Disusun oleh :
Ardita Meilia (G2A222024)
Islam Nusantara
Homogenisasi ini tentu tidak serta merta diterima oleh masyarakat. Respon balik
atauresistensi terhadaphomogenisasi ini di antaranya dalam bentuk indigenization.
Islam Nusantara di populerkan anak – anak NU dan menjadi tema Muktamar NU ke 33
di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 adalah satu bentuk respons terhadap globalisasi
dengan melakukan indigenisasi.
Islam Nusantara merupakan istilah yang sering di pakai untuk mengacu pada
Islam ala Indonesia yang autentik, langgamnya Nusantara tapi isi dan liriknya Islam,
bajunya Indonesia tapi badannya Islam. Ide Islam Nusantara ini berkaitam dengan
gagasan “pribumisasi Islam” yang pernah dipopulerkan almarhum K.H. Abdurrahman
Wahid. Penggunaan resmi nama ini di antaranya dalam jurnal Tashwirul Afkar Edisi
No. 26 tahun 2008.
Munculnya Islam Nusantara adalah bagian dari apa yang biasanya disebut
sebagai “paradoks globalisasi”. Dalam istilah TH. Erikson (2007, 14), “Semakin orang
mengglobal, sering kali dia menjadi semakin terobsesi dengan keunikan budaya
asalnya”. Dalam kalimat unik ilmuwan lain, “Ketika dunia semakin global, perbedaan –
perbedaan kecil antara umat manusia semakin ditonjolkan”. (Ang, 2014)
Islam Berkemajuan
Kelompok kedua adalah salafis. Mereka sangat peduli terhadap kode dan ritual
keberagamaan, Orientasi keberagamaan kelompok ini adalah otherworldiy atau semata
- mata akhirat dan keselamatan itu terletak lebih pada keimanan (faith) daripada
aktivitas sosial. Orang salafis tidak tertarik perdebatan teologis, karena bagi mereka
terlalu banyak intelektualisme justru mengacaukan keimanan. Orang Salafi percaya
bahwa tempat ideal perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar
rumah, seperti sekolah, maka perempuan harus dipisahkan dag laki laki, Konsekuensi
lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab, adalah wajib, Bagi kelompok Ini,
gagasan tentang pelaksanaan syaria, Islam harus didukung dan negara Islam akan lebih
baik daripada sistem secular
Dinamika Internal
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhamdiyah (PM) dan
Nasyiatul Aisyiyah (NA)—juga antara Pemuda Ansor Fatayat NU—adalah bagian dari
segregasi laki-laki dan perempuan mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Pembedaan anisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-
laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam mestik dan pendidikan,
sementara laki-laki memiliki kawasan luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu
dari akar-akar ijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender
inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama hal dan karena itu
harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan
kerja, pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Langkah awal untuk mendobrak segregasi ini adalah dengan meleburkan kedua
organisasi itu menjadi satu. Laki-laki tidak hanya perempuan tidak hanya mengurus
perempuan. Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling jika
landasan keberadaannya harus diubah sehingga sejalan dengan kesadaran keaetaraan
gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki masuk dalam organisasi
perempuan dan sebaliknya perempuan masuk dalam organisasi laki laki.
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari sekian
tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi modernis
ini. Kekalahan ini akan semakin komplet jka nanti Muhammadiyah betul-betul
mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka harapan
perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan Muhammadiyah akan
sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi. Seperti banyak terjadi
dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih 'ering menjadi korban daripada
mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagu neraka bagi
kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi
orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C.
Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang
seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para
pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di
negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang
menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib
Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar ke-45
bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.
Batalnya kuota perempuan dalam Muktamar ke-45 ini merupakan satu dari
sekian tanda-tanda dari kekalahan kelompok atau gagasan liberal dalam organisasi
modernis ini. Kekalahan ini akan semakin komplet jka nanti Muhammadiyah betul-
betul mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika hal itu terjadi, maka
harapan perempuan untuk duduk setara dengan laki-laki dalam pimpinan
Muhammadiyah akan sangat mungkin menjadi terkubur dalam-dalam di dalam mimpi.
Seperti banyak terjadi dalam kasus penerapan syariat Islam, perempuan lebih 'ering
menjadi korban daripada mendapatkan manfaat dari gerakan ini.
Kini Muhammadiyah sudah berubah. Bila dulu ia dianggap sebagai neraka bagi
kaum konservatif-radikal, kini ia bisa menjadi surga atau rumah yang nyaman bagi
orang-orang garis keras. Mungkin benar apa yang pernah “diramalkan” oleh M.C.
Ricklefs (profesor dari Universitas Melbourne), bahwa menjelang umurnya yang
seabad ini, Muhammadiyah sepertinya akan mengalami the real split. Kini, para
pengamat dan peneliti tentang Indonesia harus lebih hati-hati dalam membaca Islam di
negeri ini, apakah Muhammadiyah masih bisa dikategorikan sebagai Islam yang
menyejukkan atau tidak. Masih terlalu dini, memang, untuk menilai nasib
Muhammadiyah periode 2005-2010. Namun, setidaknya fenomena Muktamar ke-45
bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah.
Wallahua'lam.