Disusun Oleh :
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di Indonesia korupsi, kolusi dan nepotisme bukan lagi sebuah fenomena biasa, bahkan bisa
dibilang sudah menjadi budaya yang sering terdengar di telinga kita. Korupsi, kolusi dan
nepotisme sering terdengar di telinga kita baik itu jajaran pemerintah pusat maupun di sekeliling
kita. Buktinya, media-media yang memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
sering kali terdengar. Korupsi,kolusi, nepotisme akhir-akhir ini dianggap menjadi wujud paling
buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara
di negeri kita.
Pada era pemeritnahan transisi di bawah Presiden Bj Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi
istilah hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tangga 19 mei
1999 tentang “ penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.” Didalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 Undang-Undang tersebut, pengertian dari
masing-masing istilah dimaksud dapat diketahui berikut: pertama, Korupsi adalah tindak pidana
mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kedua, Kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama
secara melawan ukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan Pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.. ketiga, Nepotisme adalah setiap
keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
BAB II
Pembahasan
A. Definisi Korupsi
Makna Korupsi secara Etimologis dan Terminologis
1. Makna Korupsi secara Etimologis
Kata korupsi berasal dari Bahasa corruption atau corruptus. Kata ini sudah diapakai sejak
zaman filsuf Yunani. Aristoteles, salah seorang filsuf Yunani yang amat terkenal, telah memakai
kata tersebut dalam judul bukunya, yakni De Generatione et Corruption. Pemakaian kata ini
ditempatkan dalam konteks perubahan yang berisfat turunan. Jadi, secara semantis kata korupsi
tidak ada kaitannya dengan permainan kekuasaan, lebih lagi, uang, yang dalam korupsi keduanya
tidak terpisahkan.1
Pada tanggal 3 April 1887, Lord Acton dalam suratnya, menghubungkan korupsi dengan
kekuasaan, yakni “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.” Pernyataan
ini sangat penting karena, pertama, mengaitkan korupsi dengan kekuasaan. Kedua, terdapat
pergeseran makna kata korupsi dari yang dikemukakan oleh Aristoteles. Aristoteles memakai
kata korupsi mengacu pada akibat dari perubahan, yakni penurunan. Sedangkan, kata korupsi
1
Suradi. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.
2
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta: Prenamedia
Group.
Kata corruptio atau corruptus yang merupakan asal kata korupsi memiliki arti yang
beragam, yakni “Tindakan yang merusak, atau menghancurkan.” Ketika digunakan sebagai kata
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina
atau memfitnah.” Dengan memperhatikan berbagai kata yang terkait dengan makna korupsi
terlihat jelas bahwa kata korupsi bermakna sesuatu yang buruk, baik dalam bentuk kata maupun
Pemaknaan kata korupsi seperti ini tidak terlepas dari penempatan kata korupsi dalam
bingkai kekuasaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, korupsi muncul karena
penyalahgunaan kekuasaan. Semakin absolut suatu kekuasaan, maka semakin besar pula
ketidakjujuran, dan ketidakbermoralan yang melekat pada manusia sebagai agen yang bertindak
dalam masyarakat. Rangkaian kata-kata ini menunjukkan bahwa terdapat patokan moralitas
untuk melihatnya saat melabeli korupsi dengan berbagai istilah tersebut. Artinya, korupsi tidak
sekadar penyimpangan dalam bentuk kata-kata dan Tindakan, tetapi lebih dalam lagi, yakni
mengabaikan asas moralitas. Hal ini sejalan dengan pendapat John Nooman Jr. tentang empat
pengertian korupsi, yakni pertama, perbuatan tercela dan memalukan. Kedua, pelacuran atas
harta dan kekayaan. Ketiga, penghianatan atas kepercayaan rakyat. Keempat, melanggar
Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam
makna korupsi, yakni penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan
sebagainya). Kata-kata lain yang terkait dengan kata korupsi adalah korup yang berarti (1) buruk,
rusak, dan (2) suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapula, kata koruptif yang berarti bersifat
korupsi, dan kata koruptor yang artinya orang yang melakukan korupsi; orang yang
Kata korupsi dilawankan dengan kata integritas. Kata ini berasal dari kata interger yang
berarti tidak rusak, murni, utuh, jujur, dan dapat dipercaya atau diandalkan. Integritas sebagai
lawan dari kata korupsi mengacu pada integritas publik 7, yang berarti tindakan yang sesuai
dengan nilai, tujuan dan kewajibannya. Integritas publik juga dimaksudkan kualitas dari pejabat
publik yang sesuai nilai, standar, aturan moral yang diterima masyarakat. dalam arti sempit,
5
Suradi. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.
6
“Korupsi”. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 26 September 2020, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korupsi
7
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
8
Imbaruddin, Amir. 2015. ETIKA PUBLIK Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, korupsi bisa pula dipandang sebagai pengabaian integritas pubkik
sehingga pelayanan dan/atau cita-ciata yang diharapkan menjadi terganggu bahkan mengalami
kegagalan.
Gagasan ini selaras dengan pemikiran salah satu ahli yang mengartikan korupsi sebagai
penggunaan kekuasaan public untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan public adalah kekuasaan
yang diberikan oleh publik, baik berarti masyarakat ataupun organisiasi. Dengan itu, korupsi
kepentingan privat.9
Makna korupsi tidak hanya dapat dikaji secara timologis, tetapi juga secara terminologis.
Kajian yang mengkaji masalah korupsi menunjukkan pemaknaan korupsi secara terminologis
sangat beragam. Gagasan ini dapat dicermati dari beberapa penjelasan ahli, sebagai berikut:
Wertheim (1977) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana
korupsi apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan untuk memengaruhinya
agar dia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah..10
Kartono (1983) menyatakan bahwa korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara.11
9
Wattimena, dikutip dari Manik, Toba Sastrawan (2016) “PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP HUKUMAN
MATI BAGI KORUPTORDI INDONESIA (Studi Deskriptif Mahasiswa Angkatan 2012 Jurusan PPKn Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan).”
10
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta:
Prenamedia Group.
11
Ibid.,
Haryatmoko (2014) menyatakan bahwa korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai
upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan
informasi, keputusan, pengaruh, uang, atau kekayaan untuk kepentingan dirinya.12
Alatas (1999) menyatakan bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi
adalah penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan
untuk kepentingan pribadi.13
dengan penekanan dan sudut pandang yang berbeda. Walaupun demikian, berbagai definisi
tersebut dapat dipadukan demi memberikan pemahaman mengenai makna terminologis korupsi
secara menyeluruh.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu:
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari stau orang dalam suatu rangkaian kegiatan
perbuatan mereka.
12
Ibid.,
13
Alatas, dikutip dari, Farid R. Faqih,(2016) “Mendulang Rente di Lingkar Istana, Jurnal Ilmu Soisal Transformatif,
Wacana Korupsi Sengketa antara Negara dan Modal.”
4) Mereka yang mempratikkan cara-cara korupsi dalam mencapai tujuan biasanya
hukum
tersebut.
6) Setiap tindakan kotupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum.
8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif bagi mereka yang
melakukan tindakan.
Ciri-ciri korupsi yang dikemukakan oleh Alatas ini sangatlah penting karena dapat
Korupsi merupakan tindakan yang tidak terpuji karena dapat merugikan orang banyak. Oleh
karena itu banyak penelitian-penetian yang fokus mengkaji tentang korupsi ini. Saya satu
penelitinya ialah Aisha Varraich, ia datang dengan membawa pemikiran baru yakni Corrution:
14
Atmadja. 2019. Sosiologi Korupsi : Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta:
Prenamedia Group.
15
Aiysha Varraich, “Corruption: an Umbrella oncept,” QoG Working Paper Series 2014:05 (June 2014) ISSN 1653-
8919
Korupsi sebagai konsep payung sebagai konsep payung untuk menunjukkan hubungan yang
partikularisme, dan perebutan negara. kelima hal tersebut adalah bentuk konseptualisasi dari
korupsi yang dibuat oleh Varraich. Ia menggambarkan korupsi sebagai konsep yaung dalam
Klientelis
me
Perebutan
Patronase
Negara
Korupsi
Patrikulari Patrikulari
sme sme
Konsep-konsep ini memiliki kemiripan seperti halnya keluarga dengan korupsi. Korupsi sebagai
16
Ibid,
17
Ibid,
1. Klientelisme
Klientelisme sama halnya dengan korupsi, yakni sama-sama memiliki citra yang negatif.
Klientelisme pertama kali hadir di negara-negara berkembang seperti Amerika Latin, negara-
Menurut Hopkin dalam Corruption: an Umbrella Concept klientelisme politik adalah distribusi
keuntungan selektif kepada individu atau kelompok yang jelas dalam pertukaran untuk dukungan
politik. Ada juga yang mendefinisikan klientelisme sebagai lembaga informal yakni hubungan
sosial berdasarkan aturan informal. Namun menurut Varraich, tidak ada defini tunggal yang
2. Patronase
Patronase adalah cara memerintah; sebuah alat pemilu atau instrumen untuk mengelola
hubungan politik. Definisi lain menyebutkan bahwa patronase adalah sumber daya organisasi
atau pemerintah atau cara politisi mendistribusikan barang publik atau bantuan khusus sebagai
Patronase memiliki beberapa fungsi yakni mempertahankan organisasi partai yang aktif,
mempromosikan kohesi intra-partai, menarik pemilih dan pendukung, pembiayaan partai dan
partai dalam pembuatan kebijakan. Patronase juga dapat dikatakan sebagai alat/sumber daya
elektoral.
3. Patrimonialisme
Patrimonialisme dibawa kembali ke dalam ilmu politik dan sosiologi oleh Roth dalam
usahanya untuk memeriksa istilah yang lebih tua untuk kegunaannya pada masa kini. Max
Weber mendefinisikan Patrimonialisme sebagai kasus khusus dominasi patriarki – otoritas yang
didesentralisasi melalui pemberian tanah dan kadang-kadang peralatan kepada anak-anak dari
Patrimonialisme adalah sebuah konsep yang terus-menerus digunakan seabgai sinonim, serta
benua Afrika. Beberapa ahli menyebut patrimonialisme sebagai teori korupsi yang dapat
4. Perebutan Negara
Dari semua konsep diatas, konsep perebutan negara yang muncul paling akhir atau
termuda. Dan disebut sebagai korupsi paling jelas. Dimana definisinya dalah membentuk aturan
dasar permainan (yaitu aturan hukum, keputusan dan peraturan) melalui pembayaran pribadi
yang tidak sah dan tidak transparan kepada pejabat publik. Negara direbut melalui mekanisme
kebijakan yang didikte dan didukung oleh aktor swasta (perusahaan, elit lokal) dengan biaya
sosial yang signifikan; secara efektif ruang privat mendikte ruang publik. Namun apa yang masih
diperdebatkan adalah dimana garis ditarik antara berhenti menjadi proses demokrasi yang sehat
terhadap korupsi? Contoh yang banyak diperdebatkan adalah lobi sektor swasta di AS.
5. Partikularisme
umum atau aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang membandingkan daerah atau kelompok
sekunder khusus. Dalam masyarakat parrtikualisme ini serin terjadi pada mereka yang hanya
dapat memikirkan sirinya sendiri saja tanpa memperdulikan yang ada disekitarnya.
Partikularisme yang ada di masyarakat ini, secara sosialogi, sikap dan pandang partikularisme ini
cenderung memacu konflik apa bila kita hidu ditengah-tengah masyarakat yang majemuk dan
C. Definisi Kolusi
Seperti halnya korupsi, kolusi juga perbuatan tercela yang dapat merugikan orang lain.
Budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi musuh segenap bangsa. Di Indonesia sendiri
KKN telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan bangsa dari upaya
mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar
kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo, dan anak-anak terlantar). Dalam
prakteknya KKN sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena
sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasae-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan KKN ini
merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu sendiri.
18
Mariyam, “ Dampak Budaya Partikularisme terhadap Tatanan Mayarakat Busak 1 Kecamatan Karamat dalam
Tinjauan Pendidikan Islam,” Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 3 (september 2020)
Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji dan persekongkolan. 19
Kolusi juga merupakan penyalahgunaan kedudukan, wewenang dan jabatan, untuk mewujudkan
Istilah kolusi lebih sulit ditemukan dalam kamus politik, karena ia lebih merupakan
istilah makro ekonomi atau ekonomi politik. Secara singkat Paul A. Samuelson, dalam bukunya
untuk bekerja sama dalam menaikkan harga, membagi pasar yang berakibat membatasi
persaingan bebas.” Tindakan ini tidak melanggar hukum jika belum ada undang-undang yang
mengaturnya, seperti di Indonesia. Namun jelas perjanjian ini merugikan peusahaan lain dan
konsumen.
Perjanjian antar perusahaan untuk bekerja sama, guna menghindari persaingan yang
saling merusak. Cara untuk mencapai kerjasama itu sejak dari perjanjian yang sifatnya
informasi umpannya, hingga pengaturan resmi dalam suatu organisasi kartel, dimana
Akan tetapi di Indonesia, pengertian kolusi yang beredar di masyarakat berbeda. Kolusi
di artikan sebagai persekongkolan yang sebenarnya tidak salah. Kolusi yang kita pahami adalah
pemegang kekuasaan atau jabatan, misalnya di pemerintahan, pengadilan atau perbankan dengan
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., h.514
pengusaha atau manager perusahaan. Demikian pula pemberian proyek-proyek raksasa kepada
anak-anak pejabat. Dengan demikian kolusi adalah salah satu bentuk korupsi.20
D. Definisi Nepotisme
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”,
secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti perilaku yang
lingkungan pemerintah; tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan.22
Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
Secara umum praktik nepotisme diartikan sebagai perbuatan korupsi yang lebih memilih
saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan karena kemampuannya, namun bagi
masyarakat praktik nepotisme masih menjadi asing dan familiar bahkan ketidaktahuan
20
M. Dawam Rahardjo, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosio-Kultural, Yogyakarta:
Aditya Media, 1999 h. 26
21
Taufan Lazuardi, Skripsi: Nepotisme Dalam Proses Rekrutmen dan Seleksi: Potensi dan Kelemahan, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2014), Hal. 2
22
Ibid.
23
Ibid.
masyarakat bila perbuatan praktik nepotisme merupakan perbuatan korupsi yang melanggar
norma hukum, sehingga perkembangan praktik nepotisme masih tumbuh subur ditengah
masyarakat, dan bahkan masyarakat menganggap hal tersebut sebagai kewajaran, karena
E. Definisi Patrimonilaisme
di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal rule). Pemimpin
negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada kerabat
Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang membuatnya jadi
Unsur pertama adalah klientisme. Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang
Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik. dalam pemerintah patrimonial, batas
wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Kekaburan inilah yang menjadi sumber
kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. penguasa
diberi bobot mistik yang lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural
24
Ayu Linanda, “Praktik Nepotisme Sebagai Perilaku Koruptif Dalam Membangun Budaya Anti Korupsi Berdasarkan
Perspektif Masyarakat Kampung Pelangi Kelurahan Sidodadi Kota Samarinda”, Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS”, Vol.
IV, No. I (Juni 2020), Hal. 44
25
Akbar Mahenra, Skripsi: Budaya Politik Patrimonialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten
Jeneponto, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014), Hal. 18-19
tertentu, atau keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang
wali. Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam.26
KESIMPULAN
Pengertian korupsi sangat beragam dengan penekanan dan sudut pandang yang berbeda.
Tindakan korupsi memiliki arti luas dan dapat dikategorikan berdasarkan sumber terjadinya
korupsi, lingkup tindakan korupsi, pelaku korupsi, serta korban dari tindakan korupsi dan
26
Ibid.
nilai/norma masyarakat yang dilanggar. Korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk,
antara lain kolusi, nepotisme, dan patrimonialisme.
DAFTAR PUSTAKA
“Korupsi”. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 26 September 2020, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korupsi
Alatas, dikutip dari, Farid R. Faqih,(2016) “Mendulang Rente di Lingkar Istana, Jurnal Ilmu
Soisal Transformatif, Wacana Korupsi Sengketa antara Negara dan Modal.”
Binawan, dikutip dari Syakura, Abdan Muhammad (2015) “PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ANAK (Kajian Buku Dongeng Tunas Integritas
Komisi Pemberantasan Korupsi)” Kementrian Agama RI, Sunan Kalijaga, Pascasarjana,
Yogyakarta.
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Imbaruddin, Amir. 2015. ETIKA PUBLIK Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
Golongan III. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Lazuardi, Taufan. Skripsi: Nepotisme Dalam Proses Rekrutmen dan Seleksi: Potensi dan
Kelemahan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2014)
Linanda, Ayu. “Praktik Nepotisme Sebagai Perilaku Koruptif Dalam Membangun Budaya Anti
Korupsi Berdasarkan Perspektif Masyarakat Kampung Pelangi Kelurahan Sidodadi Kota
Samarinda”, Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS”, Vol. IV, No. I (Juni 2020),
Mahenra, Akbar. Skripsi: Budaya Politik Patrimonialisme Dalam Pemilihan Kepala Daerah di
Kabupaten Jeneponto, (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2014)
Rahardjo, M. Dawam. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN): Kajian Konseptual dan Sosio-
Kultural, Yogyakarta: Aditya Media, 1999
Varraich, Aiysha. “Corruption: an Umbrella oncept,” QoG Working Paper Series 2014:05 (June
2014) ISSN 1653-8919
Wattimena, dikutip dari Manik, Toba Sastrawan (2016) “PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP
HUKUMAN MATI BAGI KORUPTORDI INDONESIA (Studi Deskriptif Mahasiswa
Angkatan 2012 Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan).”