Anda di halaman 1dari 7

DARI PRINSIP-PRINSIP GLOBAL KE PRINSIP-PRINSIP HUKUM

Peranan dunia secara global terhadap perkembangan asas-asas pengelolaan lingkungan dan
pembangunan sangat penting artinya bagi pengembangan hukum,baik secara internasional maupun
secara nasional. Berbagai negara telah menerapkan sistem yang dirumuskan dalam konferensi-
konferensi internasional mengenai lingkungan hidup dan mengadopsinya sebagai bagian dari sistem
hukum mereka. Konferensi-konferensi internasional tersebut adalah konferensi Lingkungan Hidup di
Stockholm (1972), di Rio de Janeiro (1992), dan di Johannesburg (2002). Prinsip-prinsip yang
dihasilkan oleh masyarakat dunia melalui forum konferensi-konferensi tersebut akan diuraikan
berikut ini.

Prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm

Pada tanggal 5 sampai 16 Juni 1972, PBB mengorganisir masyarakat dunia guna melakukan
konferensi di Stockholm untuk membicarakan isu-isu penting mengenai lingkungan hidup.
Konferensi ini lazim disingkat dengan UNCHE 1972 (United Nations Conference on Human
Environment, 1972). Inilah konferensi internasional yang pertama mengenai masalah-masalah
lingkungan hidup, di mana hadir sebanyak 113 negara, 21 organisasi PBB, 16 organisasi antar
pemerintah, dan 258 LSM (NGOS) dari berbagai negara. Konferensi ini membahas keprihatinan
terhadap masalah-masalah lingkungan yang dirasakan semakin problematis di berbagai belahan
dunia. Di satu pihak terdapat sejumlah manusia di berbagai negara yang menderita kemiskinan dan
keterbelakangan sehingga mempengaruhi lingkungan hidupnya, sementara di pihak lain negara-
negara berpacu mengejar pembangunan dan kemajuan, yang memaksa lingkungan hidup menjadi
rusak dengan berbagai dimensinya.

Konferensi Stockholm menghasilkan 26 prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan, yang terkenal


dengan Deklarasi Stockholm, di samping dihasilkan pula 109 Rekomendasi sebagai bagian dari Action
Plan (Rencana Aksi Lingkungan). Action Plan ini bertugas mengidentifikasi program dan kegiatan
internasional yang bersifat lintas batas dan antarmasalah, yang terdiri dari tiga bagian besar, yakni:

1. Penilaian Masalah Lingkungan (Environmental Assesment);

2. Pengelolaan Lingkungan (Environmental Management); dan

3. Perangkat Pendukung (Supporting Measures),yang meliputi antara lain: hukum, pendidikan dan
latihan, informasi,kelembagaan, keuangan, bantuan teknis.

Konferensi Stockholm kemudian membentuk UNEP (United Nations Environment Program), sebuah
badan PBB yang mengurusi masalah lingkungan yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.128

Prinsip-prinsip Deklarasi Rio

Dua puluh tahun setelah konferensi Stockholm, PBB kembali melakukan konferensi tentang
Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development,
UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1092, yang lebih populer dengan KIT
Rio (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio). KTT ini dihadiri oleh kurang lebih 100 Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan seluruh dunia. Hasil yang dicapai dalam KTT Rio tersebut adalah:

1. Deklarasi Rio (terdiri dari 27 Prinsip);

2. Agenda 21;
3. Konvensi tentang Perubahan Iklim;

4. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; dan

5. Prinsip-prinsip tentang Hutan;

KTT Rio menjawab kembali persoalan-persoalan lingkungan, yang setelah dilangsungkannya


konferensi Stockholm 1972, permasalahan-permasalahan lingkungan menjadi semakin serius.
Seperti dikatakan Emil Salim bahwa sulit disangkal permasalahan lingkungan semakin besar, tidak
hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Pembangunan yang sudah meningkatkan
kesejahteraan Penduduk, kemudian dapat menimbulkan peristiwa yang mengancam kehidupan
berupa hujan asam, lautan yang semakin kotor, udara yang semakin tercemar, tanah yang semakin
tandus serta banyak jenis fauna dan flora yang punah.

KTT Rio dalam Preambulenya menegaskan kembali Deklarasi Stockholm 1972, dengan program
kemitraan global yang baru dan adil (a new and equitable global partnership) dalam pergaulan
masyarakat dan bangsa-bangsa, dalam upaya melindungi integritas sistem lingkungan dan
pembangunan global. Dengan penegasan demikian berarti nilai-nilai Deklarasi Stockholm masih
tetap relevan untuk masa kini, namun perlu didukung oleh komitmen baru dengan mewujudkan
kemitraan global baru dan adil sebagaimana dihasilkan oleh KTT Rio.

Agenda 21 merekomendasikan antara lain:

 dibentuk prosedur secara hukum dan administrasi di tingkat nasional;


 dibentuk prosedur secara hukum dan administrasi untuk kompensasi, pemulihan lingkungan,
dan lain-lain;
 Adanya akses bagi individu, kelompok, dan organisasi.

WSSD Johannesburg 2002

Pada 1-5 September 2002 berlangsung KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan (Worid Summit
on Sustainable Development,WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam rangka persiapan-
persiapan tentang WSSD tersebut, pada bulan Juni 2002 di Bali, Indonesia, telah dilangsungkan
perundingan-perundingan Komite Persiapan (PrepCom WSSD).

Secara singkat, beberapa hasil yang dicapai dalam WSSD di Johannesburg dapat disebutkan, yakni
apa yang disebut sebagai dokumen Plan of Implementation. Plan of Implementation terdiri dari 153
paragraf, yang secara komprehensif menyangkut semua segi kehidupan. Ada 3 (tiga) hal pokok yang
diagendakan WSSD, yakni: 1.Pemberantasan Kemiskinan

2.Perubahan Pola Konsumsi dan Produksi

3. Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ketiga hal ini menjadi dasar dari 10 pokok rencana pelaksanaan (action plan) yang harus dikerjakan
setiap negara. Upaya pemberantasan kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan pendapatan,
memberantas kelaparan, penyediaan air bersih, pembukaan akses terhadap sumber daya produktif,
kredit dan kesempatan kerja yang melibatkan perempuan dan masyarakat tradisional, perluasan
akses energi, serta perbaikan kesehatan. Sementara perubahan pola konsumsi dan produksi
dilakukan dengan pemerataan energi, terutama yang dapat diperbarui (renewable), transportasi,
pengelolaan limbah, pengurangan konsumsi, dan perluasan penggunaan bahan baku yang bisa
didaur ulang. Sedangkan perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam, mensyaratkan penataan
kawasan air, darat, dan udara yang benar, peraturan yang transparan dan dilaksanakan secara
konsekuen, serta pemerintahan yang accountable dan responsible.

ASAS-ASAS HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

UU No. 4 Tahun 1982

Tepat sepuluh tahun setelah berlangsungnya konferensi Lingkungan Hidup Sedunia (UNCHE, United
Nations Conference on the Human Environment, 1972, Stockholm) negara kita berhasil merumuskan
satu produk perundangan penting di bidang lingkungan hidup. Undang-undang itu ialah UU No. 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (disingkat UUPLH
1982).

Adapun dasar-dasar pemikiran yang diberikan oleh UUPLH ini adalah konsep Perpaduan prinsip-
prinsip pembangunan dan lingkungan serta ekologi yang lazim Disebut dengan Prinsip
Ecodevelopment, yang dinyatakan sebagai berikut:

•Lingkungan hidup Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus Kita kembangkan
berdasarkan asas keselarasan dan keseimbangan; baik dalam Hidup manusia sebagai pribadi; dalam
hubungan manusia dengan manusia;Dalam hubungannya dengan alam lingkungan; dalam hubungan
manusiaDengan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam kehidupan lahiriah serta Kebahagiaan
batiniah.

• Sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menuju kesejahteraan harus Dilestarikan
kemampuan ekosistem secara serasi dan seimbang dengan cara Bijaksana, terpadu, dan menyeluruh
dengan memperhitungkan generasi kini Dan mendatang.

•Pengelolaan lingkungan berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan Seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

• Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat tercapai kehidupan Optimal.

Perkembangan global mengenai isu lingkungan, terutama setelah berlangsungnyaEarth Summit di


Rio de Janeiro, 1992, yang lebih dikenal dengan KTT Rio, telah Menjadi salah satu alasan mengapa
UUPLH 1982 harus direvisi. Karena bila melihat Hasil-hasil yang dicapai dalam KTT Rio, terlihat
bahwa dengan UUPLH 1982 tidak Banyak hal yang dapat kita lakukan dalam rangka membuat
kebijakan pembangunan Lingkungan sesuai dengan majunya prinsip-prinsip yang telah diadopsi
dalam Rio. Setelah kurang lebih 5 tahun berlangsungnya KTT Rio, diundangkanlah UU No 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997), pada tanggal 19 September 1997
melalui Lembaran Negara 1997 No 68, sebagai perubahan atas UUPLH 1982.

Beberapa prinsip dari UUPLH 1982 masih digunakan sebagai asas-asas dalam Pembangunan saat ini,
namun telah diperbarui sesuai perkembangan masa kini. Dari Berbagai Prinsip yang dikandung
UUPLH 1997, dapat dikemukakan antara lain seperti Berikut ini:

1. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dari UUPLH 1982:

(a) Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan (Eco Development);


(b) Prinsip partisipatoris dari masyarakat (public participatory);

(c) Prinsip pemberlakuan analisis dampak lingkungan (environmental impact

Assesment);

Dan lain-lain yang menjadi dasar dari pengelolaan lingkungan di Indonesia pada saat itu, yang
kemudian di kembangkan dengan uu no 4 tahun 1997 dengan prinsip-prinsip

(a) Prinsip pembangunan berkelanjutan (ecological sustainable development);

dasarnya dari prinsip ecodevelopment;

(b) Prinsip hak standing (legal standing);

(c) Prinsip gugatan perwakilan (class action);

(d) Prinsip pemberian informasi (information access);

(e) Prinsip partisipasi aktif (actively public participatory);

(f) Prinsip pengelolaan terpadu (management integration);

(g) Prinsip kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah;

(h) Prinsip meminta pendapat dari masyarakat (public hearing);

(i) Prinsip pengenaan sanksi administratif;Prinsip pengauditan lingkungan (environmental auditing);

(k) Prinsip pembentukan lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa

Keberlakuan Sebelum UUPLH

Dalam hubungannya dengan perundang-undangan lingkungan hidup yang sudah berlaku sebelum
UKPPLH, pasal 50 (ketentuan peralihan) menentukan untuk berlaku sepanjang tidak bertentangan.
Karenanya, seperti disinggung di atas, UU sekaligus menjadi landasan bukan saja untuk peraturan-
peraturan perundangan van akan dibuat, tetapi juga untuk perundangan yang lahir sebelumnya, baik
yang dibuat setelah kemerdekaan maupun produk-produk perundangan semasa Hindia Belanda

Jelaslah, UUPLH mempunyai fungsi vital dan strategis juridis di bidang lingkungan hidup. UUPLH
menjadi basis Yuridis (basic Law) untuk menilai dan menyesuaikan semua produk yang mengandung
ketentuan tentang lingkungan baik yang sudah ada (lex lata) maupun yang akan berlaku (lex
feranda).

Hingga saat ini hampir semua bidang lingkungan hidup telah diatur dengan berbagai undang-
undang, yang di antaranya dapat disebut di bawah ini:

1. Hinder Ordonnantie, 1926 atau Undang-Undang Gangguan (UUG);

2. Pertanahan/Lahan (UUPA No. 5 Tahun 1960);

3. Pertanian/Pangan:

a) Perikanan (Ordonnantie 1920 No. 396 sebagaimana diubah dengan UU

No. 9 Tahun 1985);


b) Sistem Budaya Tanaman (UU No. 12 Tahun 1992).

c) Pangan (UU No. 7 Tahun 1996)

4. Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ordonnantie 1941

sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 1990);

5. Kehutanan (UU No. 5 Tahun 1967 sebagaimana diubah dengan UU No. 41

Tahun 1999);

6. Pertambangan (UU No. 11 tahun 1967 sebagaimana diubah dengan UU No.

22 Tahun 2001 tentang Minyak, Gas Bumi);

7. Transmigrasi (UU No. 3 Tahun 1972 sebagaimana diubah dengan UU No. 15

Tahun 1997)

PENYELESAIAN SENGKETA PENCEMARAN LINGKUNGAN

Perlunya Badan Penyelesaian Sengketa Lingkungan

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa pencemaran/kerusakan lingkungan, hingga saat ini di


negara kita belum ada semacam badan The Settlement of Environmental Disputes. Sebetulnya
badan semacam ini penting, di mana tugas khususnya adalah menyelesaikan sengketa-sengketa
pencemaran/kerusakan lingkungan dalam bentuk konsiliasi, mediasi atau arbitrasi. Badan ini harus
bersifat privat dan harus terhindar dari campur tangan pemerintah.

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mekanisme penyelesaian sengketa (dispute resolution) dalam hukum lingkungan di banyak negara,
termasuk di Indonesia, kini telah berkembang khususnya di bidang keperdataan. Perkembangan
yang dimaksud di sini ialah penyelesaian sengketa tidak lagi hanya ditangani oleh lembaga-lembaga
tradisional yang ditunjuk oleh pemerintah seperti pengadilan dan semacamnya. Di luar pengadilan
kecenderungan demikian telah mengarah kepada sebuah sistem (extra judicial settlement), dan
perkembangan demikian telah semakin melembaga sebagai kebutuhan yang tidak dapat dielakkan.

Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa telah tumbuh berbagai sistem dan model, bukan
saja hanya-melalui pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. Inilah yang disebut dengan alternative
dispute resolution (ADR). Istilah ADR bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa beragam.
Ada yang menyebutnya dengan alternatif penyelesaian sengketa (APS), ada pula yang menyebutnya
dengan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Bahkan ada pula yang mengistilahkan dengan
penyelesaian sengketa luar penyidikan (PLP). UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, menyebutnya dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Jika
disimak semua istilah ini menunjuk kepada satu sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang ada (court).
Class Action

Dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH ditentukan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan yang merugikan masyarakat. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan ini disebut
class action, yakni sekelompok korban mewakili sejumlah korban lainnya untuk bertindak
mengajukan gugatan ke pengadilan atas kerugian yang diderita, yang memiliki sifat kesamaan
masalah, fakta hukum, dan tuntutan.

Dalam gugatan secara class action terdapat dua unsur subjek penggugat. Pertama, penggugat yang
mewakili (dalam jumlah kecil), yang lazim disebut wakil kelompok atau wakil kelas, yakni para
korban yang bertindak mewakili; kedua, para korban lainnya (dalam jumiah besar) yang diwakili,
yang lazim disebut dengan anggota kelas atau anggota kelompok. Keuntungan dari gugatan secara
class action adalah meskipun para korban umumnya bersifat masal (banyak), tetapi cukup diwakili
oleh beberapa orang dan tidak perlu harus memberikan surat kuasa satu per satu kepada mereka
yang mewakilinya. Inilah hal paling pokok yang membedakannya dengan sistem gugatan biasa

Private Standing atau Citizen Suit

Legal standing dapat dibedakan menjadi private standing dan public standing. Private standing atau
disebut pula dengan citizen suit adalah hak warga atau perseorangan untuk bertindak karena
mengalami kerugian atas masalah hak kepentingan umum. Misalnya P warga DKI Jakarta menggugat
Q perusahaan pembangunan rumah mewah karena menimbun (reklamasi) wilayah pantai utara
Jakarta untuk membuat areal perumahan, sehingga menimbulkan banjir dan membuat jalan utama
tidak dapat dilalui karena sering tergenang air sebagai akibat reklamasi.

. PENGATURAN DALAM KUHP

Di dalam KUHP, diatur tentang deiik-delik yang berhubungan dengan delik lingkungan hidup.
Ketentuan ini terutama dapat dilihat dalam Buku II tentang Kejahatan, di mana Bab VII mengatur
tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang. Sebagian dari
pasal-pasal ini dapat disebutkan di bawah ini.

Pasal 187 KUHP, yaitu dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, maka ancaman
pidananya masing-masing 1) maksimal 72 tahun penjara, jika timbul bahaya umum bagi barang, 2)
maksimal 15 tahun penjara, jika timbul bahaya bagi nyawa orang lain, dan 3) pidana penjara seumur
hidup atau 20 tahun, jika timbul bahaya tehadap nyawa dan mengakibatkan matinya orang lain.

Pasal 188 KUHP: Barang siapa karena kealpaannya, menyebabkan kebakaran, ledakan, atau banjir
diancam pidana penjara maksimal 5 tahun atau kurungan maksimal satu tahun, atau denda
maksimal tiga ratus juta rupiah jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang atau bagi nyawa
orang lain atau kalau mengakibatkan matinya orang.

Pasal 202 KUHP: 1) Barang siapa memasukkan sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber ke dalam
perlengkapan (inrichting) air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama
dengan orang lain, padahal diketahui bahwa karenanya air lalu berbahaya bagi nyawa atau
kesehatan orang diancam dengan pidana penjara maksimal 15 tahun. 2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya orang, maka akan dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama waktu tertentu maksimal 20 tahun.

Pasal 203 KUHP. 1) Barang siapa karena kealpaannya, menyebabkan barang sesuatu dimasukkan
dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum atau untuk dipakai oleh atau
bersama-sama dengan orang lain, sehingga air itu dapat berbahaya bagi nyawa atau kesehatan
orang, diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan
atau kurungan paling lama satu tahun.

Melihat ancaman-ancaman pidana KUHP yang ditentukan melalui pasal-pasai di atas jelaslah
keiihatan adanya ketidaksinkronan atau ketidakserasian dengan UUPLH 1997. PasaI-pasal KUHP di
atas, nyatanya lebih tinggi ancamannya dengan yang terdapat dalam UUPLH 1997. Kalau dalam pasal
41 ayat (2) UUPLH mengakibatkan kematian orang atau luka berat, hukuman hanya maksimal 15
(lima belas) tahun bagi perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, maka pasal 187 KUHP
menentukan lebih dari batas itu, yaitu 20 (dua puluh) tahun. Dan bahkan, dimungkinkan pidana
penjara seumur hidup, bila hal itu mengakibatkan matinya orang.

Anda mungkin juga menyukai