Anda di halaman 1dari 20

ANALISA PERBANDINGAN KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN WAKIL

PRESIDEN DALAM UUD 1945 SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN, DAN


UUDS 1950

COMPARATIVE ANALYSIS OF POSITION AND AUTHORITY OF THE VICE


PRESIDENT IN UUD 1945 BEFORE AND AFTER AMENDMENT, AND THE
PROVISIONAL CONSTITUTION OF 1950

Marlon Enrico Mikail

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat
Email: marlon.enrico@ui.ac.id

Abstract

The Institution of Presidency is one of the most important institution in the presidency
system. As a part of the Institution of Presidency, the Vice President holds an important
role in exercising the governmental power although the issue of Vice Presidency itself is
not discussed often in constitutional law. The Vice President has a duty as an assistant
and replacement for the President. This is a very important role in exercising
governmental powers. Nevertheless, regulations concerning the position and authority of
the Vice President is not expressly regulated in the Indonesian constitution that is used in
the present and in the past. This problem will be presented in this research that has a
purpose to study and analyze the comparison of regulation that regulates the Vice
President based on UUD 1945 before and after the amendment, and the Provisional
Constitution of 1950. This research is expected to give an understanding about the
position and authorities of the Vice President based on UUD 1945 before and after
amendment, and the Provisional Constitution of 1950.

Keywords: Vice President, Constitution, UUD 1945, UUDS 1950, Position and Authority

Abstrak

Lembaga kepresidenan merupakan salah satu lembaga yang sangat penting dalam sistem
ketatanegaraan. Sebagai bagian dari lembaga kepresidenan, Wakil Presiden memegang
peranan yang penting dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan meskipun memang
masalah Wakil Presiden belum terlalu banyak dibahas dalam Hukum Tata Negara. Wakil
Presiden bertugas memiliki tugas sebagai pembantu dan pengganti dari Presiden. Peranan
tersebut merupakan peranan yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan. Meskipun demikian, pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan
yang dimiliki oleh Wakil Presiden tidak diatur secara tegas baik dalam konstitusi yang
digunakan Indonesia saat ini dan konstitusi yang pernah digunakan sebelumnya.
Permasalahan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini yang bertujuan untuk mengkaji dan
menganilisis perbandingan pengaturan Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum
dan setelah perubahan, dan UUDS 1950. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan
pemahaman mengenai kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Wakil Presiden dalam
UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950.

Kata Kunci: Wakil Presiden, Konstitusi, UUD 1945, UUDS 1950, Kedudukan dan
Kewenangan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan mengenai kedudukan dan kewenangan Wakil Presiden tidak akan
lepas dari lembaga kepresidenan dan perjalanannya dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia. Keberadaan Lembaga Kepresiden dapat ditarik kembali hingga perjuangan
awal kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tahun 1945. Sehari setelah Proklamasi 17
Agustus 1945 yaitu tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengesahkan konstitusi yang sebelumnya telah disusun dan dirancang oleh
Badan Penyeilidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada akhirnya, Indonesia
memiliki Konstitusi dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 dan didalamnya diatur
bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Presiden dan dalam menjalankan
kewajibannya dibantu oleh satu orang wakil Presiden (Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUD 1945
sebelum perubahan). Dari situlah dimulai perjalanan Lembaga Kepresidenan dalam
memimpin bangsa Indonesia.
Pada hari yang sama dengan pengesahan UUD 1945, untuk pertama kalinya
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI dengan cara aklamasi. Hal tersebut
dicantumkan dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan: "Untuk
pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panita Persiapan Kemerdekaan
Indonesia". Pengaturan mengenai keberadaan Wakil Presiden sebenarnya sudah
dibicarakan sejak sidang BPUPKI yang dapat kita lihat dari risalah sidang-sidang
BPUPKI. Ketika BPUPKI melakukan rapat pada tanggal 10 s.d. 16 Juli 1945 dengan
agenda "Mempersiapkan Rancangan Hukum Dasar", pembicaraan mengenai Wakil
Presiden mulai muncul dalam rapat BPUPKI pada tanggal 13 Juli 1945 yang berhasil
menghimpun usulan yang penting yaitu:1
a. Kedaulatan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Rakyat yang bersidang sekali
dalam 5 tahun dan badan ini sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi.
b. Tugas sehari-hari dilaksanakan oleh Presiden, yang dibantu oleh Wakil Presiden,
Menteri-Menteri yang bertanggung jawab kepadanya dan oleh Dewan
Pertimbangan Agung.
c. Dalam membentuk Undang-Undang, Presiden harus mufakat dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
d. Rancangan Hukum Dasar terdiri dari 15 bab, 41 pasal termasuk 5 pasal aturan
peralihan dan satu pasal aturan tambahan.
e. Untuk memperbaiki redaksi Rancangan Hukum Dasar tersebut, dibentuklah
Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari: Djajadiningray, Agus Salim, dan
Soepomo.

1
AT. Soegito, "Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Pokok
Kaidah Fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pendekatan Historis)", Jurnal Ketatanegaraan,
Vol. 1, Desember 2016, hlm. 58.
Jika kita lihat pada poin b di atas, maka para founding fathers menyadari bahwa
Wakil Presiden merupakan jabatan yang sangat dibutuhkan dalam membantu Presiden
menjalankan pemerintahan. Dalam rapat tersebut, gagasan jabatan Wakil Presiden pada
awalnya diatur sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (2):
(2) Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang atau dua
orang Wakil Presiden.
Pasal 2 ayat (3):
(3) Jika ada 2 orang Wakil Presiden, maka susunannya adalah Wakil Presiden I
dan Wakil Presiden II. 2
Dapat dilihat bahwa pada awalnya gagasan jabatan Wakil Presiden diisi oleh dua
orang. Setelah melalui perundingan, pada akhirnya ditentukan bahwa Wakil Presiden
cukup diisi oleh satu orang supaya lebih efektif sehingga rumusan Pasal 2 diubah
menjadi:
Pasal 4 ayat (2):
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden
Dari rumusan-rumusan yang ada mengenai Presiden dan Wakil Presiden dalam
UUD 1945, dapat dilihat bahwa Indonesia menghendaki sistem pemerintahan presidensiil
karena Presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Walaupun
pada nyatanya, sistem presidensiil tidak diterapkan secara murni sehingga dapat dibilang
bahwa sistem pemerintahan yang dianut Indonesia dalam UUD 1945 sebelum perubahan
adalah sistem quasi-presidensiil. Hal ini dikarenakan Presiden merupakan mandataris dari
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga Lembaga Kepresidenan bertanggung
jawab kepada MPR. Dapat dikatakan bahwa sistem ini merupakan sistem pemerintahan
khas Indonesia bernama "sistem sendiri" yang dipandang sebagai sistem pemerintahan
yang paling cocok untuk Indonesia yang baru saja merdeka. MPR sebagai perwakilan
rakyat yang memberikan mandat kepada Presiden dipandang lebih sesuai dengan corak
hidup kekeluargaan yang dimiliki oleh Indonesia.
Empat tahun setelah disahkannya UUD 1945, terjadi perubahan politik yang
berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dengan digantinya UUD 1945 menjadi
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) sebagai hasil dari Konferensi
Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag. Salah satu arsitek penyusun
Konstitusi RIS ketika di tengah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Negeri
Belanda (Den Haag) pada Desember 1949 adalah Prof. Dr. Soepomo yang juga salah satu
arsitek penyusun UUD 1945 di BPUPKI dan PPKI pada 18 Agustus 1945.3 Bentuk
negara Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat dan sistem
pemerintahan berubah dari sistem sendiri menjadi sistem parlementer. Akan tetapi,
Kontitusi RIS tidak berlangsung lama, negara bagian satu per satu membubarkan diri
karena keinginan untuk kembali ke negara kesatuan. Bentuk dari penentangan tersebut
dilakukan rakyat Indonesia dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan dan hal tersebut

2
Sekretariat Negara Republik Indonesia, "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)", (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hlm. 198.
3
Zain Badjeber, "Menyimak dan Menerapkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945", Jurnal Ketatanegaraan Vol. 1, Desember 2016, hlm. 95.
terjadi di berbagai daerah.4 Keinginan bangsa Indonesia untuk kembali menjadi negara
kesatuan membuat pemerintah untuk memberlakukan konstitusi baru yaitu Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 sehingga Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan
tetapi tetap menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Dari segi materi, UUDS
1950 ini merupakan perpaduan antara Konstitusi RIS milik negara federasi Republik
Indonesia serikat dengan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI milik Republik Indonesia,
sebagai hasil persetujuan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Republik Indonesia (RI)
tanggal 19 Mei 1950.5 Sesuai dengan sebutannya, UUDS 1950 sifatnya hanyalah
sementara. Sifat tersebut jelas terlihat pada Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan
konstituante yaitu lembaga pembuat Undang-Undang Dasar yang bersama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar yang akan
menggantikan UUDS.
Dinamika politik dalam sistem pemerintahan parlementer di bawah UUDS 1950
tak berbeda jauh dengan dinamika politik pada masa sebelumnya. 6 Dalam sistem
pemerintahan parlementer, Presiden merupakan Kepala Negara sedangkan Kepala
Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dengan demikian, Presiden hanya
merupakan simbol negara dan ia tidak menjalankan kekuasaan pemerintahan. Hal
tersebut mengakibatkan Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun. Tetapi hal yang berbeda terjadi di jabatan Perdana Menteri, pembentukan
kabinet selalu menjadi momen pertarungan antarkekuatan partai. Situasi semacam ini
mewarnai pergantian kabinet selama sistem pemerintahan parlementer. Dalam waktu
sembilan tahun sejak UUDS 1950 diberlakukan, Indonesia mengalami tujuh kali
pergantian kabinet dengan umur kabinet tidak lebih dari dua tahun. 7 Tujuh kabinet yang
memerintah antara lain: Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951), Kabinet
Sukiman (27 April 1951- 3 April 1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953),
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953- 12 Agustus 1955), Kabinet Burharuddin
Harahap (12 Agustus 1955- 3 Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956
- 4 Maret 1957), dan terakhir Kabinet Djuanda (9 Maret 1957 - 5 Juli 1959).
Lagi-lagi, perubahan dinamika politik terjadi lagi dengan gagalnya konstituante
dalam membentuk Undang-Undang Dasar yang baru. Presiden segera membubarkan
Dewan Konstituante dan sebagai gantinya, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) yang keangotaannya terdiri dari wakil-wakil politik dan golongan
fungsional, termasuk wakil Angkatan Bersenjata (militer).8 Kegagalan ini juga
menyebabkan Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membawa
Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Pengeluaran dekrit tersebut membawa
peluang bagi Presiden Soekarno untuk mewujudkan konsepsi politiknya yang dikenal
dengan sebutan "demokrasi terpimpin". Akan tetapi, pada tahun 1956, Wakil Presiden
Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak menyetujui langkah
4
Yosef Datu Widiarko, "Proses Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Melalui
Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS 1950)", Risalah, Vol.1, No. 4, 2016, hlm. 1.
5
Indarja, "Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia", Masalah-Masalah Hukum,
Vol. 47, No.1, Januari 2018, hlm. 66.
6
Ign Ismanto, Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004, (Jakarta: Kementrian Riset dan Teknologi,
2004), hlm. 16.
7
Ibid, hlm. 17.
8
Ibid, hlm. 18.
politik Presiden Soekarno yang merintis demokrasi terpimpin dengan Nasionalis Agama
Komunis (NASAKOM) yang pada ujungnya hanya memunculkan pertentangan ideologi
yang berpuncak pada peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Pengunduran
Mohammad Hatta menyebabkan kekosongan jabatan Wakil Presiden yang tidak pernah
diisi lagi oleh Presiden Soekarno sesuai dengan keinginannya untuk memperkuat
kedudukannya sebagai Presiden seumur hidup. Jabatan Wakil Preiden baru terisi lagi di
era Presiden Suharto yang didampingi oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dengan Ketetapan MPR No. XI/MPR/1973 tetang Pengangkatan Wakil Presiden
Republik Indonesia pada tahun 1973.
Setelah Presiden Suharto mengundurkan diri, telah tercapai kesepakatan antar
kekuatan politik utama untuk melakukan reformasi atas kehidupan berbangsa dan
bernegara. Salah satu agenda utamanya adalah melakukan perubahan atas UUD 1945
secara konstitusional dengan cara adendum. Kesepakatan untuk melakukan perubahan
UUD 1945 dengan cara adendum merupakan upaya untuk tetap mempertahankan naskah
asli UUD 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahapan
yang berkesinambungan dari tahun 1999 sampai dengan 2002. Empat tahapan perubahan
itu telah mengubah UUD 1945 secara bermakna, dengan antara lain menegaskan bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan UUD, menegaskan
Indonesia sebagai negara hukum, menghormati hak-hak asasi manusia, membangun
mekanisme checks and balances, dan menetapkan sirkulasi kekuasaan secara demokratis
melalui pemilihan umum yang langsung, jujur dan adil, dan berkala lima tahunan. 9 Dari
rumusan ketentuan yang asli, hanya tersisa 25 butir saja yang sama sekali tidak berubah.
Sementara itu selebihnya, yaitu 174 butir, sama sekali merupakan butir-butir ketentuan
baru dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.10
Tentunya perubahan besar terhadap UUD 1945 juga membawa dampak yang
besar bagi Lembaga Kepresidenan. Perubahan besar terjadi terutama terhadap proses
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimana keduanya dipilih secara langsung oleh
rakyat sehingga Presiden dan Wakil Presiden memiliki tingkat legitimasi yang tinggi
sebagai pilihan rakyat. Pengaturan tersebut sejalan dengan konsepsi kedaulatan rakyat
yang sudah dijamin konstitusi sekaligus mengoreksi sistem pemilihan pada masa lalu
dimana hanya MPR-lah yang berhak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Wakil
Presiden memiliki fungsi utama yang sama dari konstitusi sebelumnya, yakni memiliki
tugas sebagai pembantu dan pengganti dari Presiden. Presiden tetap memegang
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar, kekuasaan Presiden tidak
berubah karena dianggap tetap sesuai dengan sikap dan gagasan para founding fathers.
Akan tetapi cakupan bidang bagi Presiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan
menjadi semakin luas di lima bidang, yakni, kekuasaan di bidang pemerintahan,
kekuasaan di bidang perundang-undangan, kekuasaan di bidang yustisial, kekuasaan di
bidang hubungan luar negeri, dan kekuasaan konstitusional lainnya. Perubahan tersebut
tentunya juga berdampak terhadap peran yang dimiliki oleh Wakil Presiden dimana
cakupan bidang untuk membantu Presiden menjalankan kewajibannya menjadi semakin
luas dari sebelumnya.

9
Jakob Tobing, "Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebuah
bahasan ringkas", Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 1, Desember 2016, hlm. 2.
10
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 2.
B. Rumusan Masalah
Untuk memberi pemahaman tentang kedudukan dan kewenangan Wakil Presiden,
maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan yang dimiliki oleh Wakil Presiden dalam UUD 1945
sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950?
2. Bagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Wakil Presiden dalam UUD 1945
sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950?

C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk membahas permasalahan di atas adalah penelitian
hukum normatif. Dalam penelitian hukum nomatif, pengolahan data pada hakikatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis yang
megacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.11 Di
sisi lain, penelitian hukum normatif berfungsi untuk memberi argumentasi yuridis ketika
terjadi kekosongan, kekaburan dan konflik norma.12 Dalam penelitian ini, penelitian
hukum normatif dilakukan melalui pendekatan historis dan pendekatan perbandingan.
Pendakatan historis digunakan untuk mengetahui sejarah kedudukan dan kewenangan
Wakil Presiden di Indonesia. Sedangkan pendekatan perbandingan digunakan untuk
menganalisis kedudukan dan kewenangan Wakil Presiden dalam UUD 1945 sebelum dan
setelah perubahan, dan UUDS 1950.
Penelitian ini dilakukan melalui studi dokumen (documentary study) dengan cara
mengkaji literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kedudukan dan kewenangan Wakil Presiden dalam UUD 1945 sebelum dan setelah
perubahan, dan UUDS 1950.

II. PEMBAHASAN

1. Analisis perbandingan kedudukan Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945


sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS RI
1.A. Analisis kedudukan Wakil Presiden (UUD 1945 sebelum dan setelah
perubahan)
Hal pertama yang perlu kita dalami mengenai kedudukan Wakil Presiden dalam
UUD 1945 sebelum perubahan adalah bagaimana mekanisme pemilihannya karena hal
tersebut akan berpengaruh terhadap kedudukannya dengan lembaga negara lain.
Mekanisme pemilihan Wakil Presidendiatur dalam pasal berikut.
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan:
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara yang terbanyak.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
MPR, bukan diangkat melalui proses musyawarah mufakat. Sehingga untuk mendapatkan
kursi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah dengan mendapatkan suara
terbanyak. Dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden, maka keduanya bertanggung

11
Sri Mamudji, et.al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.
12
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2016), hlm. 12.
jawab kepada MPR sebagai pemberi mandat kepada Presiden dan Wakil Presiden, hal ini
merupakan corak dari sistem pemerintahan yang diterapkan dalam UUD 1945 sebelum
perubahan yaitu sistem sendiri.
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa MPR memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dibanding Presiden dan Wakil Presiden. Jika dilihat dari hubungannya dengan
Presiden, maka ada dua kemungkinan mengenai kedudukan Wakil Presiden, yaitu
pertama, kedudukan Wakil Presiden sederajat dengan Presiden. Kedua, kedudukan Wakil
Presiden berada di bawah Presiden.13 Kemungkinan pertama didasarkan pada pendekatan
yuridis terhadap pasal-pasal berikut:
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan:
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan suara yang terbanyak.
Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan:
Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Pasal 9 UUD 1945 sebelum perubahan:
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan
segala undangundang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa”.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Ketetapan MPR No. II/MPR/1973:
(1) Presiden dan Wakil Presiden harus dapat bekerja sama.
(2) Calon Wakil Presiden selain memenuhi persyaratan yang ditentukan pada
pasal 1 Ketetapan ini, harus juga menyatakan sanggup dan dapat bekerja sama
dengan Presiden.
Dari pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat suatu tatanan
hierarki antara kedudukan Presiden dan Wakil Presiden sehingga keduanya memiliki
kedudukan yang sederajat. Sehingga dalam UUD 1945 sebelum perubahan, UUD
tersebut menempatkan Presiden dan Wakil Presiden sebagai dwitunggal atau satu

13
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1993), hlm. 107.
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Terhadap kemungkinan kedua, maka kita
mendasarkannya terhadap pasal-pasal berikut:
Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan:
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
Pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebelum
perubahan:
(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya.
Dari pasal-pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Presiden adalah satu-satunya
penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Hubungan antara Presiden dan Wakil
Presiden terkait masalah hierarki masih terbuka untuk perdebatan. Lepas dari perdebatan
tersebut, suatu hal yang jelas dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah bahwa
kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai pembantu dan pengganti Presiden. Dasar
hukum kedudukan Wakil Presiden sebagai pembantu ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2)
UUD 1945 sebelum perubahan yang menjelaskan bahwa Wakil Presiden membantu
Presiden dalam melaksanakan kewajibannya dan dasar kedudukan Wakil Presiden
sebagai pengganti ditemukan dalam Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan yang
mengatur jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya,
maka ia diganti oleh Wakil Presiden.
Pasca terjadi perubahan Undang-Undang Dasar NRI 1945, terjadi perubahan yang
sangat mendasar terkait dengan lembaga kepresidenan, yang lazim disebut sebagai
pergeseran konsep kekuasaan eksekutif dari dari executive heavy menjadi legislative
heavy.14 Hal ini dikarenakan terdapat perubahan dalam kekuasaan legislasi nasional yang
semula berada di tangan Presiden, beralih ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Perubahan mendasar lain yang terjadi dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah
mengubah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang tadinya dipilih oleh MPR
menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Setelah terpilih, pengangkatan terhadap Wakil
Presiden dilakukan oleh MPR, pemberhentian terhadap Wakil Presiden juga dilakukan
oleh MPR sehingga Presiden tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan Wakil
Presiden, beda halnya dengan menteri-menteri negara yang kedudukannya sangat
tergantung kepada Presiden. Hal lain yang berubah adalah masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden supaya memberi kejelasan terhadap periodisasi Presiden dan Wakil
Presiden. Pasal-pasal yang mengaturnya adalah sebagai berikut:
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan:
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden. 
Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan:

14
I Gede Yusa dan Bagus Hermanto, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI 1945, (Malang:
Setara Press, 2016), hlm. 137.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar.
Pasal 7 UUD 1945 setelah perubahan:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan.
Sebenarnya kedudukan Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden tidak
mengalami perubahan dalam UUD 1945 setelah perubahan yang dapat kita lihat dari
pasal berikut.
Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan:
Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
Dari pasal tersebut, jelas bahwa Wakil Presiden merupakan pembantu dari
Presiden. Lagi-lagi pasal tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kedudukan
Wakil Presiden sebagai pembantu. Masalah ini berusaha dijawab oleh Jimly Asshiddiqie
dimana ia berpendapat bahwa sesuai dengan sebutannya, Wakil Presiden itu bertindak
mewakili Presiden dalam hal Presiden berhalangan untuk menghadiri kegiatan tertentu
atau melakukan sesuatu dalam lingkungan kewajiban konstitusional Presiden. 15 Menurut
Jimly, kedudukan Wakil Presiden terhadap Presiden mempunyai lima kemungkinan
posisi, yaitu (i) sebagai wakil yang mewakili Presiden; (ii) sebagai pengganti yang
menggantikan Presiden; (iii) sebagai pembantu yang membantu Presiden; (iv) sebagai
pendamping yang mendampingi Presiden; dan (v) sebagai Wakil Presiden yang bersifat
mandiri. Dalam menjalankan kelima posisi tersebut, Presiden dan Wakil Presiden
bertindak sebagai satu kesatuan subjek jabatan lembaga kepresidenan. 16 Jimly
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai posisi Wakil Presiden yang bersifat
mandiri sebagai seorang pejabat publik. Setiap warga negara, kelompok warga negara,
ataupun organisasi masyarakat dapat saja mengajukan permohonan agar Wakil Presiden
membuka suatu acara tertentu. Jika Wakil Presiden memenuhi permohonan semacam itu,
maka dapat dikatakan bahwa Wakil Presiden bertindak atas nama jabatannya sendiri
secara mandiri.17 Dalam posisinya yang bersifat mandiri, maka Wakil Presiden tidak
memerlukan persetujuan atau penugasan resmi dari Presiden.
Meskipun demikian, lepas dari penjelasan kedudukan Wakil Presiden oleh Prof.
Jimly, perdebatan mengenai bagaimana kedudukan Wakil Presiden terhadap Presiden
masih berlangsung hingga sekarang yakni mengenai terbukanya dua kemungkinan
kedudukan Wakil Presiden terhadap Presiden sebagaimana dijelaskan sebelumnya di
bagian UUD 1945 sebelum perubahan, yakni kemungkinan kedudukannya sederajat
dengan Presiden atau kedudukannya tidak sederajat dengan Presiden. Hal ini memang
merupakan konsekuensi ketika tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan
Wakil Presiden terhadap Presiden.

15
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 129.
16
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm.
78.
17
Jimly Asshiddiqie, hlm. 129.
Pengertian "dibantu" akan selalu berlaku jika Presiden mampu melaksanakan
kewajiban konstitusionalnya. Akan tetapi, jika Presiden berhalangan, maka Wakil
Presiden akan tampil sebagai pengganti. Oleh karenanya, UUD 1945 setelah perubahan
juga menempatkan kedudukan Wakil Presiden sebagai pengganti yang diatur dalam pasal
berikut.
Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan:
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
habis masa jabatannya.
Intisari dari pasal tersebut sebenarnya tidak megalami perubahan dari UUD 1945
sebelum perubahan. Penggantian ini dapat dilakukan karena dua kemungkinan, yakni
apabila Presiden berhalangan sementara atau Presiden berhalangan tetap. Apabila
Presiden berhalangan sementara dimana dalam suatu kesempatan Presiden tidak dapat
melaksanakan kewajiban konstitusionalnya karena suatu dan lain hal yang dapat
dibenarkan oleh hukum, maka Wakil Presiden dapat bertindak sebagai pengganti
Presiden dan memperoleh kewenangan yang dimiliki oleh Presiden untuk menjalankan
tugas-tugas Presiden. Misalnya ketika Presiden harus pergi ke luar negeri untuk
melakukan tugas-tugas kenegaraan atau melakukan hubungan diplomatik dengan negara
lain, maka Presiden dapat mengeluarkan Keputusan Presiden untuk menunjuk Wakil
Presiden sebagai pengganti Presiden sampai Presiden kembali. Akan tetapi, bila Presiden
berhalangan tetap, maka Wakil Presiden harus melalui sebuah prosedur sebagai
pengganti Presiden. Proses pengalihan kewenangan (transfer of authority) kepada Wakil
Presiden dilakukan oleh MPR dengan instrumen hukum yang dikenal selama ini adalah
Ketetapan MPR. Untuk masa mendatang, nomenklatur Ketetapan MPR jika mau, dapat
saja tetap dipakai. Sidang Paripurna MPR membuat keputusan yang dituangkan menjadi
Ketetapan MPR yang ditandatangani oleh para Pimpinan MPR atas nama seluruh anggota
MPR.18
Meskipun kedudukan Wakil Presiden sebagai pembantu dan pengganti Presiden
tidak mengalami perubahan. UUD 1945 setelah perubahan mengambil langkah yang
lebih progresif dalam mengatur mengenai kemungkinan kekosongan jabatan Wakil
Presiden baik itu berhalangan tetap atau sementara. Hal tersebut ditegaskan lebih lanjut
dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 8 ayat (2):
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambatlambatnya dalam
waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan
sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh
Presiden.
Pasal 8 ayat (3):
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersamasama. Selambatlambatnya tiga
puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan
sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
18
Jimly Asshiddiqie, hlm. 132.
partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.
Jika kita melihat pasal-pasal tersebut, Wakil Presiden sebenarnya memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam ketatanegaraan Indonesia karena UUD 1945
setelah perubahan tidak akan membiarkan terjadi sebuah kekosongan dalam jabatan
Wakil Presiden. Meskipun sebagaimana kita ketahui bahwa Menteri juga bertugas untuk
membantu Presiden, prioritas utama tetap berada di Wakil Presiden apalagi saat Presiden
berhalangan dalam menjalankan kewajibannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan
kedudukan antara Wakil Presiden dan Menteri.

1.B. Analisis kedudukan Wakil Presiden (UUDS 1950)


Dalam menganalisis kedudukan Wakil Presiden dalam UUDS 1950 maka kita
juga harus kembali kepada pengaturan mengenai mekanisme pemilihan Wakil Presiden,
pengaturannya dapat ditemukan dalam Pasal berikut.
Pasal 45 ayat (3) UUDS 1950:
Presiden dan Wakil-Presiden dipilih menurut aturan jang ditetapkan dengan
undang-undang.
Akan tetapi, pasal tersebut tidak digunakan pada awal praktek ketatanegaraan yang
berdasarkan UUDS 1950 dan sayangnya tidak pernah digunakan sama sekali.
Pengunduran Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak pernah diisi lagi oleh Presiden
Soekarno sehingga tidak pernah ada praktek pasal 45 ayat (3) UUDS 1950 dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Dalam pertama kali mempraktekkan pemilihan terhadap Wakil
Presiden yang berdasarkan UUDS 1950, Wakil Presiden diangkat oleh Presiden dari
anjuran yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur dalam pasal
berikut.
Pasal 45 ayat (4) UUDS 1950:
Untuk pertama kali Wakil-Presiden diangkat oleh Presiden dari andjuran jang
dimadjukan oleh Dewan Perwakilan Rakjat.
Memang lembaga kepresidenan dalam masa UUDS 1950 dapat dibilang sangat
unik. Presiden dalam periode ini adalah hasil persetujuan antara Republik Indonesia (RI)
dan Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan Wakil Presiden diangkat oleh Presiden
dari anjuran Dewan Perwakilan Rakyat. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa lembaga
kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden) hanya bersifat sementara seiring
pemberlakuan konstitusi sementara dan akan berakhir dengan lembaga kepresidenan
menurut konstitusi tetap yang akan dibuat.19
Dalam UUDS 1950, kedudukan Wakil Presiden sangat dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan yang dianut pada masa itu yakni sistem parlementer. Salah satu ciri khas
yang dimiliki oleh sistem parlementer adalah Presiden berkedudukan sebagai Kepala
Negara sedangkan tanggung jawab pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri sebagai
kepala pemerintahan. Ciri tersebut tercermin dalam salah satu pasal UUDS 1950 sebagai
berikut.
Pasal 83 ayat (1) UUDS 1950:
(1) Presiden dan Wakil-Presiden tidak dapat diganggu-gugat.

19
Indarja, hlm. 66.
Dari pasal tersebut, dapat dilihat bahwa Presiden dan Wakil Presiden adalah
sebuah entitas yang tidak dapat dipisahkan, Presiden berkedudukan sebagai Kepala
Negara dan Wakil Presiden sebagai Wakil Kepala Negara sehingga keduanya tidak dapat
diganggu gugat oleh lembaga negara lain karena kedudukannya hanya sebagai simbol
negara dan tidak memiliki tanggung jawab dalam urusan pemerintahan. Kewenangan
untuk mengurus pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri bersama dengan
kabinetnya sehingga merekalah yang bertanggung jawab dalam melakukan urusan
pemerintahan.
Kedudukan Wakil Presiden sendiri dalam UUDS 1950 sebenarnya juga sama
dengan UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, yakni sebagai pembantu dan
pengganti Presiden yang diatur dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 45 ayat (2) UUDS 1950:
(2) Dalam melakukan kewadjibannja Presiden dibantu oleh seorang Wakil-
Presiden.
Pasal 48 UUDS 1950:
Djika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewadjibannja
dalam masa djabatannja, ia diganti oleh Wakil-Presiden sampai habis waktunja.

1.C. Analisis perbandingan kedudukan Wakil Presiden dalam UUD 1945


sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950
Jika membandingkan kedudukan Wakil Presiden dalam ketiga konstitusi yakni
UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950, maka dapat dilihat bahwa
kedudukan Wakil Presiden sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang digunakan
dalam konstitusi-konstitusi tersebut. Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan, Wakil
Presiden bersama Presiden dipilih oleh MPR dan keduanya bertanggungjawab terhadap
MPR sebagai konsekuensi dari sistem sendiri sehingga kedudukannya berada di bawah
MPR. Dalam UUD 1945 setelah perubahan, sistem pemerintahan yang dianut adalah
sistem presidensiil yang mana tidak mengenal adanya lembaga yang memiliki supremasi
tertinggi karena cabang kekuasaan dipisah menjadi tiga cabang, yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Dengan menganut sistem presidensiil, Wakil Presiden tidak lagi
bertanggungjawab kepada MPR karena ia dipilih dalam satu paket dengan Presiden
secara langsung oleh rakyat. Walaupun demikian, tidak dipungkiri bahwa setiap negara
memiliki karakter khusus dalam pelaksanaan sistem pemerintahan yang dianut.20
Dalam UUDS 1950, kedudukan Wakil Presiden memiliki sebuah keunikan
tersendiri dalam hubungannya dengan lembaga negara lain. Hal ini berhubungan dengan
sistem pemerintahan yang dianut pada masa itu yaitu sistem parlementer. Tentu hal ini
berdampak kepada Presiden yang berkedudukan hanya sebagai Kepala Negara yang
sifatnya simbolis dan seremonial serta mempunyai pengaruh politik yang terbatas.
Dengan menganut sistem parlementer, maka Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diganggu gugat karena pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya adalah Perdana
Menteri bersama dengan kabinetnya yang dibentuk oleh parlemen.
Satu hal yang konsisten mengenai kedudukan Wakil Presiden di UUD 1945
sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950 adalah ada aturan yang menyatakan

20
Fatmawati, "Analisis Sistem Pemerintahan Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pra dan
Pasca Perubahan, Serta Pelaksanaannya Dalam Praktek Ketatanegaraan", Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 35, No. 3, 2005, hlm. 289.
bahwa Wakil Presiden merupakan pembantu dan pengganti Presiden. Tiap konstitusi
tersebut memiliki pasal tersendiri yang mengatur bahwa Wakil Presiden merupakan
pembantu dan pengganti Presiden. Akan tetapi permasalahannya adalah tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan Wakil Presiden dalam hubungannya dengan
Presiden di ketiga konstitusi tersebut sehingga kekosongan tersebut membuka perdebatan
hierarki antara Presiden dan Wakil Presiden.

2. Analisis perbandingan kewenangan Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945


sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950

2.A. Analisis kewenangan Wakil Presiden dalam UUD 1945 sebelum dan
setelah perubahan
Kewenangan Wakil Presiden dapat ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) UUD
1945 sebelum perubahan, disebutkan bahwa Presiden dalam melakukan kewajibannya
dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Pengertian kata "dibantu" dalam pasal tersebut
tidak ada penjelasan otentiknya.21 Rumusan ini dibuat fleksibel agar Presiden dapat
leluasa mengambil kebijakan dan keputusan mengenai bentuk tugas-tugas Wakil Presiden
sesuai kebutuhan dan tantangan serta program kerja.22 Fleksibilitas ini tentu saja
memunculkan penafsiran-penafsiran lain. Kata "dibantu" dapat ditafsirkan dalam arti
membantu Presiden dalam seluruh jabatan yang dipegangnya atau dapat juga ditafsirkan
sebagai membantu Presiden dalam kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara saja.
Karena hanya dijelaskan bahwa Wakil Presiden adalah pembantu Presiden, maka Wakil
Presiden harus bisa bekerja sama dengan Presiden dan segala tindakannya harus sejalan
dengan keinginan Presiden. Akan tetapi, masalah ini berusaha dijawab oleh Jimly
Asshiddiqie dimana menurutnya dalam melaksanakan bantuan tersebut, terdapat tiga cara
untuk melaksanakannya, yaitu (i) ada bantuan yang diberikan atas inisiatif Wakil
Presiden sendiri; (ii) ada bantuan yang diberikan karena diminta oleh Presiden; dan (iii)
ada pula bantuan yang harus diberikan oleh Wakil Presiden karena ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.23
Jika kita menelusuri pasal-pasal dalam UUD 1945 setelah mengalami perubahan,
maka Lembaga Kepresiden mengalami perubahan signifikan, tetapi kewenangan Wakil
Presiden sebenarnya masih sama saja seperti UUD 1945 sebelum perubahan. Pasal 4
UUD 1945 yang mengatur mengenai kewenangan Wakil Presiden tidak diubah sama
sekali. Hal yang berubah hanyalah mengenai bagaimana Wakil Presiden bisa terpilih.
Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden setelah perubahan adalah pemilihan
langsung oleh rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1). UUD 1945 setelah
perubahan memang memberikan wewenang yang relatif kecil bagi Wakil Presiden jika
dibandingkan dengan Presiden. Poin lain yang berubah dalam UUD 1945 adalah
mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjadi
lebih jelas setelah perubhan terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam pasal berikut.
Pasal 7A UUD 1945 setelah perubahan:

21
J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 175.
22
Nyoman Mas Aryani dan Bagus Hermanto, "Rekonstruksi Kejelasan Kedudukan Wakil Presiden Dalam
Kerangka Penguatan dan Penegasan Sistem Presidensiil Indonesia", Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15,
No. 2, Juli 2018, hlm. 98.
23
Jimly Asshiddiqie, hlm. 131.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dari pengaturan pasal tersebut, maka sangat dimungkinkan bagi Presiden dan/atau Wakil
Presiden untuk diberhentikan dalam masa jabatannya. Dalam skenario Presiden saja yang
diberhentikan, Wakil Presiden dapat tampil untuk menggantikan posisi Presiden dan
memiliki kewenangan yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945
setelah perubahan.
Meskipun UUD 1945 diubah dan ditegaskan bahwa Indonesia menganut sistem
Presidensiil. Dapat dibilang bahwa UUD 1945 setelah perubahan masih tidak mengatur
secara jelas mengenai fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh Wakil Presiden. Padahal
untuk mewujudkan sistem presidensiil yang efektif salah satu indikatornya adalah
kejelasan hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden, Konstitusi atau undang-undang
harus mengatur secara jelas fungsi dan wewenang Wakil Presiden serta hubungan antara
Presiden dan Wakil Presiden dalam prinsip koridor presidensialisme.24

2.B. Analisis kewenangan Wakil Presiden dalam UUDS 1950


Kewenangan Wakil Presiden di UUDS 1950 dapat ditemukan dalam Pasal 45 ayat
(2) yang menjelaskan bahwa dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh
seorang Wakil Presiden. Lagi-lagi kata "dibantu" tidak jelaskan lebih lanjut lagi dalam
hal apa Wakil Presiden dapat membantu Presiden. Mengingat bahwa sistem
pemerintahan yang digunakan dalam UUDS 1950 adalah sistem parlementer, ruang
lingkup Wakil Presiden untuk membantu Presiden semakin sempit. Salah satu ciri sistem
parlementer adalah Kepala Negara hanya mempunyai kekuasaan nominal. Hal ini berarti
bahwa Kepala Negara hanya merupakan lambang/simbol yang hanya mempunyai tugas-
tugas yang bersifat formal, sehingga pengaruh politiknya terhadap kehidupan negara
sangatlah kecil.25 Apalagi salah satu karakteristik utama dalam suatu sistem parlementer
yang tidak memiliki dimiliki oleh sistem presidensiil adalah kedudukan parlemen sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan badan pemerintah
(supremacy of parliament). Parelemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang
merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar
tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan
eksekutif.26
Dapat dilihat bahwa dalam UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer,
kekuasaan tertinggi dipegang oleh Parlemen dan bukan oleh Presiden, tentunya hal
tersebut juga berpengaruh terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Wakil Presiden
terutama dalam membantu Presiden. Kosekuensi Presiden menjadi Kepala Negara adalah
ia tidak memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan. Salah Satu wewenang yang
dimiliki Presiden yang dapat dibilang berhubungan dengan urusan pemerintahan adalah

24
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 240.
25
Dede Mariana, Neneng Yani Yuningsih, dan Caroline Paskarina, Perbandingan Pemerintahan, (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2007), hlm. 10.
26
Sofian Effendi, Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan, (Pidato Dies Natalis UGM, 2004), hlm. 5.
kewenangannya untuk membubarkan DPR jika dianggap tidak lagi representatif
sebagaimana diatur dalam pasal berikut.
Pasal 84 UUDS 1950:
Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat. Keputusan Presiden
jang menjatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan
pemilihan Dewan Perwakilan Rakjat baru dalam 30 hari.
Selain kewenangan tersebut, dalam ranah pemerintahan, Presiden juga memiliki
kewenangan untuk menunjuk kabinet yang dapat dibilang sifatnya hanya seremonial dan
penunjukkan tersebut diformalisasikan dengan Keputusan Presiden sehingga Presiden
sebenarnya juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan perundang-
undangan meskipun tidak terlalu kuat. Pasal-pasal yang mengaturnya adalah sebagai
berikut.
Pasal 51 UUDS 1950:
(1) Presiden menundjuk seorang atau beberapa orang pembentuk Kabinet.
(2) Sesuai dengan andjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat
seorang dari padanja mendjadi Perdana Menteri dan mengangkat
Menterimenteri jang lain.
(3) Sesuai dengan andjuran pembentuk itu djuga, Presiden menetapkan
siapasiapa dari Menteri- menteri itu diwadjibkan memimpin Kementerian
masingmasing. Presiden boleh mengangkat Menteri-menteri jang tidak
memangku sesuatu Kementerian.
(4) Keputusan-keputusan Presiden jang memuat pengangkatan jang diterangkan
dalam ajat (2) dan (3) pasal ini ditanda-tangani serta oleh pembentuk Kabinet.
(5) Pengangkatan atau penghentian antar-waktu Menteri-menteri begitu pula
penghentian Kabinet dilakukan dengan keputusan Presiden.
Berdasarakan uraian di atas, dikarenakan urusan pemerintahan dipegang oleh Perdana
Menteri dan kabinetnya, maka kewajiban Presiden hanyalah untuk tugas-tugas yang
bersifat formal sebagai simbol negara dan Wakil Presiden-lah yang membantu Presiden
dalam menjalankan tugas-tugas formal tersebut, kewenangan Wakil Presiden untuk
membantu Presiden dalam urusan pemerintahan sangat terbatas dikarenakan kekuasaan
tertinggi dipegang oleh parlemen. Apabila Presiden berhenti, mangkat, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya, maka Wakil Presiden-lah yang mengganti posisinya dan
ialah menjalankan tugas-tugas formal Presiden.

2.C. Analisis Perbandingan kewenangan Wakil Presiden dalam UUD 1945


sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950
Jika membandingkan kewenangan Wakil Presiden dalam ketiga konstitusi yakni
UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950, maka terdapat kesamaan
dalam ketiga konstitusi tersebut. Kesamaannya adalah ketiga-tiganya mengatur
kewenangan Wakil Presiden adalah untuk membantu Presiden dalam melaksanakan
kewajibannya. Dari rumusan pasal yang ada dalam tiga konstitusi tersebut, maka dapat
diartikan bahwa Wakil Presiden adalah pembantu Presiden. Beda cerita lagi ketika
membahas menteri yang juga merupakan pembantu Presiden. Dalam kapasitasnya
sebagai pembantu Presiden, kedudukan Wakil Presiden seolah mirip dengan menteri
negara yang juga bertindak membantu Presiden.27 Hal tersebut tentunya berbeda jika kita
27
Nyoman Mas Aryani dan Bagus Hermanto, hlm. 98.
melihat kedudukan Wakil Presiden yang lebih di atas menteri karena Wakil Presiden
tidak diangkat oleh Presiden, sedangkan menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
Wakil Presiden sebenarnya dapat memiliki kewenangan yang dimiliki oleh
Presiden tetapi hal tersebut hanya akan terjadi jika Presiden berhalangan sementara
seperti ketika Presiden ke luar negeri atau jika Presiden berhalangan tetap sehingga tidak
bisa lagi menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya. Poin inilah yang juga
menjadi kesamaan antara tiga konstitusi yang dibahas dalam tulisan ini, yakni ketiga
konstitusi tersebut sama-sama mengakui dan mengatur mengenai keberadaan Wakil
Presiden untuk mengganti Presiden yang berhalangan sementara atau jika Presiden
berhalangan tetap. Akan tetapi UUD 1945 setelah perubahan menganut pembagian
kekuasaan dengan prinsip checks and balances, hal tersebut memberi konsekuensi
dimana lembaga negara dapat mengawasi kinerja satu sama lain untuk menghindari
pemusatan kekuasaan. Tentunya prinsip tersebut juga berdampak kepada lembaga
kepresidenan dimana diatur mengenai kemungkinan lain untuk Presiden berhenti dalam
masa jabatannya sehingga dapat diganti oleh Wakil Presiden, yaitu jika terjadi
impeachment. Kemungkinan adanya skenario impeachment terhadap Presiden yang diatur
dalam Pasal 7A dimana pasal tersebut secara tegas mengatur alasan-alasan dan
mekanisme impeachment yang dapat berakhir kepada Presiden turun dari jabatannya.
Pengaturan tegas mengenai mekanisme impeachment dalam UUD 1945 setelah
perubahan dimaksudkan supaya Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat
diberhentikan karena alasan-alasan politik, tetapi karena alasan pelanggaran hukum.
Jika ditelusuri lebih dalam, masalah kewenangan Wakil Presiden sebenarnya juga
masih kurang jelas dalam ketiga konstitusi tersebut, terutama dalam hal menjalankan
kewenangannya sebagai pembantu Presiden. Perdebatan masih timbul mengenai dalam
hal apa dan sejauh apa Wakil Presiden dapat membantu Presiden dalam menjalankan
kewajibannya. Melihat pengaturan kewenangan Wakil Presiden yang belum jelas dalam
ketiga konstitusi tersebut, seharusnya ketiga konstitusi tersebut mengatur secara lebih
jelas dan mendalam lagi terhadap keberadaan Wakil Presiden dimana diperlukan
kejelasan pembagian tugas dan kewenangan antara Presiden dan Wakil Presiden.
Ketidakjelasan pengaturan mengenai kewenangan Wakil Presiden juga disebabkan
karena praktek ketatanegaraan dimana Wakil Presiden belum pernah memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR atau kepada rakyat dan beban pertanggungjawaban
lebih berat kepada Presiden. Oleh karenanya Wakil Presiden sebagai pembantu tidak
memiliki kewenangan yang kuat dalam pengambilan keputusan. Pengaturan yang tidak
tegas mengenai kewenangan Wakil Presiden tentunya dapat menimbulkan potensi konflik
dengan Presiden sehingga dapat mengganggu keharmonisan sebagai sebuah dwitunggal.
Potensi konflik yang dapat terjadi antara Presiden dan Wakil selain mengganggu
keharmonisan sebagai dwitunggal, potensi konflik tersebut dapat menimbulkan hambatan
dalam menjalankan roda pemerintahan. Konflik antar Presiden dan Wakil Presiden
dipengaruhi oleh faktor obyektif dan faktor subyektif. Adapun faktor obyektif dan
subyektif yakni:28
a) Faktor Obyektif, berupa (i) ketetentuan yang mengatur hubungan antara keduanya
baik dalam kekuasaan eksekutif riil maupun kekuasaan eksekutif nominal, (ii)

28
Mochamad Isnaeni Ramdhan, Jabatan Wakil Presiden Menurut Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2015), hlm. 148.
asal kekuatan poitik pendukung antara Presiden dan Wakil Presiden yang mana
dimaksud adalah jika Presiden dan Wakil Presiden berasal dari kekuatan politik
yang sama maka pembagian tugas dan kewenangan cenderung memiliki ruang
lingkup yang relatif luas.
b) Faktor Subyektif, berupa (i) tingkat kepercayaan Presiden dan Wakil Presiden
serta kondisi antara keduanya baik fisik, pskikis maupun finansial, (ii)
pengalaman dan kemampuan profesional yang dimiliki oleh Wakil Presiden, (iii)
kondisi kesehatan baik fisik maupun psikis Presiden.
Ketidakjelasan pengaturan mengenai kewenangan Wakil Presiden harus disikapi oleh
Presiden dan Wakil Presiden dengan menjaga hubungan yang baik dimana harus ada
kesepakatan pembagian tugas di antaranya. Menurut penulis, hubungan Presiden dan
Wakil Presiden harus dilihat sebagai hubungan kelembagaan yang seimbang dan bukan
hubungan yang sifatnya personal.

III. PENUTUP
Kedudukan yang dimiliki oleh Wakil Presiden secara konsisten diatur dalam
UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, dan UUDS 1950, yakni sebagai pembantu
dan pengganti Presiden. Hal yang berbeda dari ketiga konstitusi tersebut hanyalah
mengenai bagaimana hubungan kedudukannya dengan lembaga negara lain yang sangat
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang dianut dalam masing-masing konstitusi. Pada
masa UUD 1945 sebelum perubahan, Indonesia menganut sistem sendiri sehingga
Presiden dan Wakil Presiden bertanggungjawab kepada MPR dan kedudukan keduanya
berada di bawah MPR selaku mandataris MPR. Dalam UUD 1945 setelah perubahan,
Indonesia menganut sistem presidensiil sehingga Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi
bertanggungjawab kepada MPR karena mereka dipilih dalam satu paket secara langsung
oleh rakyat. Masalah yang sama dan masih diperdebatkan dari sebelum dan sesudah
perubahan UUD 1945 adalah mengenai hubungannya dengan Presiden, yaitu apakah
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden sederajat atau tidak. Menurut penulis, masih
terdapat ketidakjelasan dalam UUD 1945 mengenai kedudukan Wakil Presiden sehingga
diperlukan rekonstruksi yang lebih mendalam untuk mempertegas bagaimana hubungan
antar keduanya. Dalam UUDS 1950, Presiden sebagai Kepala Negara dan Wakil Presiden
sebagai Wakil Kepala Negara tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga apapun sebagai
konsekuensi sistem parlementer. Hal ini berarti Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya oleh lembaga negara lain karena mereka hanya bersifat
simbolis dan seremonial.
Secara konstitusional, kewenangan yang dimiliki oleh Wakil Presiden dalam
UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan sebenarnya sangat kuat. Akan tetapi,
kewenangan tersebut hanya dapat digunakan dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan-
keadaan tertentu tersebutlah yang mengaktifkan peran Wakil Presiden untuk
menggantikan Presiden baik jika Presiden berhalangan sementara atau Presiden
berhalangan tetap. Jika keadaan-keadaan tertentu tersebut tidak terjadi, maka
kewenangan yang dimiliki oleh Wakil Presiden hanyalah membatnu Presiden dan
kewenangan tersebut sangatlah kecil, bahkan dapat dibilang kurang jelas. Hal tersebut
membawa kesan bahwa Wakil Presiden hanya merupakan "ban serep" dan hal tersebut
pernah disinggung oleh John N. Garner (mantan Wakil Presiden Amerika Serikat),
Garner berpendapat mengenai pengalamannya sebagai Wakil Presiden dimana
menurutnya Wakil Presiden hanyalah a spare tire on the automobile of government (ban
serep pada mobil pemerintah). Sedangkan kewenangan Wakil Presiden yang diatur di
dalam UUDS 1950 dapat dibilang jauh lebih lemah dibanding kewenangan Wakil
Presiden yang diatur di dalam UUD 1945 baik sebelum dan setelah perubahan. Presiden
sebagai Kepala Negara tidak memiliki kewenangan untuk mengurus pemerintahan. Hal
ini tentu berdampak juga terhadap kewenangan yang dimiliki Wakil Presiden sebagai
Wakil Kepala Negara yang mana lingkup kewenangannya untuk membantu Presiden juga
ikut terbatas di ranah-ranah yang sifatnya seremonial saja.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ismanto, Ign. Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004. Jakarta: Kementrian
Riset dan Teknologi, 2004.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Depok: Rajawali Pers,
2017.
Mamudji, Sri. et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Diantha, I Made Pasak. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Simorangkir, J.C.T. Hukum dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Gunung Agung,
1983.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni, 1993.
Mariana, Dede, Neneng Yani Yuningsih, dan Caroline Paskarina. Perbandingan
Pemerintahan. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001.
Yusa, I Gede dan Bagus Hermanto, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD
NRI 1945. Malang: Setara Press, 2016.
Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006.
Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
AR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Ramdhan, Mochamad Isnaeni. Jabatan Wakil Presiden Menurut Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2010.
Sekretariat Jenderal MPR RI, "Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia" Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2017.

Artikel
Aryani, Nyoman Mas dan Bagus Hermanto. "Rekonstruksi Kejelasan Kedudukan
Wakil Presiden Dalam Kerangka Penguatan dan Penegasan Sistem Presidensiil
Indonesia". Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 15, No. 2, Juli 2018, hlm. 91-101.
Soegito, AT. "Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Sebagai Pokok Kaidah Fundamental Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Pendekatan Historis)". Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 1, Desember 2016,
hlm. 47-80.
Tobing, Jakob. "Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Sebuah bahasan ringkas". Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 1, Desember
2016, hlm. 1-21.
Badjeber, Zain. "Menyimak dan Menerapkan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 1, Desember
2016, hlm. 81-104.
Supardi. "Optimalisasi Jabatan Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar
1945 Pasca-Amandemen". Ijtihad: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. 34.
No. 2, November 2018, hlm. 161-176.
Indarja. "Perkembangan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia".
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 47, No. 1, Januari 2018, hlm. 63-70.
Fatmawati. "Analisis Sistem Pemerintahan Dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pra dan Pasca Perubahan, Serta Pelaksanaannya Dalam
Praktek Ketatanegaraan". Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 35, No. 3, 2005,
hlm. 288-313.
Saraswati, Retno. "Desain Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif".
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 41, No. 1, Januari 2012, hlm. 138-143.
Hutagalung, Mura P. "Reformasi UUD 1945 Melalui Konvensi Ketatanegaraan".
Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Oktober-Desember 1999, hlm. 335-349.
Maksum, Dhanang Alim. "Tugas dan Fungsi Wakil Presiden di Indonesia". Jurnal
Lex Crimen, Vol. 4, No. 1, Januari-Maret 2015, hlm. 123-133.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Indonesia. Konsitusi Republik Indonesia Serikat.
Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. TAP
MPR No.II Tahun 1973.
Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. TAP MPR No.XI Tahun
1973.
Dokumen
Sekretariat Negara Republik Indonesia. "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI)". Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.

Pidato
Effendi, Sofian. "Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan". Pidato Dies
Natalis UGM, 2004.

Anda mungkin juga menyukai