Anda di halaman 1dari 7

KH.

Hasyim Asyari dan Wahabi


>> Sebuah rahasia penting. Jarang diungkap. Padahal perlu diketahui.
>> Terus terang saya sebal sekali dengan kawan-kawan ASWAJA yang
gemar memvonis Wahabi sesat, serupa Syiah.
>> Padahal ya, sekeras-kerasnya Wahabi (Salafi) mengkritik ASWAJA,
paling seputar bidah atau amal-amal yang didakwa mengandung
kesyirikan. Tidak pernah Wahabi memandang ASWAJA sebagai aliran
sesat, seperti Syiah.
>> Pandangan Wahabi kepada ASWAJA, tak beda dengan pandangan
Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad kepada NU. Kurang lebih begitu.
>> Banyak kalangan ASWAJA mendasarkan sikapnya pada ajaran KH.
Hasyim Asyari saat beliau mengingkari Wahabi.
>> Kritik seperti itu sebenarnya berangkat dari TANGGUNGJAWAB Kyai
Hasyim untuk melindungi & mengembangkan Jumiyah NU-nya. Ibaratnya
self protector-lah.
>> Tapi secara keumuman sebagai bagian dari Ummat, Kyai Hasyim mau
sinergi dengan elemen-elemen Wahabi.
>> Anda tidak percaya? Anda sebut saya fitnah? Tidak. Ini benar-benar
nyata. Ada buktinya.
>> Buktinya, saat terbentuk Partai Masyumi, yang menjadi Ketua Dewan
Syuro-nya adalah Kyai Hasyim.
>> Padahal Masyumi dikenal sebagai gudangnya Wahabi. Tapi setelah
merdeka. Setelah Kyai Hasyim wafat, pihak NU memilih menyisih dari
saudara-saudaranya, kalangan Wahabi.
>> Kalau melihat kawan-kawan ASWAJA begitu nafsu menyerang Wahabi,
kadang saya membatin: Anda seolah merasa lebih alim dari Kyai
Hasyim.
>> Yo wis, gitu ajah. Matur nuwun.

Titik Temu Wahabi-NU


Ini adalah buah pikiran sangat bagus dari Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub
tentang realitas dakwah di Nusantara. Beliau adalah Imam Besar Masjid
ISTIQLAL Jakarta; salah satu pakar hadits di negara kita; juga anggota
Dewan Komisi Fatwa MUI. Suara beliau dan lengkingan kepeduliannya,
sangat layak diapresiasi.
Berikut tulisan beliau dari Opini REPUBLIKA, 13 Februari 2015. Sekaligus
kami rekam pandangan beliau di blog ini.
TITIK TEMU WAHABI-NU
(Friday, 13 February 2015, 14:00 WIB).
Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar
kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama,
diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di
Indonesia. Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi
yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu
berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan
mayoritas umat Islam Indonesia.

Damailah NU dan Wahabi


Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU.
Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumbersumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam
Muhammad Hasyim Asyari. Sebaliknya, banyak orang NU yang
memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli
karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.

Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan


banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini
tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis
dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk
menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan
mengobarkan permusuhan dan pertentangan.
Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang
menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu
Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab
karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi
itu dinisbatkan. Sementara untuk mengetahui paham keagamaan
Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam
Muhammad Hasyim Asyari yang mendirikan Jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad
Hasyim Asyari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam
Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih
dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asyari
dan imam Ibnu Taymiyyah. Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU,
alumnus Universitas Islam Madinah, mengatakan kepada kami, lebih
kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama dengan ajaran Wahabi.
Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini
dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan
NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli
Wahabi, maka ia tentu akan terkejut. Namun, bagi orang yang
mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan
mengatakan, Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua
kelompok ini selalu dibenturkan?
Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya
puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber
syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis,
ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang
sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir. Karenanya, baik
Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan
orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu
terdapat dalam hadis-hadis sahih.
Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat
Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan

shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami


tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya
dua kali, dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20
rakaat. Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang
pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan
shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru menyerang balik kami, katanya,
Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara
dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak
ada satu pun yang membantah hal itu. Inilah ijma para sahabat.
Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu
mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan
NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali. Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam
Muhammad Hasyim Asyari), sama-sama berpendapat bahwa bertawasul
(berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh)
itu dibenarkan dan bukan syirik.
Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asyari dalam kitabnya, alNur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam
berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang
saleh, kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah
Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu.
Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali
(karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.
Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu
Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asyari. Namun, perbedaan itu
sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi
dan NU.
Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah
mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi
yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU
yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak
menjadi masalah. Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat
Islam di dunia yang harus saling mendukung. Karenanya, membenturkan
antara keduanya sama saja kita menjadi relawan gratis Zionis untuk
melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis dalam Protokol Zionisme
di atas. Wallahu al-muwaffiq. n

Ali Mustafa Yaqub


Imam Besar Masjid Istiqlal
*) Semoga pandangan brilian Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub ini bisa menjadi
siraman sejuk untuk mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara. Di sana
memang banyak yang menginginkan kaum Muslimin tercerai-berai; tapi
kita paham siapa mereka, dan apa tujuan missinya. Nasalullah al afiyah.

Mengelola Isu Wahabi di Mata Orang Awam


Bismillahirrahmaanirrahiim.
Tidak diragukan lagi, isu Wahabi sudah lama muncul. Buya Hamka
rahimahullah pernah menulis seputar isu Wahabi di tahun 55-an, ketika
menjelang Pemilu 1955. Waktu itu Partai Masyumi diidentikkan dengan
Wahabi, lalu Buya Hamka memberikan penjelasan-penjelasan. Ternyata,
sampai saat ini juga isu Wahabi masih dipakai dalam permainan politik
seputar Pemilu dan Pilkada.
Dalam hal ini ada kaidah dasar, yaitu:

Masyarakat Awam Cenderung Sensitif dan Simplisit. Perlu Komunikasi


Khusus dalam Menghadapi Mereka.
[a]. Menjelaskan ke masyarakat awam tidak bisa dengan bahasa ilmiah,
telaah mendalam, atau komparasi pendapat-pendapat. Bukan maqam
mereka diajak berpikir dalam tataran ilmiah, apalagi akademik. Mereka
perlu diberi penjelasan yang cespleng. Maksudnya, sederhana, tidak
berdusta, tapi juga mudah mereka pahami.

[b]. Boleh saja siapa pun memiliki pendapat politik tentang Wahabi, atau
bersikap kepadanya; tetapi jangan lalu memojokkan, jangan menyebarkan
stigma (penodaan citra), jangan pula membohongi masyarakat. Hal-hal
demikian bisa merusak ukhuwah dan persatuan ummat, serta menceraiberaikan hubungan di antara sesama Muslim.
Nah, terkait upaya mengelola isu Wahabi di mata masyarakat awam ini,
ada beberapa ide retorika diplomatis yang bisa disampaikan disini,
antara lain sebagai berikut:
[1]. Ketika seseorang, suatu lembaga, suatu partai, atau suatu gerakan
ditanya: Apakah Anda Wahabi atau bukan? Jawabannya bisa positif,
bisa negatif. Jawaban positif maksudnya meng-IYA-kan, jawaban negatif
maksudnya men-TIDAK-kan. Kedua jawaban sama-sama boleh, tetapi
argumentasinya harus baik dan tidak menyesatkan.
[2]. Atas pertanyaan di atas, bisa saja seseorang atau sebuah lembaga
menjawab: Ya, saya Wahabi. Jujur saya Wahabi. Lalu dijelaskan:
Semua orang Indonesia Wahabi, sebab mereka kalau Haji dan Umrah ke
negeri orang Wahabi. Mereka tinggal di hotel Wahabi, makan-minum di
tempat orang Wahabi, memakai pesawat orang Wahabi, memakai bus dan
jalan-jalan orang Wahabi, dan sebagainya. Kalau Wahabi tidak boleh,
berarti orang Indonesia tak usah pergi Haji dan Umrah kesana. Atau
jawaban lain: NU juga Wahabi. Sebab Ketua PBNU sekarang pernah 14
tahun sekolah di universitas Wahabi, di negeri Wahabi.
[3]. Mungkin orang akan bertanya: Tapi kan, Wahabi itu anti Tahlilan,
anti Yasinan, dan anti Mauludan? Jawabannya: Orang Wahabi
juga Tahlilan (maksudnya, membaca dzikir Laa ilaha illa Allah) setiap
hari. Orang Wahabi juga Yasinan (maksudnya membaca Surat Yaasin,
selain Surat-surat Al Quran lainnya). Orang Wahabi
juga Mauludan(maksudnya, setiap tahun memperingati hari jadi negara
Saudi). Jawaban ini diberikan ketika sudah terpaksa sekali.
[4]. Mungkin orang akan mendebat lagi: Tapi kan orang Wahabi
menghancurkan kuburan-kuburan, rumah-rumah para Sahabat
Nabi, dan sebagainya? Lalu dijawab: Itu dulu, dan terjadi di Arab
sana. Kalau di Indonesia tidak ada yang begitu. Wahabi dulu beda dengan
sekarang. Wahabi di Indonesia beda dengan di Arab.
[5]. Bisa juga diberikan jawaban negatif seperti: Bukan, kami bukan
Wahabi. Jawaban begini boleh, sebagaimana bolehnya seseorang

mengaku diri sebagai bagian dari Wahabi. Tetapi kemudian tambahkan


penjelasan sebagai berikut: Kami bukan Wahabi, tapi kami juga bukan
musuh Wahabi. Kita semua ini Muslim, kita bersaudara. Kita diperintahkan
oleh agama untuk saling bersaudara, saling berkasih-sayang, dan bantumembantu dalam kebaikan.
[6]. Atau berikan jawaban yang sekaligus berisi nasehat: Sudahlah
jangan diungkit-ungkit masalah Wahabi atau non Wahabi. Kita
semua ini Muslim. Kita bersaudara. Kita harus bersatu-padu,
saling tolong-menolong. Jangan berpecah-belah dan jangan pula
memberi kesempatan agar musuh memecah-belah kita semua.
Intinya, berikan penjelasan yang bersifat mudah, argumentatif, meskipun
ia bersifat simplisit (menyederhanakan masalah). Karena memang kadar
pemahaman orang awam sulit untuk diajak memahami yang rumit-rumit.
Sebuah contoh, Pak Prabowo Subianto sering mendapat stigma: Buat apa
memilih presiden yang pembunuh? Maksudnya, beliau dituduh terlibat
sebagai dalang peristiwa Trisakti saat Kerusuhan Mei 1998. Bahkan pihak
korban, aktivis LSM, juga kalangan media sangat mudah mengangkat isu
Trisakti itu untuk membarikade Prabowo agar tidak menjadi Presiden RI.
Sampai sejauh ini, tim Prabowo masih kesulitan mengatasi stigma-stigma
itu.
Level berpikir orang kecil sangat mudah dipengaruhi hal-hal simplisit
seperti itu. Maka ketrampilan komunikasi kita, perlu terus ditingkatkan.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Amin ya Rahiim.
(Abinya Syakir).

Anda mungkin juga menyukai