Anda di halaman 1dari 3

Fatwa Demonstrasi

Rabu, 04 April 2012

"Fatwa Demonstrasi"
Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*

Fatwa berikut bukan mengenai Indonesia, melainkan tentang Arab. Tepatnya, bagaimana para
ulama atau lembaga keagamaan di sana memandang aksi unjuk rasa. Fatwa-fatwa ini saya
kumpulkan dari berbagai media online Arab sejak pecah aksi unjuk rasa di Tunisia pada Januari
2011.

Di antara sekian ulama berpengaruh, yang paling sering mengeluarkan fatwa adalah Syekh Yusuf
Qaradhawi , ketua Persatuan Ulama Muslimin Internasional. Ulama yang pandangan-pandangan
keagamaannya sering menjadi rujukan umat Islam ini hampir selalu mengeluarkan fatwa di
setiap terjadi unjuk rasa, dari mulai di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, hingga Suriah.

Dalam pandangan Qaradhawi, alasan boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa
hanya satu, yaitu manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Ketika
hal itu terjadi, rakyat boleh alias halal untuk menentang penguasa. Baginya, menerapkan
kebebasan harus lebih didahulukan daripada penerapan syariat (tahkikul huriyah moqoddamun
ala tatbikis syari'ah).

Atas dasar itu, Qaradhawi yang bermukim di Qatar ini mengeluarkan fatwa tentang
dibolehkannya aksi unjuk rasa dan bahkan revolusi. Perlawanan rakyat di beberapa negara Arab,
kata Qaradhawi, tak ada yang salah. Karena, lanjutnya, Islam memerintahkan penghapusan
kezaliman dari muka bumi, termasuk rezim penguasa yang menyengsarakan rakyat.

Ia menyerukan agar umat Islam yang telah berhasil melakukan aksi revolusi membangun negara
demokratis berdasarkan negara madani (civil society) dengan Islam sebagai rujukan. Ia
mengisyaratkan negara agama bukanlah konsep Islam. Fatwa lain yang sering menjadi referensi
umat Islam adalah Syekh al-Azhar (Kairo), yang kini dijabat Syekh Dr Ahmad Thayib.

Sayangnya, ketika muncul revolusi di Mesir, pemimpin lembaga tertinggi al-Azhar ini tidak
bersuara. Bahkan, melalui siaran pers, alAzhar justru mengkritik aksi-aksi unjuk rasa menentang
rezim Presiden Husni Mubarak, yang disebutnya sebagai fitnah dan bisa membahayakan bangsa
dan negara. Akibatnya, alAzhar menjadi sasaran kritik masyarakat.

Namun, setelah revolusi berhasil menggulingkan Mubarak, sikap al-Azhar langsung berubah.
Syekh Ahmad Thayib pun aktif mengeluarkan fatwa yang mendukung revolusi di berbagai
negara Arab. Dalam konferensi pers pada November 2011, Ahmad Thayib menegaskan
keabsahan sebuah pemerintahan bergantung pada kehendak rakyat.

Menurut dia, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat adalah dijamin oleh syariat asal tidak
merusak fasilitas umum. Ia mengutuk keras para penguasa Arab yang mengha dapi demonstran
dengan kekerasan, apalagi dengan senjata yang mematikan. Hal ini ia sebut sebagai batalnya
kontrak yang diberikan rakyat kepada penguasa.

Khusus mengenai kekerasan aparat keamanan negara terhadap rakyat Suriah, ia menyatakan
mereka tidak bisa berdalih diperintah. Alasannya, dalam agama setiap manusia dituntut
pertanggungjawabannya atas perbuatannya masing-masing. Keberhasilan revolusi rakyat Mesir
tampaknya telah mengubah sikap al-Azhar.

Undang-undang baru menyatakan pimpinan tertinggi al-Azhar dipilih oleh Haiah Kibarul Ulama
yang tergabung dalam al-Majma' al-Buhuts al-Islamiyah, lembaga riset tertinggi di alAzhar.
Dengan begitu, al-Azhar kini merupakan lembaga independen tanpa ada campur tangan dari
pihak luar. Sebelumnya, Syekh al-Azhar ditunjuk oleh Presiden Mesir.

Selain Syekh al-Azhar dan Syekh Yusur Qaradhawi, fatwa-fatwa yang dikeluarkan para ulama
umumnya bersifat lokal. Fatwa mereka biasanya untuk mendukung kebijakan pemerintah
negaranya. Kalau ada yang menyimpang dari garis kebijakan pemerintah, mereka akan langsung
terkena kartu kuning atau bahkan kartu merah. Hal inilah yang antara lain terjadi di Arab Saudi.

Pada awalnya, sejumlah ulama Arab Saudi bebas mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihad
masing-masing. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mempunyai web atau blog yang
bisa diakses lewat internet. Isinya pada umumnya adalah fatwa dari yang bersangkutan atau
tanya jawab soal agama.

Ketika pecah revolusi di Tunisia dan disusul di negara-negara Arab lainnya, beberapa ulama pun
mengeluarkan fatwa mengenai demonstrasi. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Hal
inilah yang tampaknya dirasa oleh Pemerintah Arab Saudi bisa membahayakan bangsa dan
negara, yang bisa saja mengundang rakyat untuk berdemo seperti di negara lain.

Raja Abdullah bin Abdul Aziz akhirnya mengeluarkan titah kerajaan yang melarang ulama secara
individu mengeluarkan fatwa, baik di online maupun tempat-tempat umum lainnya. Fatwa,
katanya, hanya boleh dikeluarkan lembaga resmi Haiah Kibarul Ulama yang sudah terjamin
keilmuan dan keulamaannya. Sedangkan ulama per individu hanya dibolehkan memberi
konsultasi keagamaan secara individu pula.
Lain di Arab tentu lain pula di Indonesia. Namun, yang ingin saya katakan adalah ulama harus
hadir di dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Kehadirannya harus bermanfaat
untuk kejayaan dan kesejahteraan negara dan bangsa ini.

**REPUBLIKA (2/4/2012)

_________________
*Tentang Penulis:

Ikhwanul Kiram Mashuri - Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran
Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan
senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di
Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern
Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.

Anda mungkin juga menyukai