POSTKOLONIALISME
Abstract
This discussion explores the multifaceted dynamics of the Russia-Ukraine conflict
through the lenses of postcolonial theory, cultural hybridity, and Orientalism.
Examining the historical legacies, power imbalances, and biased narratives, the
analysis reveals the complexities of cultural negotiation, linguistic influence, and
the subaltern perspective within the conflict zone. Moreover, the study
emphasizes the critical need for decolonizing knowledge, dismantling Eurocentric
biases, and recognizing Ukraine's agency in shaping its narrative. By engaging
with these frameworks, a nuanced and equitable understanding of the conflict
emerges, highlighting the ongoing relevance of postcolonial perspectives in
deciphering contemporary geopolitical events.
Keywords: Russia-Ukraine conflict, postcolonial theory, cultural hybridity,
Orientalism, decolonizing knowledge.
Pendahuluan
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memicu perhatian dan perdebatan
global, dimana Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mempunyai peran
penting dalam dinamika krisis ini. Dalam mengkaji peran NATO melalui
kacamata teori postkolonial, penting untuk mempertimbangkan konteks sejarah
yang mengarah pada pembentukan NATO dan transformasi geopolitik selanjutnya
yang membentuk tindakan-tindakannya.
NATO, yang didirikan pada tahun 1949, muncul setelah Perang Dunia II
sebagai aliansi pertahanan kolektif antara negara-negara Amerika Utara dan
Eropa. Organisasi ini dibentuk untuk melawan ancaman yang ditimbulkan oleh
Uni Soviet dan komunisme, yang mencerminkan pola pikir kolonial yang berlaku
pada saat itu. Perang Dingin, yang ditandai dengan persaingan ideologi dan
perebutan kekuasaan geopolitik, membuka peluang bagi keterlibatan NATO
dalam konflik, dan memperkuat pemahaman biner tentang dunia.
Ketika Perang Dingin berakhir pada awal tahun 1990an, NATO menghadapi
perubahan paradigma, sehingga memerlukan evaluasi ulang atas perannya di era
pasca-Soviet. Pembubaran Uni Soviet menandai berakhirnya tatanan dunia
bipolar, namun juga membuka tantangan dan peluang baru. Perluasan NATO ke
Eropa Timur, yang mencakup negara-negara bekas Uni Soviet, menimbulkan
kekhawatiran mengenai dampak postkolonial organisasi tersebut. Kritikus
berpendapat bahwa perluasan NATO mencerminkan pendekatan neo-kolonial,
yang berpotensi melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan dan dominasi
geopolitik1.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perang Rusia Ukraina dari awal hingga saat ini ?
2. Bagaimana teori Postkolonialisme melihat peran NATO dalam perang
Rusia Ukraina ?
3. Bagaimana solusi dari teori Postkolonialisme untuk peran NATO dalam
perang Rusia Ukraina ?
Kajian Teori
Teori postkolonial adalah kerangka kritis yang muncul untuk mengkaji dan
mendekonstruksi dampak kolonialisme yang bertahan lama terhadap masyarakat,
4
Lars Jensen, “Provincialising Scandinavia,” Kult 7, no. Special Issue (2010): 7–21.
5
Angga Nurdin Rachmat, “Kritik Postkolonialisme Terhadap Dominasi Negara Barat
Dalam Isu Nuklir (Postcolonialism Criticism Against Western States Domination in
yang sering dikecualikan dari narasi dominan, gerakan subaltern bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dampak penjajahan
terhadap kelompok yang beragam.
Para ahli teori postkolonial menaruh perhatian pada peran bahasa sebagai
alat kekuasaan dan perlawanan. Pemberlakuan bahasa kolonial dan penghapusan
bahasa asli merupakan mekanisme kontrol. Studi linguistik postkolonial
memberikan pemahaman bagaimana bahasa berkontribusi pada konstruksi
identitas, melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan, dan berfungsi sebagai
tempat perlawanan dan dekolonisasi.
Pembahasan
Dinamika Kekuasaan Postkolonial
Konflik antara Rusia dan Ukraina pada dasarnya terkait dengan dinamika
kekuatan postkolonial, karena konflik ini mewakili hubungan yang kompleks
antara warisan sejarah, perebutan kekuasaan geopolitik, dan dampak kolonialisme
yang bertahan lama. Secara historis, Ukraina telah menjadi titik fokus ketegangan
geopolitik, terletak di persimpangan Eropa Timur dan telah mengalami
pemerintahan kekaisaran selama berabad-abad. Warisan kekaisaran Rusia dan
Soviet telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di kawasan ini,
memengaruhi dinamika politik, budaya, dan sosial. Dinamika kekuasaan
postkolonial dalam konteks ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari perjuangan
historis untuk mendapatkan dominasi dan kendali.
Konsep “Othering” terlihat jelas dalam retorika dan narasi seputar konflik.
Rusia sering menggambarkan Ukraina sebagai 'Other', menekankan perbedaan
budaya dan sejarah untuk membenarkan intervensinya. Konstruksi 'Other' ini
mencerminkan dinamika kekuasaan yang berakar pada pola pikir kolonial,
melanggengkan stereotip dan membenarkan tindakan yang memperkuat hubungan
hierarkis.
9
Baby Christina Martasari Rudolf Willems and Levina Yustitianingtyas, “Peran Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Penyelesaian Invasi Rusia Atas Ukraina
Tahun 2022,” ACADEMOS : Jurnal Hukum & Tatanan Sosial 1, no. 1 (2022): 49–62.
Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan hanya pertarungan geopolitik tetapi
juga panggung negosiasi hibriditas budaya dan pembentukan identitas.
Keterikatan historis antara kedua negara ini telah menghasilkan interaksi yang
kompleks antara unsur-unsur budaya, yang memengaruhi cara orang-orang di
kedua pihak yang berkonflik memandang identitas mereka sendiri dan identitas
orang lain.
Ukraina, yang terletak di Eropa Timur, memiliki sejarah yang kaya yang
dibentuk oleh beragam pengaruh budaya. Wilayah ini telah menjadi tempat
berkumpulnya berbagai etnis, bahasa, dan tradisi, sehingga berkontribusi terhadap
lanskap atau wajah budaya yang ada di dunia. Hibriditas budaya ini terlihat jelas
dalam beragamnya identitas di Ukraina, yang mencerminkan hidup berdampingan
dan interaksi selama berabad-abad dengan budaya tetangga.
10
Komang Febrinayanti Dantes, Universitas Pendidikan Ganesha, and Hukum
Internasional, “INTERNASIONAL” 10, no. 3 (2022): 260–268.
negosiasi identitas yang kompleks dalam kerangka negara-bangsa yang lebih luas,
yang semakin menekankan sifat hibrid dari afiliasi budaya.
11
Diana Mayasari and Yulianah Prihatin, “Subaltern Dalam Novel Promise , Love And
Life Karya Nyi Penengah Dewanti : Kajian Postkolonial Gayatri Spivak,” Jurnal Ilmiah
Korpus 5, no. 3 (2021): 399–411.
negosiasi hibriditas budaya. Perspektif interseksional memungkinkan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai kompleksitas yang melekat dalam konflik.
Simpulan
Kajian terhadap konflik Rusia-Ukraina melalui kacamata teori postkolonial,
hibriditas budaya, dan Orientalisme memberikan pemahaman bawa adanya
dinamika rumit yang terjadi. Konflik ini mengungkap bagaimana warisan sejarah,
perebutan kekuasaan, dan narasi yang bias terus membentuk perspektif global.
Konsep negosiasi budaya, pengaruh linguistik, dan perspektif subaltern menyoroti
berbagai cara yang dilakukan individu dan komunitas dalam menavigasi identitas
mereka di zona konflik. Selain itu, kerangka orientalis mengenai konflik ini
menekankan pentingnya dekolonisasi pengetahuan, menghilangkan bias
Eurosentris, dan mengakui peran Ukraina dalam membentuk narasinya sendiri.
Dengan terlibat secara kritis dalam kerangka kerja ini, pemahaman konflik yang
lebih komprehensif dan adil akan muncul, yang menekankan relevansi perspektif
postkolonial dalam menganalisis peristiwa geopolitik kontemporer.
Daftar Pustaka
Al-Fadhat, F, and J Savitri. Lembaga Keuangan Internasional Dan Persoalan
Sustainable Development Goals, 2023.
https://www.researchgate.net/profile/Faris-Al-Fadhat/publication/371829771
_Lembaga_Keuangan_Internasional_dan_Persoalan_Sustainable_Developme
nt_Goals/links/6496e932b9ed6874a5d4f27f/Lembaga-Keuangan-
Internasional-dan-Persoalan-Sustainable-Development-Goals.
Arce, José, and Julia Suárez-Krabbe. “Racism, Global Apartheid and Disobedient
Mobilities: The Politics of Detention and Deportation in Europe and
Denmark.” KULT: Racism in Denmark 15, no. June (2018): 107–127.
http://alice.ces.uc.pt/news/?p=5492.
Bosniens, Fremdwahrnehmung, and Magdalena Byma. “Andrić Postkolonial
Diplomarbeit” (2014).
Christina Martasari Rudolf Willems, Baby, and Levina Yustitianingtyas. “Peran
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Penyelesaian Invasi
Rusia Atas Ukraina Tahun 2022.” ACADEMOS : Jurnal Hukum & Tatanan
Sosial 1, no. 1 (2022): 49–62.
Dantes, Komang Febrinayanti, Universitas Pendidikan Ganesha, and Hukum
Internasional. “INTERNASIONAL” 10, no. 3 (2022): 260–268.
Jensen, Lars. “Provincialising Scandinavia.” Kult 7, no. Special Issue (2010): 7–
21.
Mayasari, Diana, and Yulianah Prihatin. “Subaltern Dalam Novel Promise , Love
And Life Karya Nyi Penengah Dewanti : Kajian Postkolonial Gayatri
Spivak.” Jurnal Ilmiah Korpus 5, no. 3 (2021): 399–411.
Ngardi, Valensius. “Menggugat Simbol - Simbol Kekerasan Di Ruang Moderasi
Agama,” no. October (2023): 92–101.
Rachmat, Angga Nurdin. “Kritik Postkolonialisme Terhadap Dominasi Negara
Barat Dalam Isu Nuklir (Postcolonialism Criticism Against Western States
Domination in Nuclear Issues)” (2019): 60–70. http://fisip.unjani.ac.id/wp-
content/uploads/2019/02/Kritik-Postkolonialisme-Terhadap-Dominasi-
Negara-Barat-dalam-Isu-Angga-Nurdin-Rahmat.pdf.
Rohmanu, Abid. “JIHAD DAN BENTURAN PERADABAN (THE CLASH OF
CIVILIZATIONS): MENYELAMI IDENTITAS POSKOLONIAL
KHALED MEDHAT ABOU EL FADL Oleh:” Globalization: Causes and
Effects (2017): 385–412.
Syuryansyah, Syuryansyah, and Rethorika Berthanila. “Upaya Penyelesaian
Konflik Rusia-Ukraina.” Jurnal PIR : Power in International Relations 7, no.
1 (2022): 97.