Anda di halaman 1dari 11

Tugas Reading Report 12 – DHIP 1945

Nama : Deanna Beatrice


NPM : 2106709724
Kelas : B
Bahan : Weatherbee, Donald E. “International Relations In Southeast Asia:
Introduction: The What and Why of Southeast Asia. hlm. 1-26

Relasi Internasional Kawasan Asia Tenggara Pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin

Pasca Perang Dunia II dan dekolonisasi, negara-negara Asia Tenggara—yang melihat


kesamaan tujuan di antara mereka—mulai menjalin hubungan dengan satu sama lain dan
melahirkan kawasan geopolitik Asia Tenggara. Pada era perang dingin, sebagian besar
wilayah Asia Tenggara—terutama Vietnam—dipengaruhi dan bergantung dengan
negara-negara adidaya, AS dan Soviet. Namun, jatuhnya Uni Soviet dan kebangkitan
Tiongkok mengubah perpolitikan regional ASEAN. Penandatanganan Piagam ASEAN pada
20 November 2007 dijadikan jawaban untuk menghadapi ketidakpastian dan menggambarkan
perubahan tatanan internasional pasca Perang Dingin. Pengakuan atas otonomi tiap negara
yang diciptakan pada masa Perang Dingin tetaplah relevan. Hal tersebut dapat dilihat dari
hubungan internasional wilayah ASEAN yang tidak asing lagi dengan kepentingan nasional
yang didasari oleh keadaan ekonomi, sosial, politik, sejarah, budaya, dan agama
masing-masing negara.

Kerjasama regional ASEAN seringkali dilandasi oleh kepentingan ekonomi, politik dan
keamanan. Secara ekonomi, ASEAN bertujuan untuk memajukan ekonomi regional dan
memanfaatkan lokasi strategis ASEAN dengan maksimal. Dalam segi keamanan, ASEAN
bekerja sama untuk melindungi negara-negara ASEAN dari ancaman aktor-aktor seperti
teroris. Tak hanya melindungi wilayah Asia Tenggara secara luas, kerjasama di bidang
keamanan sangat diperlukan untuk menjadi keamanan nasional tiap negara ASEAN. Di luar
kepentingan-kepentingan tersebut, globalisasi dan industrialisasi juga menjadi pendorong
kerjasama ASEAN.

Meskipun memiliki kesamaan tujuan dan kemiripan historis, negara-negara di kawasan Asia
Tenggara memiliki keberagaman budaya, agama, dan demografis, serta perbedaan di berbagai
segi nasional masing-masing negara. Secara politik, negara-negara Asia Tenggara menganut
sistem dan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda, dari monarki absolut di Brunei, sampai
junta militer di Myanmar. Secara ekonomi, negara-negara Asia Tenggara juga digolongkan
dalam tingkat yang berbeda-beda. Saat ini, Kambodia, Laos, Myanmar dan Timor Leste
berada dalam daftar ‘Least Developed Countries (LDC)’ PBB, namun di kawasan yang sama,
Singapura dan Brunei berada dalam golongan negara berpendapatan tinggi. Kesamaan
kareakteristik geografis yang seringkali terlihat dalam kawasan geopolitik pada umumnya,
tidak bisa ditemukan dalam kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi, keberadaan institusi
ASEAN telah secara tidak langsung menjadi kerangka pemersatu kawasan geopolitik Asia
Tenggara.

Pandangan Ilmu Hubungan Internasional Terhadap ‘Wilayah ASEAN’

Sebagai kawasan geopolitik yang terbentuk karena kesukarelaan negara-negara yang


memiliki banyak keberagaman, dinamika hubungan kawasan Asia Tenggara dapat dikatakan
rumit. Paradigma realisme adalah paradigma yang paling sering digunakan untuk memaknai
hubungan internasional di Asia Tenggara. Unsur utama paradigma ini adalah negara
berdaulat, kepentingan nasional, dan power. Dalam paradigma ini, kepentingan nasional tidak
dipandang sebagai suatu hal yang hanya didasarkan kepentingan politik dan materil, namun
juga latar belakang sosial, sejarah, budaya, dan agama. Latar belakang itulah yang kemudian
mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Ketika kepentingan berseteru dengan satu sama lain, serta kestabilan dan keamanan
terganggu, maka sebuah negara berkemungkinan besar akan mencari aliansi dan sebuah
tatanan untuk membawa kestabilan. Kebutuhan ‘manusia biasa’ yang ada dalam konsep
human security (kestablilan politik, ekonomi, sosial, dan kondisi masyarakat), menjadi
pendorong kerja sama antar negara di kawasan Asia Tenggara. Paradigma realisme
memandang hubungan ASEAN sebagai bentuk kerja sama yang muncul dan dilakukan atas
dasar pemenuhan kepentingan nasional masing-masing negara untuk mencapai tujuan
mereka, serta menjamin keamanan dan kestabilan negara.

Seteelah kehadiran ASEAN, fokus hubungan internasional bukanlah aktor negara saja,
namun juga aktor instutisi regional. Dalam ilmu integrasi internasional, pemikir barat melihat
ASEAN sebagai institusi yang akan berevolusi secara ekonomi dan sosial. Pemikir barat juga
mengunakan teori fungsional untuk melihat bahhwa evolusi tersebut akan berakhir pada
terbentuknya sebuah otoritas yang mengatur keseluruhan ASEAN. Namun, hal tersebut tidak
kunjung terjadi dan diangggap sebagai ‘kegagalan’ oleh kaum integrasionalis. Sedangakan
kelompok reaslis melihat hal tersebut sebagai pembuktian bahwa tiap negara dalam ASEAN
akan mempertahankan kedaulatan mereka.
Dalam teori rezim, dikatakan bahwa terbentuknya kawasan geopolitik ASEAN terjadi karena
pemahaman negara-negara ASEAN akan keberadaan sebuah ‘rezim’. Tanpa disadari,
negara-negara ASEAN tetap saja memperkokoh keberadaan rezim Asia Tenggara. meski
mereka memiliki perbedaan dalam tingkat nasional. Setiap kali negara-negara ASEAN
berkonsultasi dan mencari konsensus bersama, maka pengakuan akan adanya wilayah Asia
Tenggara semakin kuat.

Dalam teori konstruktivisme, rezim adalah suatu yang muncul akibat ekspetasi akan
kerjasama negara dan interaksi fungsional diantara mereka. Dalam paradigma ini, dijelaskan
bahwa sebuah komunitas masyarakat adalah suatu hal yang ditentukan oleh kesamaan nilai
diantara mereka, bukan hanya karena adanya kepentingan semata. Bagi negara-negara
ASEAN sendiri, yang tepenting adalah kesadaran dan pengakuan bersama akan identitas
masing-masing negara ASEAN. Akan tetapi, kesadaran terseebut juga diikuti akan kesadaran
akan kedaulatan negara mereka, sehinggga paradigma yang didasari olehh pahham ‘identitas
kolektif’ tidak dapat membantu pemahaman mengenai hubungan internasional di kawasan
Asia Tenggara.

Kesimpulan: Hubungan antara Negara dan Wilayah Geopolitik

ASEAN hanyalah satu aspek dalam hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun begitu, ASEAN merupakan wadah institusional yang dapat memajukan
kepentingan nasional dan global. Negara-negara ASEAN menyepakati bahwa kepentingan
nasional masing-masing negara ASEAN merupakan hal yang perlu dihormati untuk menjaga
kedaulatan negara tersebut. Munculnya paham bahwa kedaulatan adalah hal tertinggi berasal
dari konteks historis dan sosial pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, dimana negara
Asia Tenggara yang sebenarnya berbeda dari satu sama lain, terdorong untuk menjalin
kerjasama atas dasar kesamaan tujuan dan ancaman. Akan tetapi hal tersebut tidak
mengalahkan keinginan negara-negara ASEAN untuk mencapai kepentingan nasional mereka
masing-masing.
Tugas Reading Report XII Dinamika Hubungan Internasional Pasca 1945
Nama : Glenniel Yemima Wajong
NPM : 2106747621
Kelas :A
Bahan Utama :Weatherbee, Donald E., “Introduction: The What and Why of
Southeast Asia,” dalam International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy.
Maryland: Rowman & Littlefield Publishers. 2009. 1—22.
Hubungan Internasional Kawasan Asia Tenggara

Pembentukan organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menjamin adanya


hubungan internasional antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi,
hubungan internasional di kawasan tersebut tidak baru dimulai ketika ASEAN terbentuk.
Berbagai aspek dan peristiwa historis turut memengaruhi dinamika interaksi mereka sejak
lama. Dalam reading report ini, penulis akan membahas mengenai berbagai karakteristik di
wilayah Asia Tenggara serta hubungan antarnegara di kawasan tersebut.

Secara geografis, wilayah Asia Tenggara sangat strategis dan kaya. Wilayah ini
didominasi oleh air yang dapat menjadi sarana komersial maritim dan penghubung militer
dengan kawasan-kawasan lain. Iklimnya yang tropis dan lembab menjadi habitat yang cocok
bagi keanekaragaman hayati yang menjadi sumber kekayaan bagi masyarakat setempat sebab
kekayaan alamnya dapat menjadi sumber makan utama dan potensi ekspor. Wilayah Asia
Tenggara sendiri dibagi menjadi dua wilayah berdasarkan US State Department’s Bureau
menjadi wilayah kontinental, yang meliputi lembah, dataram dan delta sungai besar dari utara
ke selatan seperti Sungai Chaopraya di Thailand dan Sungai Merah di Vietnam, dan wilayah
maritim, yang merupakan subkawasan yang digabungkan oleh air seperti negara kepulauan
Indonesia dan Filipina.

Negara-negara di wilayah Asia Tenggara merupakan bekas jajahan pasca-Perang Dunia


II. Setelah periode dekolonisasi, negara-negara tersebut merdeka satu per satu. Sebagai negara
yang baru, tentu terdapat tantangan-tantangan tersendiri yang harus mereka hadapi. Menyadari
kesamaan nasib tersebut, negara-negara di Asia Tenggara memutuskan untuk menjalin
hubungan regional untuk membantu perkembangan satu dengan yang lain.

Selama periode akhir Perang Dingin, dinamika hubungan internasional di dunia,


termasuk Asia Tenggara, berubah. Faktor utamanya tentu karena ada perubahan ‘great power’
di dunia, yakni ketika Uni Soviet bubar dan meninggalkan Amerika Serikat sebagai ‘the last
man standing.’ Selain itu, ekonomi di Asia Timur yang mulai melejit sehingga mendorong
adanya pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara ASEAN
kontemporer juga akhirnya menetapkan bentuk politik negara mereka pada periode ini. Secara
makro politik, negara-negara dibagi menjadi negara komunis dan nonkomunis. Clark Neher

1
dan Ross Marley juga membagi kondisi politik suatu negara berdasarkan hubungan antara
rakyat dan pemerintah menjadi negara demokrasi, semi-demokrasi, semi-otoriter, dan otoriter.
Hal ini dikarenakan ketika memasuki masa millennium baru, ideologi politik negara-negara di
Asia Tenggara mulai ditentukan ketika mengalami demokratisasi massal yang dikenal sebagai
“gelombang ketiga demokrasi.” Adanya beberapa kelompok konservatif dan kelompok
antidemokrasi menjadi penentu ideologi negara tersebut menjadi demokrasi atau
nondemokrasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga kini, kepentingan nasional masih menjadi agenda
utama masing-masing negara. ASEAN menjadi sarana bagi mereka untuk menjalankan agenda
masing-masing karena dapat memperluas cakupannya secara regional. Di bidang keamanan,
ada hubungan ‘mutual security’ sehingga tidak harus menggunakan kekuatan fisik dalam
menjalankan kepentingan nasionalnya lagi karena kesepakatan tersebut mengimbau untuk
diadakannya hubungan diplomasi secara damai. Dengan begitu, ancaman terbesar bagi
keamanan ASEAN tersisa aktor nonstate seperti terorisme. Di bidang ekonomi, ASEAN
didukung oleh kondisi geografisnya yang strategis. Adapun pembentukan sistem ekonomi
dengan single market dan pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) memudahkan
negara-negara ASEAN untuk menghadapi masalah-masalah ekonomi. Adapun dinamika di
bidang sosial yang mencakup dampak-dampak globalisasi. Meskipun globalisasi berhasil
memperkenalkan strategi pembangunan ekonomi yang baik kepada ASEAN, hadir masalah-
masalah seperti perdangan narkotika, diskriminasi gender, isu lingkungan hidup, dan hak-hak
minoritas. Permasalahan ini menambah panjang kebijakan internasional yang ditetapkan
bersama.

Tak hanya perbedaan formal, perbedaan ras, etnis, agama, budaya, dan sejarah turut
menghiasi keberagaman di Asia Tenggara. Kelompok etnis-linguistik di Asia Tenggara
didominasi oleh etnis Austro-Asia yang mencakup Mon, Khmer, dan Vietnam, Tibeto-Burman
yang berbahasa utama Burmese, dan suku berbahasa Tai dari Cina Barat-Daya. Kelompok
etnis-linguistik Asia Tenggara ditemukan di migrasi kelompok etnis Austronesia yang
menyebarkan budaya Malayo-Polynesian ke wilayah Pasifik Selatan. Beragamnya etnis
masyarakat di Asia Tenggara saling melebur dan menhasilkan percmapuran etnis dan ras baru.

Agama yang mendominasi di Asia Tenggara ialah Islam. Agama Islam itu sendiri tidak
homogen, sebab Islam begitu mengakar dalam institusi dan negara masing-masing sampai
disematkan istilah-istilah politis yang membagi Islam menjadi Islam moderat, fundamentalis,
dan radikal. Meskipun Islam mendominasi, ada juga negara-negara penganut Buddha

2
Theravada yakni Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Laos. Selain itu, ada juga penganut agama
Kristen (Filipina), Konghucu, sekularisme Leninisme (Vietnam), dan kepercayaan tradisional
seperti animisme, dinamisme.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, hubungan internasional antarnegara-negara


di kawasan Asia Tenggara sudah ada sejak lama. Sering terjadi peperangan antara wilayah-
wilayah di Asia Tenggara sebelum mereka menjadi negara merdeka seperti sekarang ini. Luka
historis tersebut membekas sehingga prasangka akan satu dengan yang lain tidak dapat
terelakkan. Sebagai contoh, sikap Thailand yang cenderung kasar masih diingat hingga kini,
karena dulu pada tahun 1767, Thailand menghancurkan pusat kota Burma yakni Ayudhya.
Thailand juga mencuri Jade Buddha milik Laos pada tahun 1827 dan hingga kini belum
dikembalikan. Selain itu, sempat muncul pula ketakutan akan paham pan-Indonesia yang
dibawa oleh Soekarno pada masa kepemimpinannya yang nasionalis radikal. Dianggap bahwa
Indonesia ingin mengembalikan masa jaya Kerajaan Majapahit yang berhasil menyatukan
semenanjung Indo-Cina dalam satu kekuasaan. Ketakutan ini dipicu oleh peristiwa Ganyang
Malaysia (1960) dan invasi Indonesia ke Timor Timur (1975).

Dalam teori hubungan internasional, terdapat beberapa paradigma yang dapat


digunakan untuk melihat hubungan internasional di Asia Tenggara. Pertama ada paham realis,
yang memandang ASEAN sebagai organisasi kerja sama internasional yang mengakomodasi
negara-negaranya untuk mencapai tujuan masing-masing. Kedua ada paham liberalis yang
memandang bahwa diperlukan interaksi antaraktor non-state. Terakhir ada teori konstruktivis
yang memandang bahwa diperlukan pembentukan dan pengakuan identitas ASEAN.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa organisasi regional ASEAN hadir sebagai sarana
bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mengembangkan negaranya di berbagai
bidang. Mereka memiliki agenda dan tujuan yang serupa sehingga bahu-membahu dalam
organisasi ini untuk mencapai tujuan tersebut. ASEAN juga hadir sebagai sarana bagi negara-
negara tersebut untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing yang berbeda melalui
hubungan diplomatis yang damai berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat.
Meski tampak revolusioner, pendirian ASEAN hanya menjadi salah satu peristiwa lain dalam
rentang sejarah hubungan internasional negara-negara di Asia Tenggara karena mereka sudah
berinteraksi satu dengan yang lain, baik interaksi positif maupun negatif seperti perang, sejak
lama. Keberagaman yang ada di kawasan ini menjadi kekayaan tersendiri dan menjadi
pemersatu mereka.

3
Tugas Reading Report Dinamika Hubungan Internasional Pasca 1945
Nama : Munson Gamaliel Tampubolon
NPM : 2106747590
Bahan Utama : Weatherbee, Donald E. “Introduction: The What and Why of Southeast Asia,”
Dalam International Relations in Southeast Asia. Disunting oleh Samuel S. Kim. Amerika
Serikat: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009. 1-22.

Peran Penting ASEAN dalam Dinamika Regional Asia Tenggara

Negara-negara Asia Tenggara—dengan karakteristiknya yang sangat beragam—membentuk


institusi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Institusi ini mendeklarasikan
regionalisme Asia Tenggara sebagai bentuk cita-cita persatuan regional. Tulisan ini akan
menjelaskan peran penting ASEAN dalam kawasan Asia Tenggara dengan negara-negaranya
yang sangat beragam. Untuk itu, tulisan ini akan membahas mengenai: (1) Kondisi Historis
dan Geografis serta Demografi Asia Tenggara, (2) Dinamika Regional Asia Tenggara, dan (3)
Studi Hubungan Internasional dalam Analisis Dinamika Regional Asia Tenggara

Kondisi Historis dan Geografis serta Demografi di Asia Tenggara

Negara-negara di Asia Tenggara umumnya merupakan negara bekas kolonisasi. Setelah


negara-negara Asia Tenggara mengalami dekolonisasi, mereka mulai menjalin kerja sama satu
dengan yang lain dan membentuk kawasan geopolitik. Mereka menghadapi tugas-tugas yang
sama seperti meningkatkan nasionalisme, menjalin hubungan dengan negara-negara ber-power
besar sebagai negara yang sama-sama berdaulat, dan mengakses sumber modal dan pasar
internasional untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat strategis. Iklim tropis di kawasan ini
mendukung tersedianya sumber daya alam yang melimpah. Kawasan ini juga didominasi oleh
perairan strategis yang dapat digunakan sebagai sarana komersial maritim dan penghubung
militer. Prospek strategis utama dari perairan Asia Tenggara terletak di Laut Cina Selatan.

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki keragaman lokal dan antarnegara


yang sangat tinggi. Keberagaman identitas ras, etnis, agama, bahasa, dan budaya terjadi antara
negara-negara di Asia Tenggara. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor historis seperti
kedatangan pendatang ke kawasan Asia Tenggara dan faktor geografisnya yang terpisah-pisah
oleh perairan. Dalam aspek politik, negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak memiliki
struktur politik umum yang diterapkan bersama.

Dinamika Regional Asia Tenggara

1
Kepentingan global, regional, dan lokal yang saling melengkapi atau bertentangan satu sama
lain di tingkat bilateral ataupun ASEAN merupakan salah satu bentuk dinamika hubungan
internasional di Asia Tenggara. Aktor negara dalam subsistem Asia Tenggara berusaha untuk
mempromosikan kepentingan nasional dalam sistem globalisasi internasional yang dominan.
Negara-negara Asia Tenggara membangun struktur kelembagaan multilateral dengan
melibatkan kekuatan eksternal negara kawasan dalam bentuk regional ataupun bilateral. Selain
itu, secara historis, kebijakan negara-negara Asia Tenggara tentang bagaimana mereka
mengejar kepentingan nasional di tengah kehadiran kekuatan besar dalam kawasan tidak
berubah.

Kondisi politik negara-negara Asia Tenggara yang umumnya tidak demokratis (kecuali
Indonesia), memasuki gelombang ketiga demokratisasi. Gerakan demokratisasi ini juga tidak
lepas dari adanya kekuatan Barat yang berupaya menerapkan Western defined sebagai standar
hak sipil dan politik. ASEAN, diikuti oleh Tiongkok, memutuskan untuk tidak terlibat dalam
masalah demokrasi dan hak asasi manusia dan menegaskan prinsip nonintervensi dalam urusan
kedaulatan suatu negara.

Dalam keamanan, “mutual security” terjalin di antara negara-negara ASEAN. Hal ini
mendukung terciptanya hubungan diplomasi yang damai dan kerja sama yang saling
menguntungkan di bidang keamanan. Terorisme menjadi ancaman keamanan terbesar yang
dihadapi negara-negara ASEAN. Selain terorisme, konflik antaretnis juga menjadi ancaman
bagi keamanan ASEAN.

Sistem dominan globalisasi internasional memang berhasil mendukung strategi


pembangunan di Asia Tenggara. Letak geografis yang strategis juga mendukung terjadinya
kemajuan ekonomi ASEAN. Ambisi ekonomi negara ASEAN saat ini adalah mewujudkan
perdagangan yang bebas dan inklusif di antara negara-negara anggotanya.

Selain itu, pemerintah Asia Tenggara harus menghadapi berbagai masalah ekonomi,
sosial, budaya, dan norma-norma yang diwujudkan oleh Barat dengan adanya industrialisasi.
Masalah-masalah tersebut berupa adanya perdagangan narkotika, diskriminasi gender,
lingkungan hidup, hak-hak minoritas, pengungsi, pekerja migran, dan pekerja anak. ASEAN
juga menghadapi masalah dalam menentukan apakah negara-negaranya lebih condong kepada
kerja sama regional yang inklusif seperti APEC atau eksklusif seperti East Asian Bloc.

2
Studi Hubungan Internasional dalam Analisis Dinamika Regional Asia Tenggara

Asia Tenggara terdiri dari sebelas negara berdaulat yang sangat beragam yang berhubungan
secara koeksistensi kebijakan. Saat ini, Asia Tenggara dianggap sebagai kawasan karena
hadirnya ASEAN yang mendeklarasikan regionalisme Asia Tenggara. Akan tetapi, banyak
yang berpendapat bahwa kawasan ini sebenarnya sulit untuk digolongkan sebagai kawasan
(region) akibat tingginya keberagaman.

Dalam paradigma realisme, ASEAN menjadi bentuk kerja sama regional untuk negara-
negara anggota dalam mengejar kepentingan nasionalnya. Keamanan menjadi inti dari
kepentingan realis dan keseimbangan dalam kekuatan mekanismenya. ASEAN menjadi rezim
keamanan kooperatif yang ditempatkan dalam perspektif keseimbangan kekuatan yang realis
dengan kebijakannya yang tidak dapat lepas dari kepentingan nasional negara anggotanya.

Hubungan internasional di Asia Tenggara juga dapat dianalisis menggunakan


paradigma liberalisme dan konstruktivisme. Teori rezim dari paradigma liberalisme
menyatakan bahwa kooperasi dalam organisasi internasional berpengaruh dalam pengambilan
keputusan suatu negara. Negara yang bekerja dengan basis kepentingan memiliki disiplin dan
kewajiban atas rezim. Liberalis menganggap bahwa keterlibatan serta interaksi aktor-aktor
non-negara adalah hal yang penting karena tidak hanya melihat tentang keutuhan dan
keamanan negara. Menurut paradigma konstruktivisme, ASEAN merupakan institusi yang
dikonstruksi secara sosial melalui pengetahuan, norma, budaya, dan asosiasi kooperatif lainnya
yang akhirnya mempromosikan sebuah identitas secara kolektif. Paradigma konstruktivisme
saja tidak cukup untuk memahami hubungan internasional di Asia Tenggara karena identitas
ASEAN juga tidak lepas dari kepentingan nasional.

Kesimpulan dan Refleksi Penulis

Asia Tenggara merupakan kawasan strategis yang terdiri dari berbagai negara dengan
karakteristik yang sangat beragam. Negara-negara di kawasan ini bekerja sama dan membentuk
kawasan geopolitik. ASEAN berperan sangat penting dalam dinamika dan perkembangan
kawasan Asia Tenggara. Melalui ASEAN, negara-negara bisa mempromosikan kepentingan
nasional dalam sistem globalisasi internasional yang dominan. Kekuatan eksternal seperti
negara-negara Barat dan Tiongkok juga berperan dalam dinamika hubungan internasional di
Asia Tenggara. Hubungan internasional di Asia Tenggara bisa dikaji menggunakan paradigma
realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Masing-masing paradigma menghasilkan analisis
yang berbeda, namun satu sama lainnya bisa saling melengkapi.

3
Reading Report 15 - DHIP 1945
Nama Mahasiswa : Muchammad Aldrich Alfarisi
NPM : 2006593306
Bahan Utama : Pekkanen, Saadia M., John Ravenhill, and Rosemary Foot.
“Chapter 1: The International Relations of Asia.” in The Oxford Handbook of The
International Relations of Asia. New York: Oxford University Press, 2014. 3-21.
Weatherbee, Donald E. “Chapter 1:The What and Why of Southeast Asia.” In
International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy. Maryland:
Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2009. 1-22

Asia sebagai Subjek Penelitian Hubungan Internasional

Sejak Perang Dunia II berakhir, banyak terjadi perubahan pada kondisi negara-negara di Asia
yang memicu perkembangan ekonomi, dinamika hubungan politik, dan peran di tingkat
internasional. Hal ini membuat Asia menjadi salah satu daerah yang memiliki perang penting
di abad ke-21. Pada tulisan ini, penulis akan mengemukakan secara ringkas mengenai
pengantar hubungan internasional di Asia yang disusun oleh Pekkanen, Ravenhill, dan Foot,
serta pengantar mengenai wilayah Asia Tenggara oleh Weatherbee. Di dalam tulisan Pekkanen,
et al., topik pembahasan pengantar meliputi karakteristik dan keunikan yang dimiliki Asia,
pengenalan teori yang akan diaplikasikan untuk mempelajari hubungan internasional di Asia,
dan prospek masa depan serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari topik
tersebut. Sementara itu, Topik pembahasan oleh Weatherbee meliputi pengenalan singkat
wilayah Asia Tenggara dari lensa sejarah, geografi, sistem pemerintahan, ekonomi,
kepentingan negara, dan ASEAN. Tulisan ini terbagi menjadi (1) latar belakang, (2) inti tulisan
bahan utama, dan (3) kesimpulan.
Pekkanen, et al. memulai topik pembahasan dengan memaparkan beberapa
karakteristik yang dapat diidentifikasi dari wilayah Asia. Karakteristik pertama adalah negara
di Asia mayoritas memiliki pandangan yang berpusat pada negara atau dikenal dengan istilah
state-centered. Pandangan ini diperkuat dengan norma-norma tradisional dalam masyarakat
Asia yang cenderung komunal. Kedua, wilayah Asia mengalami ketimpangan khususnya di
bidang ekonomi di antara negara-negaranya. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan
kondisi ekonomi Asia Timur yang sudah maju dengan wilayah Asia lainnya. Karakteristik
ketiga adalah terjadinya ketidakpastian strategis yang disebabkan oleh perkembangan kekuatan
ekonomi yang mendorong modernisasi militer di wilayah Asia. Hal ini dapat menimbulkan
dilema keamanan bagi negara di Asia. Karakteristik keempat adalah keadaan wilayah yang
masih bergantung antara satu sama lain dan pengaruh dari luar. Karakteristik selanjutnya

1
adalah proliferasi kerangka organisasi informal. Lalu, karakteristik terakhir adalah kondisi
perbedaan ideologi yang menurun antar negara diikuti kegiatan ekonomi yang inklusif. Selain
karakteristik, keunikan Asia yang dapat diidentifikasi di antara lain adalah perkembangan
ekonomi yang pesat, tantangan besar dalam hubungan negara dan konflik teritorial, dan peran
organisasi regional dalam dinamika politik Asia. Melihat karakteristik yang dimiliki sekarang,
prospek ke depan Asia kurang lebih tetap di sekitar kondisi yang state-centered, negara
menengah yang dapat menaikkan perannya di tingkat regional, perkembangan ekonomi, dan
dilema keamanan.
Di sisi lain, Weatherbee memulai topik pembahasan dengan pengenalan sejarah
wilayah Asia Tenggara diikuti dengan pengenalan kondisi geografis, sosial-budaya, dan
perkembangan politik ekonomi Asia Tenggara. Pembagian wilayah Asia Tenggara yang kita
kenal saat ini tercipta dari masa setelah Perang Dunia II, tetapi sejarah Asia Tenggara lebih
panjang dari itu, dapat dibuktikan dengan peninggalan dan sumber sejarah masa kerajaan
hindu-buddha yang mencerminkan kondisi etnisitas, agama, dan masyarakat sosial. Pada masa
modern, pengkategorian di Asia Tenggara didasarkan pada kondisi politik dan ekonomi. Dapat
diakui bahwa wilayah Asia Tenggara memiliki keberagaman yang tinggi berdasarkan
pembagian-pembagian tersebut. Selain itu, di masa modern, Asia Tenggara juga sering
disamakan dengan ASEAN disebabkan pandangan global dan besarnya peran ASEAN di
wilayah ini.
Pekkanen, et al. dan Weatherbee sama-sama mengangkat secara ringkas mengenai
paradigma yang digunakan studi hubungan internasional untuk mempelajari Asia. Paradigma
tersebut di antara lain adalah realis, liberalis, dan konstruktivisme. Paradigma realis pada
dasarnya melihat bahwa negara di Asia akan bersaing dengan negara lain dan kepentingan
utama adalah demi kebaikan negara sendiri. Berbeda dengan realis, paradigma liberalis melihat
bahwa kebijakan luar negeri di Asia dipengaruhi kepentingan domestik dan aktor non
pemerintah. Sementara, paradigma konstruktivisme melihat hubungan Asia lebih ke dalam
proses dan kegiatan manusia adalah yang mendefinisikan hubungan internasional.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa hubungan
internasional di Asia didasarkan karakteristik dan keunikan yang terdapat Asia sendiri. Asia
memiliki keberagaman yang tinggi yang dapat menimbulkan potensi pergesekan ataupun
sebagai nilai tambah bagi perkembangan ekonomi regional. Kekuatan besar seperti Tiongkok
dan organisasi regional memiliki peran besar terhadap arah perkembangan dari Asia.
Paradigma hubungan internasional dapat membantu untuk memahami lebih dalam mengenai
dinamika hubungan di Asia dan membandingkan antara teori dan keadaan di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai