[b]. Boleh saja siapa pun memiliki pendapat politik tentang Wahabi, atau
bersikap kepadanya; tetapi jangan lalu memojokkan, jangan menyebarkan
stigma (penodaan citra), jangan pula membohongi masyarakat. Hal-hal
demikian bisa merusak ukhuwah dan persatuan ummat, serta menceraiberaikan hubungan di antara sesama Muslim.
Nah, terkait upaya mengelola isu Wahabi di mata masyarakat awam ini,
ada beberapa ide retorika diplomatis yang bisa disampaikan disini,
antara lain sebagai berikut:
[1]. Ketika seseorang, suatu lembaga, suatu partai, atau suatu gerakan
ditanya: Apakah Anda Wahabi atau bukan? Jawabannya bisa positif,
bisa negatif. Jawaban positif maksudnya meng-IYA-kan, jawaban negatif
maksudnya men-TIDAK-kan. Kedua jawaban sama-sama boleh, tetapi
argumentasinya harus baik dan tidak menyesatkan.
[2]. Atas pertanyaan di atas, bisa saja seseorang atau sebuah lembaga
menjawab: Ya, saya Wahabi. Jujur saya Wahabi. Lalu dijelaskan:
Semua orang Indonesia Wahabi, sebab mereka kalau Haji dan Umrah ke
negeri orang Wahabi. Mereka tinggal di hotel Wahabi, makan-minum di
tempat orang Wahabi, memakai pesawat orang Wahabi, memakai bus dan
jalan-jalan orang Wahabi, dan sebagainya. Kalau Wahabi tidak boleh,
berarti orang Indonesia tak usah pergi Haji dan Umrah kesana. Atau
jawaban lain: NU juga Wahabi. Sebab Ketua PBNU sekarang pernah 14
tahun sekolah di universitas Wahabi, di negeri Wahabi.
[3]. Mungkin orang akan bertanya: Tapi kan, Wahabi itu anti Tahlilan,
anti Yasinan, dan anti Mauludan? Jawabannya: Orang Wahabi
juga Tahlilan (maksudnya, membaca dzikir Laa ilaha illa Allah) setiap
hari. Orang Wahabi juga Yasinan (maksudnya membaca Surat Yaasin,
selain Surat-surat Al Quran lainnya). Orang Wahabi
juga Mauludan(maksudnya, setiap tahun memperingati hari jadi negara
Saudi). Jawaban ini diberikan ketika sudah terpaksa sekali.
[4]. Mungkin orang akan mendebat lagi: Tapi kan orang Wahabi
menghancurkan kuburan-kuburan, rumah-rumah para Sahabat
Nabi, dan sebagainya? Lalu dijawab: Itu dulu, dan terjadi di Arab
sana. Kalau di Indonesia tidak ada yang begitu. Wahabi dulu beda dengan
sekarang. Wahabi di Indonesia beda dengan di Arab.
[5]. Bisa juga diberikan jawaban negatif seperti: Bukan, kami bukan
Wahabi. Jawaban begini boleh, sebagaimana bolehnya seseorang