Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

Tugas Resume AIK


Muhammadiyah sebagai Islam Berkemajuan
Dosen Rohmat Suprapto., S.Ag.MSI

Disusun oleh :
Ardita Meilia (G2A222024)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2022/2023
1. Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan
Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) telah menyelanggarakan Muktamar
dalam waktu yang berdekatan, pada minggu pertama Agustus 2015. Tema yang di
angkat sekilas mirip Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia
Berkemajuan” dan NU “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Meski terlihat bersinggungan, namun “Islam Berkemajuan” dan “Islam
Nusantara” adalah respon yang berbeda terhadap fenoma yang sama , yaitu globalisasi,
terutama globalisasi kebudayaan, baik dalam bentuk Arabisasi atau Westernisasi.
Globalisasi sering di pahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu,
jarak dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini
terkait satu sama lain. Ada 4 pergerakan utama dalam globalisasi yaitu barang dan
layanan, informasi, orangg dan modal. Perpindahan 4 hal tersebutdari satu Negara ke
Negara lain memang telah terjadi sejak dahulu kala. Namun perpidahan terjadi sangat
cepathanya terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi
pada beberapa decade balakangan ini. Akibat dari revolusi itu dimensi jarak dan waktu
semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang. Dalam konteks Indonesia,
globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar
atau pun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global.
Ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhiafahan di
bawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita di kejutkan dengan ada sejulah orang Indonesia
yang bergabung dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut
amggota di Indonesia serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia
dengan munculnyagerakan anti-Syiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah
(ANNAS).
Globalisasi juga menyebabkan Transnational Capitalist Network (TNC) masuk
dalam kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan yang mestiny diperuntukkan
untuk kesejahteraan rakyat. Bekerja sama dengan “komprador” para kapitalis global
itumenciptakan jurang yang begitu lebar antar mereka yang kaya atau miskin seperti
terjadi di daerah penambangan Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini
yang kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu dalam globalisasi budaya,
salah satu dampaknya homogenisasi. Ini misalnya terwujudnya dalam bentuk McWorld
atau McDonalsization. Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen
dengan mengindentikkanya dengan Arab dan Arabisasi.

Islam Nusantara

Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respon balik
atauresistensi terhadaphomogenisasi ini di antaranya dalam bentuk indigenization.
Islam Nusantara di populerkan anak – anak NU dan menjadi tema Muktamar NU ke 33
di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi
dengan melakukan indigenisasi.

Islam Nusantara merupakan istilah yang sering di pakai untuk mengacu pada
Islam ala Indonesia yang autentik, langgamnya Nusantara tapi isi dan liriknya Islam,
bajunya Indonesia tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitam dengan
gagasan “pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan almarhum K.H. Abdurrahman
Wahid. Penggunaan resmi nama ini di antaranya dalam jurnal Tashwirul Afkar Edisi
No. 26 tahun 2008.

Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut
sebagai “paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH. Erikson (2007, 14), “Semakin orang
mengglobal, sering kali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya
asalnya”. Dalam kalimat unik ilmuwan lain, “Ketika dunia semakin global, perbedaan –
perbedaan kecil antara umat manusia semakin ditonjolkan”. (Ang, 2014)

Dalam merespon terhadap globalisasi, terutama yang datang dari Barat,


beberapa kelompok agama jurstru mencari perlindungan dalam homogenitas dan
eksklusivitas kelompoknya. Seperti kedamaian itu bisa terjadi menolak keragaman atau
sesuatu yang asing. Di tengah globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri
dan menghalangi orang yang berbeda yang hadir di tengah masyarakat. Fenomena
kemunculan perumahan atau kluster perumahan ekslusif untuk komunitas agama
tertentu misal Kuburan/ pemakaman dan rumah kos pun kadang dibuat untuk pengikut
agama tertentu. Respon terhadap globalisasi yang lebih buruk lagi tentu seperti dalam
bentuk radikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi respon yang baik
terhadaptl globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan sektarianisme.

Islam Berkemajuan

Respon lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan slogan


“Islam Berkemajuan”. Sebelum 2009, slogan ini jarang terdengar, bahkan di kalangan
Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam,
dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalan Catatan
Pribadi Kiai Syuja (2009). Buku yang ditulis murid langsung Kiai Dahlan ini di
antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh Muhammadiyah.

Istilah yang di pakai Muhammadiyah awal menyebut dirinya adalah “Islam


Berkemajuan”. Pada Muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ini dipakai dan dipolerkan
untuk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dengan
globalisasi, Islam Berkemajuan itu sering dikenal sebagai “Islam Kosmopolitan”, yakni
kesadaran bahawa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga duni yang memiliki
“rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisah jarak yang bersifat
primordial dan konvensional”. (Tanfiz Muhammdiyah 2010,18)

Ringkasnya kelahiran dari slogan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”


memliki kemiripan dengan yang terjadi pada 1920 – an. Ketika itu sebagai respon
terhadap berbagai peristiwa di Arab dan Turki (Comite Chilafat dan Comite Hijaz),
lahirlah NU. Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi
Kristen, pemikiran Abduh, dan budaya Jawa. Bias dikatakan bahawa apa yang terjadi
saat ini adalah ancaman dejavu.

2. Minority Complex dan Sekretarianisme di Tubuh Umat Islam


Manusia
Beberapa kajian telah di lakukan untuk melihat mengapa umat Islam sepertinya
selalu kalah di Indonesia. Salah satu temuan dari kajian itu semisalnya menyebutkan
bahwa umat Islam Indonesia itu merupakan mayoritas dalam jumlah, tapi memiliki
mentalitas sebagai minoritas . istilah yang sering di pakai adalah minority complex.
Penyakit minority complex ini tentu biasanya di alami oleh kelompok minoritas. Ini
terwujud misalnya ketika mereka melihat sesuatu yang unique yang ada pada mereka
sebagai suatu penyimpangan dan keanehan. Mereka terlihat uniqueness sebagai
kelemahan atau bahkan sebagai problem atau masalah. Namun minority complex bias
terjadi pada kelompok mayoritas seperti terjadi pada umat Islam Indonesia yang secara
kuantitas mencapai hamper 90 persen dari total penduduknya. Penyakit inilah yang di
antaranya menyebabkan sevagian umat Islam selalu berpikir tentang ancaman dari
kelompok minoritas, hidup dalam bayang – bayang ketakutan, dan sulit berfikir sebagai
bangsa atau umat yang besar. Orang yang menderita minority complex ini biasanya
akan merasa perlu bantuan kekuasaan untuk bisa memperoleh tanpa melalui bantuan
kekuasaan.
Fenomena ini juga bisa diliat dengan kajian postkolonialisme, bahwa mentalitas
atau minority complex sebagai warisan dari colonial. Dalam persektif ini apa yang
terjadi di Indonesia biasa dijelaskan dengan melihat fenomena beberapa Negara bekas
jajahan negara lain. Meski penjajah teah meninggalkan negera jajahannya, sixfat dan
mentalitas sebagai bangsa jajahan masih melekat pada sebagian rakyat dan kebetulan
mereka yang menjadi penguasa juga ingin berperilaku seperti penjajah.
Adakah persoalan lain yang membuat kita ketinggalan selain isu minority
complex? Temtu ada di antaranya adalah ketidakmampuan kita berfikir luas, keluar dari
bingkai kelompok agama. Kasus yang terjadi di Mesir dan Tunisia menunjukkan bahwa
ketika umat Islam mendapat kesempatan memimpin atau mendapat kekuasaan, maka
yang pertama kali diurus atau diperhatikan sering kali adalah urusan kelompok agama
saja. Pasca Arab Spiring, Ikhwanul Muslimin memengkan pemilu di Mesir dengan
mendapat suara terbanyak dan kemudian Mohamed Morsi terpilih Presiden. Namun
baru 1 tahun memimpin banyak rakyat Mesir yang merasa dikecewakan. Rasa kecewa
itu kemudian member kesempatan kepada militer untuk melakukan kudeta dengan
menggunakan kekuatan rakyat. Demikian pula halnya yang terjadi di Tunisia dengan
Partai Ennahda. Nasibnya memnag tak seburuk Ikhwan Muslimin di Mesir. Partai ini
juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan pluralitas di masyarakat dengan berusaha
merangkul beragam kelompok dan menjembatani berbagai perbedaan. Bahkan banyak
yang melihat partai ini jauh lebih baik dari AKP (Adalaet ve Kalkinma Partisi) di Turki.
Namun pemerintahan transisi yang di pimpin oleh Moncef Marzuki dari Ennahda Party,
akhirnya kalam dalam pemilu yang diadakan tiga tahun setelah Arab Spiring. Mereka
dianggap tak bias melakukan harapan berbegai kelompok kepentingan dimasyarakat.
Untuk di Indonesia, hal serupa terjadi dengan partai – partai Islam seperti PKS
(Partai Keadilan Sejahtera). Ketika orang dari partai ini mendapatkan mandate menjadi
menteri di kementerian tertentu, isu yang berkembang adalah bahwa kementerian itu
hanya menjadi sapi perahan. Penjabat dan staff di kementrian itu diganti dengan partai
atai di – PKS – kan. Benar atau tidaknya isu ini tentu masih perlu dibuktikan. Tapi
mencuatnya “skandal sapi” menunjukkan bahwa apa yang selama ini di tuduhkan
kepada PKS mendapat semacam pembenaran. Tentu saja tidak hanya terjadi di PKS,
tapi juga partai – partai lain yang berbasiskan Islam semisal PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional). Jika itu terjadi pada partai yang tak
membawa label agama, maka ada sedikit maklum meski tetap saja tak bisa diterima.
Namun jika itu terjadi pada partai yang membawa bendera Islam, maka sepertinya
dosanya lebih besar.
Cara berpikir sektarian hanya untuk partai atau kelompok agamanya, ini
diantaranya yang membuat Islam kalah atau orang tak percaya dengan partai Islam lagi.
Umat Islam ini masih sulit berfikir atau berjuang dengan melepaskan belenggu
kelompok. Meminjam bahasa Buya Ahmad Syafii Maarif, mestinya kita sudah
membalikkan cara berpikir kita “ke muhammadiyahan, keindonesiaan, dan
kemanusiaan” menuju “kemanusiaan, kebangsaan, dan ke – Muhammadiyahan”.
Namun yang terjadi tetap pada pola yang pertama. Ringkasnya paling tidak ada dua
persoalan yang sering membuat umat Islam kalah, pertama adalah “minority complex”
dan yang kedua adalah cara berfikir sektarian atau kekelompokan.
3. Puritan, Salafis, Progresif di Muhammadiyah
Secara umum terjadi pergeseran pola keberagaman di Indonesia antara awal abad ke –
20 dan awal abad ke – 21, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah adalah
kolonialisme, animisme, mistik dan hukum adat. Tantangan saat ini adalah
Westernisasi, aliran – aliran keberagaman ekstrem, dan global atau transnasional Islam.
Beragama tantangan itulah di antaranya yang membentuk pola keberagaman di
Muhammadiyah. Proses yang disebut Arabisasi adalah satu contoh respon terhadap
beragam tantangan yang muncul belakangan ini.

Muhammadiyah sebagai Islam Moderat?


Selama ini pengamat dan juga sebagian warga Muhammadiyah sering memasukkan
organisasi ini dalam kategori “Islam Moderat”. Pertanyaan yang patut diajukan adalah
apa maksa moderat disini? Sebagai “konsep relasi” istilah “Islam Moderat” memiliki
dua sifat, afirmatif dan negative. Sifat pertama mengindetifikasikan adanya dua
peradaban yang berbeda, Islam dan Barat. Menjadi moderat dalm konteks ini berarti
tetap menjadi Muslim sejati dan pada satt bersamaan mengadopsi nilai dan ide dari
Barat. Masuk dalam kategori afirmatif adanya anggapan tentang dua jaman, dulu dan
sekarang. Bersikap moderat berrati menjaga sikap baik dari Islam jaman dulu (di Arab
dan Indonesia) dan mengadopsi nilai baru yang lebih baik. Sementara sifat kedua dari
moderat mengindikasi penolakan terhadap dua ekstrim, liberal dan radikal. Seorang
Muslim moderat bukanlah teroris.
Penggunaan sebutan Muslim moderat untuk Muhammadiyah sebetulnya sangat
problematik. Istilah ini sebetulnya lebih kental dengan aroma politik, daripada
pendasaran yang bersifat teologis dan sosiclogis. Istilah ini dipopulerkan oleh George
W. Bush dan Paul Wolfowit: dalam rangka waronterror. Mereka yang berpihak kepada
Bush akan disebut Islam Moderat, sementara lawannya dianggap teroris. Istilah inijuga
memperkokoh pandangan tentang clashofcivilization antara Islam dan Barat yang
didengungkan oleh Samuel Huntington, Islam adalah oposisi biner dari Barat.
Dengan menghindari penggunaan istilah Muslim moderat yang kontroversial
itu, saya menawarkan penggunaan kategori baru dalam membaca Muhammadiyah yang
lebih berdasarkan pendekatan teologis, yaitu: puritan, salafis, dan progresif. Meski
secara sosiologis Muhammadiyah sering disebut Islam Modernis, klasifikasi baru ini
akan menghindarkan esensialisasi organisasi ini dalam satu jenis keberagamaan tertentu
dalam hal teologi dengan melupakan adanya dinamika internal ketika berhadapan
dengan tantangan eksternal,
Puritan, Salafis, dan Progresif

Orang puritan di Muhammadiyah memiliki model keberagamaan yang unik. Mereka


adalah orang yang konservatif dalam hal beragama, namun orientasinya bersifat
duniawi. Meminjam istilah Max Weber, orang puritan menekankan pada
worldlyasceticism. Keberhasilan dalam beragama itu diukur dari seberapa banyak kita
beramal sosial: membangun sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit. Keselamatan
(salvation) bagi kelompok lebih terletak pada aktivitas sosial daripada keimanan.

Dalam hal keberagamaan, kelompok puritan beranggapan bahwa perempuan


harus aktif di publik, tapi tempat mereka harus dipisahkan dari laki-laki. Jilbab bagi
perempuan bukanlah sesuatu yang wajib tapi dianjurkan oleh agama. Negara Islam dan
syariat Islam bukanlah Sesuatu yang perlu diperjuangkan ketika umat Islam tak
mendapat halangan apa pun dari negara ketika menjalankan ajaran agama.

Kelompok kedua adalah salafis. Mereka sangat peduli terhadap kode dan ritual
keberagamaan, Orientasi keberagamaan kelompok ini adalah otherworldiy atau semata
- mata akhirat dan keselamatan itu terletak lebih pada keimanan (faith) daripada
aktivitas sosial. Orang salafis tidak tertarik perdebatan teologis, karena bagi mereka
terlalu banyak intelektualisme justru mengacaukan keimanan. Orang Salafi percaya
bahwa tempat ideal perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar
rumah, seperti sekolah, maka perempuan harus dipisahkan dag laki laki, Konsekuensi
lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab, adalah wajib, Bagi kelompok Ini,
gagasan tentang pelaksanaan syaria, Islam harus didukung dan negara Islam akan lebih
baik daripada sistem secular

Berhadapan dengan salafi adalah kalangan progresif yang percaya terhadap


kompatibilitas Islam dengan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat.
Kelompok ini sangat peduli dengan teologi dan menjadikan Intelektualisme sebagai
jalan pembebasan dan keselamatan. Mereka adalah penentang terhadap penerapan
syariat Islam, penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan
dari laki-laki, menganggap jilbab sebagai bagian dari budaya Arab yang tidak wajib
ditiru, dan percaya bahwa pemerintahan sekular adalah sistem terbaik bagi umat Islam.

Dinamika Internal

Istilah "Islam Modernis' bagi Muhammadiyah dengan mendasarkan pada pendekatan


sosiologis mungkin akhir-akhir ini kurang begitu tajam. NU yang dulu dianggap
tradisionalis bergerak cepat mengeyar keter tinggalannya. Menyebut Muhammadiyah
sebagai “Islam Moderat' akan membawa organisasi ini dalam ranah kepentingan politik
global. Maka barangkali yang lebih pas, Muhammadiyah sedang mengalami dinamika
internal untuk mendefinisikan dirinya tiga model keberagamaan di atas sedang kan
identitas teologis organisasi ini. kat dari sinilah kita bisa mem dalam beragam aspek
kehidupan

4. For Culture aand Humanity atau For Morality and Humanity?


Banyak orang yang telah berjasa bagi keberadaan MaarifInstitute selama satu dekade
ini. Namun, menurut saya dua nama harus diberikan kredit pertama kali. Mereka adalah
Buya Ahmad Syafii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman.
Untuk Buya Syafii, selain namanya dipakai sebagai nama dari institusi ini, yang
lebih penting lagi adalah visi perjuangannya yang dipakai sebagai moto dari Maarif
Institute, yaitu “For Culture and Humanity”. Namun demikian, menurut saya, moto ini
agak terlalu lebar dan umum untuk menggambarkan visi hidup dan perjuangan Buya
Syafii. Orang akan bertanya-tanya, “Kultur seperti apakah yang diusung oleh
MaarifInstitute?” Pertanyaan ini tak akan ditemukan jawabannya dengan melihat moto
itu.
Moto yang lebih pas bagi Maarif Institute barangkali bukan ‘F. Culture and
Humanity’, tapi “For Morality and Humanity. “Morality’ dan “humanity adalah dua
kata kunci jika orang hendak membaca atau mempelajari sosok yang bernama Ahmad
Syafii Maarif. Persoalan moralitas yang menjadi perhatian Buya Syafii sepanjang
hidupnya dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1) moralitas bernegara, 2)
moralitas dalam pergaulan antar-umat beragama atau antar-umat yang memiliki
keyakinan dan identitas berbeda, dan 3) moralitas dalam pergaulan dengan mereka yang
memiliki agama dan keyakinan yang sama.
Untuk moralitas bernegara, Buya Syafii selalu kritis terhadap ketimpangan
moralitas para penguasa seperti terlihat pada budaya korupsi dan perlombaan untuk
hidup bermewah-mewah bagi sebagian pejabat. Buya Syafii mengistilahkan mentalitas
pejabat kita sebagai mentalitas ikan lele, di mana semakin kotor dan keruh tempat
mereka hidup, mereka justru semakin senang. Budaya korupsi ini telah membuat
mereka ‘rabun ayam’ atau hanya memiliki visi yang pendek, sekadar bagaimana
menjadi kaya dan terkenal secara gepat. Mereka tidak bisa melihat jauh ke depan dan
membawa bangsa ini ke arah yang jelas.
Untuk moralitas antar-agama, Buya Syafii selalu menekank bahwa visi agama
adalah untuk rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, prinsip moral dalam bergaul dengan
orang yang berbeda agama adalah saling menyayangi dan berlomba dalam kebaikan.
Buya Syafii menganggap non-Muslim yang berjuang demi keadilan dan kemanusiaan
lebih sebagai saudaranya daripada sesama Muslim yang menindas umat manusia. Masih
dalam kategori moralitas antar-agama, Buya Syafii melihat pemaksaan agama, baik
secara langsung maupun melalui konstitusi, seperti pemaksaan Piagam Jakarta, sebagai
pelanggaran moralitas dalam pergaulan antar-agama.
Untuk moralitas sesama Muslim, Buya Syafli selalu melawan penggunaan
agama untuk premanisme atau yang diistilahkannya sebagai ‘preman berjubah’. Buya
Syafii selalu menekankan prinsip ukhuwah dan tawaduk dalam bergaul antara sesama
umat Islam: bahwa masingmasing kelompok tidak boleh dengan mudah menuduh umat
Islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Pendeknya, bagi Buya Syafil, moralitas
bukanlah semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, tapi lebih pada moralitas
yang lebih besar, yakni bagaimana hidup bernegara, beragama, dan bermasyarakat.
Sementara untuk prinsip “humanity’, Buya Syafii sering mengutip Surah al-
Ma’un. Buya Syafii tidak memaknai humanity semata dalam konteks charity, tapi lebih
sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Buya Syafii
menjelaskan bahwa perbedaan antara tauhid dan politeisme terletak bukan sekadar pada
persoalan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi lebih penting dari itu tauhid
harus dibuktikan sebagai alat perlawanan terhadap eksploitasi, keserakahan, dan
ketidakadilan. Semua tindakan buruk ini, bagi Buya Syafii, adalah wujud daripada
kemusyrikan kepada Tuhan. Dalam berbagai ceramah, tulisan, dan aktivitasnya, Buya
Syafii berkali-kali menegaskan perlawanannya terhadap penindasan TKW (Tenaga
Kerja Wanita), kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah, dan juga gaya
hidup bermewah-mewah sebagian orang sementara sebagian besar penduduk negeri ini
hidup dalam kelaparan.
Kehadiran Kang Moeslim atau lebih tepatnya misi yang diemban Kang Moeslim
ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan pada upaya mengejawantahkan
prinsip “humanity' tersebut. Namun, sebetulnya ada perbedaan pola antara Buya Syafii
dan Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip 'humanity' atau 'al-Ma'un' ini,
Kang Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi ala LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dalam melawan penindasan terhadap orang miskin, buruh, tani,
dan nelayan. Kang Moeslim selalu berpikir tentang struktur kemiskinan, kelas dan dosa
sosial, matriks penindasan, dan seterusnya. Karena itu, untuk melawannya, Kang
Moeslim perlu membentuk jaringan, menciptakan discourse, dan mencoba mengubah
atau menguasai struktur. Itulah saya kira salah satu alasan mengapa ia mendirikan
JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) pada tahun 2003. Kang Moeslim
berharap dengan JIMM ini prinsip “humanity' bisa terlaksana dengan terciptanya
jaringan, discourse, dan struktur. Peran Buya Syafii dalam proyek ini, sebagaimana
yang diharapkan Kang Moeslim, adalah sebagai teolog dan ideologal - Ma'un. Dan
memang itulah yang dilakukan Buya Syafii selama ini karena beliau lebih sebagai
pemikir dan ulama, daripada sebagai orang lapangan.
Kalau dilihat dari konteks sejarah, apa yang dicanangkan oleh kombinasi Buya
Syafii dan Kang Moeslim itu adalah suatu strategi baru dalam penerjemahan dan
pengamalan al-Ma'un. Setidaknya ada dua pola penerapan al-Ma'un dalam sejarah
Muhammadiyah. Yang pertama adalah gaya Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah,
rumah sakit, dan panti asuhan (schooling, healing, dan feeding). Yang kedua adalah
pola yang diterapkan oleh Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah dan bergabung
dengan proyek developmentalism atau pembangunan pada tahun 1970-an,
Dalam pola kedua ini, pemberantasan kemiskinan di antaranya dilakukan
dengan proyek KB (Keluarga Berencana) dan memaknai agama yang bisa mendukung
perkembangan ekonomi. Berbeda dari kedua pola itu, apa yang dilakukan Kang
Moeslim ditujukan kepada mereka yang selama ini terpinggirkan secara sosial atau
people of subordination sepert ipara buruh, tani, dan juga pekerja seks. Caranya adalah
melalui tiga metode tersebut di atas: jaringan, discourse, dan struktur.

5. Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah


SIDANG Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di bawah kepe. mimpinan Din
Syamsuddin pada 17 Juli 2005 memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun
dalam susunan kepengurusan periode 2005. 2010. Ada banyak asumsi, tentu saja,
mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam Muktamar. Kondisi ini bagi
Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar. Keputusan ini sama
sekali tdak mengejutkan dan hanya menjadi potret mini dari apa yang terjadi dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), 3-8
Juli 2005. Selama berlangsungnya Muktamar, resistensi warga Muhammadiyah, baik di
tingkat pusat maupun daerah, terhadap perempuan memang terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah, M. Abduh Hsyam, dari 35
PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), hanya 8 PDM saja yang mengikut sertakan
perempuan dalam Muktamar di Malang itu. Padahal, organisasi Islam Modernis ini
sudah mewajibkan kepada masing-masing PDM untuk mengikut sertakan satu orang
perempuan sebagai peserta Muktamar. Bagi Hisyam, kondisi ini merupakan cermin
keengganan kaum bapak di Muhammadiyah untuk duduk setara dengan perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih
nyata ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-
2010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan
Ketua Umum Asytyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) yang sekarang kembali
terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati
urutan ke 40 dan hanya berselisih satu suara dari Prol Syafri Sairin dari Yogyakarta
yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya namaChamamah ini, mungkin, merupakan
konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam
Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus
untuk berpartisipasi dalam Muktamar, Namun, yang paling menarik bagi saya bukanlah
jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi
perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh
orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa
kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk
menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka Jebar-lebar. Bahkan, mereka
mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk
dalam daftar 13 pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini,
Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk
memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode
mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam
sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota
untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka
akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan
tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-
laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar.
Seusai sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang
membidangi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang juga rektor UIN
(Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan - keputusan
Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada
perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin Abdullah melanjutkan bahwa dirinya
bahkan sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun - tahun lampau itu kepada
orang-orang yang menentang perempuan menjadi ketua, Namun, tetap saja pandangan
mereka tak berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus.
Kasus lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap para
perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,”
teror kata-kata atau ungkap. an tidak sopan sering kali muncul ketika seorang
perempuan mencoba menyampaikan pandangannya dalam beberapa sidang pleno.
Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para nyusup
yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah.
Namun, dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat
lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi kemasyarakatan,
menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi garis keras.

Akar-Akar Ketimpangan Gender

Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhamdiyah (PM) dan
Nasyiatul Aisyiyah (NA)—juga antara Pemuda Ansor Fatayat NU—adalah bagian dari
segregasi laki-laki dan perempuan mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Pembedaan anisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-
laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam mestik dan pendidikan,
sementara laki-laki memiliki kawasan luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu
dari akar-akar ijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender
inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama hal dan karena itu
harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan
kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.

Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya perempuan tidak hanya mengurus
perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling jika
landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran  keaetaraan
gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki masuk dalam organisasi
perempuan dan sebaliknya perempuan masuk dalam organisasi laki laki.

Bagi kelompak konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai


Sisterorganization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan
penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan
Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan
dulu organisea Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam
perebutan kepemimpinan.

Kekalahan Kubu Liberal

Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian
tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis
ini. Kekalahan ini akan semakin komplet jka nanti Muhammadiyah betul-betul
mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan
perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan
sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi
dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih 'ering menjadi korban daripada
mendapatkan manfaat dari gerakan ini.

Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental


merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomena Muktamar ini
benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya.
Selain masalah perempuan. Muktakar kali ini juga melahirkan keputusan-keputusan
yang berseberangan dengan gagasan liberalisme.

Komisi A (umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majelis Tarjih yang


ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan katakata “dan Pengembangan
Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan empat kata tersebut dituntut untuk
dibuang. Selanjutnya, Majeli, dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majelis
Tarjih" saja. ma dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala peman terhadap
gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di komisi menginginkan agar Pimpinan
Pusat Muhammadiyahmembu Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (YIMM),
atau paling ti menghilangkan huruf “M” (Muhammadiyah) dari namanya.

Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagu neraka bagi
kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi
orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C.
Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang
seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para
pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di
negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang
menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib
Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar ke-45
bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.

6. Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru


SATU abad perjalanan Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan serius.
Bukan lagi persoalan takhayul, bid'ah dan churafat (baca: TBC) sebagai lawan utama
dakwah ke depan, melainkan kejuMudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi dua
problem besar yang Menyumbat gerak laju Persyarikatan. Upaya menggagas ijtihad
gerakan Setu dari sekian wacana yang muncul dalam Kongres Penelitian al mengenai
Muhammadiyah (International ResearchCongMuhammadiyah/IRCM) di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) 9 November - 2 Desember 2012. Kongres yang
dihadiri 40 peneliti dari nasional maupun internasional ini mengupas tuntas kontestasi
Persyarikatan selama satu abad berlalu. Kongres juga memberikan gagasan-gagasan
yang mencerdaskan sebagai modal melewati 100 tahun mendatang. Dari itu, berbagai
autokritik bermunculan di antaranya mengenai jumlah keanggotaan yang tidak jelas,
cara pandang konservatif yang dilestarikan, dan sejumlah alasan kenapa para peneliti
asing tidak lagi tertarik meneliti Muhammadiyah.
Pada penyelenggaraan IRCM, ada beberapa masukan baru bagi
Muhammadiyah. Banyak hal baru yang ditemukan dalam IRCM, misalnya apa yang
disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksinya. Amin Abdullah menekankan
supaya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekadar
recycling ijtihad seperti yang selama ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya
menemukan satu bentuk identitas dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100
tahun ke depan. Selain itu juga ditemukan fakta yang mengagetkan dari data survei
yang disodorkan beberapa panelis seperti Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya
University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural UniverSity, Jepang). Mereka
menunjukkan bahwa jumiah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama
(NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang
mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta.
Kalau NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata, warga
Muhammadiyah tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen
dari jumlah keseluruhan warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9
persen.
Pertanyaannya, apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu
Menurut data survei yang dipaparkan Hattori Mina dan Ken Miichi, malah jumlahnya
lebih kecil, 4,5 persen saja warga PerSyarikatan yang benar-benar mengaku kader
Muhammadiyah. Tentu Saja ini memunculkan pertanyaan mendalam, apakah data ini
benar? Berkaitan dengan ini, Rizal Sukma menjelaskan, perbedaan jumlah keanggotaan
NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah Organisasi Islam yang lebih
melekat pada tradisi, sementara Muhammadiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam
modernis. Orang mengakuNU hanya dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya
datang ke haul, Tetapi kalau Muhammadiyah lebih terlihat pada kegiatan-kegiata dan
keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi. Bahkan, ada Orang yang mengatakan
bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah it, berbeda. Variabel ini yang kiranya
perlu diperhatikan lagi ketika me lihat angka-angka keanggotaan tersebut. Tetapi angka
itu sendiri, yang 19 persen atau 45 persen itu lumayan mengejutkan bagi warga
Muhammadiyah.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi
pada awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini
tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi
perpolitikan nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah
menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara
dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol
dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi
Muhammadiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak
merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak
sedikit kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak eksram dalam memahami ajaran
Islam. Fakta itu bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan
berlandaskan agama terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di
Manis Lor, Kuningan, atau persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang:
Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah menjadikannya sebagai reflesi, hanya
apakah kita mau menunaikan tugas menemukan pribadi, Selain itu, ada sekelompok
warga Muhammadiyahcenderung menganggap Persyarikatan ini sudah ketinggalan
seperti dalam tulisan MitsuoNakamura dan Martin Van BruinesMorena itu, keduanya
menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.Belakangan, ini
kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari Indonesia sendiri, yang
kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan ketertarikan mereka
untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka ketika
mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah dikenal
memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist bekerja, beramal tanpa
pamrih, rame inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai -
nilai puritanisme ini dimaknai se bagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah
pada semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai
mulai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan
ekstremisme.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi
pada awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini
tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi
perpolitikan nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah
menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara
dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol
dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi
Muhammadiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak
merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak
sedikit kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak eksram dalam memahami ajaran
Islam. Fakta itu bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan
berlandaskan agama terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di
Manis Lor, Kuningan, atau persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang:
Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah menjadikannya sebagai reflesi, hanya
apakah kita mau menunaikan tugas menemukan pribadi, Selain itu, ada sekelompok
warga Muhammadiyahcenderung menganggap Persyarikatan ini sudah ketinggalan
seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van Bruines Morena itu, keduanya
menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.
Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari
Indonesia sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun,
alasan ketertarikan mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari
alasan mereka ketika mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu
Muhammadiyah dikenal memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist
bekerja, beramal tanpa pamrih, rame inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya
kepada anak yatim. Nilai-nilai puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif
karena dianggap mengarah pada semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat
bekerja. Namun, kini nilaimulai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme
diartikan dengan ekstremisme.
Hal ini menunjukkan semacam ada pergesaran nilai puritanisme dalam
Muhammadiyah. Terjadi kontestasi pemaknaan puritanisme disini diambil contoh, dulu
tahun 1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puritan atau Dahlan dan
Rasul, di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan
protestanisme seperti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai
negara. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara  yang dilihat
berdasarkan konsep puritanisme Muhammadiyah yang ditulisnya pada 1970-an. Dia
berkisah tentang nilai yang tetapi punya makna yang berbeda.
Selain autokritik terhadap Muhammadiyah, terdapat kelebihan Muhammadiyah
yang mendapat apresiasi dari para peneliti dalam IRCM. Pertama yang paling tampak,
organisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia
masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda
Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global.
Kepercayaan, meski secara geografis Indonesia berada di pinggiran dunia Islam.
Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan Muhammadiyah adalah rencana
menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Gulen Movement dari Turki atau
Nursi Movement dan antara organisasi-organisasi itu.
Kedua, minat studi kemuhammadiyahan yang dilakukan para sarjana lebih
beragam. Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga
pada aspek spiritualitas, filantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan
perspektif yang dipakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian
perspektif menuju Durkhemuan perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak
semata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang berciri khas
keindonesiaan.
Bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), ada refleksi dari kegiatan IRCM
terutama untuk pengembangan keilmuan. Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM
menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar
doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttagin, Rahmawati Husein,
Alimatul Oibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Pradana Boy, Mohammad Rokib, dan
lain-lain. Mereka tampak sudah siap tampil tidak hanya di pentas nasional, tapi juga di
tingkat internasional. Ini barangkali yang sedikit membedakan dari generasi senior di
Muhammadiyah. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan begawan -
begawan ahli Islam seperti M.C. RickJefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward,
Jonathan Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan
Herman 1, Beck, mereka merasa inferior.
MAKALAH
Tugas Resume AIK
Muhammadiyah sebagai Islam Berkemajuan
Dosen Rohmat Suprapto., S.Ag.MSI
Disusun oleh :
Vinolia Aini Eka M. (G2A222039)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2022/2023

1. Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan


Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) telah menyelanggarakan Muktamar
dalam waktu yang berdekatan, pada minggu pertama Agustus 2015. Tema yang di
angkat sekilas mirip Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia
Berkemajuan” dan NU “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Meski terlihat bersinggungan, namun “Islam Berkemajuan” dan “Islam
Nusantara” adalah respon yang berbeda terhadap fenoma yang sama , yaitu globalisasi,
terutama globalisasi kebudayaan, baik dalam bentuk Arabisasi atau Westernisasi.
Globalisasi sering di pahami sebagai proses penyatuan dunia di mana waktu,
jarak dan tempat bukan lagi persoalan dan ketika setiap hal dan setiap orang di bumi ini
terkait satu sama lain. Ada 4 pergerakan utama dalam globalisasi yaitu barang dan
layanan, informasi, orangg dan modal. Perpindahan 4 hal tersebutdari satu Negara ke
Negara lain memang telah terjadi sejak dahulu kala. Namun perpidahan terjadi sangat
cepathanya terjadi setelah revolusi dalam teknologi telekomunikasi dan transportasi
pada beberapa decade balakangan ini. Akibat dari revolusi itu dimensi jarak dan waktu
semakin kabur dan sedikit demi sedikit menghilang. Dalam konteks Indonesia,
globalisasi ini menyebabkan masyarakat secara mudah mengakses informasi dari luar
atau pun berinteraksi secara intens dalam sebuah ruang global.
Ketika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhiafahan di
bawah Abu Bakar al-Baghdadi, kita di kejutkan dengan ada sejumlah orang Indonesia
yang bergabung dengan mereka di Timur Tengah dan sebagian dari mereka merekrut
amggota di Indonesia serta melakukan baiat di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Ketika konflik Sunni dan Syiah terjadi Suriah, pengaruhnya merembet ke Indonesia
dengan munculnyagerakan anti-Syiah seperti dalam bentuk Aliansi Nasional Anti-Syiah
(ANNAS).
Globalisasi juga menyebabkan Transnational Capitalist Network (TNC) masuk
dalam kehidupan masyarakat dan menyedot kekayaan yang mestiny diperuntukkan
untuk kesejahteraan rakyat. Bekerja sama dengan “komprador” para kapitalis global
itumenciptakan jurang yang begitu lebar antar mereka yang kaya atau miskin seperti
terjadi di daerah penambangan Freeport di Papua.
Filosofi yang mendasari globalisasi adalah asimilasionisme. Dalam filosofi ini
yang kuat akan mendominasi yang lemah. Maka dari itu dalam globalisasi budaya,
salah satu dampaknya homogenisasi. Ini misalnya terwujudnya dalam bentuk McWorld
atau McDonalsization. Contoh lainnya adalah memandang Islam secara homogen
dengan mengindentikkanya dengan Arab dan Arabisasi.
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respon balik
atauresistensi terhadaphomogenisasi ini di antaranya dalam bentuk indigenization.
Islam Nusantara di populerkan anak – anak NU dan menjadi tema Muktamar NU ke 33
di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi
dengan melakukan indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering di pakai untuk mengacu pada
Islam ala Indonesia yang autentik, langgamnya Nusantara tapi isi dan liriknya Islam,
bajunya Indonesia tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitam dengan
gagasan “pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan almarhum K.H. Abdurrahman
Wahid. Penggunaan resmi nama ini di antaranya dalam jurnal Tashwirul Afkar Edisi
No. 26 tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut
sebagai “paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH. Erikson (2007, 14), “Semakin orang
mengglobal, sering kali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya
asalnya”. Dalam kalimat unik ilmuwan lain, “Ketika dunia semakin global, perbedaan –
perbedaan kecil antara umat manusia semakin ditonjolkan”. (Ang, 2014)
Dalam merespon terhadap globalisasi, terutama yang datang dari Barat,
beberapa kelompok agama jurstru mencari perlindungan dalam homogenitas dan
eksklusivitas kelompoknya. Seperti kedamaian itu bisa terjadi menolak keragaman atau
sesuatu yang asing. Di tengah globalisasi, banyak orang yang mencoba menutup diri
dan menghalangi orang yang berbeda yang hadir di tengah masyarakat. Fenomena
kemunculan perumahan atau kluster perumahan ekslusif untuk komunitas agama
tertentu misal Kuburan/ pemakaman dan rumah kos pun kadang dibuat untuk pengikut
agama tertentu. Respon terhadap globalisasi yang lebih buruk lagi tentu seperti dalam
bentuk radikalisme dan terorisme. Islam Nusantara bisa menjadi respon yang baik
terhadaptl globalisasi jika ia tidak mengarah pada parokialisme dan sektarianisme.
Islam Berkemajuan
Respon lain terhadap globalisasi ditampilkan oleh Muhammadiyah dengan
slogan “Islam Berkemajuan”. Sebelum 2009, slogan ini jarang terdengar, bahkan di
kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama
terpendam, dengan terbitnya buku berjudul Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan
dalan Catatan Pribadi Kiai Syuja (2009). Buku yang ditulis murid langsung Kiai Dahlan
ini di antaranya menjelaskan seperti apa karakter Islam yang dibawa oleh
Muhammadiyah.
Istilah yang di pakai Muhammadiyah awal menyebut dirinya adalah “Islam
Berkemajuan”. Pada Muktamar di Yogyakarta 2010, istilah ini dipakai dan dipolerkan
untuk mengidentifikasi karakter keislaman Muhammadiyah. Dalam kaitannya dengan
globalisasi, Islam Berkemajuan itu sering dikenal sebagai “Islam Kosmopolitan”, yakni
kesadaran bahawa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga duni yang memiliki
“rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisah jarak yang bersifat
primordial dan konvensional”. (Tanfiz Muhammdiyah 2010,18)
Ringkasnya kelahiran dari slogan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”
memliki kemiripan dengan yang terjadi pada 1920 – an. Ketika itu sebagai respon
terhadap berbagai peristiwa di Arab dan Turki (Comite Chilafat dan Comite Hijaz),
lahirlah NU. Sementara Muhammadiyah lahir sebagai reaksi terhadap penjajahan, misi
Kristen, pemikiran Abduh, dan budaya Jawa. Bias dikatakan bahawa apa yang terjadi
saat ini adalah ancaman dejavu.
2. Minority Complex dan Sekretarianisme di Tubuh Umat Islam
Manusia
Beberapa kajian telah di lakukan untuk melihat mengapa umat Islam sepertinya
selalu kalah di Indonesia. Salah satu temuan dari kajian itu semisalnya menyebutkan
bahwa umat Islam Indonesia itu merupakan mayoritas dalam jumlah, tapi memiliki
mentalitas sebagai minoritas . istilah yang sering di pakai adalah minority complex.
Penyakit minority complex ini tentu biasanya di alami oleh kelompok minoritas. Ini
terwujud misalnya ketika mereka melihat sesuatu yang unique yang ada pada mereka
sebagai suatu penyimpangan dan keanehan. Mereka terlihat uniqueness sebagai
kelemahan atau bahkan sebagai problem atau masalah. Namun minority complex bias
terjadi pada kelompok mayoritas seperti terjadi pada umat Islam Indonesia yang secara
kuantitas mencapai hamper 90 persen dari total penduduknya. Penyakit inilah yang di
antaranya menyebabkan sevagian umat Islam selalu berpikir tentang ancaman dari
kelompok minoritas, hidup dalam bayang – bayang ketakutan, dan sulit berfikir sebagai
bangsa atau umat yang besar. Orang yang menderita minority complex ini biasanya
akan merasa perlu bantuan kekuasaan untuk bisa memperoleh tanpa melalui bantuan
kekuasaan.
Fenomena ini juga bisa diliat dengan kajian postkolonialisme, bahwa mentalitas
atau minority complex sebagai warisan dari colonial. Dalam persektif ini apa yang
terjadi di Indonesia biasa dijelaskan dengan melihat fenomena beberapa Negara bekas
jajahan negara lain. Meski penjajah teah meninggalkan negera jajahannya, sixfat dan
mentalitas sebagai bangsa jajahan masih melekat pada sebagian rakyat dan kebetulan
mereka yang menjadi penguasa juga ingin berperilaku seperti penjajah.
Adakah persoalan lain yang membuat kita ketinggalan selain isu minority
complex? Temtu ada di antaranya adalah ketidakmampuan kita berfikir luas, keluar dari
bingkai kelompok agama. Kasus yang terjadi di Mesir dan Tunisia menunjukkan bahwa
ketika umat Islam mendapat kesempatan memimpin atau mendapat kekuasaan, maka
yang pertama kali diurus atau diperhatikan sering kali adalah urusan kelompok agama
saja. Pasca Arab Spiring, Ikhwanul Muslimin memengkan pemilu di Mesir dengan
mendapat suara terbanyak dan kemudian Mohamed Morsi terpilih Presiden. Namun
baru 1 tahun memimpin banyak rakyat Mesir yang merasa dikecewakan. Rasa kecewa
itu kemudian member kesempatan kepada militer untuk melakukan kudeta dengan
menggunakan kekuatan rakyat. Demikian pula halnya yang terjadi di Tunisia dengan
Partai Ennahda. Nasibnya memnag tak seburuk Ikhwan Muslimin di Mesir. Partai ini
juga lebih terbuka terhadap perbedaan dan pluralitas di masyarakat dengan berusaha
merangkul beragam kelompok dan menjembatani berbagai perbedaan. Bahkan banyak
yang melihat partai ini jauh lebih baik dari AKP (Adalaet ve Kalkinma Partisi) di Turki.
Namun pemerintahan transisi yang di pimpin oleh Moncef Marzuki dari Ennahda Party,
akhirnya kalam dalam pemilu yang diadakan tiga tahun setelah Arab Spiring. Mereka
dianggap tak bias melakukan harapan berbegai kelompok kepentingan dimasyarakat.
Untuk di Indonesia, hal serupa terjadi dengan partai – partai Islam seperti PKS
(Partai Keadilan Sejahtera). Ketika orang dari partai ini mendapatkan mandate menjadi
menteri di kementerian tertentu, isu yang berkembang adalah bahwa kementerian itu
hanya menjadi sapi perahan. Penjabat dan staff di kementrian itu diganti dengan partai
atai di – PKS – kan. Benar atau tidaknya isu ini tentu masih perlu dibuktikan. Tapi
mencuatnya “skandal sapi” menunjukkan bahwa apa yang selama ini di tuduhkan
kepada PKS mendapat semacam pembenaran. Tentu saja tidak hanya terjadi di PKS,
tapi juga partai – partai lain yang berbasiskan Islam semisal PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) dan PAN (Partai Amanat Nasional). Jika itu terjadi pada partai yang tak
membawa label agama, maka ada sedikit maklum meski tetap saja tak bisa diterima.
Namun jika itu terjadi pada partai yang membawa bendera Islam, maka sepertinya
dosanya lebih besar.
Cara berpikir sektarian hanya untuk partai atau kelompok agamanya, ini
diantaranya yang membuat Islam kalah atau orang tak percaya dengan partai Islam lagi.
Umat Islam ini masih sulit berfikir atau berjuang dengan melepaskan belenggu
kelompok. Meminjam bahasa Buya Ahmad Syafii Maarif, mestinya kita sudah
membalikkan cara berpikir kita “ke muhammadiyahan, keindonesiaan, dan
kemanusiaan” menuju “kemanusiaan, kebangsaan, dan ke – Muhammadiyahan”.
Namun yang terjadi tetap pada pola yang pertama. Ringkasnya paling tidak ada dua
persoalan yang sering membuat umat Islam kalah, pertama adalah “minority complex”
dan yang kedua adalah cara berfikir sektarian atau kekelompokan.
3. Puritan, Salafis, Progresif di Muhammadiyah
Secara umum terjadi pergeseran pola keberagaman di Indonesia antara awal
abad ke – 20 dan awal abad ke – 21, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah adalah
kolonialisme, animisme, mistik dan hukum adat. Tantangan saat ini adalah
Westernisasi, aliran – aliran keberagaman ekstrem, dan global atau transnasional Islam.
Beragama tantangan itulah di antaranya yang membentuk pola keberagaman di
Muhammadiyah. Proses yang disebut Arabisasi adalah satu contoh respon terhadap
beragam tantangan yang muncul belakangan ini.

Muhammadiyah sebagai Islam Moderat?


Selama ini pengamat dan juga sebagian warga Muhammadiyah sering
memasukkan organisasi ini dalam kategori “Islam Moderat”. Pertanyaan yang patut
diajukan adalah apa maksa moderat disini? Sebagai “konsep relasi” istilah “Islam
Moderat” memiliki dua sifat, afirmatif dan negative. Sifat pertama mengindetifikasikan
adanya dua peradaban yang berbeda, Islam dan Barat. Menjadi moderat dalm konteks
ini berarti tetap menjadi Muslim sejati dan pada satt bersamaan mengadopsi nilai dan
ide dari Barat. Masuk dalam kategori afirmatif adanya anggapan tentang dua jaman,
dulu dan sekarang. Bersikap moderat berrati menjaga sikap baik dari Islam jaman dulu
(di Arab dan Indonesia) dan mengadopsi nilai baru yang lebih baik. Sementara sifat
kedua dari moderat mengindikasi penolakan terhadap dua ekstrim, liberal dan radikal.
Seorang Muslim moderat bukanlah teroris.
Penggunaan sebutan Muslim moderat untuk Muhammadiyah sebetulnya sangat
problematik. Istilah ini sebetulnya lebih kental dengan aroma politik, daripada
pendasaran yang bersifat teologis dan sosiclogis. Istilah ini dipopulerkan oleh George
W. Bush dan Paul Wolfowit: dalam rangka waronterror. Mereka yang berpihak kepada
Bush akan disebut Islam Moderat, sementara lawannya dianggap teroris. Istilah inijuga
memperkokoh pandangan tentang clashofcivilization antara Islam dan Barat yang
didengungkan oleh Samuel Huntington, Islam adalah oposisi biner dari Barat.
Dengan menghindari penggunaan istilah Muslim moderat yang kontroversial
itu, saya menawarkan penggunaan kategori baru dalam membaca Muhammadiyah yang
lebih berdasarkan pendekatan teologis, yaitu: puritan, salafis, dan progresif. Meski
secara sosiologis Muhammadiyah sering disebut Islam Modernis, klasifikasi baru ini
akan menghindarkan esensialisasi organisasi ini dalam satu jenis keberagamaan tertentu
dalam hal teologi dengan melupakan adanya dinamika internal ketika berhadapan
dengan tantangan eksternal,
Puritan, Salafis, dan Progresif
Orang puritan di Muhammadiyah memiliki model keberagamaan yang unik.
Mereka adalah orang yang konservatif dalam hal beragama, namun orientasinya bersifat
duniawi. Meminjam istilah Max Weber, orang puritan menekankan pada
worldlyasceticism. Keberhasilan dalam beragama itu diukur dari seberapa banyak kita
beramal sosial: membangun sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit. Keselamatan
(salvation) bagi kelompok lebih terletak pada aktivitas sosial daripada keimanan.
Dalam hal keberagamaan, kelompok puritan beranggapan bahwa perempuan
harus aktif di publik, tapi tempat mereka harus dipisahkan dari laki-laki. Jilbab bagi
perempuan bukanlah sesuatu yang wajib tapi dianjurkan oleh agama. Negara Islam dan
syariat Islam bukanlah Sesuatu yang perlu diperjuangkan ketika umat Islam tak
mendapat halangan apa pun dari negara ketika menjalankan ajaran agama.
Kelompok kedua adalah salafis. Mereka sangat peduli terhadap kode dan ritual
keberagamaan, Orientasi keberagamaan kelompok ini adalah otherworldiy atau semata
- mata akhirat dan keselamatan itu terletak lebih pada keimanan (faith) daripada
aktivitas sosial. Orang salafis tidak tertarik perdebatan teologis, karena bagi mereka
terlalu banyak intelektualisme justru mengacaukan keimanan. Orang Salafi percaya
bahwa tempat ideal perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar
rumah, seperti sekolah, maka perempuan harus dipisahkan dengan laki laki,
Konsekuensi lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab, adalah wajib, Bagi
kelompok Ini, gagasan tentang pelaksanaan syaria, Islam harus didukung dan negara
Islam akan lebih baik daripada sistem secular
Berhadapan dengan salafi adalah kalangan progresif yang percaya terhadap
kompatibilitas Islam dengan Barat dan berusaha mengadopsi nilai dan ilmu dari Barat.
Kelompok ini sangat peduli dengan teologi dan menjadikan Intelektualisme sebagai
jalan pembebasan dan keselamatan. Mereka adalah penentang terhadap penerapan
syariat Islam, penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan
dari laki-laki, menganggap jilbab sebagai bagian dari budaya Arab yang tidak wajib
ditiru, dan percaya bahwa pemerintahan sekular adalah sistem terbaik bagi umat Islam.
Dinamika Internal
Istilah "Islam Modernis' bagi Muhammadiyah dengan mendasarkan pada
pendekatan sosiologis mungkin akhir-akhir ini kurang begitu tajam. NU yang dulu
dianggap tradisionalis bergerak cepat mengeyar keter tinggalannya. Menyebut
Muhammadiyah sebagai “Islam Moderat' akan membawa organisasi ini dalam ranah
kepentingan politik global. Maka barangkali yang lebih pas, Muhammadiyah sedang
mengalami dinamika internal untuk mendefinisikan dirinya tiga model keberagamaan di
atas sedangkan identitas teologis organisasi . Dari sinilah kita bisa mendalami beragam
aspek kehidupan
4. For Culture and Humanity atau For Morality and Humanity
Banyak orang yang telah berjasa bagi keberadaan maarif institute selama satu
decade, yaitu Buya Ahmad Safii Maarif dan Kang Moeslim Abdurrahman. Untuk Buya
Safii, selain Namanya dipakai untuk nama institusi, yang lebih lagi adalah visi
perjuangannya yang dipakai untuk moto dari Maarif institute, yaitu “For Culture and
Humanity”. Akan tetapi motto ini agak terlalu lebar dan umum untuk menggambarkan
visi hidup dan perjuangan buya syafii. Motto yang lebih pas bagi Maarif institute
sepertinya bukan ‘For Culture and Humanity, tapi ‘For Morality and Humanity’. Motto
tersebut adalah dua kata kunci untuk membaca dab mempelajari sosok Ahmad Syafii
Maarif. Moralitas yang menjadi perhatian Buya Safii dapat dikategorikan tiga
kelompok : 1) moralitas bernegara, 2) Moralitas dalam pergaulan antar umat beragama
atau antar umat yang memiliki keyakinan dan identitas berbeda, dan 3) Moralitas dalam
pergauilan yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.
Untuk moralitas bernegara, Buya syafii kritis terhadap ketimpangan moralitas
para pengusaha yaitu seperti budaya korupsi dan perlombaan untuk hidup mewah bagi
sebagaian pejabat. Budaya korupsi ini memiliki visi yang pendek, tidak melihat jauh
kedepan dan membawa bangsa ini kearah yang jelas.
Untuk moralitas antar agama, Buya Syafii menekankan visi agama adalah untuk
rahmatan lil’alamin. Prinsip moral dalam pergaulan dengan orang yang berbeda agama
yaitu saling menyayangi dan belomba dalam kebaikan. Buya Syafii menganggap non
muslim yang berjuang demi keadilan dan kemanusiaan lebih sebagai saudara daripada
sesama muslim yang menindas umat manusia.
Untuk moralitas sesama muslim, Buya Safii menekankan prinsip ukhuwah dan
tawaduk dalam bergaul antar sesama umat islam bahwa masing-masing kelompok tidak
boleh dengan mudah menuduh umat islam lain sebagai kafir, murtad, dan musyrik. Bagi
Buya Syafii moralitas bukan semata persoalan cara berpakaian dan pornografi, akan
tetapi moral yang lebih besar, yaitu bagaimana hidup bernegara, beragama dan
masyarakat.
Untuk prinsip ‘humanity’, Buya Syafii tidak memaknai humanity dalam kontek charity,
akan tetapi lebih sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan
sosial.Buya Syafii juga menjelaskan perbedaan antara tauhid dan politeisme terletak
pada persoalan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tauhid harus
dibuktikan sebagai alat perlawanan terhadap eksploitasi. Semua tindakan buruk bagi
Buya Syafii adalah wujud dari kemusyrikan kepada Tuhan.
Sedangkan, Kang Moeslim Ketika memimpin Maarif Institute lebih ditekankan
pada upaya mengejawantahkan prinsip ‘humanity. Namun terdapat perbedaan pola
Buya Syafii dan Kang Moeslim dalam mengimplementasikan prinsip ‘humanity’ atau
‘al-Ma’un. Kang Moeslim cenderung ke arah Marxist dan menerapkan strategi LSM
dalam melawan penindasan. Untuk melawanya Kang Moeslim perlu membentuk
jaringan, menciptakan discourse, dan mencoba mengubah atau menguasai struktur.
Itulah salah satu alasan mendirikan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
pada tahun 2003.Peran Buya Syafii pada proyek ini yang diharapkan Kang Moeslim
adalah sebagai teolog dan ideologi al-Ma’un karena beliau pemikir dan ulama daripada
sebagai orang lapangan.
Jika dilihat dari kontek sejarah yang direncanakan oleh Buya Syafii dan Kang
Moeslim adalah suatu strategi baru dalam penerjemah dan pengalaman al-Ma’un.
Terdapat dua pola penerapan al-Ma’un dalam sejarah Muhammadiyah yaitu gaya
Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan, sedangkan
yang kedua adalah pola yang diterapkan oleh Mukti Ali dengan masuk ke pemerintah
dan bergabung dengan proyek developmentalism atau pembangunan pada tahun 1970-
an. Dalam kedua pola ini pemberantasan kemiskinan dilakukanya dengan proyek KB
(Keluarga Berencana) dan memaknai agama yang bisa mendukung perkembangan
ekonomi. Berbeda dari kedua pola tersebut, yang dilakukan Kang Moeslim kepada
mereka yang terpinggirkan secara sosial atau people of subordination dengan tiga
metode tersebut.
5. Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah
Sidang Pleno II Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di bawah kepemimpinan
Din Syamsuddin pada 17 Juli 2005 memutuskan bahwa tidak ada satu perempuan pun
dalam susunan kepengurusan periode 2005- 2010. Kondisi tersebut bagi
Muhammadiyah merupakan satu kemunduran besar. Keputusan tersebut hanya menjadi
potret mini dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di UMM (Universitas
Muhammadiyah Malang) 3 – 8 2005. Selama berlangsungnya muktamar resistensi
warga Muhammadiyah baik tingkat pusat maupun daerah terhadap perempuan memang
terasa cukup kuat.
Menurut catatan seorang peserta dari Jawa Tengah. M Abduh Hisyam dari 35
PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah ). Hanya 8 PDM yang mengikutsertakan
perempuan dalam Muktamar di Malang. Organisasi Islam Modernis mewajibkan untuk
mengikutsertakan satu orang perempuan sebagai peserta mukhtamar, ini merupakan
cerminan keenggaan kaum bapak dimuhamadiyah untuk duduk setara dengan
perempuan.
Penentangan warga Muhammadiyah terhadap gender equality terlihat lebih
nyata ketika dalam pemilihan 39 calon Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-
2010, tak ada satu pun nama perempuan yang terpilih. Siti Chamamah Suratno, mantan
Ketua Umum Asytyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) yang sekarang kembali
terpilih untuk memimpin organisasi tersebut, nyaris masuk 39 besar. Ia menempati
urutan ke 40 dan hanya berselisih satu suara dari Prol Syafri Sairin dari Yogyakarta
yang menempati urutan ke-39. Terpentalnya nama Chamamah ini, mungkin, merupakan
konsekuensi logis dari minimnya utusan perempuan dalam Muktamar.
Ada banyak asumsi, tentu saja, mengapa wakil perempuan tidak ikut serta dalam
Muktamar. Misalnya, tidak ada atau tidak bersedianya perempuan yang hendak diutus
untuk berpartisipasi dalam Muktamar, Namun, yang paling menarik bagi saya bukanlah
jumlah perempuan yang hadir atau ada dan tidak adanya perempuan yang menjadi
perwakilan dari PDM dalam Muktamar, tapi sikap dan keputusan yang diambil oleh
orang-orang Muhammadiyah terhadap kaum hawa ini.
Pada tanwir-tanwir (forum tertinggi kedua) Muhammadiyah semasa
kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif, 2000-2005, peluang perempuan untuk duduk
menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah dibuka Jebar-lebar. Bahkan, mereka
mendapat kuota khusus jika ternyata tidak ada satu nama perempuan pun yang masuk
dalam daftar 13 pimpinan eksekutif organisasi terbesar kedua di Indonesia ini,
Sayangnya, dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk
memasukkan perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode
mendatang mendapat penolakan sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam
sidang pleno ada peserta yang berteriak, “Jika perempuan sekarang ini diberi kuota
untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang memilih, maka nantinya mereka
akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam Muktamar ini, keputusan
tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara dengan laki-
laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Kondisi ini bagi Muhammadiyah tentu saja merupakan satu kemunduran besar.
Seusai sidang Komisi, Amin Abdullah, mantan Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang
membidangi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang juga rektor UIN
(Universitas Islam Negeri) Yogyakarta, menyebutkan bahwa keputusan - keputusan
Muhammadiyah pada tahun 1960-1970-an sudah memberi kesempatan kepada
perempuan untuk menduduki jabatan ketua. Amin Abdullah melanjutkan bahwa dirinya
bahkan sudah menunjukkan buku hasil Muktamar tahun - tahun lampau itu kepada
orang-orang yang menentang perempuan menjadi ketua, Namun, tetap saja pandangan
mereka tak berubah.
Tidak adanya perempuan dalam pimpinan Muhammadiyah adalah satu kasus.
Kasus lain yang lebih menyedihkan adalah sikap-sikap para peserta terhadap para
perempuan yang mencoba menyampaikan pendapat-pendapatnya. Teriakan “huuu,”
teror kata-kata atau ungkap. an tidak sopan sering kali muncul ketika seorang
perempuan mencoba menyampaikan pandangannya dalam beberapa sidang pleno.
Memang, banyak diduga bahwa orang-orang yang tidak santun itu adalah para nyusup
yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah.
Namun, dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat
lentur. Orang bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi kemasyarakatan,
menjadi aktivis Muhammadiyah sekaligus aktivis organisasi garis keras.

Akar-Akar Ketimpangan Gender

Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhamdiyah


(PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) juga antara Pemuda Ansor Fatayat NU adalah
bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan mengokohkan dominasi laki-laki atas
perempuan. Pembedaan anisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa
tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam mestik dan
pendidikan, sementara laki-laki memiliki kawasan luas. Segregasi organisasi ini
merupakan satu dari akar-akar ijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama
tentang gender inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama hal
dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada
pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya perempuan tidak hanya mengurus
perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling jika
landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran  keaetaraan
gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki masuk dalam organisasi
perempuan dan sebaliknya perempuan masuk dalam organisasi laki laki.

Bagi kelompak konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai


Sisterorganization dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan
penolakan mereka terhadap pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa jika perempuan ingin menjadi pimpinan
Muhammadiyah, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah membubarkan
dulu organisea Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama berkompetisi dalam
perebutan kepemimpinan.

Kekalahan Kubu Liberal

Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari
sekian tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi
modernis ini. Kekalahan ini akan semakin komplet jka nanti Muhammadiyah betul-
betul mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka
harapan perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan
Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi.
Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih 'ering
menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.

Memang sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental


merupakan suara mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomena Muktamar ini
benar-benar menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya.
Selain masalah perempuan. Muktakar kali ini juga melahirkan keputusan-keputusan
yang berseberangan dengan gagasan liberalisme.
Komisi A (umum) mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. Majelis Tarjih yang
ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata kata “dan Pengembangan
Pemikiran Islam” pun kini digugat. Tambahan empat kata tersebut dituntut untuk
dibuang. Selanjutnya, Majelis dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majelis
Tarjih" saja. samma dengan itu, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala terhadap
gagasan-gagasan liberalisme. Salah satu peserta di komisi menginginkan agar Pimpinan
Pusat Muhammadiyah membuat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (YIMM),
atau paling tidak menghilangkan huruf “M” (Muhammadiyah) dari namanya.

Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai neraka bagi
kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi
orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C.
Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang
seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para
pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di
negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang
menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib
Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar ke-45
bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.

6. Muhammadiyah Perlu Ijtihad Baru


Satu abad perjalanan Muhammadiyah dihadapkan pada sejumlah tantangan
serius. Bukan lagi persoalan takhayul, bid'ah dan churafat (baca: TBC) sebagai lawan
utama dakwah ke depan, melainkan kejumudan pikiran dan stagnasi gerakan menjadi
dua problem besar yang Menyumbat gerak laju Persyarikatan. Upaya menggagas ijtihad
gerakan adalah satu dari sekian wacana yang muncul dalam kongres Penelitian
International mengenai Muhammadiyah (International Research Cong
Muhammadiyah / IRCM) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) 9 November
- 2 Desember 2012. Kongres yang dihadiri 40 peneliti dari nasional maupun
internasional ini mengupas tuntas kontestasi Persyarikatan selama satu abad berlalu.
Kongres juga memberikan gagasan-gagasan yang mencerdaskan sebagai modal
melewati 100 tahun mendatang. Dari itu, berbagai autokritik bermunculan di antaranya
mengenai jumlah keanggotaan yang tidak jelas, cara pandang konservatif yang
dilestarikan, dan sejumlah alasan kenapa para peneliti asing tidak lagi tertarik meneliti
Muhammadiyah.
Pada penyelenggaraan IRCM, ada beberapa masukan baru bagi
Muhammadiyah. Banyak hal baru yang ditemukan dalam IRCM, misalnya apa yang
disampaikan M. Amin Abdullah dalam refleksinya. Amin Abdullah menekankan
supaya Muhammadiyah melakukan ijtihad yang benar-benar baru, bukan sekadar
recycling ijtihad seperti yang selama ini diulang-ulang. Konsep ijtihad ini berupaya
menemukan satu bentuk identitas dan wawasan baru sebagai modal melangkah 100
tahun ke depan. Selain itu juga ditemukan fakta yang mengagetkan dari data survei
yang disodorkan beberapa panelis seperti Robin Bush, Hattori Mina (Nagoya
University, Jepang), dan Ken Miichi (Iwate Prefectural UniverSity, Jepang). Mereka
menunjukkan bahwa jumlah keanggotaan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama
(NU) ternyata tidak terpaut sekitar 10 juta seperti selama ini dipahami. Umumnya orang
mengatakan, jika NU mengklaim punya 40 juta anggota, maka Muhammadiyah 30 juta.
Kalau NU beranggotakan 30 juta, maka Muhammadiyah 20 juta. Ternyata, warga
Muhammadiyah tidak ada separuhnya warga NU. Jika NU misalnya sekitar 40 persen
dari jumlah keseluruhan warga Indonesia, maka Muhammadiyah hanya sekitar 7,9
persen.
Pertanyaannya, apa yang mendasari perbedaan total jumlah keanggotaan itu
Menurut data survei yang dipaparkan Hattori Mina dan Ken Miichi, malah jumlahnya
lebih kecil, 4,5 persen saja warga PerSyarikatan yang benar-benar mengaku kader
Muhammadiyah. Tentu Saja ini memunculkan pertanyaan mendalam, apakah data ini
benar? Berkaitan dengan ini, Rizal Sukma menjelaskan, perbedaan jumlah keanggotaan
NU dan Muhammadiyah disebabkan karena NU adalah Organisasi Islam yang lebih
melekat pada tradisi, sementara Muhammadiyah lebih ketat sebagai organisasi Islam
modernis. Orang mengakuNU hanya dengan menjalankan ziarah kubur atau misalnya
datang ke haul, Tetapi kalau Muhammadiyah lebih terlihat pada kegiatan-kegiata dan
keanggotaan yang lebih ketat daripada tradisi. Bahkan, ada Orang yang mengatakan
bahwa anggota Muhammadiyah dengan Aisiyah it, berbeda. Variabel ini yang kiranya
perlu diperhatikan lagi ketika me lihat angka-angka keanggotaan tersebut. Tetapi angka
itu sendiri, yang 19 persen atau 45 persen itu lumayan mengejutkan bagi warga
Muhammadiyah.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi
pada awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini
tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi
perpolitikan nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah
menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara
dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol
dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi
Muhammadiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak
merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak
sedikit kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak eksram dalam memahami ajaran
Islam. Fakta itu bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Paciran atau Solo. Kekerasan
berlandaskan agama terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di
Manis Lor, Kuningan, atau persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang:
Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah menjadikannya sebagai reflesi, hanya
apakah kita mau menunaikan tugas menemukan pribadi, Selain itu, ada sekelompok
warga Muhammadiyahcenderung menganggap Persyarikatan ini sudah ketinggalan
seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van Bruines Morena itu, keduanya
menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan. Melihat
beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari Indonesia sendiri, yang kembali tertarik
untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun, alasan ketertarikan mereka untuk mengkaji
kembali Muhammadiyah itu berbeda dari alasan mereka ketika mengkaji
Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu Muhammadiyah dikenal memiliki
etos yang mirip dengan calvinisme, seperti giat bekerja, beramal tanpa pamrih, rame
inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya kepada anak yatim. Nilai - nilai
puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif karena dianggap mengarah pada
semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat bekerja. Namun, kini nilai mulai
puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme diartikan dengan ekstremisme.
Angka keanggotaan yang sedikit itu tentu memiliki dampak. Jika kita berefleksi
pada awal pendirian Muhammadiyah, memang jumlah keanggotaan organisasi Islam ini
tidak pernah besar. Tetapi dengan angka yang sedemikian itu tentu memengaruhi
perpolitikan nasional Jika angkanya hanya 7,9 persen atau 4,5 persen, maka jatah
menteri misalnya, tidak akan bisa diberikan. Ini dampak secara politik. Sementara
dampak secara organisasi tidak terlalu berefek. Akan tetapi, ketika politik dikontrol
dengan angka-angka, dengan menyebut Muhammadiyah itu kecil, maka representasi
Muhammadiyah dalam pemerintahan akan menjadi tidak diperhitungkan karena tidak
merepresentasikan warga yang sangat banyak.
Dari presentasi paper para peneliti, saya juga menemukan fakta bahwa tidak
sedikit kader-kader Persyarikatan yang terlihat agak ekstrim dalam memahami ajaran
Islam. Fakta itu bisa dibuktikan, misal yang terdapat di Pacitan atau Solo. Kekerasan
berlandaskan agama terjadi di organisasi mana pun, seperti penyerangan Ahmadiyah di
Manis Lor, Kuningan, atau persekusi terhadap warga Syi'ah di Sampang:
Muhammadiyah, yang terpenting kita adalah menjadikannya sebagai reflesi, hanya
apakah kita mau menunaikan tugas menemukan pribadi, Selain itu, ada sekelompok
warga Muhammadiyah cenderung menganggap Persyarikatan ini sudah ketinggalan
seperti dalam tulisan Mitsuo Nakamura dan Martin Van Bruines Morena itu, keduanya
menyarankan supaya gerakan Muhammadiyah harus lebih dikeraskan.
Belakangan, ini kita melihat beberapa peneliti asing, dan juga peneliti dari
Indonesia sendiri, yang kembali tertarik untuk mengkaji Muhammadiyah. Namun,
alasan ketertarikan mereka untuk mengkaji kembali Muhammadiyah itu berbeda dari
alasan mereka ketika mengkaji Muhammadiyah di tahun 1950 hingga 1970-an. Dulu
Muhammadiyah dikenal memiliki etos yang mirip dengan calvinisme, seperti gist
bekerja, beramal tanpa pamrih, rame inggawe, dan memberi sebanyak banyaknya
kepada anak yatim. Nilai-nilai puritanisme ini dimaknai sebagai tindakan yang positif
karena dianggap mengarah pada semangat protestanetik, kapitalisme, atau semangat
bekerja. Namun, kini nilai mulai puritanisme tersebut dimaknai berbeda. Puritanisme
diartikan dengan ekstremisme.
Hal ini menunjukkan semacam ada pergesaran nilai puritanisme dalam
Muhammadiyah. Terjadi kontestasi pemaknaan puritanisme disini diambil contoh, dulu
tahun 1970-an, semua buku James L. Peacock seperti Muslim Puritan atau Dahlan dan
Rasul, di dalamnya melihat Muhammadiyah memiliki spirit etos kapitalisme dan
protestanisme seperti Calvinisme di AS, yang kemudian menjadikan AS sebagai
negara. Tetapi pada 2002, Peacock menulis fundamentalisme, sementara  yang dilihat
berdasarkan konsep puritanisme Muhammadiyah yang ditulisnya pada 1970-an.
Selain autokritik terhadap Muhammadiyah, terdapat kelebihan Muhammadiyah
yang mendapat apresiasi dari para peneliti dalam IRCM. Pertama yang paling tampak,
organisasi ini sudah mendunia, meski masih pelan. Jika dulu para pemikir Indonesia
masih berpikir tentang Islam dalam lingkup Indonesia, kini para generasi muda
Muhammadiyah berpikir untuk menampilkan Muhammadiyah di tingkat global.
Kepercayaan, meski secara geografis Indonesia berada di pinggiran dunia Islam.
Sebagai perwujudan dari keinginan menduniakan Muhammadiyah adalah rencana
menyelenggarakan konferensi dengan menggandeng Gulen Movement dari Turki atau
Nursi Movement dan antara organisasi-organisasi itu.
Kedua, minat studi kemuhammadiyahan yang dilakukan para sarjana lebih
beragam. Tidak hanya melihat aspek politik dan ekonomi Muhammadiyah, tapi juga
pada aspek spiritualitas, filantropi, dan isu perempuan. Dalam kaitannya dengan
perspektif yang dipakai, mereka juga telah beranjak dari keterkungkungan Weberian
perspektif menuju Durkhemuan perspektif dan perspektif lain yang melihat tidak
semata sebagai organisasi ortodok, tapi juga organisasi yang berciri khas
keindonesiaan.
Bagi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), ada refleksi dari kegiatan IRCM
terutama untuk pengembangan keilmuan. Dalam kaitannya dengan AMM, IRCM
menunjukkan munculnya kader intelektual muda di Muhammadiyah dengan gelar
doktor dari luar negeri. Di antara mereka ada Ahmad Muttagin, Rahmawati Husein,
Alimatul Oibtiyah, Hilman Latief, Din Wahid, Pradana Boy, Mohammad Rokib, dan
lain-lain. Meski duduk dalam satu forum atau satu panel dengan begawan - begawan
ahli Islam seperti M.C. RickJefs, Martin van Bruinessen, Mark R. Woodward, Jonathan
Benthall, Mitsuo Nakamura, Hyung-Jun Kim, dan Robert R. Hefner, dan Herman 1,
Beck, mereka tak tampak minder atau merasa inferior.

Anda mungkin juga menyukai