Anda di halaman 1dari 10

LECTURE NOTES

Character Building: Agama


Week ke - 8

TOLERANCE AND INTER-RELIGIOUS


COOPERATION FOR WORLD PEACE

1
LEARNING OUTCOMES

LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.

OUTLINE MATERI :

Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:


• mengidentifikasi akar konflik dan kekerasan atas nama agama
• menjadikan agama sebagai sumber inspirasi bagi perdamaian
• mengkampanyekan pentingnya dialog dan kerjasama antarumat Beragama

2
ISI MATERI

A. Pendahuluan
Dalam sejarah peradaban umat manusia, Agama tampaknya memainkan peran ambivalen. Di satu
sisi agama berperan menciptakan perdamaian dunia. Di India misalnya, Mahatma Gandhi menggunakan
dalil-dalil agama untuk melawan kekerasan. Ia melawan kekerasan dengan tanpa kekerasan. Gandhi
menggunakan konsep “Ahimsa”, ajaran dalam agama Hindu, untuk melawan kolonialisme Inggris.
Ahimsa artinya tidak membahayakan diri sendiri, orang lain, dan seluruh makhluk hidup di bumi. Di
Filipina, seorang Uskup, Kardinal Sin, berani melawan penindasan dan praktek korupsi yang dilakukan
oleh Presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Kardinal Sin memimpin revolusi tanpa kekerasan. Kardinal Sin
menyerukan sikap peduli pada sesama dan melayani sesama dengan segenap hati. Ajaran peduli dan
melayani yang dilakukan Kardinal Sin berinspirasikan pada Kitab Suci. Di Amerika Serikat, Martin Luther
King, menggunakan dalil Kitab Suci tentang prinsip setiap orang sama di hadapan Tuhan, untuk
menghapus rasisme dan perbudakan.
Kendati demikian, di sisi lainnya, perang-perang besar di dunia terjadi justru mengatasnamakan
agama. Perang besar di Eropa antara tahun 1095-1291 dan tahun 1524-1648, muncul karena pertikaian dan
persaingan antara agama. Jutaan orang mati terbunuh atas nama agama. Tindakan terorisme yang
memuncak pada September 2001, yang menghancurkan menara kembar World Trade Center (WTC)
hingga menewaskan lebih dari 3000 orang, merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan atas nama agama.
Apa yang dibutuhkan warga dunia pada saat ini adalah sebuah kondisi damai dan harmoni, bebas
dan setara, serta toleran satu sama lain. Toleransi dan Kerjasama antarumat beragama merupakan cara
yang paling efisien untuk menwujudkan perdamaian dan harmoni. Agama bisa menjadi yang terdepan
untuk mewujudkan toleransi dan Kerjasama.
B. PEMBAHASAN
1. Melacak Akar Konflik dan Kekerasan Atas Nama Agama
Konflik dan kekerasan merupakan dua istilah dengan makna yang hampir sama. Itulah sebabnya
dalam pemakaiannya sehari-hari, dua istilah ini kerapkali bercampur. Konflik dan kekerasan merupakan
sebuah kondisi di mana orang atau kelompok memiliki kepercayaan, kepentingan, nilai, dan kebutuhan
yang berbeda, bersebrangan, dan tidak bisa didamaikan sehingga memaksa masing-masing pihak untuk
berkonfrontasi, berkelahi, berperang, atau saling membunuh.
Konflik Pertama muncul ketika Kain membunuh adiknya, Habel. Kain merasa iri dengan Habel
karena persembahan Habel diterima oleh Tuhan, sedangkan persembahan Kain tidak berkenan kepada
Tuhan. Kain pun membunuh Habel.
Pada 11 September 2001, dunia diteror oleh pembajakan empat pesawat komersial di Bandara
Boston, Newark, dan Washington DC oleh Anggota Al Qaeda yang kemudian menabrakan dua pesawat ke

3
Gedung World Trade Center (WTC) dan satu pesawat ke Pentagon (Buku Pengatar Politik, 274). Lebih
dari 3000 orang meninggal akibat aksi terror itu. Peristiwa tersebut menjadi aksi teorisme yang paling
menghebohkan dalam sejarah peradaban umat manusia. F Budi Hardiman dalam buku Memahami
Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (Jakarta: Penerbit Kompas, 2005), menyebut
tindakan teroris menabrakkan pesawat ke WTC atau melilitkan bom di tubuhnya, atau mengajak seluruh
anggota keluarga utk melakukan bom bunuh diri benar-benar melampaui kalkulasi nalar. Dalam Tindakan
terror itu, motif religius lebih berbicara daripada motif lain. Trutz von Trotha menyebut tindakan demikian
sebagai “eksistensialisme religius atas kekerasan”. Atau lebih tepat seperti yang dikemukakan Wolgang
Huber “Kekerasan sebagai ibadah”.
Pelaku kekerasan meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu merupakan tindakan kemartiran untuk
memurnikan dunia dari kekafiran. Sehingga mereka menyebut aksinya sebaga suatu ibadah kepada Allah.
Kebanyakan teroris juga meyakini bahwa di Surga mereka akan dijemput puluhan bidadari cantik.
Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya berjudul “Mencari Akar Ekstrimisme - Terorisme”
menjelaskan bahwa pelaku teror atau ekstrimis-teroris adalah orang-orang yang tidak memiliki visi tentang
kehidupan. Mereka menganut “teologi maut”! Mereka memiliki keberanian untuk mati karena tidak berani
untuk hidup. Mereka tidak memiliki visi tentang kehidupan yang damai di bumi. Mereka lebih memendam
angan dan igauan tentang kehidupan Bersama bidadari di alam setelah kematian. Itu merupakan sebuah
teologi yang sesat (Lihat tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir
Abbas (2017), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Penerbit Mizan Publishing,
Bandung).
Pertanyaan kita yang paling mendasar adalah mengapa kekerasan atau konflik atas nama agama
bisa muncul? F. Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan
Trauma menjelaskan tentang tiga alasan yang bisa memicu munculnya kekerasan.
Pertama, Akar Epistemologis. Akar epistemologis berhubungan dengan tingkat pengenalan orang
lain terhadap sesamanya. Filsuf Yunani, Empedokles mengatakan bahwa yang sama pasti mengenal yang
sama. “Kesamaan,” kata Aristoteles, adalah “jiwa persahabatan”. Sulit memercayai bahwa pelaku
terorisme melihat korbannya sebagai sesama manusia. Kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama,
melainkan terhadap yang lain. Yang lain itu adalah korban yang dipersepsi sebagai sosok yang terasing.
Korban dipersepsikan sebagai manusia asing. Bahkan korban didehumanisasikan dan didepersonalisasikan
sampai pada status obyek (F. Budi Hardiman, 2005).
Tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia sendiri. Jika kita
mengatakan bahwa kekerasan melekat di dalam struktur pikiran manusia, itu berarti: 1), pengenalan atas
manusia lain mengandung momen dominasi karena mengenali berarti juga mendefinisikan. Proses
pengenalan orang lain sudah mengandung momen dominasi. Momen dominasi muncul ketika orang lain
menjadi obyek atau korban penentuan manusia lain. Semakin didegradasi dan tak berdaya obyek itu,
semakin terbuka peluang bagi subyek itu untuk membesarkan diri dengan mengecilkan obyeknya. Dengan
pengecilan inilah “orang lain” tidak dipersepsi sebagai “sesama”. 2) Pengenalan atas manusia lain mulai

4
dengan stereotipifikasi bahwa orang lain itu anggota sebuah kelompok dan bukan individu. Stereotipifikasi
seperti itu dalam situasi konflik menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah gambaran tentang musuh (F.
Budi Hardiman, 2008). Dari akar epistemologis ini lahir ideologi-ideologi atau sistem-sistem nilai yang
mendikotomi manusia ke dalam “kawan” dan “lawan”.
Kedua, Akar Antropologis. Tindakan membunuh orang lain dimungkinkan karena pelaku
memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai. Nilai itulah yang memotivasi pelaku
untuk melakukan kekerasan. Teroris melukai atau menghabisi nyawa sesamanya tanpa merasa bersalah
jika tindakan itu dipandang sebagai realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri. Teroris
menglorifikasi kekerasan. Akar antropologis kekerasan adalah rasa panik. Seperti dianalisis Wolfgang
Sofsky, dalam rasa paniknya manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Nalar tidak bisa mengendalikan
rasa cemas, sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (F. Budi Hardiman, 2005).
Ketiga, Akar Sosiologis. Gambaran abstraktentang orang lain dan rasa panik adalah akar-akar yang
terletak lebih pada kesadaran dan motivasi manusia. Rasapanik itu sendiri terletak tidak di luar, melainkan
di dalam subyek. Sebagian rasa panik bersumber dari rasa takut akan ketakutan, yakni takut untuk
menghadapi kesepian sebagai seorang individu. Manusia enggan menghadapi rasa sepi karena merasa tak
nyaman menghadapi dirinya sendiri (F. Budi Hardiman, 2005). Mengapa muncul kesepian? Pengalaman
kesepian muncul karena isolasi. Untuk menemukan akar sosiologis kekerasan, kita harus bertolak dari
pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa itu bersumber dari kondisi-kondisi struktural
masyarakat. Artinya, tatanan masyarakat itulah yang menjadi sumber kekerasan. Ketimpangan sosial
memicu aksi kekerasan, karena mereka yang dimarjinalisasikan, didiskriminasikan, dan direpresi akan
bangkit melawan. Tindakan kekerasan dapat dilihat di sini sebagai strategi protes. Faktor yang kuat
mendorong aksi terorisme adalah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi-politik di dunia (lihat tulisan
Ahmad Syafii Maarif dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017).
Konflik dan Kekerasan, entah yang dipicu oleh kondisi epistemologis, antropologis, dan
sosiologis pada dasarnya merusak peradaban, melanggar HAM, merusak hukum dan konstitusi, mencedrai
demokrasi, dan bentuk penghinaan terhadap akal sehat. Kondisi seperti ini bisa diperbaiki dengan
mengangkat sumber-sumber yang baik yang melekat secara inheren di dalam agama.

2. Agama Sumber Inspirasi bagi Perdamaian


Anggota Tim Penyusun Tafsir Tematik Al-Quran Kementerian Agama RI, Muhammad Chirzin,
dalam tulisannya berjudul “Reinterpretasi Makna Jihad”, menyebutkan bahwa jihad merupakan salah satu
konsep dalam Islam yang paling sering disalahpahami. Dalam Al-Quran, istilah jihad itu disebutkan
sebanyak 41 kali. Stereotipe di Barat menyebutkan jihad sebagai the holy war (perang suci) (lihat tulisan
Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Muhammad Chirzin
menjelaskan bahwa perlu reinterpretasi mengenai jihad. Lulusan post Doktoral Universitas Al-Azhar - Kairo
itu menjelaskan tentang dua pandangan ekstrim tentang jihad. Pertama, jihad adalah perang fisik. Kedua,
jihad adalah perang menghadapi hawa nafsu sendiri.

5
Muhammad Chirzin menyebutkan bahwa jihad masa kini harus ditafsirkan sebagai dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan kehidupan (lihat tulisan Muhammad Chirzin dalam Azyumardi
Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Seruan jihad harus dimaknai sebagai dakwah atau ajakan ke
jalan Allah untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah perbuatan buruk. Dakwah itu bukan sekedar
menjelaskan ajaran Islam secara lisan, tetapi mencakup semua usaha membantu manusia melaksanakan
tugas-tugas hidup dengan sebaik-baiknya. Dakwah dilakukan dengan strategi lentur, kreatif, dan bijak.
Dakwah dilakukan dengan cara-cara baik, benar, dan bijaksana sesuai dengan tuntutan situasi (lihat tulisan
Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Islam sama sekali
tidak membenarkan pemaksaan beragama kepada siapa pun. Metode dakwah adalah dengan ucapan baik,
nasihat baik, dan dialog dengan kepala dingin (lihat tulisan Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra,
Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Amar ma’ruf merupakan kesetiakawanan sosial untuk
merealisasikan kebenaran dan kebaikan, menegakkan bangunan sosial yang kokoh. Amar ma’ruf nahi
munkar merupakan kebajikan terbesar orang beriman. Jihad masa kini harus dipahami sebagai agenda
melanjutkan reformasi dan revolusi mental dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum,
pertahanan dan keamanan dengan perjuangan sehebat-hebatnya tanpa kompromi. Setiap muslim dipanggil
untuk mengadvokasi hak-hak orang lemah, terlibat dalam pelayanan kesehatan, penguatan ekonomi dan
pendidikan, mecegah kekerasan, dan menghentikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Islam adalah
sumber moral, dan ia dirancang untuk mencapai kedamaian, cinta, dan kebaikan (lihat tulisan Muhammad
Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017).
Dapat disimpulkan bahwa jihad merupakan perjuangan Mukmin secara individual dan komunal
untuk mewujudkan cita-cita ideal Al-Quran dan Sunnah Nabi. Jihad sendiri berbentuk dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dalam segala lini kehidupan dengan mengerahkan segala daya, baik moril maupun spiritual,
dengan menghindari cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan spirit Islam sebagai rahmat bagi alam
semesta (Islam rahmatan lil alamin). Islam adalah manifestasi dari damai!
Di dalam Kekristenan perdamaian merupakan tujuan. Perdamaian berarti kesentosaan oleh adanya
tatanan kemerdekaan yang adil dan dinamis. Perdamaian secara hakiki ditentukan oleh penghormatan
terhadap hak dan keadilan. Oleh sebab itu perdamain sering kali diartikan sebagai karya keadilan. Solusi
damai atas perbagai pertikaian mesti sudah dibentuk dan dibina pada tingkat perorangan dan kelompok-
kelompok kecil. Perilaku pribadi terhadap keadilan, kepekaan terhadap sesama, kebebasan dari prasangka,
tenggang rasa, kemampuan untuk berkompromi, kesetiakawanan merupakan prasyarat- prasyarat penting
untuk perdamaian (Etika Kristiani, 92). Orang pun mesti berdamai dengan dirinya sendiri, di dalam batin,
dan suara hatinya. Perdamaian dengan sesama manusia dan alam ciptaan mengandaikan perdamaian
dengan Allah dan pengakuan atas kehendakNya. “Hanya apabila manusia bisa hidup damai dengan Allah,
maka perdamaian yang menyeluruh dan berkanjang bisa juga ada di dalam relasi manusia. Perdamaian
dengan Allah, perdamaian dengan diri sendiri, perdamaian di dalam batin dan perdamaian di antara umat
manusia, semuanya saling terkait” (Etika Kristiani, 93). Strategi perdamaian mesti melenyapkan sebab-
sebab terjadinya perang dan tindak kekerasan, serta menghormati hak-hak dan martabat orang lain.

6
“Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta martabat mereka, begitu
pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata, mutlak diperlukan untuk mewujudkan
perdamaian (GS, 78). Kebencian merupakan dosa melawan hukum cinta kasih dan persaudaraan.
Perdamaian mesti lahir dari kepercayaan timbal balik, dan merupakan buah dari keadilan dan cinta kasih.
Yohanes Paulus II berpandangan bahwa ‘perdamaian sebagai buah solidaritas’ (Etika Kristiani, 95). Dan
penghormatan terhadap hak-hak orang lain merupakan landasan yang amat penting bagi perdamaian.
Tugas pokok gereja adalah menjadi perantara kebenaran-kebenaran religious, membangun persekutuan
kristiani, serta memajukan persaudaraan di antara semua umat manusia (Etika Kristiani, 129). Hak-hak
menyangkut kebebasan beragama harus diberikan kepada setiap orang (Etika Kristiani, 142).
Dalam filsafat Cina, perwujudan potensi manusia merupakan dasar untuk menemukan harmoni
dan relasinya dengan sesama dan alam. Karakter utama filsafat Cina menempatkan kesempurnaan manusia
sebagai tujuan utama. Menurut Tao, kesempurnaan dapat diwujudkan dengan jalan mengikuti Jalan
batiniah kodrat alam. Sedangkan menurut Konghucu, perdamaian / kesempurnaan dapat terwujud melalui
jalan dengan mengolah kodrat manusia dan kebajikan sosial. Lao Tzu mengatakan apabila seseorang tidak
mengenal dan tidak hidup menurut hukum batiniah alam, ia akan terburuk dalam malapetaka. Dengan
demikian, mengikuti hukum alam akan membuat segala sesuatu tercapai (John M. Koller (terj oleh Kelen,
Donatus Sermada): 2010). Konghucu menegaskan prinsip dasar untuk sebuah masyarakat ideal.
“Berbuatlah bagi orang lain sebagaimana engkau inginkan mereka berbuat bagimu” (John M. Koller (terj
oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010). Konghucu tidak mencari dasar kebaikan dan moralitas manusia di
luar diri manusia. Dalam kemanusiaan itu sendiri ditemukan kebaikan dan kebahagiaan manusia. Bagi
Konghucu, apa yang menjadikan manusia khas manusia adalah jen. Jen itu diterjemahkan dengan
‘kebajikan’, ‘kemanusiaan’, ‘kemurahan hati’, ‘ cinta kasih’. Jen adalah apa yang membuat kita menjadi
manusiawi dan dasar bagi semua relasi manusiawi). Bagi Konghucu, kemampuan manusia untuk
mencintai justru membentuk inti kodrat manusia. Dan semua manusia dari kodratnya baik (John M. Koller
(terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010).
Buddha merupakan contoh paling inspiratif untuk mencapai pencerahan dan perdamaian. Buddha
telah memperlihatkan kepada dunia Delapan Jalan Mulia yang menggabungkan Tindakan moral, disiplin
mental, dan kebijaksanaan. Jalan yang ditempuh Buddha antara lain: A) Kebijaksanaan (1. Pandangan yang
benar, 2. Niat yang benar). B). Tingkah Laku (3.Berbicara benar, 4.Tindakan yang benar, 5. Mata
pencaharian yang benar). C). Disiplin Mental (6.Pikiran dan perhatian yang benar, 7. Usaha yang benar, 8.
konsentrasi yang benar (John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010).
Perdamaian merupakan prinsip dasar dalam agama Hindu. Filsafat Hindu mengenal persekutuan
semua mahluk hidup. Dasar persekutuan itu adalah cinta. Prinsip dasar dalam Hindu adalah Ahimsa artinya
tidak boleh melukai yang lain. Ahimsa merupakan ungkapan kasih saying untuk semua mahluk hidup.
Semua mahluk hidup termasuk dalam satu kluarga global (John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus
Sermada): 2010).

7
3. Membangun Dialog dan Kerjasama Antarumat Beragama
Dialog berarti tindakan komunikasi demi tercapainya saling pengertian atau saling memahami.
Dialog mensyaratkan adanya kebebasan, kesetaraan, keterbukaan, dan kejujuran. Tanpa empat syarat ini,
dialog untuk mencapai saling pengertian tidak akan terwujud. Dialog terkait erat dengan toleransi –
membiarkan segala sesuatu untuk saling mengizinkan atau saling meudahkan. Toleransi berarti
membiarkan orang lain dalam kekhasannya (keunikannya). SIkap toleransi disyaratkan oleh pemahaman
terhadap orang lain secara lebih inklusif. Toleransi beragama dapat dibangun melalui dialog antar umat
beragama. Karena dialog akan menghasilkan saling pengertian di antara umat beragama yang pada
gilirannya memunculkan sikap toleran dan rukun. Jadi, toleransi dan kerukunan antar umat beragama
merupakan tujuan dialog (Lihat Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University: 2018).
Melalui dialog, agama dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang
lebih adil, dan dunia yang damai. Dialog dapat dilakukan dalam beberapa model seperti dialog kehidupan
sehari-hari, dialog melakukan pekerjaan sosial, dialog pengalaman keagamaan, dan dialog pandangan
teologis. Dialog paling intens berhubungan dengan pemahaman dan interpretasi atas teks-teks suci. Ada
empat prinsip utama dalam dialog seperti ini. Pertama, mengakui dan menerima perbedaan teks Kitab Suci
agama lain. Kedua, mengakui dan menghargai perbedaan pemahaman dan interpretasi Kitab Suci agama
lain. Ketiga, berdebat secara cerdas, ilmiah, dan berbasis metode ilmu pengetahuan. Keempat,perlu
menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang tidak perlu dikatakan.

4. Strategi Mengatasi Kekerasan Atas Nama Agama


Kekerasan tidak perlu dilawan dengan kekerasan. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan
hanya akan melahirkan rantai kekerasan tanpa henti. Dalam buku Demokrasi dan Sentimentalitas, F. Budi
Hardiman menguraikan Gerakan-gerakan tanpa kekerasan. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama,
Memupuk Civil Courage. Civil courage artinya: Sikap WN yang mengutamakan demokrasi yang mengacu
pada semangat konstitusi dan HAM; Berani menyatakan pendidiran secara publik meski ditentang banyak
orang; Memiliki isi publik dan berorientasi pada kebaikan bersama; Menghimbau suara hati para warga
negara agar menghentikan penindasan dan kekerasan; Menyatakan keberatan atau penolakan terhadap
penindasan, pelecehan, dan diskriminasi; Tidak ikut serta dalam aksi kekerasan dan diskriminasi (F. Budi
Hardiman: 2019). Kedua, Berani Meninggalkan Posisi Penonton dan Tolak Bungkam. Sikap diam selalu
berarti membiarkan terjadinya kekerasan dan bahkan mendukungnya. Ketidakberanian ‘para penonton’
untuk mengintervensi kekerasan, justru memberikan kontribusi bagi penindasan dan kriminalisasi. Sikap
Tolak Bungkam atau tidak diam menunjukkan keberpihakan kepada korban pelecehan, penghinaan, dan
penindasan. Kita harus berani memberikan simpati kepada korban (F. Budi Hardiman: 2019). Ketiga, Setia
kepada suara hati. Suara hati merupakan instansi tertinggi dalam diri manusia untuk mengambil keputusan
pada tertentu. Sebagai individu, setiap orang perlu bersikap Non-Konformis, artinya tidak menyesuaikan
diri dengan kelompok, melainkan bertindak menurut kepribadian sendiri. Selain itu diperlukan sikap

8
penegasan-diri, yakni menjadi subjek yang turut membangun hubungan positif serta respek terhadap
kepribadian sendiri dan orang lain. Dalam negara yang menganut system demokrasi, setiap warga negara
wajib mencintai kebebasan, yakni mencintai kebebasan sendiri dan orang lain serta melatih Trust di tengah
iklim yang sarat kecurigaan (F. Budi Hardiman: 2019). Keempat, Membangun kekuatan jaringan.
Stragegi bertindak tanpa kekerasan dilakukan dengan memproduksi dan menguatkan lembaga/instansi,
forum interreligius pada masing-masing agama, sehingga dalam situasi konflik dapat bertindak menengahi
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini yang ditamakan adalah komunikasi dan ikut jalur hukum, bukan
main hakim sendiri. Selain itu perlu memperbanyak komunitas-kominitas syang sadar hak dan forum-
forum deliberasi (F. Budi Hardiman: 2019).

C. PENUTUP
Kemajemukan merupakan fakta permanen masyarakat kontemporer. Di antara pelbagai nilai dan
pandangan hidup yang berbeda-beda, diperlukan sikap toleransi dan kerjasama. Toleransi dan kerjasama
dilandasi oleh cita-cita masing-masing kelompok untuk tetap bertahan dari waktu ke waktu dan dari
generasi ke generasi berikutnya. Prinsip keadilan merupakan dasar paling ideal untuk menata masyarakat
majemuk. Prinsip keadilan menjadi dasar universum untuk di atasnya semua yang berbeda-beda itu bisa
eksis. Toleransi dan Kerjasama merupakan cara paling ideal untuk membangun masyarakat yang lebih
inklusif dan beradab.

Tugas
Diskusi Kelompok
Setelah mempelajari bahan ini, kelompok diminta:

1. Buat analisis berdasarkan fakta sejauhmana agama-agama berhasil dalam menjalankan dan
mewujudkan peran menciptakan perdamaian dunia.

2. Bagaimana supaya agama-agama semakin bisa menjalankan dan mewujudkan pemenuhan harapan
tersebut (apa yang sebaiknya bahkan harus dilakukan, siapa melakukannya, dimulai dari mana,
melibatkan siapa dan apa saja, dan sebagainya)?

3. Sebagai mahasiswa (pribadi atau kelompok), apa saja peran yang bisa dijalankan untuk mendukung
semakin terwujudnya harapan besar tersebut (terwujudnya perdamaian dunia)?

9
Referensi

• Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas (2017), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad,
Khilafah, dan Terorisme, Penerbit Mizan Publishing, Bandung.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University.
• Hardiman, F. Budi (2019), Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-setan”, Radikalisme
Agama, sampai Post-Sekularisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
• (2005), Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma,
Penerbit Kompas, Jakarta.
• Hardiman, F. Budi (2015), Ruang Publik - Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis
sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
• John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada) (2010), Filsafat Asia, Penerbit ledalero,
Maumere.

10

Anda mungkin juga menyukai