Anda di halaman 1dari 3

Masyarakat internasional tentu kaget, sekaligus gembira mendapat kabar dari Beijing pada

10 maret lalu bahwa Iran-Arab Saudi mencapai kesepakatan rekonsiliasi atau normalisasi
hubungan. Padahal, sebelum ini tidak terdengar dan tidak terlihat di permukaan tentang
manuver Tiongkok yang berusaha mendamaikan Iran-Arab Saudi itu.
Setelah tercapai kesepakatan rekonsiliasi Iran-Arab Saudi itu, Tiongkok hanya menyampaikan
telah terjadi perundingan intensif dari 6 maret hingga 10 maret 2023 antara delegasi Iran
dan delegasi Arab Saudi di beijing.
Delegasi Iran dipimpin sekjen dewan tinggi keamanan nasional Iran Ali Shamkhani.
Sedangkan delegasi Arab Saudi dipimpin menteri negara dan penasihat keamanan nasional
Arab Saudi Musaed Bin Mohammed Alaiban. Lantas akankah rekonsiliasi Iran-Arab Saudi
dapat mendamaikan timur tengah? Dan diplomasi apa yang digunakan Tiongkok untuk
mendamaikan kedua negara?. Inilah Jurnal Bharata bersama saya Bagas Sumarlan.
Bumper
Pemirsa, Arab Saudi dan Iran punya sejarah hubungan politik yang naik-turun terutama sejak
revolusi Iran tahun 1979 yang membuat perseteruan dengan saudi meruncing. Konflik
identitas juga menjadi salah satu faktor utamanya hingga terlibat pada perang proksi di
kawasan timur tengah.
Namun yang tidak disangka-sangka setelah beberapa kali upaya Iran-Arab Saudi mencapai
kesepakatan perdamaian yang selalu mengalami jalan buntu, Tiongkok justru negara satu-
satunya yang berhasil menjadi mediator perdamaian antar kedua negara tersebut.
Alasan Tiongkok berinisiatif menjadi penengah untuk rekonsiliasi Iran dan Arab Saudi, karena
selain posisi Tiongkok yang paling netral di timur tengah, Tiongkok juga menjadi tujuan
ekonomi ke depannya untuk kedua negara ini.
Dalam konteks ini, Tiongkok tentu menyadari bahwa misi ini sangat sulit karena bukan hanya
perbedaan kepentingan Iran dan Arab Saudi saja yang sangat tajam, melainkan juga banyak
kekuatan regional ataupun internasional yang tidak menginginkan terjadinya rekonsiliasi di
antara kedua negara tersebut. Makanya, Tiongkok lebih baik menggunakan diplomasi senyap
agar misinya mendamaikan Iran-Arab Saudi tidak kandas di tengah jalan.
Kekuatan regional itu sudah pasti adalah Israel dan kekuatan internasionalnya adalah
Amerika Serikat (AS). Artinya jika mereka mengetahui bahwa ada misi Tiongkok
mendamaikan Iran-Arab Saudi, niscaya mereka akan berusaha dengan segala cara untuk
menggagalkannya.
Sejumlah pengamat lantas mengaitkan kepiawaian diplomasi senyap Tiongkok dengan
kunjungan presiden Tiongkok Xi Jinping ke Arab Saudi pada 8-9 desember 2022 yang lalu.
Berselang dua bulan, presiden xi kembali menggelar lawatannya ke Iran pada 17 februari
2023.
Sebetulnya, proses mediasi menuju rekonsiliasi Iran-Arab Saudi tidak ujuk – ujuk dimulai
ketika delegasi Iran dan Arab Saudi tiba di beijing pada 6-10 maret lalu. Namun, proses itu
sudah dimulai saat kunjungan presiden xi ke Arab Saudi pada desember 2022 dan ke Iran
pada februari 2023.
Lalu Robert moielnicki dari institut negara teluk arab mengatakan, sebenarnya Tiongkok
tidak terlalu terlihat mempunyai kepentingan yang tinggi dalam proses kesepakatan ini.
Menurutnya, posisi Tiongkok yang sebenarnya tidak mengejar tujuan material dengan kedua
negara, lantaran Tiongkok bisa kapan saja mendapatkan negosiasi terbaik di bidang
perdagangan terutama energi.
Selain itu, Tiongkok juga punya pengaruh besar hingga bisa merangkul dua negara besar
timur tengah yang punya rivalitas tinggi di kawasan tersebut. Pengaruh besar ini dalam studi
ilmu politik internasional adalah proses pengembangan pengaruh, seperti yang disebutkan
dalam jurnal yang ditulis oleh Emily Meierding dan Rachel Sigman yang berjudul
“memahami mekanisme pengaruh internasional di era persaingan kekuatan besar.”
Dalam tulisannya tersebut, mereka menjelaskan kerangka proses sebuah negara untuk bisa
mendapatkan kuasa pengaruh terhadap negara lain. Salah satunya melalui pendekatan
diplomatik dan kerja sama ekonomi.
Nah, Tiongkok sejauh ini menggunakan aktivitas diplomasi yang disusul kerja sama ekonomi
dan mekanisme keaktifan forum diplomasi, ditambah lagi posisi Tiongkok yang tidak terlihat
memaksakan diri dalam mengejar kepentingannya, sehingga membuat rekonsiliasi bisa
terlaksana pada 10 maret 2023 kemarin.
Inilah yang membedakan Tiongkok dengan AS dan Israel dalam pendekatan terhadap
negara-negara Timur Tengah. AS mendominasi kawasan dengan cara memojokkan salah satu
negara timur tengah lainnya dengan isu keamanan, dalam kasus ini Iran menjadi sasarannya.
Sedangkan Israel, ambisi besarnya untuk mendapatkan tanda tangan Saudi sebagai negara
yang hendak menormalisasi hubungannya dengan Israel untuk melawan Iran di kawasan,
malah dikerjai oleh Arab Saudi yang lebih memilih menormalisasi hubungannya dengan Iran.
Selain perbaikan hubungan diplomatik, Iran dan Arab Saudi nantinya akan bekerja sama
lebih lanjut di bidang ekonomi. Di situlah sebenarnya Tiongkok punya andil sangat besar
daripada sekedar mendamaikan kedua negara tersebut.
Lalu bagaimana Tiongkok bisa punya andil besar untuk “perdamaian hakiki” di timur tengah?
Caranya adalah melalui perubahan ekuilibrium kekuatan kawasan, yang dalam perspektif
realis disebut “keseimbangan kekuatan”. Yang tadinya bersifat unipolar karena hanya
dikuasai oleh as, perlahan diubah status quonya oleh Tiongkok.
Seperti yang dikatakan oleh Morton A. Kaplan dalam jurnal berjudul “keseimbangan
kekuatan, bipolaritas, dan model sistem internasional lainnya,” bahwasanya kekuatan bisa
seimbang jika sebuah negara menaikkan kapabilitas kekuatannya melalui negosiasi dan
melakukan koalisi, alih-alih melawan secara konstan dengan negara lawan.
Nah, Terkait itu, Tiongkok bukanlah pemain baru di Timur Tengah. Negeri panda tersebut
sudah melalang buana di kawasan untuk melebarkan sayap inisiatif sabuk dan jalan (bri)
sejak 2016 bersama Uni Emirat Arab (uea), Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Oman melalui
pembangunan infrastruktur di bidang telekomunikasi dan energi.
Sementara itu, Tiongkok bersama Arab Saudi menginginkan kerja sama dalam bidang energi
melalui minyak. Begitu juga dengan Iran terkait pengembangan nuklirnya. Alhasil, ketiga
negara ini bukan tidak mungkin memiliki kepentingan yang sama.
Dengan konvergensi kepentingan, keadaan kawasan timur tengah bisa jadi berangsur-angsur
menjadi lebih stabil. Ini bisa dilihat dari konvergensi antara peran Tiongkok sebagai
penengah dan pendorong kepentingan kerja sama, tujuan dari Arab Saudi untuk mengurangi
konflik proksi di kawasan, serta usaha Iran ingin keluar dari tekanan sanksi yang menyatukan
ketiga negara ini.
Alhasil, berbekal pada kesamaan kepentingan, Tiongkok justru menjadi kekuatan luar yang
akhirnya bisa mengimbangi dominasi pengaruh as. Kesepakatan Iran dan Saudi sendiri bisa
menjadi pertanda bahwa negara-negara Timur Tengah kini lebih menginginkan stabilitas
daripada dilema keamanan diantara satu sama lain yang selalu jadi diskursus dalam
diplomasi as di kawasan.
Dengan demikian, kita berharap semoga kepentingan bersama negara-negara timur tengah
bisa jadi kunci untuk membuat kawasan ini lebih stabil. Selama keinginan semuanya sama,
bukan tidak mungkin konflik akan dikesampingkan. // Demikian Jurnal Bharata kali ini, saya
Bagas Sumarlan terimakasih dan sampai jumpa.

Anda mungkin juga menyukai