Anda di halaman 1dari 29

STUDI KASUS SOSIAL

KORUPSI

Diajukan untuk memenuhi ketuntasan pembelajaran pada


Mata pelajaran Pendidikan Pancasila
Di SMK Negeri 1 Kota Sukabumi

Guru Pengampu : Rizal Nurhidayat, S.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Kelas 11 GEO 2

PENDIDIKAN PANCASILA

SMK NEGERI 1 KOTA SUKABUMI

TAHUN 2023
PENYUSUN

1. ANGGOTA KELOMPOK KE-1 HAZWAN GEMPAR GUNARTO

2. ANGGOTA KELOMPOK KE-2 RIFAL RIZKY ALAMSYAH

3. ANGGOTA KELOMPOK KE-3 SHERA MAKAYLA H

4. ANGGOTA KELOMPOK KE-4 M. ALWY RAIHAN

5. ANGGOTA KELOMPOK KE-5 M. FIQRI AKMAL P

6. ANGGOTA KELOMPOK KE-6 M. YUSUP RIDWAN

7. ANGGOTA KELOMPOK KE-7 ZAQRA REVANSYAH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan studi kasus
mata pelajaran Pendidikan Pancasila yang bertemakan
“KORUPSI” ini dengan baik.

Studi kasus Pendidikan Pancasila ini berisi


keseluruhan mengenai permasalahan korupsi di Indonesia yang
dilaksanakan oleh kelompok 3 kelas 11 GEO 2, SMKN 1 Kota
Sukabumi.

Terselesaikannya studi kasus ini tentu tidak lepas


dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Rizal Nurhidayat, S.Pd sebagai guru pengampu


mata pelajaran Pendidikan Pancasila.
2. Rekan-rekan serta semua pihak-pihak yang telah
memberi dorongan moril Berharga kepada kami selaku
penulis makalah ini.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata


pelajaran Pendidikan Pancasila, selain itu kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat
untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Semoga dengan kami membuat makalah ini dapat


bermanfaat, khususnya bagi kami selaku penyusun makalah.

Sukabumi, 14 November 2023

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR------------------------------------------i

DAFTAR ISI----------------------------------------------ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG-------------------------------------1
B. RUMUSAN MASALAH------------------------------------2

BAB II STUDI KASUS

A. DEFINISI KORUPSI-----------------------------------3-5
B. SEJARAH KORUPSI-----------------------------------6-13
C. KORUPSI MASA KINI--------------------------------14-16
D. SEBAB DAN AKIBAT KORUPSI-------------------------17-19
E. SOLUSI MENGATASI KORUPSI-------------------------20-22

BAB III PENUTUP

A. SIMPULAN-------------------------------------------23

DAFTAR PUSAKA-------------------------------------------24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi adalah tindakan tidak jujur yang melibatkan


penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk mendapatkan
keuntungan bagi pribadi atau orang lain. Korupsi dapat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau


corruptus yang memiliki arti beragam seperti kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.

Korupsi pada dasarnya memiliki lima komponen,


yaitu: 1) Korupsi adalah suatu perilaku, 2) Korupsi
melibatkan dua pihak atau lebih, 3) Korupsi melibatkan
kekuasaan atau jabatan, 4) Korupsi melibatkan keuntungan
pribadi, dan 5) Korupsi melibatkan kerugian bagi pihak
lain atau masyarakat.

Korupsi dapat dibagi menjadi beberapa jenis,


seperti penyuapan, kolusi, nepotisme, dan lain-lain.
Untuk memberantas korupsi, diperlukan upaya yang sistemik
dan konsolidatif dengan mengintegrasikan semua sumber
daya dan modal sosial yang ada secara paripurna.
B. Rumusan Masalah

Makalah ini mengandung pembahasan mengenai korupsi


yang terjadi di Indonesia. Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:

1. Bagaimana sejarah korupsi yang terjadi di


Indonesia?
2. Apa penyebab atau dorongan sehingga terjadi atau
adanya korupsi di Indonesia?
3. Apa saja akibat dari adanya korupsi ini?
4. Upaya apa yang dapat dilakukan agar terhindar dari
perbuatan korupsi?
5. Bagaimana langkah pemerintah dalam mengatasi
permasalahan korupsi di Indonesia?
BAB II

STUDI KASUS

A. DEFINISI KORUPSI

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),


korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio


atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni
tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga
diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.

Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi


kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi
corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke
dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.

Definisi lainnya dari korupsi disampaikan World


Bank pada tahun 2000, yaitu “korupsi adalah
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan
pribadi". Definisi World Bank ini menjadi standar
internasional dalam merumuskan korupsi.
Pengertian korupsi juga disampaikan oleh Asian
Development Bank (ADB), yaitu kegiatan yang melibatkan
perilaku tidak pantas dan melawan hukum dari pegawai
sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri
dan orang-orang terdekat mereka. Orang-orang ini, lanjut
pengertian ADB, juga membujuk orang lain untuk melakukan
hal-hal tersebut dengan menyalahgunakan jabatan.

Dalam Pasal 8 UN Convention Against Transnational


Organized Crime and The Protocol Thereto yang digagas
Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations
Office on Drugs and Crime-UNODC), korupsi memiliki dua
definisi.

Pertama, korupsi adalah menjanjikan, menawarkan,


atau memberikan kepada pejabat publik, baik secara
langsung maupun tidak langsung, suatu keuntungan yang
tidak semestinya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak
atau tidak bertindak dalam menjalankan tugas resminya

Kedua, korupsi adalah permintaan atau penerimaan


oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung,
untuk keuntungan yang tidak semestinya, baik untuk
pejabat itu sendiri maupun orang atau badan lain, agar
pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak dalam
atau tidak bertindak dalam pelaksanaan tugas resminya.

UNODC dalam situsnya menyebut korupsi adalah


fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks.
Korupsi, ujar UNODC, telah merendahkan institusi
demokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan
menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan.
Indonesia sendiri melalui UU No. 31 Tahun 1999 yang
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengelompokkan
korupsi ke dalam 7 jenis utama. Ketujuh jenis tersebut
adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Untuk memahami istilah korupsi lebih mendalam


berikut beberapa definisi menurut para ahli:

A. Robert Klitgaard, "Korupsi adalah tingkah laku yang


menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan
negara karena keuntungan status atau uang yang
diinginkan"- Klitgaard, R. (1988). Controlling
Corruption. University of California Press.

B. Jeremy Pope mengartikan korupsi sebagai perilaku


yang dilakukan oleh pejabat, yang secara tidak
wajar dan tidak sah membuat diri mereka serta orang
lain mendapatkan keuntungan dengan menyalahgunakan
- Pope, J. (2000). Confronting Corruption: The
Elements of a National Integrity System.
Transparency International.

C. Danang mendefinisikan korupsi sebagai sebuah bentuk


tindakan yang bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri, orang lain ataupun korporasi - Danang, S.
(2012). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan
Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
B. SEJARAH KORUPSI

a) Korupsi pada masa kerajaan dan masa penjajahan

korupsi di Indonesia sudah ada sejak masa kerajaan,


dimana pungutan berupa pajak atau upeti yang memaksa
rakyat adalah salah satu yang paling menonjol.

Teori mengenai genealogi korupsi di Kepulauan


Nusantara memang beragam. Versi paling populer adalah VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia
Belanda) mengajari masyarakat untuk korupsi di segala
bidang. Bahkan, ada ejekan yang menyebut VOC, perusahaan
multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke
abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur
karena korupsi).

Namun, sejarawan alumnus Universitas Indonesia,


Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah
Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar
sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut
pajak dari rakyat yang masih buta huruf.
Kelompok petugas pajak yang disebut mangilala drwya
haji ini disebut dalam prasasti awal abad ke-9 pada tahun
741 Caka atau 819 Masehi dalam buku Peradaban Jawa karya
Supratikno Raharjo. Sejarawan Onghokham dalam buku Dari
Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong juga menyoal petani yang
sering menjadi sasaran penyelewengan para mangilala drwya
haji.

Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada


masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa
mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya
20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda).
Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat
lokal dari desa hingga kabupaten.

Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada,


menceritakan, salah satu teori genealogi korupsi
Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer
fasis Jepang. Didi, mengutip sejarawan National
University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim
kekuasaan Jepang yang militeristik mempekerjakan aparatur
lokal yang berkemampuan rendah dan serakah. Akibatnya,
korupsi, pasar gelap, dan pelbagai penyimpangan terjadi
secara marak meski jika ketahuan akan dihukum keras pihak
Jepang. Akhirnya mereka dan sistem yang sudah rusak itu
turut berkuasa pada era Republik Indonesia pasca 1945.
b) Korupsi pada masa orde lama

Meski Indonesia baru merdeka namun masalah korupsi


sudah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia di era
Orde Lama, beberapa kasus korupsi diantaranya: pada tahun
1961 terungkap sebuah kasus korupsi yang melibatkan
Yayasan Masjid Istiqlal, pada tahun 1962, terungkap
sebuah kasus korupsi dalam pembangunan "Press House".

Pada masa ini kebanyakan terjadi karena banyak


orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang
memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan di era
Orde Lama, kondisi Indonesia yang masih baru merdeka
menyebabkan sistem pemerintahan yang ada di Indonesia
masih kurang stabil.

Pada masa ini, di bawah kepemimpinan Sukarno,


tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan
Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Adapun perangkat hukum yang
digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya dengan
produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling
Aparatur Negara). Badan ini dipimpin oleh AH Nasution dan
dibantu oleh 2 orang anggota yakni Prof M Yamin dan
Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para


pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang
disediakan, istilah sekarang adalah daftar kekayaan
pejabat negara. Dalam perkembangannya ternyata mendapat
reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar
formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan tetapi
langsung kepada presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena


kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi
lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali
pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun


1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan.
Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu
oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat,
yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah


Operasi Budhi di mana sasarannya adalah perusahaan-
perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi
Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk
menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke
luar negeri, sementara direksi yang lain menolak
diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi


dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebanyak
kurang lebih Rp 11 miliar, suatu jumlah yang cukup banyak
untuk ukuran pada saat itu. Karena dianggap mengganggu
prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Menurut Soebandrio dalam pertemuan di Bobor, prestise
Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio


mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian
diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno
menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Dalam hal ini, KOTRAR memiliki tugas memupuk,
memelihara serta mengusahakan agar alat-alat revolusi
mendapatkan hasil yang efektif serta efisien dalam
kegiatan untuk mencapai tujuan dari revolusi Indonesia.

Pada akhirnya badan-badan pemberantasan korupsi


yang dibentuk oleh pemerintah era Orde Lama mengalami
kebuntuan dan tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik
dikarenakan kurang maksimalnya badanbadan pemberantasan
korupsi yang dibentuk dan kurangnya dukungan yang didapat
oleh badan-badan tersebut dalam menjalankan tugasnya.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa
itu akhirnya mengalami stagnasi.
c) Korupsi pada masa orde baru

Pada masa Orde Baru, pola pemerintahan yang


melindungi kruptor dapat dipahami dengan jelas melalui
pendekatan ekonomi politik korupsi.

Meskipun era Orde Lama telah berakhir dan diganti


dengan era Orde Baru, korupsi masih sering terjadi di
dalam masyarakat, beberapa kasus korupsi yang terjadi di
era Orde Baru diantaranya: pada 22 September 1977
terdapat sebuah kasus korupsi yang terjadi dalam Lembaga
Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), pada 27 Maret 1968,
terdapat sebuah kasus korupsi yang sangat besar dalam BNI
Unit II yang berada di jalan Nusantara 18 Jakarta, dan
masih banyak lagi.

Tindakan korupsi yang terjadi di era Orde Baru


kebanyakan disebabkan banyaknya pemegang jabatan dari
suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang
memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi. Dalam kasus-kasus korupsi di era Orde
Baru, tidak hanya kekayaan saja yang dicari oleh para
koruptor namun kekuasaan serta jabatan menjadi hal yang
sangat dicari.

Upaya yang dilakukan Pemerintah era Orde Baru dalam


menangani korupsi adalah dengan membentuk badan-badan
anti korupsi. Badan pemberantasan korupsi yang pertama
dibentuk di era Orde Baru adalah Team Pemberantasan
Korupsi yang disingkat TPK. TPK dibentuk melalui
Keputusan Presiden RI Nomor 228 Tahun 1967 pada tanggal 2
Desember 1967. Tugas dari TPK adalah membantu Pemerintah
dalam memberantas perbuatan korupsi secara cepat dengan
tindakan represif dan preventif

Tiga tahun setelah dibentuknya TPK, Presiden


Soeharto kembali mengeluarkan Kepres Nomor 12 Tahun 1970
pada tanggal 31 Januari 1970 yang berisi tentang
pembentukan Komisi IV. Di hari yang sama juga dikeluarkan
Kepres Nomor 13 Tahun 1970 tentang Pengangkatan Drs. Moh.
Hatta sebagai Penasehat Presiden sekaligus juga sebagai
Penasehat Komisi IV. Alasan dibentuknya Komisi IV adalah
agar segala usaha pemberantasan korupsi dapat lebih
efektif dan efisien sehingga perlu diadakan tindakan
lanjutan dari hasil-hasil yang telah dicapai

Meskipun berhasil menyelamatkan keuangan negara


hingga milyaran rupiah, namun lama kelamaan kinerja dari
TPK maupun Komisi IV mengalami penurunan. Hal tersebut
terjadi karena bukti-bukti kasus korupsi sulit untuk
didapat. Semakin banyaknya penyelewengan - penyelewengan
yang terjadi pada masa itu.

Di era Orde Baru meskipun pemerintah telah


melakukan berbagai macam upaya dalam mengatasi korupsi
yang terjadi namun jika dalam hal pelaksanaannya masih
belum bisa dilakukan dengan baik maka upaya pemberantasan
korupsi yang dilakukan pada akhirnya tidak berjalan
secara maksimal, disebabkan oleh pengelolaan negara serta
sistem pemerintahan era Orde Baru yang harus disesuaikan
dengan kepentingan dari penguasa pemerintahan. Pada
akhirnya, upaya pemberantasan korupsi hanya dijadikan
alat politik untuk mendapatkan dukungan serta simpati
dari rakyat.

d) Korupsi pada masa reformasi

Setelah berakhirnya era Orde Baru di era Reformasi


Indonesia dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie. Upayaupaya
yang dilakukan pemerintah era Reformasi dalam mengatasi
korupsi adalah dengan mengeluarkan undangundang anti
korupsi serta membentuk badan-badan anti korups. Badan
anti korupsi yang dibentuk bernama Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara yang disingkat KPKPN.
Dibentuknya KPKPN melalui Keputusan Presiden Nomor 127
Tahun 1999 pada tanggal 13 Oktober 1999.

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh KPKPN adalah


melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan yang dimiliki
Penyelenggara Negara untuk mencegah terjadinya tindakan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Akhirnya lama kelamaan badan
pemberantasan korupsi ini digabung bersama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi pada 29 Juni 2004.

Setelah pemerintahan Habibie digantikan oleh Abdurrahman


Wahid, Pemerintah kembali membentuk sebuah badan pemberantasan
korupsi yang bernama Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang disingkat TGPTPK.. Tugas serta wewenang yang
dimiliki oleh TGPTPK adalah koordinasi penyidikan kasus
serta tindakan korupsi dan koordinasi penuntutan tindakan
korupsi.
Pada akhirnya badan pemberantasan korupsi ini tidak
bisa berjalan dengan baik karena dalam melakukan
penyelidikan dalam mengungkap kasus korupsi, TGPTPK
mengalami masalah dalam hal perizinan untuk melakukan
penyitaan serta penggeledahan dalam mengungkap kasus
korupsi yang terjadi.

Pada tahun 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri


membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah dibentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi, banyak kasus-kasus korupsi
yang berhasil dibongkar oleh KPK. Bahkan KPK bisa
dibilang sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang
paling berhasil dibandingkan dengan lembaga atau badan
pemberantasan korupsi yang sebelumnya.

Seiring berkembangnya Negara Indonesia, upaya serta


hasil pemberantasan korupsi yang dilakukan juga semakin
berkembang pada tiap zaman. Tugas dari pemberantasan
korupsi tidak hanya tugas dari badan pemberantasan
korupsi saja, namun dukungan serta kerjasama masyarakat
yang anti korupsi juga sangat berpengaruh dalam suksesnya
upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan.

Upaya pemberantasan korupsi di era Reformasi


mengalami banyak kemajuan dibandingkan dengan eraera
sebelumnya. Jika di era sebelumnya upaya pemberantasan
korupsi mengalami kegagalan maka di era Reformasi,
pemberantasan korupsi terutama yang dilakukan oleh KPK
mengalami banyak kemajuan. Banyak dari kasus-kasus
korupsi yng berhasil ditangani dan diselesaikan oleh KPK.

Maka dari itu, hal ini membuktikan keseriusan KPK


dalam menangani kasus korupsi dan tidak memandang jabatan
atau posisi yang dimiliki oleh para pelaku korupsi.
Keseriusan KPK dalam menagani korupsi di Indonesia
membuat masyarakat mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh KPK.

C. KORUPSI MASA KINI

Korupsi di Indonesia saat ini masih menjadi masalah


yang serius dan merugikan banyak pihak. Meskipun upaya
pemberantasan korupsi sudah dilakukan melalui berbagai
cara, korupsi masih terjadi dengan berbagai cara yang
semakin canggih.

Korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan


luar biasa karena daya rusaknya yang besar dan telah
merusak nilai-nilai, integritas, dan identitas suatu
bangsa.

Korupsi pada berbagai sektor telah menyebabkan


kerugian negara yang besar yang sebanding dengan
penurunan kesejahteraan masyarakat
Korupsi juga menjadi salah satu dari tiga problem
besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, selain
inefisiensi birokrasi dan ketertinggalan infrastruktur.

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menangani


ribuan kasus korupsi sejak awal pembentukannya hingga
saat ini. Para pelaku korupsi yang ditangkap KPK tidak
jarang adalah figur-figur penting di pemerintahan, mulai
dari gubernur hingga Menteri.

Hukuman bagi koruptor di Indonesia diatur dalam


Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan pelaku korupsi dihukum dengan
berat.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa beliau


melihat kondisi korupsi di Indonesia saat ini yang belum
memperlihatkan kemajuan yang berarti. Dalam pemberitaan
di media massa, baik media cetak, elektronik, sampai
media sosial, mempertontonkan kepada masyarakat Indonesia
perilaku korup para penyelenggara negara, bagaimana
mereka merampok uang rakyat, melakukan suap maupun
gratifikasi, dengan tidak memperlihatkan sikap
penyesalan.

Meskipun upaya pemberantasan korupsi sudah


dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai
pihak, belum terlihat adanya kecenderungan penurunan
perilaku korupsi di Indonesia.
D. SEBAB DAN AKIBAT KORUPSI

a) FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor


seperti berikut:

1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-


posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

2. Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika.

3. Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah


asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi.

4. Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan.

5. Kemiskinan yang bersifat struktural.

6. Sanksi hukum yang lemah.

7. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi.

8. Struktur pemerintahan yang lunak.

9. Perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan


mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit
tradisional.

10. Kondisi masyarakat karena korupsi dalam suatu


birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyrakat
secara keseluruhan.

b) DAMPAK KORUPSI

Korupsi memiliki berbagai dampak di berbagai


sektor dan aspek kehidupan masyarakat terutama di
Indonesia, berikut beberapa dampak korupsi diantaranya
sebagai berikut:

1. Bahaya Korupsi Terhadap Masyarakat Dan Individu.

Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu


Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela
dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka
akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai
masyarakat yang kacau tidak ada sistem sosial yang
dapat berlaku dengan baik.

Setiap individu dalam masyarakat hanya akan


mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan
selfishness. Tidak akan ada kerja sama dan
persaudaraan yang tulus. Korupsi juga membahayakan
terhadap standar moral dan intelektual masyarakat.
Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama
atau kemulyaan dalam masyarakat.
Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi
menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan
diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan
hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata-
mata. Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta
demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban
demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus
menurun dan mungkin akan hilang.

2. Bahaya Korupsi Terhadap Generasi Muda

Salah satu efek negatif yang paling berbahaya


dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya
generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah
menjadi makanan sehari-hari, anak tumbuh dengan
pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan
menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau
bahkan budaya), sehingga perkembangan pribadinya
menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak
bertanggung jawab.

3. Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi Bangsa

Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu


bangsa. Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat
dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk
kelulusan projek, nepotismedalam penunjukan
pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya
dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek
tersebut tidak akan tercapai.
E. SOLUSI MENGATASI KORUPSI
Cara mengatasi korupsi atau pencegahan dan
penanggulangannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Cara
mengatasi korupsi membutuhkan strategi yang komprehensif
untuk meminimalkan faktor penyebab korupsi. Strategi cara
mengatasi korupsi di antaranya mencakup aspek preventif,
detektif, dan represif yang dilakukan secara intensif dan
terus menerus. Menurut bpkp.go.id, strategi cara
mengatasi korupsi adalah sebagai berikut:

1) Strategi Preventif
Cara mengatasi korupsi yang pertama yaitu
menggunakan strategi preventif. Hal ini dialkukan untuk
mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan
atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang
terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan
dengan:

 Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat


 Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di
bawahnya
 Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi
Profesi dan Asosiasi Bisnis
 Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara
berkelanjutan
 Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan
peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri
 Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan
laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah
 Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian
manajemen.

2) Strategi Detektif

Strategi detektif merupakan cara mengatasi korupsi


yang diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan
korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan:

 Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari


masyarakat
 Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan
tertentu
 Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi
publik
 Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan
anti pencucian uang di masyarakat internasional
 Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional
 Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak
pidana korupsi
3) Strategi Represif

Strategi represif adalah cara mengatasi korupsi


yang diarahkan untuk menangani atau memproses
perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Strategi represif dapat
dilakukan dengan:

 Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi


 Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman
koruptor besar (Catch some big fishes)
 Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi
yang diprioritaskan untuk diberantas
 Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara
korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus
menerus
 Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan
tindak pidana korupsi secara terpadu
 Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta
analisisnya
 Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara
tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik
umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan


represif sebagai cara mengatasi korupsi akan memakan
waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen
bangsa, baik legislatif, eksekutif, maupun judikatif.
Selain itu, upaya yang bisa segera dilakukan sebagai
cara mengatasi korupsi antara lain adalah dengan
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem
pengawasan internal, maupun pengawasan fungsional,
yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat dan
pengawasan legislatif.

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Korupsi di Indonesia tetap menjadi permasalahan


serius yang melibatkan sektor-sektor kunci seperti
pemerintahan, bisnis, dan masyarakat.
Penegakan hukum seringkali menghadapi kendala,
termasuk lemahnya lembaga penegak hukum, lambannya proses
peradilan, dan lainnya. Selain itu, kurangnya
transparansi dalam pengelolaan keuangan publik dan proses
pengambilan keputusan menciptakan lingkungan yang rentan
terhadap praktik korupsi.

Praktik korupsi juga meluas di berbagai tingkatan


pemerintahan, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.
Hal ini dapat merugikan perekonomian, menghambat
pembangunan, dan merugikan kepentingan masyarakat secara
umum. Oleh karena itu, perubahan institusi menjadi kunci
penting untuk memberantas korupsi secara menyeluruh.

Dalam rangka mengatasi korupsi, diperlukan upaya


yang menyeluruh, termasuk peningkatan transparansi,
penguatan lembaga penegak hukum, pembentukan mekanisme
pengawasan yang efektif, serta pendidikan dan kesadaran
masyarakat mengenai dampak negatif korupsi. Kesadaran dan
partisipasi aktif masyarakat juga dapat menjadi kekuatan
dalam mendorong perubahan positif dan memastikan
pertanggungjawaban di semua tingkatan pemerintahan.

DAFTAR PUSAKA

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220411-
mengenal-pengertian-korupsi-dan-antikorupsi

https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-
publikasi/berita-terbaru/3026-tindak-pidana-korupsi-
pengertian-dan-unsur-unsurnya.html
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5803362/korupsi-
pengertian-jenis-dan-cara-memberantasnya

https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf

https://www.kompas.com/skola/read/2023/07/25/070000869/
pengertian-korupsi-menurut-para-ahli-dan-ciri-cirinya?
page=all

https://www.merdeka.com/jatim/pengertian-korupsi-dan-
penyebabnya-penting-dipelajari-kln.html

https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jmm/
article/viewFile/552/518

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220411-
mengenal-pengertian-korupsi-dan-antikorupsi

http://repository.untag-sby.ac.id/9149/4/Bab%20II.pdf

https://www.bola.com/ragam/read/5048181/pengertian-korupsi-
menurut-para-ahli-ketahui-penyebabnya

https://www.liputan6.com/hot/read/4730252/pengertian-
korupsi-menurut-para-ahli-penyebab-dan-dampaknya

Anda mungkin juga menyukai