Dosen Pengampu :
DR. SHONHAJI, M.AG
Disusun Oleh :
SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2021 M/1443
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
A. Kesimpulan.............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
4
Agung. Anak,Nabila.2015. Kajian dan Perdamaian. (Jakarta: Graha Ilmu), 15
5
Malik.Ikhsan.2017. Resolusi Konflik Jembatan Perdamaian. (Jakarta: Kompas Media Nusantara
Peradamaian), 30
kekerasan atas nama agama muncul bukan sebab agama melainkan justru
disebabkan kurangnya pemahaman terhadap agama.
Pada faktor pendorong dan penarik dalam kekerasan yang
berlandaskan ekstrimisme. Faktor pendorong adalah faktor yang muncul
melalui faktor struktural: keterbatasan kesempatan secara Sosio ekonomi
marginalisasi dan diskriminasi, pemerintahan yang buruk, pelanggaran
terhadap hukum dan HAM serta konflik jangka panjang yang tak terselesaikan.
sementara faktor penariknya adalah motivasi individual dan proses yang
menggerakkan individu menerjemahkan ide kekerasan menjadi tindakan
kekerasan. Faktor ini berasal dari motivasi individual, viktinisasi,
penyalahgunaan keyakinan dan ideologi atau perbedaan etnis dan rasial dan
faktor jaringan sosial.
6
Dwi Linda.2017.Pemikiran Johan Galtung.VOL.6.NO.1.3-5
Kekerasan langsung adalah sebuah fenomena laki-laki (Galtung, 1996: 88-
89). 95% kekerasan langsung dilakukan oleh laki-laki dan terdapat kekerasan
langsung laki-laki yang masif pada semua tingkat sosial, sebagai kekerasan
kriminal dalam keluarga dan masyarakat, dan sebagai kekerasan politik di
dalam dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
Meskipun perempuan seringkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki, dengan adanya struktur dan kultur pro kekerasan di masyarakat,
perempuan sendiri akhirnya merasa kekerasan sebagai sesuatu hal yang tidak
bisa dihindari. Bahkan kemudian para perempuan menjadi korban kesekian
kalinya dari kekerasan lakilaki, di mana perempuan terpaksa ikut melestarikan
budaya kekerasan dan bahkan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan
lain, untuk kepentingan laki-laki.
C. Konsep Perdamaian
7
Simon Fisher, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, SMK Grafika Desa
Putra, Jakarta, 2000, Hal. 13
8
R.Subekti, Kamus Hukum, cet.16,(PT.Pradnya Paramiata,2005,Jakarta), hlm.89
nilai pokok lainnya. Berbagai perang saudara berakhir dengan kemenangan di
salah satu pihak atau melalui penyelesaian perundingan.
untuk meraih perjanjian kesepahaman sebagai sebuah kunci sehingga
perselisihan dapat dihentikan. Fase ini memiliki dua tahap yaitu negosiasi dan
sebuah perjanjian formal penghentian permusuhan. Dalam fase ini, aktor
internasional berperan untuk membantu mencari titik-titik perbedaan disetiap
pihak, menanamkan tekanan diplomasi di setiap pihak, dan menghadirkan
asistensi teknis di tempat-tempat lokasi negosiasi, seperti di basis kekuatan
separatis. Kompromi diperlukan untuk menghasilkan dokumen yang dapat
diterima oleh setiap pihak.
Fase kedua dari proses perdamaian adalah peacebuilding yang terdiri atas
tahap transisi dan konsolidasi. Prioritas selama selama dua tahap ini berpusat
pada penguatan institusi politik, reformasi pengaturan keamanan internal dan
eksternal, serta revitalisasi ekonomi dan struktur sosial negara. Aktor
internasional akan mendukung tujuan ini melalui diplomasi, bantuan finansial,
dan asistensi teknis. Selama tahap transisi, usaha selalu dilakukan untuk
mewujudkan pemerintah yang mendapat dukungan dari dalam negeri dan
legitimasi internasional untuk memegang kendali secara efektif dan mengatur
mandat gerakan reformasi.
Selama tahap konsolidasi, proses reformasi berlanjut. Ketentuan
perdamaian diselaraskan dengan permasalahan perang atau menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk mengatasi konflik secara damai di masa
depan. Oleh karena itu selama tahap konsolidasi yang harus dilakukan adalah
menata kembali fundamental ekonomi dan berbagai permasalahan sosial.
Rentang waktu setiap tahap bervariasi tergantung pada situasi di setiap negara.
Menurut Subekti, perdamaian adalah merupakan perjanjian formal, karena
diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak
mengikat dan tidak sah4 , untuk memenuhi formalitas itu penting bagi penulis
untuk menjelaskan pengertian tentang akta sebagai bukti tulisan yang otentik.
Wawan Muhwan Hariri berpendapat bahwa, perjanjian perdamaian adalah
perjanjian yang memupus hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat
didalam perjanjian sehingga seluruh sengketa yang diakibatkan oleh perjanjian
yang dimaksudkan. Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan
kata “resolve, peacefully.” Perdamaian, artinya penghentian permusuhan.
Damai, artinya tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali,
tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk
menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya
menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan