Anda di halaman 1dari 5

Islamofobia memiliki perubahan makna yang signifikan dari masa ke

masa. Dan fakta menunjukkan, terorisme menjadi perpanjangan katalis


kebencian paling signifikan yang dapat berdampak negatif terhadap Islam.
=================

OPINI KOMPAS

Memahami Katalisator Kebencian dalam Islamofobia


Ima Sri Rahmani

Menelaah islamofobia akan membawa kita pada sejarah kebencian yang


telah tumbuh berkembang dengan berbagai ragam bentuk dan fungsi.
Menurut Mastnak dalam artikelnya yang berjudul Western hostility toward
Muslims: A history of the present (2010), permulaan sikap antipati yang
dikenal sebagai anti-Muslim di dunia Kristen dimulai pada pertengahan
abad ke-9, yaitu terjadi ketika ketakutan dialami oleh masyarakat Kristen
yang hidup di bawah pemerintahan Muslim di masa lalu terhadap asimilasi
budaya Islam. Dan, saat pertama kali ketika Islam menjadi normative,
fundamental, quintessential, universal enemy terjadi ketika Paus Urban
menyerukan Perang Salib pada 1095.

Glorifikasi yang kemudian terus digunakan untuk menyulut semangat


yang oleh Gottschalk dan Greenberg dalam bukunya Islamophobia and
anti-Muslim Sentiment bahwa masyarakat Kristen pada saat itu
menganggap sikap dan perlakuan mereka terhadap Islam sebanding
dengan ”Christ” dalam kekristenan. Sebuah semangat yang
menggunakan kekristenan sebagai pola untuk penaklukan dan ekspansi
ekonomi dan politik di wilayah Mediterania

Namun, the west dan the muslim world pada saat itu belum muncul
sebagai batas geografis imajinatif hingga kemudian imperialisme Eropa
muncul dan menciptakan ”oriental” dan ”oksidental” sebagai wilayah
pertarungan yang sulit untuk ditentukan batas geografisnya. Hal ini
berangsur-angsur berkembang menjadi rasa identitas Eropa versus
Kesultanan Ottoman pada periode modern awal. Mastnak bahkan
menjelaskan bahwa kebencian beberapa orang terhebat Eropa terus

1
berlanjut terhadap ”Turki”, termasuk tokoh-tokoh seperti Erasmus dari
Rotterdam, Martin Luther, dan Voltaire.

Dan memasuki abad ke-19, katalisator kebencian ini terus


bertransformasi, seperti yang diungkapkan Esposito dalam artikel
pengantarnya di buku yang berjudul Fear of Muslims?: International
Perspectives on Islamophobia bahwa katalisator utama yang mendorong
munculnya ketakutan terhadap Muslim dan Islam adalah revolusi Iran,
9/11, ancaman global Al Qaeda, NIIS (ISIS), dan afiliasinya khususnya di
wilayah Afrika Utara.

Kenyataan ini memberi gambaran kepada kita bahwa sejarah di masa lalu
telah menjadi ”predisposisi” yang sangat penting. Dalam hal ini Esposito
menekankan, katalistaor ini tidak berpengaruh secara langsung terhadap
kebencian di masa kini, tapi memberikan atau menjadi sumber informasi
bagi tumbuhnya kebencian di masa-masa berikutnya.

Dalam fungsi itulah, (I)slam dalam terma islamofobia memiliki makna


’(i)slam’ sebagai sebuah sejarah penaklukan di masa lalu dan sebagai
sebuah ancaman bagi masa depan yang kini tampak nyata kita alami dan
kita lihat. Kita berada di dalam ”debris sejarah yang hidup”.

Oleh sebab itu, Andrew Rippin di dalam bukunya yang berjudul Muslim:
Their Religious Beliefs and Practice menjelaskan bahwa islamofobia
bukanlah tentang Islam dan Muslim sebagai agama dan sebagai
penganut agama, melainkan tentang bagaimana Islam dipahami oleh
mereka yang berada di luar Islam. Jadi bukanlah tentang kritik terhadap
Islam, melainkan sebuah konsep yang dengannya seseorang memahami
Islam (dengan caranya sendiri).

Jika kembali pada masa di mana kata islamofobia ini pertama kali
digunakan, kita akan menemukan relevansi pandangan Rippin tersebut.
Pada kenyataannya, sejarah mencatat bahwa kata islamofobia tidak dapat
dilepaskan dari sejarah penjajahan Perancis.

Kata ini digunakan pertama kali di dalam sebuah artikel yang ditulis
Maurice Delafose berjudul L’etat actuel de l’Islam dans l’Afrique
Occidental Francaise di tahun 1910. Dalam posisinya sebagai seorang
administrator kolonial di Sudan, Delafose menjelaskan bahwa Pemerintah

2
Perancis seharusnya tidak perlu takut terhadap Muslim di Afrika Barat.
Justru yang perlu ditakuti adalah non Muslim, yaitu masyarakat lokal yang
dipandang jauh lebih sulit untuk diajak bekerja sama. Bahkan dia
melanjutkan bahwa yang terjadi justru islamofilia yang justru menimbulkan
kemarahan dari masyarakat lokal non-Muslim yang jumlahnya jauh lebih
banyak.

Kita juga dapat menemukan konsep islamofobia di dalam artikel yang


ditulis Alain Quellien di tahun 1910 yang berjudul La Politique Musulmane
dans L’Afrique Occidentale Francaise yang memberikan perspektif yang
berbeda. Dalam artikel ini, dia menggunakan kata islamofobia ketika
menjelaskan latar belakang kegagalan Perancis dalam menaklukkan
masyarakat lokal dan dalam melakukan kristenisasi serta menganggap
bahwa islamisasi adalah salah satu kendalanya.

Bahwa, ajaran ”Mohametism” mudah diterima oleh masyarakat lokal


karena memiliki nilai-nilai yang mirip dengan masyarakat asli, yaitu ”Islam
berharmonisasi dengan masyarakat lokal karena dia membolehkan
perbudakan, poligami, keyakinan takhayul sehingga Islam tidak
mengubah sama sekali organisasi sosial dan ekonomi masyarakat lokal.”
Quellien menegaskan, dalam hal ini Islam dipahami oleh Pemerintah
Perancis sebagai negasi terhadap peradaban Eropa dan Kristen, karena
memiliki budaya yang barbar, representasi keyakinan yang buruk dan
brutal.

Nada yang sama dapat kita temukan di dalam beberapa artikel yang
lainnya. Jelas kiranya, islamofobia tidak membahas sama sekali tentang
Islam sebagai agama, tapi Islam yang direpresentasikan oleh masyarakat
lokal yang telah beralih agama ke dalam Islam yang mereka sebut
sebagai pengikut Mohametism.

Lebih lanjut lagi, kata islamofobia pun memiliki perubahan makna yang
signifikan dari masa ke masa. Perubahan makna di masa pasca-
penjajahan, Perang Dingin hingga di masa setelah serangan 9/11. Dia
dipahami dengan terminologi yang berbeda, dengan masalah dan subyek
yang berbeda, target yang berbeda, serta disirkulasikan oleh medium
yang berbeda.

3
Dan di masa kini, serangan teroris 9/11 telah menjadi momen penting
yang membangkitkan ”komposit” kebencian lama di dalam masyarakat
Eropa. Terkait hal ini, Esposito menegaskan bahwa meskipun sejarah
panjang interaksi Eropa dan Islam sudah berlangsung sangat lama, Islam
dan Muslim secara virtual tidak terlihat di Amerika dan Eropa di masa lalu.

Peristiwa 9/11 telah menjadikan Islam dan Muslim menjadi isu yang ”laku
keras” disirkulasikan di media sosial di satu sisi dan ”kompleks” di sisi
yang lain. Khususnya terkait dengan terma islamofobia, hal ini mengarah
secara spesifik terhadap kategorisasi yang direpresentasikan oleh pelaku
serangan, namun membungkus beragam hal yang saya sebut sebagai
global package object of islamophobia’, yaitu Islam, Muslims, Arabs, dan
Islamis.

Islamofobia menafikan ajaran Islam yang dinamis dan keragaman


pemeluknya. Dia menempatkan semua orang ke dalam satu keranjang
yang sama. Islam dan Muslim sebagai entitas yang monolitik.

Oleh sebab itu, perdebatan terkait kata islamofobia muncul di permukaan.


Pertanyaannya adalah apakah isu agama masih relevan di dalam
memahami kebencian yang terangkum dalam kata islamofobia? Mari kita
refleksikan.

Jika bicara tentang islamofobia di India, kita akan bicara tentang sikap
masyarakat Hindu. Jika kita bicara tentang islamofobia di Amerika, kita
akan bicara tentang kelompok agama Kristen Protestan konservatif.

Namun, ketika kita bicara islamofobia di Perancis, yang akan kita


dibicarakan adalah Charlie Hebdo. Sebuah majalah mingguan yang isinya
justru mengkritik hampir semua ajaran agama yang ada di Perancis, yang
dipandang sebagai representasi sekularisme Perancis.

Saya hanya ingin menegaskan bahwa pada kenyataannya setiap negara


memiliki pandangan dan perlakuan yang berbeda terhadap berbagai
kasus terkait fenomena yang kemudian dikenal sebagai islamofobia. Di
negara-negara di mana agama masih relevan dan memegang kendali
cukup besar, agama masih terus digunakan sebagai bahan anti tesis
terhadap Islam. Namun, di negara yang menempatkan agama di ruang

4
pribadi seperti di Perancis, islamofobia muncul sebagai bagian dari bentuk
antitesis dari hegemoni masyarakat setempat, yaitu laïctié.

Kenyataan ini harus menjadi bagian dari ”kritik diri” masyarakat Muslim.
Setelah kita memahami geneology kata islamofobia di atas, kita dapat
melihat adanya sebuah keberlanjutan cara pandang masyarakat Eropa
terhadap Islam dan Muslim hingga saat ini.

”Islam” sebagai sebuah ajaran kebaikan tertutup oleh ”Islam” sebagai


sebuah sejarah panjang. Sejarah yang sebenarnya juga dialami oleh
agama yang lainnya. Lebih jauh lagi, fakta ini setidaknya memberikan
gambaran bahwa tindakan ”biadab teroris” menjadi perpanjangan katalis
kebencian di masa kini yang paling signifikan yang dapat memberikan
dampak negatif terhadap Islam.

Ima Sri Rahmani


Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta;
Peneliti dalam kajian Islamophobia di UCLouvain, Belgia

Anda mungkin juga menyukai