Anda di halaman 1dari 4

Wahabi, Perjalanan Panjang Sebuah Stigma

“Wajah ekstremis Islam, yang membenarkan kekerasan dan menggerakkan kebencian,


merefleksikan kepentingan orang kaya dan penguasa. Wajah itu dimiliki oleh ideologi yang
dikenal sebagai Wahhabisme, sebuah “kultus mati” yang merupakan ajaran resmi penguasa
Kerajaan Saudi.” (Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam; Moderatisme vs
Fundamentalisme dalam Wacana Global).

Peristiwa pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Jakarta bulan Juli lalu mencuatkan
fenomena menarik. Aksi teror kali ini tidak hanya dikaitkan dengan yang disebut jaringan atau
kelompok teroris, seperti Jamaah Islamiyah dan lain sebagainya. Tapi dikembangkan lebih luas
lagi hingga menyentuh akar ideologis dari terorisme. Disinilah isu Wahabi muncul.

Fenomena ini tentu saja menarik, karena tampak sekali ada upaya pembentukan opini
masyarakat bahwa Wahabi adalah ideologi sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya daripada
jaringan teroris, karena merupakan paham ekstrem yang mengajarkan doktrin-doktrin terorisme
sehingga setiap pengikutnya, sadar ataupun tidak, berpotensi menjadi teroris. Karena itu wajar
jika ada pihak yang meminta agar pemerintah lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia.

Ada apa dengan Wahabi? Apa itu Wahabi? Apa saja ajaran-ajaran Wahabi? Benarkah Wahabi
mengajarkan doktrin terorisme? Mengapa stigma terorisme begitu cepat dilekatkan kepada
Wahabi? Bagaimana Wahabi masuk ke Indonesia? Siapakah representasi Wahabi di Indonesia?
Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dimunculkan terkait isu Wahabi dan terorisme ini.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya tidak muncul, kalau saja pihak-pihak yang


menuding Wahabi sebagai akar ideologi terorisme menjelaskan alasan tudingan mereka secara
memadai. Tapi kenyataannya jauh panggang dari api, isu ini terus mengambang dan hanyut
begitu saja tanpa kejelasan, sehingga masyarakat sulit menguji dan menilai kebenarannya.

Persoalan ini terus bergulir dan menjadi semakin rumit tatkala Ja`far Umar Thalib, seorang yang
disebut pentolan Salafi, kelompok yang dianggap merepresentasikan Wahabi, menuding
Quthbiyah (merujuk kepada Sayyid Quthb) sebagai akar ideologi terorisme. Menurutnya, semua
radikalisme dan ekstremitas yang muncul di antara kalangan yang disebut teroris adalah hasil
dari pemikiran Sayyid Quthb. Bahkan lebih jauh, disebutnya hasil pengaruh Ikhwanul Muslimin
(Sabili, no 8 th XVII Dzulqa`dah 1430H).

Pernyataan ini tentu saja semakin memperkeruh persoalan. Salafi, kelompok yang dianggap
Wahabi melempar bola panas isu terorisme kepada Ikhwanul Muslimin. Tapi di lain pihak, tidak
menutup kemungkinan, secara disadari atau tidak, lemparan bola api itu juga dilakukan dari arah
sebaliknya. Fenomena ini semakin sulit dimengerti. Tapi yang pasti, kecurigaan antara sesama
umat semakin merebak dan massif. Ini merupakan kerugian terbesar kedua bagi umat, setelah
sekian lama gerakan-gerakan dakwah tidak kunjung mampu merapatkan barisan untuk mencapai
tujuan bersama, `izzul Islam wal muslimin.

Itulah alasan yang mendorong lahirnya tulisan ini. Selain mengulas seputar Wahabi, tulisan ini
juga diharapkan dapat menjelaskan hubungan segitiga antara Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan
fenomena Salafi di Indonesia. Harus diakui, ini persoalan besar dan cakupan wilayahnya pun
luas, sehingga tidak mudah diselesaikan. Hanya Allah SWT yang memberi taufiq dan
pertolongan, Allahu l-musta`an.

Wahabi, Mata Rantai Stigma

Wahabi adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi (1115-1206 H / 1703-1792 M) dari Najd, Semenanjung
Arabia. Istilah Wahabi telah dikenal semasa Ibn Abdul Wahab hidup, tapi bukan atas inisiatif
dirinya melainkan berasal dari lawan-lawannya. Ini berarti, istilah Wahabi merupakan bagian dari
rangkaian stigma terhadap gerakannya.

Hal ini diakui oleh para peneliti gerakan Wahabi seperti Margoliouth dalam artikelnya ‘Wahhabiya’
yang diterbitkan dalam The First Encyclopedia of Islam. George Rentz, peneliti Amerika Serikat,
menjelaskan lebih jauh latar belakang dan tujuan penamaan Wahabi, “Istilah Wahabi disematkan
kepada para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab oleh para penentangnya, untuk
mengesankan bahwa ia mencetuskan sebuah aliran baru sehingga penyebarannya harus
dibendung dan aktivitas pengikutnya harus dihentikan…. Sementara di Barat, kebanyakan
peneliti menggunakan istilah Wahabi sebagai cibiran.” (Nashir at-Tuwaym, as-Syaikh MAW
Hayatuh wa Da`watuh fi ar-Ru’yah al-Istisyraqiyyah).

Beberapa tokoh menghujat gerakan Wahabi dan menggunakannya sebagai judul karya mereka
semenjak Muhammad bin Abdul Wahab hidup. Mereka antara lain, Muhammad bin Fairuz (w
1216H / 1802M) dari Basrah melalui bukunya al-Risalah al-Mardhiyyah fi al-Radd `ala al-
Wahhabiyyah (Catatan Memuaskan untuk Menolak Wahabi), Muhammad bin Abul Majid al-Fasi
(w 1227H / 1812M) dari Maroko dalam al-Radd `ala Ba`dh al-Mubtadi`in min al-Tha’ifah al-
Wahhabiyyah (Bantahan terhadap Sekelompok Ahli Bid`ah dari Aliran Wahabi), dan Isma`il al-
Tamimy (w 1248H / 1832M) dari Tunis dalam al-Minah al-Ilahiyyah fi Thams al-Dhalalah al-
Wahhabiyyah (Anugerah Allah untuk Menghapus Kesesatan Wahabi).

Persoalan yang mengemuka kemudian adalah, apa alasan lawan-lawan Muhammad bin Abdul
Wahab menamakan gerakannya Wahabi? Tidak ada jawaban yang pasti. Tapi kesan yang
muncul sangat jelas, setidaknya untuk saat itu, Wahabi adalah sebuah istilah baru yang asing
dalam tradisi intelektual Islam sehingga akan memudahkan propaganda dan pembentukan opini
negatif terhadapnya. Seburuk apa pun sifat yang diberikan kepada Wahabi akan lebih mudah
diterima, karena masyarakat Islam tidak mengenalnya sebelum itu.

Posisi Penentang Wahabi lebih Kuat

Hal ini terkait dengan fakta bahwa pada mulanya, gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab
terbatas pada kegiatan keilmuan dan memperbaiki kondisi keagamaan masyarakat yang terbatas
di sekitar tempat tinggalnya, baik selama masih di `Uyainah maupun setelah pindah ke Dir`iyyah.
Sementara para penentangnya adalah tokoh-tokoh yang tersebar di Najd, Ahsa’ dan Iraq. Ini
berarti, ketika Ibn Abdul Wahab masih sibuk dengan berbagai persoalan internal, lawan-
lawannya telah menggalang kekuatan dan melakukan propaganda, sehingga stigma dan
informasi-informasi miring lebih dulu sampai kepada masyarakat Muslim di berbagai wilayah.

Selain itu, para penentang Ibn Abdul Wahab punya akses yang kuat ke dunia Islam, karena
mendapat dukungan dari penguasa masing-masing. Misalnya adalah Muhammad bin `Afaliq (w.
1164 H) yang didukung oleh Sulaiman bin `Urai`ir (w. 1166 H), penguasa Ahsa’, dan Sulaiman
bin Suhaim (w. 1181 H) yang didukung oleh Dahham bin Dawwas (w. 1187 H), penguasa Riyadh.
Fakta ini juga menunjukkan bahwa penentangan terhadap gerakan Wahabi tidak melulu bermotif
intelektual melainkan juga politik. (Abdul Aziz bin Abdul Lathif, Da`awa al-Munawi’in).

Memang propaganda antar wilayah itu tidak dilakukan serta merta, melainkan bertahap. Tapi
fakta ini menunjukkan, para penentang Wahabi di Najd, meskipun jumlahnya cukup banyak,
menyadari bahwa mereka terdesak dan tidak mungkin bertahan lebih lama sehingga harus
mencari dukungan dari wilayah-wilayah Islam lainnya.

Tudingan Khawarij

Husain bin Ghannam (w. 1225 H) menggambarkan kuatnya propaganda dan akses lawan-lawan
Muhammad bin Abdul Wahab seperti berikut, “Mereka kemudian membantah dan menentangnya
dengan pelbagai cara. Ulama yang paling keras dalam menghujatnya adalah Sulaiman bin
Suhaim dan ayahnya. Ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menjatuhkan dan melakukan
provokasi dengan mengirimkan surat ke Ahsa’, al-Haramain (Makkah dan Madinah), dan Basrah.
Tapi upayanya itu tidak menghasilkan apa pun selain kehinaan dan rasa malu. Berikutnya, dia
menggalang kekuatan ulama-ulama as-su’ (jahat) untuk memelintir dan memalsukan
(pandangan-pandangan Ibn Abdul Wahab), lalu menyatakan sikap bersama yaitu
mengingkarinya dan mengeluarkan fatwa kepada para penguasa dan sultan, bahwa Ibn Abdul
Wahab adalah penganut keyakinan Khawarij.” (Abdul Aziz bin Abdul Lathif, Da`awa al-
Munawi’in).

Tudingan Khawarij berdampak luas, karena kelompok ini memiliki akar sejarah dan ideologi yang
jelas. Karena itu, muncul pula tudingan-tudingan lain yang terkait, seperti takfir atau mengkafirkan
muslim yang tidak sehaluan dengannya. Ini berarti isu Wahabi adalah Khawarij dan suka
mengkafirkan sesama Muslim telah berkembang sejak Muhammad bin Abdul Wahab hidup.
Malangnya, tudingan-tudingan tersebut tidak disampaikan langsung kepada Ibn Abdul Wahab
melainkan disebar luaskan ke pelbagai belahan dunia Islam oleh orang-orang seperti Ibn
Suhaim.

Wahabi pun Divonis Kafir

Isu Khawarij dan derivasinya tentu saja menggegerkan dunia Islam. Terlebih lagi bagi pihak-
pihak yang berkepentingan di masa itu dan berikutnya. Karena itulah, siapa pun yang menulis
buku untuk menghujat Wahabi akan menjadikan isu Khawarij dan takfir sebagai pokok
pembahasannya, kemudian dilengkapi dengan kesimpulan bahwa Wahabi adalah aliran sesat,
bid`ah, mengubah syari`at Allah, bahkan kafir. Demikian dikatakan Ibn Ghannam yang
merupakan sejarawan sekaligus saksi hidup gerakan Wahabi.

Dalam suratnya kepada ulama dan penduduk Maghrib, Muhammad bin Abdul Wahab
mengungkap vonis kafir yang dijatuhkan lawan-lawannya terhadap dirinya, “Itulah yang memicu
pertentangan kami dengan mereka, hingga pada akhirnya mereka mengkafirkan kami,
memerangi kami, dan menghalalkan darah dan harta kami. Tapi Allah menolong kami sehingga
kami dapat mengalahkan mereka.” (ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyyah).

Pengkafiran Wahabi terus berkembang sepeninggalan Ibn Abdul Wahab. Hal ini terungkap dalam
penuturan Imam asy-Syaukani (w. 1250 H), ulama besar Yaman yang meninggal sekitar empat
puluh empat tahun setelah Ibn Abdul Wahab. Ketika itu, pengikut Wahabi tidak hanya dikafirkan
di Najd melainkan juga di Makkah, “Penduduk Makkah telah mengkafirkannya dan jelas-jelas
menvonisnya kafir.” (Imam asy-Syaukani, al-Badr ath-Thali`).

Jika bola takfir telah menggelinding, maka vonis-vonis lain yang relatif lebih ringan seperti aliran
sesat, ahli bid`ah dan lainnya lebih mudah digulirkan. Alawi al-Haddad (w. 1232 H) misalnya.
Ulama Yaman ini jelas-jelas menyebut Ibn Abdul Wahab dalam judul bukunya sebagai Ahli
Bid`ah. Redaksinya adalah Mishbah al-Anam wa Jala’ azh-Zhalam fi Radd Syubah al-Bidi an-
Najdi al-Lati Adhalla biha al-`Awam (Penerang Manusia dan Penyingkap Kegelapan; Bantahan
terhadap Syubhat-syubhat Ahli Bid`ah dari Najd yang Menyesatkan Kaum Awam).

Mengakhiri Mata Rantai Stigma

Menghadapi arus stigma yang begitu deras, Muhammad bin Abdul Wahab dan para penerusnya
tidak tinggal diam. Segala cara ditempuh untuk membendungnya. Mulai dari buku, risalah dan
bantahan (rudud) hingga karya-karya nyata dengan segala pasang surut hubungan kalaborasi
ulama dan penguasa Kerajaan Saudi Arabia yang kini telah memasuki fase ketiga.

Seiring dengan perjalanan waktu, informasi tentang Wahabi semakin terbuka untuk dikaji dan
diteliti. Hal itu tampak pada berkembangnya karya-karya di luar Najd yang memberi atmosfer
baru seputar isu wahabi, seperti Tarikh Najd karya Mahmud Syukri al-Alusi dari Irak, Atsar ad-
Da`wah al-Wahhabiyyah fi al-Ishlah ad-Dini wa al-`Umrani fi Jazirat al-`Arab wa Ghayriha karya
Muhammad Hamid al-Faqi dari Mesir, dan Shiyanat al-Insan `an Waswasat asy-Syaikh Dahlan
karya Muhammad Basyir as-Sahsuwani dari India. Buku terakhir diberi pengantar yang cukup
penting oleh Muhammad Rasyid Ridha, tokoh pembaharuan Islam kenamaan asal Suriah.

Sebagai gerakan, perjalanan sejarah Wahabi telah berjalan hampir tiga abad. Rentang waktu
yang cukup panjang untuk terbangunnya dialog pemikiran yang matang antara elemen-elemen
umat. Tapi kenyataannya masih memprihatinkan, wacana Wahabi saat ini seakan merefleksikan
kondisi dua setengah abad lalu. Para penentang masih menggunakan wacana Ibn Suhaim, Ibn
`Afaliq, Ibn Fairuz, Dawud Jarjis, Ahmad Zaini Dahlan dan semisalnya. Di lain pihak, pengikut
dan pengagum Ibn Abdul Wahab sering terpaku pada persoalan-persoalan parsial yang tidak
seutuhnya mencerminkan gagasan-gagasan konseptual dai besar ini. Bahkan, pada
perkembangannya ada gejala mereduksi dan mengerucutkannya kepada masalah-masalah yang
sangat terbatas.

Isu Wahabi hingga kini lebih mencerminkan kebuntuan dialog antara madrasah-madrasah
pemikiran Islam. Sebuah pekerjaan rumah besar yang harus segera mendapat perhatian seluruh
umat Islam agar meringankan beban sejarah yang terlalu berat untuk terus dipikul.

www.sabili.co.id (http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1074:wahabi-
perjalanan-panjang-sebuah-stigma&catid=82:inkit&Itemid=199)

Anda mungkin juga menyukai