Anda di halaman 1dari 5

RUANG LINGKUP

Masuknya islam ke Indonesia Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal
muasal Islam di Indonesia adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah
satunya adalah Pijnapel dari Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari
wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i
yang menetap di India yang membawa Islam ke Indonesia.

Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak
kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak diantara
mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan
Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru
kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari mereka adalah keturunan Nabi
Muhammad. Karena manggunakan gelar sayyid atau syarif, yang menyelesaikan penyebaran
Islam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada sekitar abad ke-12

Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengan kapal dari
Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah
Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat pada 698/1297. seabad
kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab
dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara mengambil gelar Mohammad Syah

Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam tersebut
melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini,
maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada waktunya nanti mempunyai andil
yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara. Selanjutnya para pedagang ini melakukan
perkawinan dengan bangsawan lokal sehingga mereka atau keturunanya memperoleh
kekuasaan di dunia politik, untuk penyebaran agama Islam.

Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka pertumbuhan
komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau lainya. Kerajaan Islam
pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya kerajaan Samudra Pasai, Aceh,
Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana Islam menyebar ke daerah-
daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam sudah hampir merata di Nusantara.

Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’.


Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang
lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di
Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Kemudian mereka juga membuat karya-karya
yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan
pemikiran islam di Indonesia masa itu. Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam
penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional yang tidak ada tolok bandingnya
dimana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika
tradisi kebudayaan Islam sedang berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu
telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran
karena di galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga
mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.

Gerakan modern islam

Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang ditunjukan
terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan
Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke 17, melahirkan
kebangkitan Islam dikalangan warga Arab Imperium. Yag terpenting diantaranya adalah
gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah). Gerakan ini merupakan sarana
yang menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang bernuansa intelektual. Katalisator terkenal
dari gerakan pembaharuan ini adalah Jamaludin Al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas
pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali ke Islam dalam
suasana yang secara ilmiah di modernsasi.

1. NU dan ASWAJA

Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan
tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia.
Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan,
NU sebagai organisasi / Jam ‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja
merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.

‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam
hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda
yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham
atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia
telah mengambil bagian yang cukup banyak.”
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang
sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3
kriteria yaitu :

 Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada
Allah SWT.
 Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW,
meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.
 Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun
beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat &
mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.

2. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU : Pejuang Syariah

Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April
1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turuntemurun memimpin pesantren.
Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang
santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah
pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini
mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar
untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang
diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren
Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi,
gurunya di bidang hadis.

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar
di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di
Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak
tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang
diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis
dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi


Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu,
tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan,
“Khalifah telah berakhir tugastugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah,
pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan
konsepnya.”

Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.


Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di
Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan
nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari
golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan
kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember
1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat
(Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi
Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi
Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar
Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926
di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan
organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di
Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam

Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi


perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan
pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti
dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada
31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan
untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.

Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang
tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi
pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu
Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari
Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah.
Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi.
Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang
ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan
kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena
sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ
yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan
semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak
kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.

Anda mungkin juga menyukai