanan
ekonomi, dan perspektif subaltern semuanya berkontribusi pada interaksi identitas
yang kompleks dalam zona konflik. Menelaah aspek-aspek ini melalui kacamata
postkolonial memberikan wawasan berharga tentang bagaimana negosiasi budaya
membentuk identitas individu dan kolektif di tengah tantangan yang ditimbulkan
oleh kekuatan eksternal dan warisan sejarah.

Orientalisme dan Dekolonisasi Pengetahuan


Konflik Rusia-Ukraina dipenuhi dengan perspektif orientalis yang
membentuk narasi dan persepsi global, sehingga berkontribusi terhadap krisis
yang kompleks. Konsep Orientalisme Edward Said, yang berakar pada konstruksi
bias 'Other' dan Eurosentris, mempunyai peran penting dalam bagaimana konflik
dibingkai. Penggambaran Rusia sebagai agresor di media Barat mencerminkan
sudut pandang Orientalis, yang melanggengkan stereotip sejarah dan memperkuat
ketidakseimbangan kekuasaan.

Pembingkaian orientalis ini mempengaruhi wacana konflik sehingga


menciptakan narasi yang memposisikan Ukraina sebagai korban agresi eksternal.
Penyederhanaan yang berlebihan terhadap realitas geopolitik yang kompleks
terlalu menyederhanakan situasi, sehingga mereduksinya menjadi dikotomi Barat
yang 'beradab' versus Timur yang 'biadab'. Konstruksi biner ini melanggengkan
pandangan dunia Eurosentris, mengaburkan dinamika konflik dan berkontribusi
pada pemahaman yang bias.

Dekolonisasi pengetahuan,, sangat penting dalam mengungkap dan


menantang perspektif Orientalis dalam konteks konflik Rusia-Ukraina. Hal ini
mengharuskan pembongkaran narasi Eurosentris dan mengakui peran Ukraina
dalam membentuk budayanya sendiri. Dengan melakukan dekolonisasi
pengetahuan, konflik dapat dipahami dengan cara yang lebih bernuansa yang
mengakui beragam perspektif dan menghindari penguatan dinamika kekuasaan
historis.

Dekolonisasi pengetahuan dalam konflik Rusia-Ukraina meluas hingga


mempertanyakan narasi dominan yang mendorong wacana internasional. Hal ini
memerlukan penguatan suara-suara dari kawasan, menyediakan platform bagi
perspektif alternatif yang menantang sudut pandang Barat-sentris. Dengan
melakukan hal ini, pemahaman konflik yang lebih inklusif dan adil akan muncul,
bebas dari kendala bias orientalis.

Dinamika kekuasaan yang melekat dalam Orientalisme terlihat jelas dalam


kerangka penyebab dan akibat konflik. Penekanan pada kepentingan geopolitik,
faktor ekonomi, dan intervensi militer mencerminkan pola pikir kolonial yang
melanggengkan hierarki global. Dalam wacana colonial ada peran bahasa dalam
konflik tersebut mengungkap bagaimana aspek linguistik berkontribusi pada
narasi orientalis. Penggunaan istilah dan frasa tertentu dalam wacana media dan
politik memperkuat prasangka tentang 'Other'. Perspektif dekolonisasi terhadap
bahasa mencakup pengakuan terhadap dampak pilihan linguistik dan tantangan
terhadap penggunaan istilah-istilah untuk membentuk narasi yang melanggengkan
ketidakseimbangan kekuasaan.

Hubungan antar identitas dalam zona konflik merupakan aspek penting


dalam dekolonisasi pengetahuan. Dengan mengenali beragam pengalaman
individu berdasarkan faktor-faktor seperti kebangsaan, etnis, dan status sosial
ekonomi, maka akan muncul pemahaman yang lebih inklusif. Dekolonisasi
memerlukan pengakuan terhadap keragaman identitas dan pengalaman yang
membentuk cara individu menavigasi kompleksitas konflik.

Struktur neokolonial berperan dalam melanggengkan perspektif Orientalis,


ketika negara-negara kuat menyatakan pengaruhnya atas wilayah tersebut karena
alasan geopolitik dan ekonomi. Dekolonisasi pengetahuan meliputi pemahaman
terhadap struktur-struktur ini, menantang kecenderungan neokolonial yang
mendasari intervensi internasional, dan mendukung tatanan global yang lebih adil.

Perspektif subaltern, yang seringkali terpinggirkan dalam wacana arus


utama, sangat penting dalam mendekolonisasi pengetahuan tentang konflik Rusia-
Ukraina. Dengan memperkuat suara mereka yang paling terkena dampak, akan
muncul pemahaman yang lebih komprehensif yang mencerminkan beragam
pengalaman masyarakat di zona konflik. Dekolonisasi melibatkan pemusatan
narasi kelompok subaltern, pengakuan terhadap agensi mereka, dan tantangan
terhadap mekanisme pembungkaman yang melekat dalam perspektif Orientalis.

Dimensi ekonomi dari konflik ini memberikan pemahaman bahwa


kecenderungan neokolonial yang berdampak pada wilayah tersebut. Tekanan
ekonomi dan pengendalian sumber daya berkontribusi terhadap
ketidakseimbangan kekuasaan, sehingga mempengaruhi jalannya konflik.
Dekolonisasi pengetahuan dalam konteks ini memerlukan kajian kritis terhadap
dimensi-dimensi ekonomi, kemudian mengenali bagaimana dimensi-dimensi
tersebut bersinggungan dengan dinamika geopolitik yang lebih luas, dan
menantang struktur-struktur yang melanggengkan kesenjangan.

Simpulan
Kajian terhadap konflik Rusia-Ukraina melalui kacamata teori postkolonial,
hibriditas budaya, dan Orientalisme memberikan pemahaman bawa adanya
dinamika rumit yang terjadi. Konflik ini mengungkap bagaimana warisan sejarah,
perebutan kekuasaan, dan narasi yang bias terus membentuk perspektif global.
Konsep negosiasi budaya, pengaruh linguistik, dan perspektif subaltern menyoroti
berbagai cara yang dilakukan individu dan komunitas dalam menavigasi identitas
mereka di zona konflik. Selain itu, kerangka orientalis mengenai konflik ini
menekankan pentingnya dekolonisasi pengetahuan, menghilangkan bias
Eurosentris, dan mengakui peran Ukraina dalam membentuk narasinya sendiri.
Dengan terlibat secara kritis dalam kerangka kerja ini, pemahaman konflik yang
lebih komprehensif dan adil akan muncul, yang menekankan relevansi perspektif
postkolonial dalam menganalisis peristiwa geopolitik kontemporer.
Daftar Pustaka
Al-Fadhat, F, and J Savitri. Lembaga Keuangan Internasional Dan Persoalan
Sustainable Development Goals, 2023.
https://www.researchgate.net/profile/Faris-Al-Fadhat/publication/371829771
_Lembaga_Keuangan_Internasional_dan_Persoalan_Sustainable_Developme
nt_Goals/links/6496e932b9ed6874a5d4f27f/Lembaga-Keuangan-
Internasional-dan-Persoalan-Sustainable-Development-Goals.
Arce, José, and Julia Suárez-Krabbe. “Racism, Global Apartheid and Disobedient
Mobilities: The Politics of Detention and Deportation in Europe and
Denmark.” KULT: Racism in Denmark 15, no. June (2018): 107–127.
http://alice.ces.uc.pt/news/?p=5492.
Bosniens, Fremdwahrnehmung, and Magdalena Byma. “Andrić Postkolonial
Diplomarbeit” (2014).
Christina Martasari Rudolf Willems, Baby, and Levina Yustitianingtyas. “Peran
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Penyelesaian Invasi
Rusia Atas Ukraina Tahun 2022.” ACADEMOS : Jurnal Hukum & Tatanan
Sosial 1, no. 1 (2022): 49–62.
Dantes, Komang Febrinayanti, Universitas Pendidikan Ganesha, and Hukum
Internasional. “INTERNASIONAL” 10, no. 3 (2022): 260–268.
Jensen, Lars. “Provincialising Scandinavia.” Kult 7, no. Special Issue (2010): 7–
21.
Mayasari, Diana, and Yulianah Prihatin. “Subaltern Dalam Novel Promise , Love
And Life Karya Nyi Penengah Dewanti : Kajian Postkolonial Gayatri
Spivak.” Jurnal Ilmiah Korpus 5, no. 3 (2021): 399–411.
Ngardi, Valensius. “Menggugat Simbol - Simbol Kekerasan Di Ruang Moderasi
Agama,” no. October (2023): 92–101.
Rachmat, Angga Nurdin. “Kritik Postkolonialisme Terhadap Dominasi Negara
Barat Dalam Isu Nuklir (Postcolonialism Criticism Against Western States
Domination in Nuclear Issues)” (2019): 60–70. http://fisip.unjani.ac.id/wp-
content/uploads/2019/02/Kritik-Postkolonialisme-Terhadap-Dominasi-
Negara-Barat-dalam-Isu-Angga-Nurdin-Rahmat.pdf.
Rohmanu, Abid. “JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN (THE CLASH OF
CIVILIZATIONS): MENYELAMI IDENTITAS POSKOLONIAL
KHALED MEDHAT ABOU EL FADL Oleh:” Globalization: Causes and
Effects (2017): 385–412.
Syuryansyah, Syuryansyah, and Rethorika Berthanila. “Upaya Penyelesaian
Konflik Rusia-Ukraina.” Jurnal PIR : Power in International Relations 7, no.
1 (2022): 97.

Anda mungkin juga menyukai