Riwayat Hidup
Arie Frederik Lasut lahir di Kapataran, Lembean Timur, Minahasa, 6 Juli 1918. Beliau
meninggal di Pakem, Sleman, Yogyakarta, 7 Mei 1949 pada umur 30 tahun. Arie F. Lasut adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia dan ahli pertambangan dan geologis. Dia terlibat dalam
perang kemerdekaan Indonesia dan pengembangan sumber daya pertambangan dan geologis pada
saat-saat permulaan negara Republik Indonesia. Lasut dilahirkan di desa Kapataran, yang sekarang
berada di kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara. Dia adalah putera tertua dari delapan anak
dari Darius Lasut dan Ingkan Supit. Adiknya yang bernama Willy Lasut sempat menjabat sebagai
Gubernur Sulawesi Utara.
Pendidikan
Arie F. Lasut mulai sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS) di Tondano. Ia kemudian
mendapat kesempatan untuk sekolah guru di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) diAmbon
karena keberhasilannya menjadi juara dalam kelasnya. Pada tahun 1933 Lasut lulus dari HIK
Ambon dan termasuk salah satu siswa yang terpilih untuk melanjutkan sekolah ke HIK Bandung.
Namun hanya setahun di Bandung, Lasut berkeputusan untuk tidak menjadi guru dan pindah ke
Jakarta untuk mengikuti pelajaran di Algeme(e)ne Middelbare School (AMS). Pada tahun 1937
Lasut lulus dari AMS dan memulai sekolah kedokteran di Geneeskundige Hooge School yang
sekarang adalah Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia. Lasut terpaksa harus berhenti dari
sekolah ini karena kesulitan dana. Pada tahun 1938 Lasut mulai bekerja di Departement van
Ekonomische Zaken (Departemen Urusan Ekonomi).
Perjuangan Kemerdekaan
Kemampuannya Arie F. Lasut sebagai geologiwan dalam kariernya telah ditunjukkan dari
laporan-laporannya yang berturut-turut tahun 1941, 1943, 1944 dan 1945. Pada bulan September
1945, Presiden menginstruksikan untuk mengambilalih instansi-instansi pemerintahan dari
Jepang. A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya
berjuang untuk mengambilalih kantor Sangyobu Chishitsuchosacho yang kala itu dikuasai oleh
Jepang. Pada waktu itu, aksi perlawanan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang
terjadi di mana-mana mulai dari kawasan pertambangan, kantor pusat Sangyobu
Chishitsuchosacho di Bandung hingga ke kawasan pertambangan yang tersebar di daerah-daerah.
Lasut ikut serta dalam pengambilalihan jawatan geologis dari Jepang yang berhasil
dilakukan secara damai. Jawatan itu kemudian dinamakan Jawatan Pertambangan dan Geologi.
Kantor jawatan terpaksa harus dipindah beberapa kali untuk menghindari agresi Belanda setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kantor jawatan sempat pindah ke Tasikmalaya, Magelang,
dan Yogyakarta dari tempat semulanya di Bandung. Sekolah pelatihan geologis juga dibuka
selama kepemimpinan Lasut sebagai kepala jawatan saat itu.
Saat terjadi perang, Lasut dan rekannya kemudian mendirikan pusat Djawatan Tambang
dan Geologi dengan kantor yang sama. Pengelolaan Pusat Djawatan yang semula dipimpin oleh
R. Ali Tirtosoewirjo dan kemudian oleh digantikan oleh R. Sunu Soemosoesastro. A.F. Lasut
sendiri menjadi salah satu dari 7 orang anggota Dewan Pimpinan dan merangkap sebagai Kepala
Laboratorium. Ketika R. Sunu Soemosoesastro menjabat sebagai Ketua Dewan Buruh, A.F. Lasut
dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Buruh merangkap Wakil Kepala Pusat.
Tidak lama kemudian, A. F. Lasut ditarik untuk menjabat sebagai Kepala Pusat sekaligus menjadi
Kepala Bagian Perusahaan sebelum akhirnya dia ditugaskan untuk menjabat sebagai Kepala
Bagian Geologi.
Selama Perang Kemerdekaan 1945-1949 melawan tentara Belanda yang didukung oleh
pasukan sekutu, A.F. Lasut memimpin Pusat Djawatan mengungsi dari satu tempat ke tempat yang
lain selama 4 tahun dari rentang bulan Desember 1945 hingga Desember 1949.
Karena tekanan dari pasukan tentara Belanda yang terus-menerus, maka Kantor Pusat
Djawatan berturut-turut diungsikan dari Bandung ke Tasikmalaya dan ke Solo (Maret 1946), ke
Magelang (September 1946), kemudian tercerai-berai ke beberapa desa (Borobudur, Muntilan,
Dukun, Serumbung) pada Oktober 1947, dan akhirnya yang berakhir di Yogyakarta pada
November 1947.
Dengan semangat perjuangan yang tinggi, A.F. Lasut bersama rekan sejawatnya berhasil
merebut dan mempertahankan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi. Tidak hanya merebut Pusat
Djawatan Tambang dan Geologi, dia juga menyelamatkan dan mengembangkannya.
Ketika memimpin Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut membuat suatu aturan yang
mengatur bahwa semua perusahaan pertambangan harus berada di bawah pengawasan Pusat
Djawatan Tambang dan Geologi, hal ini diumumkannya pada bulan Oktober 1945.
Untuk mengembangkan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut bersama dengan R.
Sunu Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi pada tahun 1946 di
Magelang dan Yogyakarta, dan membuka cabang kantor Pusat Djawatan di Bukit Tinggi,
Sumatera. Di sela-sela kesibukannya seperti itu, A.F. Lasut masih sempat melakukan penyelidikan
geologi di beberapa tempat. Hal ini terlihat di dalam karya tulisnya yang terakhir pada tahun 1948,
tentang Berita Tahunan 1945-1947, yang ditulis pada tahun 1948 tetapi baru terbit pada tahun
1962.
Selain usahanya di jawatan, Lasut turut aktif dalam organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS) yang bertujuan untuk membela kemerdekaan Indonesia. Dia juga adalah anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat, awal mula dewan perwakilan di Indonesia.
Lasut terus diincar oleh Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan
geologi di Indonesia, tetapi ia tidak pernah mau bekerjasama dengan mereka. Pada pagi hari
tanggal 7 Mei 1949, Lasut diculik oleh Belanda dari rumahnya pada usia 30 tahun dan dibawa ke
Pakem, sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta. Di sana ia ditembak mati. Beberapa bulan
kemudian jenazahnya dipindahkan ke pekuburan Sasanalaya Jl. Ireda di Yogyakarta di samping
isterinya yang telah lebih dulu meninggal pada bulan Desember 1947. Upacara penguburan
dihadiri oleh Mr. Assaat, pejabat presiden pada saat itu.
Lasut menikah dengan Nieke Maramis pada tanggal 31 Desember 1941. Mereka dikaruniai
satu anak perempuan, Winny Lasut.