Anda di halaman 1dari 20

Pengenalan Konsep Kunci Sosiologi Korupsi

(Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Sosiologi Korupsi)


Dosen Pengampu :
Adi Prayitno, M.Si

Disusun Oleh :

Hasibur Rikzi 11201120000112


Munira Rizky 11201120000060
Rahmat Fajar Sanjaya 11201120000085

Program Studi Ilmu Politik


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2022
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-nya sehingga kami
dapat menyelesikan tugas makalah Matakuliah Sosiologi Korupsi. Puji syukur kami
panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengenalan Konsep Kunci Sosiologi
Korupsi” dengan lancar tanpa halangan dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Matakuliah Sosiologi Korupsi. Makalah ini bertujuan memperluas
wawasan bagi para pembaca serta juga pembuat makalah ini. Tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada Bapak Adi Prayitno, M.Si selaku Dosen Pengampu Matakuliah
Sosiologi Korupsi yang selalu membimbing kami. Kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
membuka tempat untuk saran dan kritik dari para pembaca untuk menyempurnaan
makalah ini.
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Di Indonesia korupsi, kolusi dan nepotisme bukan lagi sebuah fenomena biasa, bahkan bisa

dibilang sudah menjadi budaya yang sering terdengar di telinga kita. Korupsi, kolusi dan

nepotisme sering terdengar di telinga kita baik itu jajaran pemerintah pusat maupun di sekeliling

kita. Buktinya, media-media yang memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat

sering kali terdengar. Korupsi,kolusi, nepotisme akhir-akhir ini dianggap menjadi wujud paling

buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara

di negeri kita.

Pada era pemeritnahan transisi di bawah Presiden Bj Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi

istilah hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tangga 19 mei

1999 tentang “ penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme.” Didalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 Undang-Undang tersebut, pengertian dari

masing-masing istilah dimaksud dapat diketahui berikut: pertama, Korupsi adalah tindak pidana

sebagaimana dimaksud dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kedua, Kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama

secara melawan ukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan Pihak

lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.. ketiga, Nepotisme adalah setiap

perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan

keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
BAB II
Pembahasan

A. Definisi Korupsi
Makna Korupsi secara Etimologis dan Terminologis
1. Makna Korupsi secara Etimologis

Kata korupsi berasal dari Bahasa corruption atau corruptus. Kata ini sudah diapakai sejak

zaman filsuf Yunani. Aristoteles, salah seorang filsuf Yunani yang amat terkenal, telah memakai

kata tersebut dalam judul bukunya, yakni De Generatione et Corruption. Pemakaian kata ini

ditempatkan dalam konteks perubahan yang berisfat turunan. Jadi, secara semantis kata korupsi

tidak ada kaitannya dengan permainan kekuasaan, lebih lagi, uang, yang dalam korupsi keduanya

tidak terpisahkan.1

Pada tanggal 3 April 1887, Lord Acton dalam suratnya, menghubungkan korupsi dengan

kekuasaan, yakni “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.” Pernyataan

ini sangat penting karena, pertama, mengaitkan korupsi dengan kekuasaan. Kedua, terdapat

pergeseran makna kata korupsi dari yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles memakai

kata korupsi mengacu pada akibat dari perubahan, yakni penurunan. Sedangkan, kata korupsi

yang dipakai saat ini mengacu kepada sebab terjadinya penurunan.2

1
Suradi. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.
2
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta: Prenamedia
Group.
Kata corruptio atau corruptus yang merupakan asal kata korupsi memiliki arti yang

beragam, yakni “Tindakan yang merusak, atau menghancurkan.” Ketika digunakan sebagai kata

benda, korupsi berarti “sesuatau yang sudah hancur, sudah patah.” 3


Terdapat pula artian yang

menyatakan bahwa kata corruptio berarti “kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina

atau memfitnah.” Dengan memperhatikan berbagai kata yang terkait dengan makna korupsi

terlihat jelas bahwa kata korupsi bermakna sesuatu yang buruk, baik dalam bentuk kata maupun

tindakan karena dapat merusak atau menghancurkan masyarakat dan/atau negara.

Pemaknaan kata korupsi seperti ini tidak terlepas dari penempatan kata korupsi dalam

bingkai kekuasaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, korupsi muncul karena

penyalahgunaan kekuasaan. Semakin absolut suatu kekuasaan, maka semakin besar pula

peluangnya untuk korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan terikat dengan keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dan ketidakbermoralan yang melekat pada manusia sebagai agen yang bertindak

dalam masyarakat. Rangkaian kata-kata ini menunjukkan bahwa terdapat patokan moralitas

untuk melihatnya saat melabeli korupsi dengan berbagai istilah tersebut. Artinya, korupsi tidak

sekadar penyimpangan dalam bentuk kata-kata dan Tindakan, tetapi lebih dalam lagi, yakni

mengabaikan asas moralitas. Hal ini sejalan dengan pendapat John Nooman Jr. tentang empat

pengertian korupsi, yakni pertama, perbuatan tercela dan memalukan. Kedua, pelacuran atas

harta dan kekayaan. Ketiga, penghianatan atas kepercayaan rakyat. Keempat, melanggar

paradigma moral Ketuhanan Yang Maha Esa.4


3
Wattimena, dikutip dari Manik, Toba Sastrawan (2016) “PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP HUKUMAN
MATI BAGI KORUPTORDI INDONESIA (Studi Deskriptif Mahasiswa Angkatan 2012 Jurusan PPKn Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan).”
4
Binawan, dikutip dari Syakura, Abdan Muhammad (2015) “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ANAK (Kajian Buku Dongeng Tunas Integritas Komisi Pemberantasan
Korupsi)” Kementrian Agama RI, Sunan Kalijaga, Pascasarjana, Yogyakarta.
Kata corruptio masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa

Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam

pembendaharaan Indonesia menjadi korupsi. 5Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan

makna korupsi, yakni penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya). Kata-kata lain yang terkait dengan kata korupsi adalah korup yang berarti (1) buruk,

rusak, dan (2) suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok

(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapula, kata koruptif yang berarti bersifat

korupsi, dan kata koruptor yang artinya orang yang melakukan korupsi; orang yang

menyelewengkan (menggelapkan)uang negara (perusahaan) tempatnya bekerja.6

Kata korupsi dilawankan dengan kata integritas. Kata ini berasal dari kata interger yang

berarti tidak rusak, murni, utuh, jujur, dan dapat dipercaya atau diandalkan. Integritas sebagai

lawan dari kata korupsi mengacu pada integritas publik 7, yang berarti tindakan yang sesuai

dengan nilai, tujuan dan kewajibannya. Integritas publik juga dimaksudkan kualitas dari pejabat

publik yang sesuai nilai, standar, aturan moral yang diterima masyarakat. dalam arti sempit,

yakni tidak melakukan korupsi atau kecurangan.8

5
Suradi. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.

6
“Korupsi”. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 26 September 2020, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korupsi

7
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
8
Imbaruddin, Amir. 2015. ETIKA PUBLIK Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, korupsi bisa pula dipandang sebagai pengabaian integritas pubkik

sehingga pelayanan dan/atau cita-ciata yang diharapkan menjadi terganggu bahkan mengalami

kegagalan.

Gagasan ini selaras dengan pemikiran salah satu ahli yang mengartikan korupsi sebagai

penggunaan kekuasaan public untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan public adalah kekuasaan

yang diberikan oleh publik, baik berarti masyarakat ataupun organisiasi. Dengan itu, korupsi

dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk memenuhi kepentingan-

kepentingan privat.9

2. Makna Korupsi secara Terminologis

Makna korupsi tidak hanya dapat dikaji secara timologis, tetapi juga secara terminologis.

Kajian yang mengkaji masalah korupsi menunjukkan pemaknaan korupsi secara terminologis

sangat beragam. Gagasan ini dapat dicermati dari beberapa penjelasan ahli, sebagai berikut:

Wertheim (1977) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana
korupsi apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan untuk memengaruhinya
agar dia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah..10

Kartono (1983) menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara.11

9
Wattimena, dikutip dari Manik, Toba Sastrawan (2016) “PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP HUKUMAN
MATI BAGI KORUPTORDI INDONESIA (Studi Deskriptif Mahasiswa Angkatan 2012 Jurusan PPKn Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan).”
10
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta:
Prenamedia Group.
11
Ibid.,
Haryatmoko (2014) menyatakan bahwa korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai
upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan
informasi, keputusan, pengaruh, uang, atau kekayaan untuk kepentingan dirinya.12

Alatas (1999) menyatakan bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi
adalah penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan
untuk kepentingan pribadi.13

Berdasarkan gagasan-gagasan diatas, terlihat bahwa pengertian korupsi ialah beragam

dengan penekanan dan sudut pandang yang berbeda. Walaupun demikian, berbagai definisi

tersebut dapat dipadukan demi memberikan pemahaman mengenai makna terminologis korupsi

secara menyeluruh.

Sejalan dengan pemikiran diatas, Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari stau orang dalam suatu rangkaian kegiatan

yang terkait satu sama lainnya.

2) Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali di mana ia telah begitu

merajalela dan begitu berurat-berakar, sehingga individi-individu yang berkuasa dan

mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan

perbuatan mereka.

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal-balik.

12
Ibid.,
13
Alatas, dikutip dari, Farid R. Faqih,(2016) “Mendulang Rente di Lingkar Istana, Jurnal Ilmu Soisal Transformatif,
Wacana Korupsi Sengketa antara Negara dan Modal.”
4) Mereka yang mempratikkan cara-cara korupsi dalam mencapai tujuan biasanya

berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik kebenaran

hukum

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan

yang tegas dan mereka yang mampu untuk memengaruhi keputusan-keputusan

tersebut.

6) Setiap tindakan kotupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau

masyarakat umum.

7) Setiap bentuk korupsi melibatkan adalah penghianatan terhadap kepercayaan publik.

8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif bagi mereka yang

melakukan tindakan.

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban

dalam tatanan masyarakat.14

Ciri-ciri korupsi yang dikemukakan oleh Alatas ini sangatlah penting karena dapat

membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi.

B. Korupsi sebagai Konsep Payung

Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji karena dapat merugikan orang banyak. Oleh

karena itu banyak penelitian-penetian yang fokus mengkaji tentang korupsi ini. Saya satu

penelitinya ialah Aisha Varraich, ia datang dengan membawa pemikiran baru yakni Corrution:

An Umbrella Concept atau Korupsi Sebagai Konsep Payung. 15

14
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta:
Prenamedia Group.
15
Aiysha Varraich, “Corruption: an Umbrella oncept,” QoG Working Paper Series 2014:05 (June 2014) ISSN 1653-
8919
Korupsi sebagai konsep payung sebagai konsep payung untuk menunjukkan hubungan yang

dimiliki oleh kategori kemiripan keluarga seperti klientelisme, patronase, patrimonialisme,

partikularisme, dan perebutan negara. kelima hal tersebut adalah bentuk konseptualisasi dari

korupsi yang dibuat oleh Varraich. Ia menggambarkan korupsi sebagai konsep yaung dalam

bentuk diagram venn seperti berikut.16

Klientelis
me

Perebutan
Patronase
Negara

Korupsi

Patrikulari Patrikulari
sme sme

Konsep-konsep ini memiliki kemiripan seperti halnya keluarga dengan korupsi. Korupsi sebagai

konsep payung yang menghubungkan konsep klientelisme, patronase, perebutan negara,

partikularisme, dan patrimonialisme. Varraich menjabarkan pengertian dari konseptualisasi dari

bentuk-bentuk korupsi (klientelisme, patronase, patrimonialisme, perebutan bangsa/negara).

berikut ini adalh pengertian dari masing konsep menurut Varraich:17

16
Ibid,
17
Ibid,
1. Klientelisme

Klientelisme sama halnya dengan korupsi, yakni sama-sama memiliki citra yang negatif.

Klientelisme pertama kali hadir di negara-negara berkembang seperti Amerika Latin, negara-

negara di Asia Tenggara dan negara-negara dalam transisi.

Menurut Hopkin dalam Corruption: an Umbrella Concept klientelisme politik adalah distribusi

keuntungan selektif kepada individu atau kelompok yang jelas dalam pertukaran untuk dukungan

politik. Ada juga yang mendefinisikan klientelisme sebagai lembaga informal yakni hubungan

sosial berdasarkan aturan informal. Namun menurut Varraich, tidak ada defini tunggal yang

sepakati tentang apa itu klientelisme.

2. Patronase

Patronase adalah cara memerintah; sebuah alat pemilu atau instrumen untuk mengelola

hubungan politik. Definisi lain menyebutkan bahwa patronase adalah sumber daya organisasi

atau pemerintah atau cara politisi mendistribusikan barang publik atau bantuan khusus sebagai

imbalan atas dukungan pemilihan.

Patronase memiliki beberapa fungsi yakni mempertahankan organisasi partai yang aktif,

mempromosikan kohesi intra-partai, menarik pemilih dan pendukung, pembiayaan partai dan

calon-calonnya, mengadakan tindakan pemerintah yang menguntungkan, menciptakan disiplin

partai dalam pembuatan kebijakan. Patronase juga dapat dikatakan sebagai alat/sumber daya

elektoral.
3. Patrimonialisme

Patrimonialisme dibawa kembali ke dalam ilmu politik dan sosiologi oleh Roth dalam

usahanya untuk memeriksa istilah yang lebih tua untuk kegunaannya pada masa kini. Max

Weber mendefinisikan Patrimonialisme sebagai kasus khusus dominasi patriarki – otoritas yang

didesentralisasi melalui pemberian tanah dan kadang-kadang peralatan kepada anak-anak dari

rumah atau tanggungan lainnya.

Patrimonialisme adalah sebuah konsep yang terus-menerus digunakan seabgai sinonim, serta

dipertukarkan, dengan korupsi, terutama dalam konteks menjelaskan melekatnya korupsi di

benua Afrika. Beberapa ahli menyebut patrimonialisme sebagai teori korupsi yang dapat

menjelaskan korupsi dalam kaitannya dengan kekhususan sistem politik Afrika.

4. Perebutan Negara

Dari semua konsep diatas, konsep perebutan negara yang muncul paling akhir atau

termuda. Dan disebut sebagai korupsi paling jelas. Dimana definisinya dalah membentuk aturan

dasar permainan (yaitu aturan hukum, keputusan dan peraturan) melalui pembayaran pribadi

yang tidak sah dan tidak transparan kepada pejabat publik. Negara direbut melalui mekanisme

kebijakan yang didikte dan didukung oleh aktor swasta (perusahaan, elit lokal) dengan biaya

sosial yang signifikan; secara efektif ruang privat mendikte ruang publik. Namun apa yang masih

diperdebatkan adalah dimana garis ditarik antara berhenti menjadi proses demokrasi yang sehat

terhadap korupsi? Contoh yang banyak diperdebatkan adalah lobi sektor swasta di AS.
5. Partikularisme

Partikularisme adalah sistem yang mengutamakan kepentigan pribadi diatas kepentingan

umum atau aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang membandingkan daerah atau kelompok

sekunder khusus. Dalam masyarakat parrtikualisme ini serin terjadi pada mereka yang hanya

dapat memikirkan sirinya sendiri saja tanpa memperdulikan yang ada disekitarnya.

Partikularisme yang ada di masyarakat ini, secara sosialogi, sikap dan pandang partikularisme ini

cenderung memacu konflik apa bila kita hidu ditengah-tengah masyarakat yang majemuk dan

heterogen. Partikularisme juga dapat menghambat integrasi sosial dan nasional.18

C. Definisi Kolusi

Seperti halnya korupsi, kolusi juga perbuatan tercela yang dapat merugikan orang lain.

Budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi musuh segenap bangsa. Di Indonesia sendiri

KKN telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan bangsa dari upaya

mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar

kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo, dan anak-anak terlantar). Dalam

prakteknya KKN sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena

sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping itu sangat sulit

mendeteksinya dengan dasae-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan KKN ini

merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat

itu sendiri.

18
Mariyam, “ Dampak Budaya Partikularisme terhadap Tatanan Mayarakat Busak 1 Kecamatan Karamat dalam
Tinjauan Pendidikan Islam,” Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 3 (september 2020)
Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji dan persekongkolan. 19

Kolusi juga merupakan penyalahgunaan kedudukan, wewenang dan jabatan, untuk mewujudkan

maksud dan kepentingan sekelompok orang yang berkepentingan sama.

Istilah kolusi lebih sulit ditemukan dalam kamus politik, karena ia lebih merupakan

istilah makro ekonomi atau ekonomi politik. Secara singkat Paul A. Samuelson, dalam bukunya

yang kondang “economics” mendefinisikan sebagai “perjanjian di antarabeberapa perusahaan

untuk bekerja sama dalam menaikkan harga, membagi pasar yang berakibat membatasi

persaingan bebas.” Tindakan ini tidak melanggar hukum jika belum ada undang-undang yang

mengaturnya, seperti di Indonesia. Namun jelas perjanjian ini merugikan peusahaan lain dan

konsumen.

Dalam “Dictionary Modern Economics” (David W. Pearce, 1983) mendefinisikan kata

ini sebagai berikut:

Perjanjian antar perusahaan untuk bekerja sama, guna menghindari persaingan yang

saling merusak. Cara untuk mencapai kerjasama itu sejak dari perjanjian yang sifatnya

informal hingga yang rahasia atau sembunyi-sembunyi, mulai dari penggabungan

informasi umpannya, hingga pengaturan resmi dalam suatu organisasi kartel, dimana

sanksi dikenakan bagi yang melanggar.

Akan tetapi di Indonesia, pengertian kolusi yang beredar di masyarakat berbeda. Kolusi

di artikan sebagai persekongkolan yang sebenarnya tidak salah. Kolusi yang kita pahami adalah

pemegang kekuasaan atau jabatan, misalnya di pemerintahan, pengadilan atau perbankan dengan

19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., h.514
pengusaha atau manager perusahaan. Demikian pula pemberian proyek-proyek raksasa kepada

anak-anak pejabat. Dengan demikian kolusi adalah salah satu bentuk korupsi.20

D. Definisi Nepotisme

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”,

secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan

atau hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983).21

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti perilaku yang

memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; kecenderungan untuk

mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di

lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang

pemerintahan.22

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999

Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum

yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan

masyarakat, bangsa, dan negara.23

Secara umum praktik nepotisme diartikan sebagai perbuatan korupsi yang lebih memilih

saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan karena kemampuannya, namun bagi

masyarakat menengah kebawah, definisi tersebut kurang dipahami. Berdasarkan perspektif

masyarakat praktik nepotisme masih menjadi asing dan familiar bahkan ketidaktahuan

20
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosio-Kultural, Yogyakarta:
Aditya Media, 1999 h. 26
21
Taufan Lazuardi, Skripsi: Nepotisme Dalam Proses Rekrutmen dan Seleksi: Potensi dan Kelemahan, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2014), Hal. 2
22
Ibid.
23
Ibid.
masyarakat bila perbuatan praktik nepotisme merupakan perbuatan korupsi yang melanggar

norma hukum, sehingga perkembangan praktik nepotisme masih tumbuh subur ditengah

masyarakat, dan bahkan masyarakat menganggap hal tersebut sebagai kewajaran, karena

berlandaskan nilai toleransi, dan asas gotong royong.24

E. Definisi Patrimonilaisme

Patrimonialisme sesungguhnya merupakan bentuk kepemimpinan authoritarian, diktator,

di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal rule). Pemimpin

negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada kerabat

dan kroni dekatnya.25

Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang membuatnya jadi

pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern.

 Unsur pertama adalah klientisme. Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang

dibangun oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. dalam klientisme, penguasa

mencampuri atau mengintervensi wewenang legislatif ataupun yudikatif.

 Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik. dalam pemerintah patrimonial, batas

wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Kekaburan inilah yang menjadi sumber

maraknya korupsi di semua pemerintahan yang bergaya patrimonial.

 Unsur ketiga adalah kultur nonrasional. corak pemerintahan patrimonial mengembangkan

kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. penguasa

diberi bobot mistik yang lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural
24
Ayu Linanda, “Praktik Nepotisme Sebagai Perilaku Koruptif Dalam Membangun Budaya Anti Korupsi Berdasarkan
Perspektif Masyarakat Kampung Pelangi Kelurahan Sidodadi Kota Samarinda”, Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS”, Vol.
IV, No. I (Juni 2020), Hal. 44
25
Akbar Mahenra, Skripsi: Budaya Politik Patrimonialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten
Jeneponto, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014), Hal. 18-19
tertentu, atau keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang

wali. Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam.26

KESIMPULAN

Pengertian korupsi sangat beragam dengan penekanan dan sudut pandang yang berbeda.
Tindakan korupsi memiliki arti luas dan dapat dikategorikan berdasarkan sumber terjadinya
korupsi, lingkup tindakan korupsi, pelaku korupsi, serta korban dari tindakan korupsi dan

26
Ibid.
nilai/norma masyarakat yang dilanggar. Korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk,
antara lain kolusi, nepotisme, dan patrimonialisme.

Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999


Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan patrimonialisme merupakan bentuk kepemimpinan
authoritarian, diktator, di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara
(personal rule).

DAFTAR PUSTAKA
“Korupsi”. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 26 September 2020, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korupsi

Alatas, dikutip dari, Farid R. Faqih,(2016) “Mendulang Rente di Lingkar Istana, Jurnal Ilmu
Soisal Transformatif, Wacana Korupsi Sengketa antara Negara dan Modal.”

Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya.


Jakarta: Prenamedia Group.

Binawan, dikutip dari Syakura, Abdan Muhammad (2015) “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ANAK (Kajian Buku Dongeng Tunas Integritas
Komisi Pemberantasan Korupsi)” Kementrian Agama RI, Sunan Kalijaga, Pascasarjana,
Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., h.514

Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Imbaruddin, Amir. 2015. ETIKA PUBLIK Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
Golongan III. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Lazuardi, Taufan. Skripsi: Nepotisme Dalam Proses Rekrutmen dan Seleksi: Potensi dan
Kelemahan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2014)

Linanda, Ayu. “Praktik Nepotisme Sebagai Perilaku Koruptif Dalam Membangun Budaya Anti
Korupsi Berdasarkan Perspektif Masyarakat Kampung Pelangi Kelurahan Sidodadi Kota
Samarinda”, Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS”, Vol. IV, No. I (Juni 2020),

Mahenra, Akbar. Skripsi: Budaya Politik Patrimonialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah di
Kabupaten Jeneponto, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014)

Mariyam, “ Dampak Budaya Partikularisme terhadap Tatanan Mayarakat Busak 1 Kecamatan


Karamat dalam Tinjauan Pendidikan Islam,” Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 3 (september
2020)

Rahardjo, M. Dawam. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosio-
Kultural, Yogyakarta: Aditya Media, 1999

Suradi. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.

Varraich, Aiysha. “Corruption: an Umbrella oncept,” QoG Working Paper Series 2014:05 (June
2014) ISSN 1653-8919
Wattimena, dikutip dari Manik, Toba Sastrawan (2016) “PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP
HUKUMAN MATI BAGI KORUPTORDI INDONESIA (Studi Deskriptif Mahasiswa
Angkatan 2012 Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan).”

Anda mungkin juga menyukai