Anda di halaman 1dari 4

Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1965-1999)

Pada masa awal kemerdekaan, lembaga legislatif Indonesia bukanlah lembaga yang mandiri,
melainkan yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda demi kepentingan mereka sendiri.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, lembaga legislatif masih bersifat sementara
seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu bernama Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Namun dalam perkembangannya, fungsi KNIP mampu menjelma menjadi lembaga
legislatif yang memiliki kewenangan dalam proses legislasi. Indonesia baru memiliki lembaga
perwakilan yang terdiri dari wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum sejak tahun
1955. Selama kurun waktu 1945-1955, wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) merupakan cermin keterwakilan yang tidak sesungguhnya. Hal ini
dikarenakan para anggota DPR dipilih berdasarkan komposisi kekuatan partai politik yang
dinegosiasikan. Namun DPR hasil Pemilu 1955 pun tidaklah berhasil menghasilkan sebuah lembaga
perwakilan yang diinginkan oleh masyarakat. Berbagai kepentingan politik yang kental selalu
menghiasi kinerja DPR sehingga kerapkali berbagai kebijakan mengalami kebuntuan. Akibat
kebuntuan politik tersebut, di tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
yang salah satu isinya adalah membekukan Konstituante. Sejak saat itulah masa pemerintahan
Demokrasi Terpimpin dimulai. Lembaga legislatif tidak lagi memiliki kemandirian, melainkan
memiliki ketergantungan yang kental terhadap eksekutif. Pemilihan anggota DPR-GR pun
tergantung dari keinginan dan kemauan Presiden. Paska peristiwa Gerakan 30 September
1965, situasi politik yang panas juga mempengaruhi situasi di dalam lembaga legislatif. Namun
sejak saat itu, kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari
lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru, lembaga legislatif
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan lembaga legislatif yang didominasi oleh kekuatan
politik yang mendukung pemerintah tidak memiliki daya kritis terhadap lembaga eksekutif.
Bahkan lembaga legislatif cenderung hanya menjadi stempel dari setiap kebijakan eksekutif.

Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saat
itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) menyebutkan, Sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional.

Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang


mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) dimulailah lembaran pertama sejarah
MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar
Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik
Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih
anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata
menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959
Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai
kesepakatan di antara anggota Konstituante.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekret Presiden yang berisikan:

Pembubaran Konstituante, Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara
1950, Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekret Presiden 5 Juli
1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur
Pembentukan MPRS sebagai berikut:

MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah
dan golongan-golongan. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.Yang dimaksud dengan
daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya. Anggota
tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan
Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.

MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.Jumlah
anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960
berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118
Utusan Daerah.

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa G-30-S. Dalam rangka pembersihan keanggotaan
MPRS dari unsur PKI, yang dituduh sebagai dalang, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat,
maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil
Pemilihan Umum terbentuk.

Masa Reformasi (1999-sekarang)

Namun sejak reformasi tahun 1999, kehidupan politik yang jauh lebih terbuka dengan sistem
pemerintahan yang juga lebih aspiratif, lembaga legislatif mengalami banyak perubahan
baik secara kelembagaan ataupun fungsi dan kewenangan yang dimiliki. Perubahan tersebut
salah satunya adalah menghasilkan lembaga baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) sebagai cerminan wakil berdasarkan asas kewilayahan. Sementara itu, bila melihat
perkembangan politik lokal yang semakin dinamis belakangan ini, lembaga legislatif pun juga
mengalami hal yang sama. Pada era pemerintahan Orde Baru lembaga legislatif di tingkat
lokal mengalami hal yang sama dengan yang berada di tingkat pusat. Namun perkembangan
positif terjadi setelah reformasi, manakala kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) menjadi lebih berarti. Bahkan belakangan ini dengan masuknya era pemilihan secara
langsung, DPRD pun dituntut untuk jauh lebih terbuka dan transparan menyangkut pertanggung
jawaban kinerja kepada masyarakat.Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi
telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai
lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya
dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang
melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan
ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR
yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga
sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”, setelah perubahan Undang-Undang Dasar
diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh
sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang
ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum
maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh
karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar
mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Kinerja DPD RI Di era Reformasi

Pada awal rencana pembentukannya, DPD dimaksudkan sebagai salah satu kamar lain di parlemen di
samping DPR. Jika saja itu terwujud, niscaya parlemen Indonesia sudah mengadopsi sistem
bikameral (system parlemen dua kamar). Namun dalam perkembangan selanjutnya dalam
pembahasan PAH I BP MPR periode 1999-2004, DPD yang dimaksudkan sebagai wakil masyarakat
daerah hanya dibentuk sebagai Lembaga pendukung bagi DPR. Dengan begitu tidak mengherankan
bila Lembaga tersebut hanya dibekali dengan kewenangan terbatas. Jimly Asshiddiqie mengatakan
bahwa keberadaan DPD hanyalah sebagai co-legislator ketimbang peran sebagai legislator
sesungguhnya.5 Pendapatnya itu didasarkan pada kenyataan di mana DPD tidak memiliki
kewenangan membuat undang-undang.6 Padahal sebagai bagian dari parlemen selayaknya DPD juga
memiliki kewenangan membuat undang-undangseperti yang juga dimiliki DPR.

Bila ditilik lebih jauh sebenarnya penyebutan sistem perwakilan Indonesia sebagai sistem bikameral
tidak sepenuhnya tepat. Sistem perwakilan Indonesia sebenarnya lebih berwatak unikameral sebab
selain DPD dan DPR masih terdapat MPR yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara
sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.7 Dari aspek legitimasi kelembagaan, jika dibandingkan dengan DPR,
sebenarnya DPD mempunyai legitimasi yang lebih kuat dalam hal dukungan riil politik dari rakyat.8
Sehingga dengan legitimasi yang dimiliki tersebut dibatasinya kewenangan DPD membuat undang-
undang menjadi tidak proporsional. Sebenarnya pada DPD melekat fungsi dan kewenangan yang
meski terbatas. Kewenangan itu berkaitan dengan pengajuan rancangan undang-undang tertentu,
pengawasan pelaksanaan undang-undang, serta
fungsi pertimbangan. Namun dalam prakteknya, fungsi dan kewenangan itu tidaklah berjalan efektif
sesuai dengan semangat awal pendiriannya. Dalam hal pengajuan rancangan undang-undang
tertentu misalnya, gerak langkah DPD dalam fungsi legislasi amat bergantung pada itikad DPR
apakah pengajuan itu dapat diteruskan atau atau hanya berhenti menjadi usulan semata. Hal itu
dikarenakan ketiadaan legitimasi yuridis DPD untuk menyusun rancangan undang-undang tertentu.
Kalau pun ada, peran tersebut hanya berhenti sampai pada pengajuan rancangan undangundang
saja. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, kondisi serupa juga terjadi seperti halnya dalam
menjalankan fungsi legislasi. Hasil kerja pengawasan DPD yang dilakukan melalui Panita Ad Hoc dan
badan-badan lain di DPD tidak memiliki implikasi apa-apa sebab hasil pengawasan tersebut harus
melalui mekanisme penyerahan kepada DPR RI. Oleh DPR, hasil kerja DPD itu hanya dijadikan
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Fungsi pengawasan DPD tersebut hampir
menjadi siasia sebab hasil kerja itu sebatas menjadi bahan masukan dan pertimbangan saja bagi
DPR. Bila begitu, tak heran bila banyak kalangan menyebut DPD adalah staf ahlinya DPR. Begitu juga
dengan fungsi pertimbangan ketika pemilihan anggotaanggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dilaksanakan. Fungsi dan peran DPD tidak lebih dari sekedar pemberi masukan dan pertimbangan
terkait penentuan siapa yang akan duduk menjadi anggota BPK. Dengan kewenangan yang hampir-
hampir tidak ada itu, wajar jika kemudian banyak pihak mengatakan bahwa keberadaan DPD tidak
lebih dari sekedar staf ahli DPD yang bertugas memberi masukan dan pertimbangan belaka tanpa
implikasi politis apa-apa bagi kepentingan yang diwakilinya. Jauh panggang dari api. Itulah ungkapan
yang paling tepat menggambarkan DPD dalam format das sollen-nya dengan apa yang terlihat di
lapangan (das sein). Filosofi awal agar lembaga baru tersebut mampu berfungsi sebagai
penyeimbang kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif sangat sulit terwujud.

Anda mungkin juga menyukai