Anda di halaman 1dari 20

KONFLIK AGAMA, KONVERSI AGAMA DAN AGNOTISME

MAKALAH
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
Psikologi Agama
Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Candra Kirana, M.Pd

Di Susun Oleh :
Rita Santi
( 19-001.1832 )

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN ILMU TARBIYAH


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
RAUDHATUL ULUM
(STITRU)
2020/1442
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr,wb
Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan ridho dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Konflik Agama, Konversi Agama Dan Agnotisme” ini
ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan Allah SWT dan ustadz Candra Kirana, M.Pd, untuk itu dalam kesempatan
ini kami menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Namun demikian kami telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan dengan
baik, oleh karna itu kami mohon untuk masukan dan saran guna menyempurnakan
makalah ini. Kami harap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Wassalamu’alaikum, wr,wb

Pengabuan, Oktober 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

JUDUL
MAKALAH............................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Pengertian Konflik........................................................................................6
B. Konflik Agama..............................................................................................7
C. Pengertian Konversi Agama.......................................................................12
D. Proses Terjadinya Konversi Agama............................................................13
E. Agnotisme...................................................................................................16
BAB III PENUTUP...............................................................................................19
A. Kesimpulan.................................................................................................19

III
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik bisa dipahami sebagai perbedaan kepentingan antara dua orang
atau lebih, dimana aspirasi solusi tidak dapat dipertemukan. Pola konfliknya
beragam, tergantung ranah masalahnya, baik di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, maupun agama. Pemahaman ini penting sebagai kerangka
berpikir memahami pemberitaan konflik agama yang muncul secara intensif.
Terlepas dari posisi epistemologis konflik itu sendiri yang merupakan salah
satu news value sebuah peristiwa yang selalu berhasil menarik media berita
untuk meliputnya, hingga dapat dikatakan sebuah konflik nyaris selalu
memiliki nilai berita. Kemudian asumsinya, ada pola spesifik dalam berita-
berita konflik itu yang secara bertahap dapat dipahami dari definisi konflik,
konflik agama, dan karakter berita konflik.
Mengapa di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia,
konflik agama begitu gampang tersulut? Para kriminolog, sosiolog maupun
agamawan, cukup banyak yang mencoba membangun analisis untuk
menjawab masalah rumit ini. Sebagian peneliti sosial beranggapan bahwa
konflik di negara maju, mungkin tidak sekeras di negara berkembang seperti
Indonesia yang menimbulkan penderitaan kemanusiaan luar biasa.
konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba
ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin
saja sangat mendalam atau dangkal,dan mungkin pula terjadi perubahan
tersebut secara berangsur- angsur.
Dari definisi tersebut dapat dibayangkan betapa sukarnya mengukur dan
meneliti fakta konversi tersebut. Sama halnya dengan fakta-fakta psikis
lainnya. Kita tidak dapat meneliti secara langsung proses terjadinya konversi
tersebut, dan keadaan jiwa apa yang memungkinkan terjadinya peralihan
keyakinan secara mendadak itu.
Kebebasan dalam memeluk agama adalah hak preogratif setiap individu.
Mengenai aliran kepercayaan dan keimanan tuhan membuat perjalanan

1
spiritualsetiap insan berbeda-beda. Dalam agama islam, Allah swt adalah
tuhan yang mahaesa. Secara terminologi agnostik adalah orang yang memiliki
pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Konflik
2. Konflik Agama
3. Pengertian Konversi Agama
4. Proses Terjadinya Konversi Agama
5. Pengertian Agnotisme

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik1
Secara etimologi, konflik memiliki banyak arti, bisa berarti bentrokan,
cedera, friksi, kelahi, konfrontasi, percekcokan, pergesekan, perpecahan,
perselisihan.
Adapun secara istilah, konflik dapat didefinisikan sebagai sebuah
perbedaan posisi antar manusia atau perselisihan yang termanifestasikan
dalam bentuk konfrontasi fisik atau non-fisik antara beberapa pihak dalam
arena distribusi sumberdaya yang terbatas.
Dalam perkembangannya, konflik seringkali melebar dengan masuknya
persepsi individu atau kelompok terhadap ketidaksepakatan yang berskala
kolektif, sehingga peristiwa konflik menyentuh pula aspek psikologis individu
atau kelompok yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pada realitasnya, beragam jenis konflik itu mudah dijumpai dalam
pemberitaan media, termasuk media berita online di internet, baik konflik
dalam skala lokal, nasional, dan internasional. Dengan kontroversi
masalahnya, konflik dan aksi kekerasan nyaris selalu menjadi materi utama
pemberitaan media. Termasuk media berita online yang juga menampilkan
konflik dari berbagai sisinya, mulai dari faktor penyebab, kronologi konflik,
problem konflik, analisis pakar, maupun lingkungan tempat konflik itu terjadi.
Bila dicermati dari sisi pemberitaan media, nyaris semua konflik, dapat
diangkat menjadi angle berita yang menarik untuk diberitakan. Namun,
dengan implikasi-implikasi yang melekat dalam konflik itu, cakupan
pemberitaan konflik bisa menjadi amat luas. Sesuai definisi konflik secara
umum bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih,
individu atau kelompok, yang memiliki atau cara berpikirnya memiliki tujuan
yang tidak sejalan, sehingga menjadi kekerasan dan mengakibatkan jatuhnya
korban. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, konflik mudah

1
Fikri, M. Konflik Agama dan Konstruksi New Media. (Malang: Universitas Brawijaya Press (UB
Press)).hal.5-8

3
tersulut karena begitu beragamnya adat istiadat warga di dalamnya. Pada
tingkat makro, ada beberapa faktor yang bisa memicu konflik. Pertama,
tereskalasinya aspirasi suatu pihak. Kedua, meningkatnya persepsi satu pihak
atas aspirasi pihak lain. Ketiga, tidak dapat ditemukannya alternatif yang
bersifat integrative.

B. Konflik Agama2
Bila ditelusuri dari sejarah konflik agama, setiap bangsa di dunia pada
seluruh era sejarah praperadaban dan modern beradab, terus menghadapi
problem konflik dan kekerasan bersimbol keagamaan. Konflik bersimbol
keagamaan itu, terutama pada era pasca kenabian, ketika risalah agama
seringkali dibaca sebagai risalah perang melawan kebatilan, kejahilan, dan
kekafiran. Tatkala konflik sudah tersulut, dalil agama mengalami reduksi
pemaknaan hingga menjadi lebih sempit dan keras. Kosakata qital dan jihad
yang dipahami sebagai perang fisik, lebih populer dan familiar di dalam
kesadaran umat muslim daripada kata dakwah. Kosakata ini pun tak jarang
dipahami sebagai perlawanan pada orang yang beragama atau berpaham lain
walaupun seagama.
Tentu saja, munculnya konflik kekerasan demikian bukan karena ajaran
agama, karena pada dasarnya setiap agama mengajarkan perdamaian, tetapi
justru karena adanya aktor, agamawan, maupun individu beragama yang
menafsirkan ajaran agama yang diyakininya secara sempit bahkan tendensius.
Ketika tafsir dilakukan secara sempit, dan memiliki kepentingan, akibatnya
keagamaan menjauh dari kemanusiaan, karena ajaran agama lalu dipahami
sebagai ekstrim negatif kemanusiaan. Aksi aksi kemanusiaan atas nama
agama, acapkali terperangkap dalam aksi sepihak, hanya bagi golongan yang
sepaham, lalu menyempit pada wilayah emosi dan fanatisme golongan dan
seagama, bagi golongannya sendiri.
Perkara pokoknya adalah posisi agama dalam kecamuk konflik seringkali
terbebani oleh kepentingan kelompok, dimana agama lebih diperlihatkan

2
Ibid. hal. 8-18

4
sebagai sistem simbol dan makna untuk melegitimasi kepentingan yang
spesifik. Dari sudut ini dapat dipertanyakan, misalnya, apa makna tindakan
“bom bunuh diri” atau “menghalalkan darah sesama manusia” demi
implementasi suatu doktrin tertentu. Dengan demikian, dalam konteks sistem
makna dan penafsiran, agama memberikan legitimasi teologis atas tindakan-
tindakan pelaku kekerasan pada konteks-konteks tertentu, sehingga
pembunuhan yang dinilai oleh pihak lain sebagai tindak kekerasan menjadi
sah bagi si pelaku, bahkan jika tidak demikian bisa dianggap lemah imannya.
Oleh karena itu, penafsiran ajaran agama perlu dilakukan secara hati-hati.
Pasalnya, sistem tanda dan simbolajaran agama di wilayah realitas sosiologis
bisa ikut berperan mengeskalasi konflik. Tanda, dapat berfungsi sebagai faktor
integrasi, tapi sekaligus juga dapat menjadi pemantik disintegrasi dan
diskriminasi dalam masyarakat. Parahnya adalah, ketika sistem simbol agama
diyakini oleh kelompok tertentu yang kemudian diarahkan untuk menyerang
kelompok lain. Konflik yang terjadi bisa menjadi sangat besar dan brutal.
Antara lain konflik yang terjadi di wilayah El Savador, Kamboja, Cyprus,
Afganistan, Irlandia Utara, Israel–Palestina, Bosnia, konflik Sunni–Syiah,
termasuk konflik Ahmadiyah yang berulangkali terjadi di tanah air.
Kemudian, bila dilacak dari literatur studi konflik, model konfliknya
antara lain: Pertama, model konflik Agresor–Defender. Kedua, model Spiral
Konflik. Ketiga, model Perubahan Struktural. Tiga model ini memiliki
kelemahan dan kelebihan dalam menggambarkan terjadinya konflik, tapi
dalam beberapa kasus konflik, bisa saja satu model konflik tampak lebih
dominan dari yang lain dalam menggambarkan proses terjadinya konflik.
1. Model Agresor–Defender
Model konflik Agresor–Defender atau biasa disebut model
penyerang bertahan, menarik garis pembeda antara kedua pihak yang
berkonflik. Salah satu pihak, sang agresor atau pihak penyerang dianggap
memiliki suatu tujuan atau sejumlah sasaran yang menyebabkan pihaknya
terlibat di dalam konflik bersama pihak lain, yakni sang defender atau

5
pihak yang bertahan. Dua pihak yang berkonflik tersebut, bisa berhadapan
secara langsung atau tidak langsung.
Model ini menggambarkan peristiwa konflik terjadi dalam setting
dua pihak yang kurang seimbang. Ada pihak mayoritas dan minoritas.
Penyebab konfliknya bisa beragam, mulai dari masalah perebutan harta,
batas tanah, maupun isu penodaan agama yang sensitif di tengah
masyarakat. Dalam keadaan itu, agresor memiliki kekuatan atau sumber
daya lebih besar, agresor melihat adanya kesempatan untuk mengubah hal-
hal yang searah dengan kepentingannya.
Model Agresor–Defender ini membantu menjelaskan tahapan
dalam perkembangan konflik. Model ini secara mendasar mendeskripsikan
bagaimana pola interaksi konflik yang terbangun dengan searah. Model ini
melihat pihak mayoritas selalu berposisi menjadi penyerang. Sementara
hampir bisa dipastikan pihak minoritas tidak mampu membalas agresi
pihak mayoritas. Sebab disamping kalah sumber daya manusia,
pengaruhnya juga lebih kecil. Lantas ketika terjadi perbedaan pendapat,
atau gesekan persepsi antara pihak mayoritas dan minoritas, maka sebuah
konflik bisa langsung terjadi dalam bentuk penyerbuan maupun agresi
massa yang tidak terduga.
2. Model Spiral Konflik
Model ini menjelaskan bahwa proses eskalasi konflik merupakan
hasil dari suatu lingkaran dinamisantara aksi dan reaksi. Konfliknya
memiliki pola tertentu. Dinamika konflik atau penyerangan terhadap suatu
kelompok masyarakat terus terjadi dalam suatu “spiral” yang
menunjukkan tiap pihak saling membalas hingga jatuh korban di kedua
belah pihak. Ketika mulai jatuh korban, dalam kecamuk konflik yang
kacau, konflik bakal berjalan semakin keras. Penyebabnya adalah
munculnya tendensi emosi dan tekanan psikologis yang telah merasuki
pihak–pihak yang berkonflik.
Dalam sebuah konflik yang sudah berjalan, perasaan dari masing-
masing kelompok sudah berbeda dengan sebelumnya. Tatkala konflik

6
belum berlangsung tidak ada tekanan psikologis yang mengganggu
seseorang. Tetapi ketika konflik sudah berlangsung maka berbagai rasa
kegelisahan, ketidaknyamanan, serta ketakutan yang muncul dalam benak
orang–orang yang terlibat dalam konflik. Baik pada diri agresor maupun
pihak lain yang terlibat, rasa ketidaknyamanan selalu muncul, hanya saja
karena ada juga perasaan sudah terlanjur berkonflik, sehingga konflik terus
berlanjut dalam membalas serangan atau menerima serangan dari pihak
lain. Dalam keadaan seperti ini bisa saja agresi dari pihak mayoritas
berlangsung secara tidak terduga.
Secara umum, model ini menggambarkan taktik-taktik yang
dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon dari pihak lain.
Begitupula sebaliknya, respon dari pihak memberi sumbangan terhadap
tindakan konflik lebih lanjut, kemudian dari pihak lawan kemudian mulai
membentuk lingkaran konflik berikutnya.
3. Model Perubahan Struktural
Model ini menjelaskan bahwa konflik beserta taktik-taktik yang
digunakan untuk mengatasinya, menghasilkan implikasi perubahan atau
residu. Implikasi itu berupa perubahan-perubahan yang terjadi baik pada
pihak yang berkonflik maupun di masyarakat. Artinya, cakupan perubahan
struktur dalam masyarakat karena terjadinya konflik menjadi lebih luas.
Perubahan itu kemudian mendorong perilaku konfliklanjutan yang
levelnya setara atau lebih tinggi. Akibatnya kemudian upaya perdamaian
atau resolusi konflik jadi semakin jauh. Hal ini tidak mudah
memperbaikinya karena perubahan-perubahan itu bisa berupa kerusakan
fisik maupun berubahnya stuktur sosial masyarakat.
Model konflik perubahan struktural ini menggambarkan konflik
yang terus tereskalasi dengan perubahan konfigurasi konflik yang bersifat
dinamis dan berimplikasi pada kerusakan di masyarakat. Dalam konflik
itu, sebagaimana dikemukakan Pruitt dan Rubin. ada tiga macam bentuk
perubahan struktural yang bisa terjadi pada pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik. Tiga perubahan tersebut, dapat dibedakan menjadi

7
perubahan psikologis, perubahan dalam kelompok dan kolektif, serta
perubahan dalam masyarakat di sekitar wilayah konflik.
Perubahan pertama, perubahan psikologis masyarakat terjadi di
semua konflik yang tereskalasi. Peningkatan eskalasi konflik yang rumit
bisa merubah aspek psikologis orang-orang yang terlibat konflik di
dalamnya. Perubahan itu terjadi pada konflik yang aktor pelakunya
perorangan maupun kolektif. Motivasi dasarnya adalah keinginan untuk
mengagresi pihak lain, serta persepsi negatif terhadap lawan konflik.
Perubahan kedua terjadi di dalam kolektif masyarakat, berupa
polarisasi struktur masyarakat yang terpecah menjadi beberapa kelompok
yang mendukung atau menolak terjadinya konflik. Terciptanya kelompok-
kelompok dalam masyarakat ini jika tidak terantisipasi bisa membawa
pengaruh negatif kepada masyarakat karena intensitas konflik menjadi
semakin tajam. Adapun perubahan ketiga, yakni perubahan dalam
masyarakat di sekitar area konflik, terutama ketika ada dua kelompok atau
lebih, sudah terlanjur terlibat dalam konflik berat dengan korban jiwa atau
terluka. Akibatnya masyarakat terpecah. Keadaan ini juga disebabkan
raibnya opsi damai dan juga tidak adanya pihak ketiga yang bertindak
sebagai kolaborator netral yang membangun dialog perdamaian di tengah
konflik.
Dari pemaparan tiga model di atas, studi ini menerapkan model
analisis spiral konflik yang memperlihatkan dinamika aksi dan reaksi di
antara pihak-pihak yang terlibat. Ini terlihat dari tema-tema berita yang
dimunculkan secara intensif dalam new media yang bisa saja
mengaktifkan wacana konflik dan ketegangan psikologis individu yang
terlibat di dalamnya.

8
C. Pengertian Konversi Agama3
Menurut Jalaluddin Konversi menurut etimologi berasal dari kata lain
“conversio” yang berarti tobat, indah, pindah, dan berubah (agama).
selanjutnya, kata tersebutdipakai dalam kata Inggris conversion yang
mengandung pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke
agama lain Jalaluddin menjelaskan bahwa konversi agama (religious
conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah agama ataupun
masuk agama. Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal
dari kata lain “Conversio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama).
Selanjutnya, kata tersebut dipakai dalam bahasaInggris Conversion yang
mengandung pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke
agama lain (change from one state, or from one religion, to another).
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa konversi
agama mengandung pengertian bertobat, berubah agama, berbalik pendirian
terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
Menurut Deddy Mulyana kata conversion untuk menggambarkan
perbedaaan antara masuk ke agama lain dengan masuk ke dalam agama islam.
Sedangkan menurut Robert. H. Thouless dalam bukunya Pengantar Psikologi
Agama konversi agama adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk
proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan; proses itu
bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba. Sangat boleh jadi ia
mencakup perubahan keyakinan terhadap beberapa persoalan agama tetapi hal
ini akan dibarengi dengan berbagai perubahan dalam motivasi terhadap
perilaku dan reaksi terhadap lingkungan sosial. Salah satu diantara berbagai
arah perubahan ini tampaknya bisa memainkan peranan penting dalam
perubahan konversi itu, katakanlah misalnya, konversikonversi intelektual,
moral atau sosial
Pengertian konversi agama menurut terminologi, menurut Max Heirich
konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok

3
Mulyadi. (2009). Konversi Agama. Jurnal Tarbiyah Al-AwJurusan , 30-31.

9
orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang
berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
Sedangkan menurut W. H. Clark mendefinisikan bahwa konversi agama
sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang
mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran
dan tindakan agama. Max Heirich, mengatakan bahwa konversi agama adalah
suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau
berpindah kesuatu system kepercayaan atau perilaku yang berlawanan.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh
tempat lingkungan berada. Menurut Ramayulis ciri-ciri seseorang melakukan
konversi agama adalah:
1. Adanya perubahan arah pandangan dann keyakinan seseorang terhadap
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kejiwaan sehingga perubahan
dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan
dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk peruabahan
pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan konsdisi lingkungan maka perubahan itu pun
disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa

D. Proses Terjadinya Konversi Agama4


Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran
sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama
didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
Demikian pula seseorang atau sekelompok orang yang mengalami
konversi agama. Segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai
pola tersendiri berdasarkanpandangan hidup yang dianutnya (agama), maka
setelah terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan pula lama
ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan

4
Mulyadi. (2009). Konversi Agama. Jurnal Tarbiyah Al-AwJurusan , 31-32.

10
lama, seperti harapan, rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah
menjadi berlawanan arah. Timbullah gejala-gejala baru berupa perasaan serba
tidak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan
dalam bentuk merenung, timbulnya tekanan batin, penyesalan diri, rasa
berdosa, cemas terhadap masa depan, dan perasaan susah yang ditimbulkan
oleh kebimbangan
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin,
sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebutharus dicari jalan penyalurannya.
Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau
sekelompok orang maka dirinya menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul
semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan
batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang
bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan
hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga
ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
M. T. L Penido menyebutkan bahwa konversi agama mengandung dua
unsur, yaitu :
1. Unsur dari dalam diri, yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini
membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi
disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang
berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala
psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang
lama dan seiring degan proses tersebut muncul pula struktur psikologis
baru yang dipilih.
2. Unsur dari luar, yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri
seseorang atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang
atau kelompok yang bersangkutan.
Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk
aktif berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan
batin kepada yang bersangkutan. Jadi, disini terlihat adanya pengaruh motivasi

11
dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan
kehendak batin, terciptalah suatu ketenangan
H. Carrier di membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1. Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis
yang dialami.
2. Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan
adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan
dengan struktur lama.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut
oleh agamanya.
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan
Zakiah Dardajat, memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses
kejiwaan yang terjadi melalui lima tahap, yaitu :
1. Masa Tenang
Disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang,
karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Dimana segala
sikap, tingkah laku dan sifatsifatnya acuh tak acuh.
2. Masa ketidaktenangan
Tahap ini barlangsung jika masalah agama telah memengaruhi
batinnya. Konflik dan pertentanganbatin berkecamuk dalam hatinya,
gelisah, putus asa, tegang, panik. Baik disebabkan oleh moralnya,
kekecewaan atau oleh apapun juga.
3. Masa konversi
Tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan,
karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan
keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa
pasrah. Atau dimana masa konversi itu sendiri setelah masa goncang itu
mencapai puncaknya, maka terjadilah peristiwa konversi itu sendiri. Orang
tiba-tiba mendapatkan petunjuk Tuhan, mendapatkan kekuatan dan
semangat.

12
4. Masa tenang dan tenteram
Masa tenang dan tenteram yang kedua ini berbeda dengan tahap
sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap
yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketenteraman pada tahap ini
ditimbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil.Setelah
krisis konversi lewat dan masa menyerah dilalui, maka timbullah perasaan
atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman di hati, tiada lagi dosa yang tidak
diampuni tuhan, tiada kesalahan yang patut disesali, semuanya teah lewat,
segala persoalan menjadi enteng dan terselesaikan.
5. Masa ekspresi konversi
Sebagai ungkapan dari menerima terhadap konsep baru dalam
ajaran agama yang diyakini tadi, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya
diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilihnya tersebut

E. Agnotisme5
Nandhiwardhana menjelaskan bahwa Agnostik lawan kata dari gnostik
yang artinya berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui sebagai ada atau tidak.
Ateis dan teis lebih berimplikasi pada sikap dan tindakan. Anda seorang teis
jika Anda percaya Tuhan ada dan segala tindakan Anda dilakukan dengan
berpedoman atas perintahnya, ateis jika Anda tidak menganggap Tuhan ada
dan tidak mendasarkan tingkah laku atas perintahnya. Maka dari itu dapat
muncul empat jenis kombinasi: teis agnostik, mereka yang menyembah Tuhan
namun mengakui Tuhan tidak dapat diketahui; teis gnostik, mereka yang
menyembah Tuhan yang percaya keberadaan Tuhan bisa diketahui; ateis
agnostik, mereka yang tidak percaya Tuhan dan berpendapat ada/tidaknya
Tuhan tidak diketahui; yang terakhir, ateis gnostik, yakni mereka yang tidak
menyembah Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan memang jelas-jelas tidak
ada.

5
Ashriyah, S. (2006). Atheis Dan Agnostik Dalam Perspektif Agama Islam. Universitas Nahdlatul
Ulama Sidoarjo, 56-58.

13
Ahmad menjelaskan bahwa agama ialah sistem kepercayaan dan praktek
yang sesuai dengan kepercayaan tersebut. Dapat juga; agama ialah peraturan
tentang cara hidup, lahir-batin.
Asumsi yang didasari bahwa anak-anak cenderung mewarisi identitas
agama orang tuanya sampai dewasa. Usia di mana—bisa jadi—membuat anak
beralih keyakinan. Bahkan mungkin punya keyakinan yang tidak berafiliasi
dengan agama apapun di dunia. Menjadi atheis atau agnostik.
Secara terminologi agnostik adalah orang yang memiliki pandangan
bahwa ada atau tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui. Agnostik lawan kata
dari gnostik yang artinya berpendapat bahwa Tuhan dapat diketahui sebagai
ada atau tidak. Ateis dan teis lebih berimplikasi pada sikap dan tindakan.
Valbiant menjelaskan bahwa Anda seorang teis jika Anda percaya Tuhan
ada dan segala tindakan Anda dilakukan dengan berpedoman atas perintahnya,
ateis jika Anda tidak menganggap Tuhan ada dan tidak mendasarkan tingkah
laku atas perintahnya. Maka dari itu dapat muncul empat jenis kombinasi: teis
agnostik, mereka yang menyembah Tuhan namun mengakui Tuhan tidak
dapat diketahui; teis gnostik, mereka yang menyembah Tuhan yang percaya
keberadaan Tuhan bisa diketahui; ateis agnostik, mereka yang tidak percaya
Tuhan dan berpendapat ada/tidaknya Tuhan tidak diketahui; yang terakhir,
ateis gnostik, yakni mereka yang tidak menyembah Tuhan dan berpendapat
bahwa Tuhan memang jelas-jelas tidak ada.
Beranjak dari definisi-definisi tersebut kita bisa melihat bahwa di luar sana
sebenarnya banyak didominasi oleh teis agnostik, yakni mereka yang tidak
yakin bahwa Tuhan ada atau tidak namun melakukan peribadatan untuk
sekedar jaga-jaga (ini bisa juga merupakan residu ketakutan yang tertanam
sejak kecil akan neraka dan dosa akibat tidak menyembah Tuhan yang benar)
atau alasan lainnya.
Agnostisisme tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Mereka
beranggapan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin
dapat dinalar oleh akal manusia, dan konsekuensinya adalah keberadaan
Tuhan tidak dapat diketahui dengan cara apapun. Sedangkan atheisme adalah

14
paham yang menyangkal sama sekali keberadaan Tuhan karena tidak dapt
dibuktikan secara empiris ataupun logis akan keberadaan-Nya. Dua
pemahaman yang sebenarnya sama sekali berbeda. Yang satu tidak berani atau
ragu akan keberadaan Tuhan walaupun ia dapat melihat bukti ketuhanan dan
yang lain sama sekali menolak bukti keberadaan Tuhan dengan alasan tidak
logis.

15
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Konflik Agama adalah suatu pertikaian antar agama baik antar sesame
agama itu sendiri, maupun antar agama satu dengan agama lainnya.
Konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok
orang yang masuk atau berpindah kesuatu system kepercayaan atau perilaku
ke system kepercayaan yang lain. Konversi agama ada terjadi melalui
perubahan drastic (Seperti Umar bin Khattab ra) dan juga yang terjadi secara
bertahap misalnya melalui lingkungan sekitar karena terpengaruh kebiasaan
yang ada disekitarnya.
Kepercayaan setiap individu dalam meyakini suatu aliran kepercayaan
maupun agama merupakan hak preogratif masing-masing. Toleransi
akankeberagaman budaya dan agama di indonesia diharapkan agar selalu
terjaga dan tidak menimbulkan dampak yang negative.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agnostisisme menyatakan
bahwa Tuhan mungkin menciptakan alam semesta beserta manusia
didalamnya, dan beberapa yakin bahwa memang Tuhan yang menciptakan,
namun tanpa tujuan untuk apa dan alasan mengapa Tuhan menciptakan itu
semua. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, Tuhan ‘iseng’ kemudian
menciptakan alam semesta dengan manusia didalamnya

16
DAFTAR PUSTAKA

Ashriyah, S. (2006). Atheis Dan Agnostik Dalam Perspektif Agama Islam.


Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 56-58.
Fikri, M. (2014). Konflik Agama dan Konstruksi New Media. Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press).
Mulyadi. (2009). Konversi Agama. Jurnal Tarbiyah Al-AwJurusan , 30-32.

17

Anda mungkin juga menyukai