Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AKAR KEKERASAN DAN PERDAMAIAN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Resolusi Konflik

Dosen Pengampu :
DR. SHONHAJI, M.AG

Disusun Oleh :

Mira Febriyanti 1931090387


Ibnu Zakariya 1931090395

SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2021 M/1443
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. yang


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah tentang “Akar kekerasan dan perdamaian” dengan
baik. Sebagai bahan penulisan diambil berdasarkan hasil beberapa sumber di buku
dan jurnal yang mendukung penulisan ini.
Secara khusus, ucapan terima kasih, penyusun sampaikan kepada Bapak DR.
SHONHAJI, M. AG selaku pengampu mata kuliah resolusi konflik yang berkenan
memberikan masukan setelah mencermati, meneliti, dan menelaah makalah ini.
Banyak sekali saran Bapak yang kami jadikan bahan untuk menyempurnakan
makalah ini.
Penyusun menyadari pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan masukkan dari pembaca demi
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa turut adil dalam
mencerdaskan generasi muda Indonesia.

Bandar Lampung, 8 Oktober 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................


B. Rumusan Masalah ..................................................................................
C. Tujuan Masalah.......................................................................................

BAB II. PEMBAHASAN..................................................................................

A. Pengertian Akar Kekerasan.....................................................................


B. Model Kekerasan Galtung.......................................................................
C. Konsep dan Akar Kekerasan...................................................................

BAB III. PENUTUP..........................................................................................

A. Kesimpulan.............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik merupakan salah satu karakteristik universal yang di miliki


oleh masyarakat manusia. Konflik dapat terjadi karena adanya ketimpangan
ekonomi, perubahan sosial, pembentukan budaya, perkembangan psikologis,
serta pembentukan organisasi-organisasi dari kelompok-kelompok yang
berkonflik. Dalam perkembangan nya, konflik bersifat dinamis, sebab, konflik
mengalami peningkatan (eskalasi) dan penurunan.1
Salah satu bentuk konflik yang sering tampak pada saat ini adalah
konflik internal atau konflik yang terjadi di dalam sebuah negara. Pada
umumnya, konflik internal dipicu oleh konflik etnis, disebabkan oleh
perbedaan etnis, budaya, yang nilai-nilai antara satu etnis dianggap berbenturan
dengan nilai etnis lain. Berdasarkan bentuknya, konflik etnis ini bisa berbentuk
horizontal, terjadi antar etnis atau agama di dalam sebuah negara; dan
berbentuk vertikal, terjadi antara negara dengan kelompok etnis yang ada di
dalamnya.2 Di dalam kedua bentuk konflik etnis ini, pihak ketiga dapat
dilibatkan. Keterlibatan pihak ketiga akan mempengaruhi perkembangan
konflik itu sendiri dan memungkinkan konflik itu semakin memanas.
Pada beberapa konflik etnis, sering kali kedua kelompok memiliki
perbedaan agama yang diikutsertakan menjadi salah satu penyebab konflik. Hal
tersebut biasanya menimbulkan konflik etnoreligius. Jonathan Fox menjelaskan
bahwa konflik etnoreligius adalah konflik antara kelompok etnis yang memiliki
1
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, and Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution: The
Prevention, Management and Transformation of Deadly Conflicts (Cambridge: Polity Press,
2011), 7-8
2
Baiq L.S. Wardhani, “Kajian Etnis dalam Kajian Politik Global,” Departemen Hubungan
Internasional FISIP Universitas Airlangga.https://www.academia.edu/902452/Konflik_Etnis_
dalam_Kajian_Politik_Global, (diakses pada 18 Mei 2015), 1.
perbedaan agama. Sementara itu menurut S. Ayse Kadayifci-Orellana, konflik
etnoreligius merujuk kepada setiap konflik yang melibatkan pihak-pihak yang
ditentukan oleh batas-batas agama, masyarakat dengan agama sebagai aspek
yang sudah terintegrasi dengan kehidupan sosial dan budayanya, dan institusi
agama yang mewakili secara signifikan suatu komunitas masyarakat dan
memiliki legitimasi moral serta kapasitas untuk memobilisasi pengikutnya
Konflik etnoreligius bisa melanda kawasan mana saja. Namun, sering kali
terjadi di dalam sebuah negara (intra-state) di mana terdapat masyarakat
dengan agama dan budaya yang berbeda yang hidup di tempat yang sama.6
Tidak terkecuali di negara-negara Asia Tenggara, kawasan yang selama ini
dianggap relatif stabil, konflik etnoreligius pun terjadi. Bahkan konflik
etnoreligius di Asia Tenggara ini rawan memunculkan gerakan pemisahan diri
atau separatis dalam setiap negara. Beberapa negara yang terlibat dalam
konflik etnoreligius ini, diantaranya: Indonesia, Filipina, Thailand, dan
Malaysia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan akar kekerasan ?
2. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan galtung ?
3. Apa yang di maksud dengan akar perdamaian ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang akar kekerasan.
2. Mengetahui tentang model kekerasan galtung
3. Mengetahui konsep dan akar perdamaian.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akar Kekerasan

Kekerasan bukan sesuatu yang melekat dalam diri manusia sebagai


fitrahnya. tapi lebih kepada kondisi dan situasi yang menghambat manusia
untuk tumbuh secara baik. Keterlambatan tersebut membuat manusia berpikir
secara tidak rasional sehingga mampu melakukan kekerasan. Iya melanjutkan
bahwa manusia punya dua potensi dasar, potensi baik (biophilia) dan potensi
buruk (necrophilia)3

Jenis dan bentuk kekerasan

Fromm membagi jenis kekerasan (agresi) dalam dua golongan;


pertama, agresi defensif; yaitu kekerasan yang berlandaskan niat baik.
kekerasan semacam ini tidak bersifat tetap apabila hilang ancaman maka hilang
pula potensi aktor untuk melakukan kekerasan. Kedua, agresi destruktif; yaitu
kekerasan yang dilakukan secara sungguh-sungguh yang bertujuan
menyengsarakan orang lain. Kekerasan jenis ini muncul lebih kepada faktor
kepanikan eksistensialitas, sehingga kekerasan dilakukan sebagai jalan untuk
menunjukkan eksistensi. kekerasan semacam ini muncul dari faktor hambatan
dalam kondisi tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Faktor interioritas dapat menjadi alasan bagi manusia untuk menjadi
superior melalui kekerasan, hingga muncul hasrat untuk memusnahkan dan
meniadakan titik dalam kondisi yang inferior kekerasan dijadikan sebagai
solusi untuk tampil secara superior. Stallin dan Adolf Hitler adalah di antara
tokoh yang mengafirmasi eksistensinya melalui tindakan kekerasan secara
masif.
3
Daiva,Daniel.2001.Resolusi konflik . (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer), 10
Kekerasan dan agama

Apabila kita melacak akan kekerasan sejauh from memandang, maka


dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah terkait dengan manusia sebagai
individu yang terkait dengan manusia sebagai individu yang terkait faktor
psikologis dan manusia sebagai anggota masyarakat yang terhubung dengan
faktor sosiologis politik.
Kekerasan bisa saja terjadi atas nama agama atau mengatasnamakan
agama, bisa juga dengan sebab identitas etnis maupun rasial. Atau juga antar
kelompok dengan pahaman ideologi politik yang berbeda dari bermacam sebab
ini apabila sebab-sebab yang abstrak dan umum yang telah dijelaskan Fromm
tadi menjadi latar belakang terjadinya kekerasan muncul maka sebab yang
beraneka ragam pun dapat memicu kekerasan.4
Namun, spesifik pada kekerasan yang berlatar agama khususnya atas
dasar latar belakang agama Islam kita kemudian mengenal model kekerasan
yang dinamakan terorisme yang dimotori Al Qaeda dan muncul varian baru
semisal ISIS. kekerasan semacam ini bukanlah kekerasan yang memang
berbasis ajaran agama melainkan kesalahpahaman terhadap teks-teks agama
yang tidak pernah dipaparkan oleh ulama harus utama dalam ajaran Islam sejak
dahulu pembahasan ini dapat kita ketahui melalui literatur Islam (fiqih)
manapun bahasan dalam forum-forum internasional yang melibatkan para
ulama kenamaan dunia.5
Bagi mayoritas kalangan ulama dan cendekiawan Islam, sebab
munculnya paham ekstrem yang mendasari tindak kekerasan adalah akibat
kesalahpahaman terhadap ajaran agama. Ketika agama dipahami,
diterjemahkan dan disebarluaskan aktor-aktor yang tidak memiliki otoritas
dalam keilmuan agama Islam yang coba memenuhi keinginan atau ambisi
pribadinya melalui penyelewengan pemahaman terhadap ajaran agama.

4
Agung. Anak,Nabila.2015. Kajian dan Perdamaian. (Jakarta: Graha Ilmu), 15
5
Malik.Ikhsan.2017. Resolusi Konflik Jembatan Perdamaian. (Jakarta: Kompas Media Nusantara
Peradamaian), 30
kekerasan atas nama agama muncul bukan sebab agama melainkan justru
disebabkan kurangnya pemahaman terhadap agama.
Pada faktor pendorong dan penarik dalam kekerasan yang
berlandaskan ekstrimisme. Faktor pendorong adalah faktor yang muncul
melalui faktor struktural: keterbatasan kesempatan secara Sosio ekonomi
marginalisasi dan diskriminasi, pemerintahan yang buruk, pelanggaran
terhadap hukum dan HAM serta konflik jangka panjang yang tak terselesaikan.
sementara faktor penariknya adalah motivasi individual dan proses yang
menggerakkan individu menerjemahkan ide kekerasan menjadi tindakan
kekerasan. Faktor ini berasal dari motivasi individual, viktinisasi,
penyalahgunaan keyakinan dan ideologi atau perbedaan etnis dan rasial dan
faktor jaringan sosial.

B. Kekerasan Menurut Johan Galtung

Kekerasan dalam arti luas dikatakan Galtung, sebagai sesuatu penghalang


yang seharusnya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa
mengaktualisasikan diri secara wajar. Penghalang tersebut menurut Galtung
sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa
dihindari jika penghalang itu disingkirkan. "Singkatnya, kekerasan adalah
setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual,
juga perilaku, sikap, kebijakan atau kondisi yang melemahkan, mendominasi
atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain"
Kekerasan langsung bisa bermacam-macam bentuknya. Dalam bentuk
yang klasik, ia melibatkan penggunaan kekuatan fisik, seperti pembunuhan
atau penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, juga pemukulan.
Kekerasan verbal, seperti penghinaan, secara luas juga diakui sebagai
kekerasan.
Selain kekerasan langsung, Galtung menekankan bentuk lain dari
kekerasan, yaitu kekerasan struktural, yang tidak dilakukan oleh individu tetapi
tersembunyi dalam struktur yang lebih kecil maupun lebih luas. Penetrasi,
segmentasi, marginalisasi dan fragmentasi, sebagai bagian dari eksploitasi
merupakan komponen penguat dalam struktur yang berfungsi menghalangi
formasi dan mobilitas untuk berjuang melawan eksploitasi. Pertama, penetrasi
menanamkan pandangan tertentu kepada kelompok lemah, dikombinasikan
dengan segmentasi yang memberikan pandangan yang sangat parsial atas
sesuatu yang sedang terjadi. Selanjutnya marginalisasi menjaga kelompok yang
lemah tetap berada di luar batas yang ditetapkan, dikombinasikan dengan
fragmentasi untuk menjaga agar sang underdog tetap berjauhan satu sama lain.
Keempat hal tersebut beroperasi dalam konteks gender ± bahkan ketika
perempuan tidak selalu memiliki tingkat kematian dan kesengsaraan yang lebih
tinggi. Dan sebenarnya perempuan bisa jadi memiliki tingkat harapan hidup
lebih tinggi dari laki-laki, jika mereka bisa menghindarkan diri dari aborsi
akibat seleksi jenis kelamin, pembunuhan bayi, dan kerentanan terhadap
matian pada masa kanak-kanak.
Galtung kemendefinisikan kekerasan kultural sebagai sikap yang berlaku
dan keyakinan kita yang telah diajarkan sejak kecil dan mengelilingi kita dalam
kehidupan sehari-hari tentang kekuasaan dan kebutuhan kekerasan. Lebih
mengingat cerita sejarah yang mengagungkan catatan dan laporan perang
maupun kemenangan militer daripada cerita pemberontakan tanpa kekerasan
ataupun kemenangan melalui koneksi dan kolaborasi. Hampir semua budaya
mengakui bahwa membunuh seseorang adalah pembunuhan, namun
membunuh puluhan, ratusan atau ribuan selama terjadinya konflik yang
dideklarasikan, disebut 'Perang'.
Pemikiran Johan Galtung dan Feminisme

Berbicara tentang kekerasan, dalam banyak hal, pemikiran Johan Galtung


sejalan dengan pemikiran kaum feminis radikal. Galtung mengklaim patriarki
sebagai kekerasan langsung, struktural dan kultural. Patriarki membuat
dikotomi antara peran publik dan privat, produktif dan reproduktif, yang
membentuk relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Tubuh
perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki.
Tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan
dan laki-laki, dan dikotomi privatpublik menjadi fokus permasalahan.6
Sedangkan dengan feminis posmodern, yang menyebut bahasa menjadi
salah satu penyebab opresi terhadap perempuan karena seksisme bahasa
sebagai upaya memuliakan laki-laki dan mengesampingkan, menyepelekan
ataupun menghina perempuan, Galtung juga menyatakan bahwa salah satu
unsur kekerasan budaya adalah bahasa, di mana sebenarnya perempuan bisa
keluar dari kekerasan budaya khususnya bahasa tersebut.
Berbicara tentang Feminis Marxis-Sosialis, Galtung pernah menyatakan
feminisme telah memberikan kontribusi besar dalam upaya mereduksi
kekerasan. Feminis menyumbang dengan membuat patriarki terlihat dengan
jelas, mengingatkan pada fokus Marxis pada struktur yang menghubungkan
sarana dan mode produksi.
Peminggiran perempuan adalah suatu hal esensial bagi kapitalisme
(Galtung, 2010:181). Aturan baru bagi laki-laki dan perempuan tercipta ketika
kekuatan kapitalis memberikan batas antara tempat kerja dan rumah, mengirim
laki-laki sebagai tenaga kerja primer, keluar menuju tempat kerja dan
memenjarakan perempuan, sebagai tenaga kerja sekunder, di rumah.
Sejalan dengan ekofeminisme, Galtung yakin bahwa peran utama
perempuan akan membawa dunia pada perdamaian, jauh dari kekerasan dan
perang. Juga dalam perang melawan kejahatan sosial lain seperti perbudakan,
kolonialisme, penghancuran alam, segregasi, patriarki. Galtung menempatkan
alienasi sebagai bagian dari kekerasan struktural, sebagaimana ekofeminisme
menjelaskan orang dalam patriarki kapitalis cenderung untuk teralienasi dari
segala sesuatu: produk dari kerja mereka, alam, satu sama lain, dan bahkan
dirinya sendiri, yang mengakibatkan manusia berperilaku aneh (Galtung, 2010:
392). Galtung juga setuju dengan ekofeminisme mengklaim bahwa orang-
orang dalam patriarki kapitalis, terutama laki-laki yang karena alienasi mereka
dari alam cenderung lebih besar daripada yang dialami perempuan, ingin lebih
dekat dengan alam, tetapi tidak tahu caranya.

6
Dwi Linda.2017.Pemikiran Johan Galtung.VOL.6.NO.1.3-5
Kekerasan langsung adalah sebuah fenomena laki-laki (Galtung, 1996: 88-
89). 95% kekerasan langsung dilakukan oleh laki-laki dan terdapat kekerasan
langsung laki-laki yang masif pada semua tingkat sosial, sebagai kekerasan
kriminal dalam keluarga dan masyarakat, dan sebagai kekerasan politik di
dalam dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.
Meskipun perempuan seringkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki, dengan adanya struktur dan kultur pro kekerasan di masyarakat,
perempuan sendiri akhirnya merasa kekerasan sebagai sesuatu hal yang tidak
bisa dihindari. Bahkan kemudian para perempuan menjadi korban kesekian
kalinya dari kekerasan lakilaki, di mana perempuan terpaksa ikut melestarikan
budaya kekerasan dan bahkan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan
lain, untuk kepentingan laki-laki.
C. Konsep Perdamaian

Perdamaian adalah suatu proses pertarungan multidimensional yang tak


pernah berakhir untuk mengubah kekerasan. Perdamaian yang stabil relatif
jarang terjadi. Banyak pihak yang tidak dapat menikmati perdamaian karena
faktor ekonomi, politik dan sosial. Sementara ini mayoritas orang memahami
perdamaian sebagai keadaan tanpa perang. Tidak adanya perang tentunya
penting, tetapi keadaan ini hanyalah langkah awal ke arah cita-cita yang lebih
sempurna, dengan mendefinisikan perdamaian sebagai jalinan hubungan antar
individu, kelompok dan lembaga yang menghargai keragaman nilai dan
mendorong pengembangan potensi manusia secara utuh.7
Perdamaian juga merupakan persetujuan untuk menyelesaikan sengketa
atau perkara, supaya tidak usah diperiksa atau diputus oleh hakim dalam
putusan pengadilan.8 Tidak ada perang sering disebut sebagai perdamaian
negatif (’dingin’), dan kontras dengan perdamaian positif (’hangat’), yang
meliputi semua aspek tentang masyarakat yang baik, yang kita yakini sendiri :
hak-hak universal, kesejahteraan ekonomi, keseimbangan ekologi dan nilai-

7
Simon Fisher, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, SMK Grafika Desa
Putra, Jakarta, 2000, Hal. 13
8
R.Subekti, Kamus Hukum, cet.16,(PT.Pradnya Paramiata,2005,Jakarta), hlm.89
nilai pokok lainnya. Berbagai perang saudara berakhir dengan kemenangan di
salah satu pihak atau melalui penyelesaian perundingan.
untuk meraih perjanjian kesepahaman sebagai sebuah kunci sehingga
perselisihan dapat dihentikan. Fase ini memiliki dua tahap yaitu negosiasi dan
sebuah perjanjian formal penghentian permusuhan. Dalam fase ini, aktor
internasional berperan untuk membantu mencari titik-titik perbedaan disetiap
pihak, menanamkan tekanan diplomasi di setiap pihak, dan menghadirkan
asistensi teknis di tempat-tempat lokasi negosiasi, seperti di basis kekuatan
separatis. Kompromi diperlukan untuk menghasilkan dokumen yang dapat
diterima oleh setiap pihak.
Fase kedua dari proses perdamaian adalah peacebuilding yang terdiri atas
tahap transisi dan konsolidasi. Prioritas selama selama dua tahap ini berpusat
pada penguatan institusi politik, reformasi pengaturan keamanan internal dan
eksternal, serta revitalisasi ekonomi dan struktur sosial negara. Aktor
internasional akan mendukung tujuan ini melalui diplomasi, bantuan finansial,
dan asistensi teknis. Selama tahap transisi, usaha selalu dilakukan untuk
mewujudkan pemerintah yang mendapat dukungan dari dalam negeri dan
legitimasi internasional untuk memegang kendali secara efektif dan mengatur
mandat gerakan reformasi.
Selama tahap konsolidasi, proses reformasi berlanjut. Ketentuan
perdamaian diselaraskan dengan permasalahan perang atau menciptakan
lingkungan yang kondusif untuk mengatasi konflik secara damai di masa
depan. Oleh karena itu selama tahap konsolidasi yang harus dilakukan adalah
menata kembali fundamental ekonomi dan berbagai permasalahan sosial.
Rentang waktu setiap tahap bervariasi tergantung pada situasi di setiap negara.
Menurut Subekti, perdamaian adalah merupakan perjanjian formal, karena
diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak
mengikat dan tidak sah4 , untuk memenuhi formalitas itu penting bagi penulis
untuk menjelaskan pengertian tentang akta sebagai bukti tulisan yang otentik.
Wawan Muhwan Hariri berpendapat bahwa, perjanjian perdamaian adalah
perjanjian yang memupus hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat
didalam perjanjian sehingga seluruh sengketa yang diakibatkan oleh perjanjian
yang dimaksudkan. Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan
kata “resolve, peacefully.” Perdamaian, artinya penghentian permusuhan.
Damai, artinya tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali,
tenteram aman. Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk
menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya
menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya mendapat persetujuan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kekerasan adalah masalah yang mendasar melibatkan individu dan


struktur sosial, yang mana penanganannya harus dilakukan secara kompleks
dan menyelururh untuk mencegah muncuylnya aspek-aspek penyebab
kekerasan dengan cara-cara yang persuasif adil dan terukur.
Kekerasan dalam arti luas dikatakan Galtung, sebagai sesuatu
penghalang yang seharusnya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak
bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. Penghalang tersebut menurut
Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga
bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan.
Perdamaian adalah suatu proses pertarungan multidimensional yang
tak pernah berakhir untuk mengubah kekerasan. Perdamaian yang stabil relatif
jarang terjadi. Banyak pihak yang tidak dapat menikmati perdamaian karena
faktor ekonomi, politik dan sosial. Sementara ini mayoritas orang memahami
perdamaian sebagai keadaan tanpa perang.
DAFTAR PUSTAKA

Coser, L.A. 1971. Masters of Sociological Thought: Ideas in Historical and


Social Context, Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Fisher Simon, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak,
SMK Grafika Desa Putra, Jakarta, 2000.
Galtung, Johan. 1969. Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace
Research. (online) Vol. 6, No. 3, hal. 167-191,
(http://www.jstor.org/stable/422690 diakses pada 7 Februari 2011)
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, and Hugh Miall, Contemporary
Conflict Resolution: The Prevention, Management and Transformation of
Deadly Conflicts (Cambridge: Polity Press, 2011),
R.Subekti, Kamus Hukum, cet.16,(PT.Pradnya Paramiata,2005,Jakarta).

Anda mungkin juga menyukai