Anda di halaman 1dari 6

I.

KARAKTER

KHUSUS

EKSLUSIVISME
A. PENGERTIAN

ATAU

PATRIKULARISME

PARTIKULARISME

DAN

DAN

EKLSLUSIVISME

SERTA LATAR BELAKANGNYA


@ PARTIKULARISME ADALAH system yang mengutamakan
kepentingan pribadi di atas kepentingan umum atau aliran politik,
ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok
khusus.
Contoh dari partikularisme adalah partikularisme bangsa Israel
(Yahudi) yang dapat dilihat dalam hubungannya dengan suku bangsa
lain (non-Yahudi). Bangsa Israel tidak dapat melaksanakan pernikahan
dengan suku bangsa lain. Tak hanya itu, di dalam kehidupan seharihari juga banyak sekali contohnya, misalnya seseorang yang ingin
selalu di anggap paling benar dan paling baik.
Penyebab dan latar belakang Eksklusivisme dan Partikuarisme suatu bangsa.
Dalam israel, disebutkan bahwa Israel (Yahudi) mengutuk agama-agama lain dan
menegaskan bahwa Yahwe adalah satu-satunya tuhan yang benar atau bahwa
semua tuhan lain harus tunduk kepada Yahweh. Dari teks ini terdapat gagasan
yang menyatakan, bahwa dari semua agama, maka agama yang dianut oleh Israel
(Yahudi) adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan tuhan dan bahwa
hanya iman keagamaan itulah yang benar dalam segala hal. Sehingga akibat dari
ini ibadat kepada Yahweh terbatas kepada mereka yang lahir dari bangsa Yahudi.
Selain daripada itu, sikap eksklusivisme dan partikularisme bangsa Israel juga
dapat dilihat dalam hubungannya (interaksi sosialnya) dengan suku bangsa lain
(non-Yahudi), di mana bangsa Israel tidak dapat melaksankan pernikahan
(perkawinan campur) dengan suku bangsa lain.

SEBAB SEBAB PARTIKULARISME


Dalam segi Adat-Istiadat, suatu bangsa yang mempunyai sifat Eksklusivisme dan
partikuLisme, di mana ketika Antiokhus IV, mengelurakan suatu peraturan yang
melarang orang-orang Yahudi mengikuti kebiasaan-kebiasaan agamawi mereka,
serta melarang semua perayaan Yahudi dan upacara-upacara korban serta tradisi
sunat. Serta memerintahkan agar semua kitab-kitab Taurat dimusnahkan. Maka
dari peristiwa ini maka dalam hati bangsa Israel bangkitlah kebencian dan
kemarahan. Karena mereka merasa bahwa adat-istiadat mereka lebih tinggi
daripada adat-istiadat Yunani.
Selain daripada itu, semasa bangsa Yahudi berada di kota Alexandria, Mesir.
Terdapat sebuah paguyuban yang kuat. Sehubungan karena paguyuban ini hidup di
tengah-tengah masyarakat yang berbahasa Yunani. Maka, mereka mencoba belajar
bahasa

dan

tulisan

daerah

setempat,

sehingga

hasilnya

ialah

mereka

menerjemahkan tulisan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Dalam tulisan
dimaksud banyak tulisan-tulisan yang berkaitan dengan agama Yahudi ikut
diterjemahkan dan ditambahkan ke dalam

berbahasa Yunani. Namun, para

pemimpin Yahudi yang berada di Palestina menolak tulisan-tulisan yang baru itu,
sehingga mereka tidak memasukkannya ke dalam bahasa Ibrani.

@ EKSLUSIVISME ADALAH salah satu cara pandang kekristenan


terhadap agama-agama non-Kristen.

Pendekatan eksklusivisme merupakan salah satu pendekatan di dalam


studi teologi agama-agama.
Pendekatan eksklusivisme menyatakan

bahwa

agama

Kristen

merupakan satu-satunya jalan keselamatan.


Manusia yang dikodratkan sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan
untuk membentuk koloni atau kelompok-kelompok. Hal ini telah berlangsung
bahkan sejak zaman manusia purba hingga sekarang. Tujuan manusia membentuk
kelompok-kelompok adalah sebagai wadah perwujudan dari interaksi sosial dan
untuk membantu satu dan yang lainnya.
Sungguh mulia tujuan tersebut, di mana dengan adanya kelompok relasi
manusia di dalam kelompok tersebut jauh lebih kuat. Akan tetapi, banyaknya
kelompok yang terbentuk justru mengkotak-kotakkan manusia dalam lingkup yang
terlalu sempit. Bahkan, relasi yang kuat dalam sebuah kelompok, tak jarang
membuat anggota-anggota kelompok tersebut merasa kelompoknyalah yang paling
baik.
Inilah masalah yang sedang kita hadapi, di mana banyaknya kelompok yang
terbentuk justru memisahkan umat manusia ke dalam perbedaan-perbedaan.
Perbedaan-perbedaan tersebut tak jarang membuat manusia sulit untuk menerima
manusia lain yang berbeda darinya. Sikap ekslusivisme, pada akhirnya, menjadi
sikap yang secara tak langsung tumbuh dari pengelompokkan manusia tersebut.
SEBAB-SEBAB EKSLUSIVISME
Eksklusivisme

sendiri

berarti

sikap

untuk

mengkhususkan

atau

mengeksklusifkan kelompok atau golongan tertentu. Sering kali sebuah kelompok


menjadi sangat eksklusif sehingga sulit sekali dimasuki oleh anggota kelompok

lain. Bahkan, tak jarang sebuah kelompok menindas kelompok-kelompok lain yang
dianggapnya lebih rendah dari kelompoknya. Jika ini sudah terjadi, sikap fanatis
dan diskriminatif akan ikut menyertai.
Kita tentu tidak lupa mengapa Hitler membantai bangsa Yahudi. Keinginan
untuk menjadi yang terbaik, keinginan untuk mendapatkan prestis, dan keinginan
untuk menjadi penguasa adalah alasannya untuk menindas kelompok tersebut. Itu
jugalah yang menjadi alasan mengapa manusia ingin menjadi eksklusif. Jika kita
dengar kata eksklusif, hal yang terlintas pertama kali di benak kita adalah
kelompok yang memiliki kelas atau status sosial yang tinggi. Prestis dari
eksklusivisme itu yang membuat manusia lantaran tergila-gila menjadi manusiamanusia eksklusif.
Kejadian teror bom yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu dampak dari
sikap eksklusivisme manusia. Jika kita ingat Amrozi, orang yang terlibat dalam
tragedi bom Bali, ia pernah mengatakan bahwa ia terlibat dalam pengeboman
tersebut untuk melawan kekafiran. Bukankah itu sifat yang eksklusif, fanatis, dan
diskriminatif? Di mana sebuah kelompok merasa kelompoknyalah yang paling
benar.
Mundur ke belakang, kita tentu tahu tragedi 11 September yang terjadi di
Amerika Serikat. Pasca tragedi tersebut seorang politikus puncak Amerika
keturunan Yahudi berkata, The Moslems are barbarians and sub-human
(goyyim, ZM). One should not negotiate with them. They are not like us. They do
not deserve treatment by democratic and human rights criteria. There is no need for
us to limit our selves within democratic tradition (Indra Adil, The Lady Di
Conspiracy Misteri di Balik Tragedi Pont DE LALMA). Kata-kata tersebut
menunjukkan kita contoh lain dari sikap eksklusif, fanatis, dan diskriminatif. Di

mana kelompok etnis dan agama tertentu memberikan pandangan negatif terhadap
kelompok etnis dan agama yang lain. Pandangan negatif yang menghakimi seluruh
anggota kelompok akibat kesalahan yang dilakukan oleh beberapa orang anggota
kelompok menjadi stereotip terhadap kelompok-kelompok tertentu. Hal itu tak
jarang merugikan anggota kelompok yang tidak terlibat dalam kesalahan yang
dibuat anggota lainnya di kelompok yang sama.
Hal lain yang mungkin tidak terlalu mencolok adalah peristiwa perkawinan
campur. Aturan perkawinan campur atau perkawinan lintas agama tak jarang
menyulitkan pasangan kekasih yang berbeda agama untuk bersatu sebagai suamiistri. Hal ini dimaksudkan agar manusia menikah dengan manusia lain yang
seiman. Pertanyaannya adalah apakah manusia hanya boleh bersatu dengan
manusia lain yang seiman. Apakah kelompok iman tersebut membuat manusia
terkotak-kotak dan menghalangi manusia untuk berinteraksi secara bebas dengan
manusia lain? Apakah itu tujuan dasar dari pembentukkan kelompok iman
tersebut?
Sungguh sebuah hal yang ironis memang jika pembentukkan kelompok yang
semula bertujuan untuk kegiatan sosial beralih fungsi sebagai pelegalan
eksklusivisme. Tak pernahkah kita berpikir sejenak, mengapa kita membentuk
sebuah kelompok jika nantinya akan memisahkan dan mengkotak-kotakkan kita?
Bukankah itu sama dengan mengkandangi diri sendiri? Bukankah cara berpikir kita
juga menjadi kerdil dan sempit? Dan haruskah kita membangun bentuk-bentuk
eksklusivisme yang lain?
Jika sudah begini, perlukah kita membubarkan kelompok-kelompok yang telah
kita bentuk? Sebenarnya itu tidak perlu karena yang harus dibubarkan bukan
kelompoknya tetapi eksklusivisme, fanatisme, dan sikap diskriminatifnya. Hampir

tidak mungkin manusia hidup tanpa adanya kelompok-kelompok karena kelompok


itu sendiri merupakan tanda bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk
yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia
lainnya (Aristoteles, 384-322 M), di mana kesamaan tujuan dan konsep berpikir
membuat manusia tergabung dalam kelompok yang sama. Akan tetapi, sangat
mungkin manusia hidup tanpa ada eksklusivisme, fanatisme, dan sikap
diskriminatif.
Jika kita mengembalikan fungsi kelompok ke proporsi yang tepat tentu
peristiwa-peristiwa di atas tidak perlu terjadi. Jika manusia mau menghargai dan
memiliki toleransi terhadap kelompok lain, walaupun terbagi-bagi atas kelompokkelompok yang berbeda, kita tidak akan pernah terkotak-kotakkan. Sehingga
interaksi yang tanpa batas hubungan manusia yang satu dengan yang lain bisa
tercipta.

Anda mungkin juga menyukai