Anda di halaman 1dari 15

ARBITRASE

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dosen Pembimbing :
Suyikno, S.Ag, MH.
Disusun oleh :
Kelompok 2

Aprilia Khoirinnafika C05217003


Alifiansyah Mukti Wibowo C95217019
Niawati Kharisma C95217028

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas nikmat yang Allah Swt berikan kepada kita. Allah
yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih, Maha Penyayang yang tak pandang sayang.
Yang telah memberikan akal dan hati sebagai salah satu instrumen untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas rahmat-Nya, penulis mampu
menyelesaikan tugas makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dan tak lupa shalawat serta salam tetap kita curahkan kepada
sang revolusioner dunia, pemberi syafa’at kelak di hari kiamat The Leader of World
Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari zaman kegelepan menuju
terang benderang dengan adanya agama Islam.

Penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama dosen


pembimbing kami Suyikno, S.Ag, MH. yang senantiasa membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini, dan teman-temanku yang selalu memberikan motivasi.
Makalah yang berjudul Arbitrase ini, masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi
susunan bahasa, isi, yang tak lain penulis masih belajar. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun untuk kemajuan penulis
kelak di masa depan terutama dari Dosen Pembimbing.

Surabaya, 20 Februari 2020


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Definisi Arbitrase......................................................................................2
B. Dasar Hukum Arbitrase ............................................................................4
C. Macam- macam, Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase..............7
BAB III PENUTUP................................................................................................11
A. Kesimpulan..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara dapat memperoleh kesepakatan


dalam proses perkara dan konflik. Karena masyarakat semakin meninggalkan cara
kebiasaan dan beralih ke cara hukum, jadi warga tersebut secara berangsur
menggunakan cara penyelesaian sengketa yang diakui pemerintah. Misalnya, di
Amerika Serikat, saat ini para pihak menyelesaikan banyak konflik, baik sengketa
publik dan swasta maupun sosial dan pribadi melalui litigasi di hadapan badan
peradilan umum. Sebenarnya, metode pertentangan dalam penyelesaian sengketa
sudah umum di Amerika Serikat dan menjadi suatu model yang diakui seluruh proses
perkara ajudikasi dan ajudikasi semu.
Hal tersebut dapat mempengaruhi prosedur dan pengambilan keputusan dalam
konteks lain. Namun ajudikasi publik apakah bersifat adversarial, seperti di negara-
negara yang menganut common law, atau bersifat inquisitorial seperti di negara-
negara yang menganut civil law, tidak selalu menjadi cara terbaik untuk
menyelesaikan sengketa dan konflik

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Arbitrase?
2. Apa saja Dasar Hukum Arbitrase?
3. Apa dan Bagaimana Macam- macam, Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan
Arbitrase?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Apa Definisi dari Arbitrase.
2. Menjelaskan Dasar Hukum Arbitrase.
3. Menjelaskan Bagaimana Macam- macam, Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan
Arbitrase.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa mengatur penyelesaian atau beda pendapat antara
para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah membuat perjanjian
arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan
dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.1
Pandangan beberapa pakar hukum, antara lain:
1. Gary Goodpaster
“Arbitrase adalah ajudikasi pribadi para pihak yang berselisih,
mengantisipasi kemungkinan perselisihan atau mengalami perselisihan yang
sebenarnya, setuju untuk menyerahkan perselisihanmereka kepada pembuat
keputusan yang dengan cara tertentu yang mereka pilih”
2. Priyatna Abdurrasid
Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan sengketa yang dilakukan secara
yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti yang diajukanoleh para pihak.
3. Komisi Hukum Internasional
Prosedur penyelesaian perselisihan antara negara-negara dengan putusan
yang mengikat atas dasar hukum dan sebagai hasil dari suatu usaha yang
diterima secara sukarela.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan arbitrase yaitu sebagai berikut:
1. Arbitrase dilaksanakan dalam menyelesaikan kasus perdata, hal ini dapat dilihat
dari rumusan kata-kata “mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat
antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu”. Hubungan hukum
tertentu dimaksud adalah hubungan hukum perdata, hal ini sesuai dengan pasal
1 ayat(1).
1
Prof. Dr. Hj. Susilawetty, S.H., M.Hum., Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam
Persepektif Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: gramata publishing), hlm. 1.

2
2. Perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak berdasarkan asas kesepakatan
bahwa mereka telah memilih lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa di
antara mereka. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan perjanjian yang diatur
dalam pasal 1338 ayat (1). Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 7 undang-
undang ini bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi akan diselesaikan melalui arbitrase.
3. Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Hal ini berkaitan dengan bentuk
perjanjian yang dibuat para pihak di mana harus berbentuk tertulis mengingat
dalam klausul kontrak harus dicantumkan bahwa para pihak akan memilih
arbitrasi untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi di antara mereka.
4. Arbiter diberi tugas dan kewenangan dalam bentuk “keputusan” hal ini dapat
dilihat dalam rumusan kata-kata “arbiter berwenang menentukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam
perjanjian mereka”. Dengan demikian, arbriter mempunyai kewenangan untuk
menentukan putusan bagaiman layaknya sebuah putusan pengadilan. Hal ini
sesuai dengan bunyi pasal 3 bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrasi dan
pasal 11 ayat (1) bahwa adanya suatu perjanjian arbitrasi tertulis meniadakan
hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
yang termasuk dalam perjanjian ke pengadilan negeri, ayat (2) pengadilan
negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrasi, kecuali dalam hal-hal tertentu
yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Semua ini merupakan suatu
gambaran bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan penyelesaian melalui litigasi.2

B. Dasar Hukum Arbitrase


Arbitrase mempunyai beberapa dasar hukum, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Pasal 377 HIR

2
Ibid., hlm. 2.

3
Sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, dasar hukum arbitrase diatur dalam
Pasal 377 377 HIR , yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan diputuskan
oleh juru pisah maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku
bagi bangsa Eropa.”3
Pasal 377 diatas adalah yang menjadi landasan keberadaan arbitrase
dalamkehidupan dan praktek hukum. Pasal ini menegaskan para pihak-pihak yang
bersengketa agar dapat Menyelesaikan sengketa memalui “juru pisah” atau arbitrase
dan arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk
suatu “keputusan”, maka dari itu baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter,
“wajib” menaati peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa maupun golongan
Eropa.
Dari bunyi pasal 377 HIR tersebut terlihat bahwa dapat memberi kemungkinan
dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan
perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan “Pengadilan”, apabila mereka
menghendakinya. Penyelesaian serta keputusan dapat mereka serahkan sepenuhnya
kepada juru pusah yang biasa dikenal dengan sebutan “arbitrase” dan oleh undang-
undang, arbitrase tersebut di limpahi fungsi serta kewenangan untuk “memutus” suatu
persengketaan.4

2. UU No. 30 Tahun 1999


Dalam undang-undang No. 30 tahun 1999 arbitrase yang di atur merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Sengketa yang bisa diselesaikan
melalui jalur arbitrase adalah hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum
dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengkata atas dasar kata sepakat satu
sama lainnya.

3. UU No. 5 Tahun 1968

3
Hj. Susilawetty. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : Gramata Publishing, 2013) hlm. 3
4
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 1-2

4
UU No. 5 Tahun 1968 merupakan Persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes Between
States and National of Other States). Tujuan menetapkan persetujuan konvensi itu
bermaksud untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing di
Indonesia. Sebab, dengan diakui konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia, sedikit
banyak akan memberi keyakinan kepada pihak pemodal asing, bahwa sengketa yang
timbul kelak dapat dibawa kepada forum arbitrase.
Penyelesaian sengketa yang timbul, tidak didasarkan pada ketentuan tata hukum
Indonesia yang pada umumnya kurang mereka fahami, serta barangkali mereka
menganggap jauh tertinggal dan kurang sempurna menyelesaikan masalah-masalah
yang berskala hubungan Internasional.5

4. KEPRES No. 34 Tahun 1981


Peraturan lain yang menjadi dasar hukum berlakunya arbitrase di Indonesia
adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur
tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award atau yang biasa disebut Konvensi New York 1958.
Sejak tanggal berlakunya Keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah mengikat
diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan
eksekusi atas setiap putusan arbitrase. Akan tetapi, pengakuan dan kewajiban hukum
tersebut tidak terlepas penerapannya dari asas “resiprositas” yakni asas “timbal balik”
antara negara yang bersangkutan dengan negara Indonesia. Artinya, kesediaan negara
Indonesia mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing, harus berlaku timbal
balik dengan pengakuan dan kerelaan negara lain mengeksekusi putusan arbitrase
yang diminta oleh pihak Indonesia. Keppres No. 34 Tahun 1981 ini bertujuan
memasukkan Konvensi New York 1958 ke dalam tata hukum di Indonesia.6

5. PERMA No. 1 Tahun 1990

5
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 5
6
Ibid, hlm. 18-19

5
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990 yang berlaku mulai
tanggal 1 Maret 1990 merupakan jawaban terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase asing, meskipun Pemerintah RI berdasarkan UU No. 5 Tahun 1968
telah menyepakati dan bergabung dengan Convention on the Settlement of Investment
Disputes Between States and National of Other States yang disingkat dengan (ICSID)
atau Centre, ternyata eksekusi putusan arbitrase asing masih tetap mengalami
kegagalan. Bahkan dengan Keppres No. 34 Tahun 1981, Pemerintah juga telah
mengesahkan dan bergabung ke dalam konvensi New York 1958, secara de facto dan
yuridis telah menempatka Indonesia sebagai negara yang terikat dan harus patuh serta
rela “mengakui” dan melaksanakan eksekusi setiap putusan arbitrase asing.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, karena setiap permintaan eksekusi putusan
arbitrase asing, selalu kandas di depan pengadilan. Dengan keluarnya perma, maka
akan berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase asing. Dan dengan perma dapat ditampung pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase asing yang dulu ditolak. Tujuan dari Perma No.1 Tahun 1990 sendiri adalah
untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing.7

6. Uncitral Arbitration Rules


Salah satu dasar hukum arbitrase yang telah dimasukkan ke dalam sistem tata
hukum nasional Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL
dilahirkan sebagai resolusi sidang umum PBB tanggal 15 Desember 1976.
Pemerintah Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani resolusi
dimaksud. Dengan demikian UNCITRAL Arbitration Rules yang menjadi resolusi.
Telah menjadi salah satu sumber hukum Internasional di bidang arbitrase.
Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk mengglobalisasikan serta
menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam menyelesaikan
persengketaan yang terjadi dalam hubungan perdagagan internasional.8

7
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 31
8
Ibid. hlm. 40

6
C. Macam- macam, Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase
A. Macam-macam Arbitrase
Berdasar ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules
menyimpulkan beberapa jenis, diantaranya:
1. Arbitrase ad hoc
arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu.
Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan. Jika ada sengketa baru diciptakan arbitrase, dan personnya orang belum
punya lisensi tetapi punya keahlian, sehingga bisa dikatakan bersifat sesaat (non
permanen)9.

2. Arbitrase institusional
Lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, sering disebut
“permanent arbitral body”. Arbitrase ini diadakan oleh organisasi tertentu dan
mendirikan untuk menampung sengketa yang timbul dari perjanjian. Arbitrase
institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani sudah selesai.10
Persyaratan pengajuan permohonan penyelesaian sengketa yakni dengan
mengajukan permohonan secara tertulis dengan menyebutkan segala permasalahan
dan tuntutan.
Adapun syarat surat permohonan arbitrase harus memuat:
1) Identitas seperti nama dan alamat para pihak
2) Keterangan fakta-fakta yang mendukung permohonan arbitrase
3) Butir-butir permasalahnnya
4) Besarnya tuntutan.

B. Prinsip Arbitrase
Prinsip arbitrase adalah penyelesaian sengketa dengan cepat, tepat dan hasil
memuaskan. Pada proses arbitrase dikatakan cepat, karena alokasi waktu
9
Mudakir Iskandar Syah, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Via Arbitrase, (Yogyakarta: Candi Gebang,
2016), hlm, 3.
10
Ibid, hlm, 4

7
penyelesaian cukup singkat, setelah ada putusan dari lembaga arbitrase, tidak bisa
diadakan upaya hukum dari para pihak. Dikatakan tepat, pada prinsipnya
pemeriksaan pada lembaga arbitrase lebih menitikberatkan pada aspek dokumen dan
perjanjian tertulis dari para pihak yang bersengketa.11
Para pihak yang sengketa mempunyai kebebasan untuk menentukan, hukum yang
digunakan, pengadilan, bahasa yang diberlakukan, untuk arbitrase di Indonesia lebih
menggunakan bahasa Indonesia, kecuali ada perjanjian para pihak mengenai bahasa
lain. Di Indonesia sendiri lembaga yang berkompeten menangani arbitrase yakni
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Lembaga yang bertindak secara
otonomi dan independen dalam pengakuan hukum dan keadilan. Aturan yang
digunakan dalam arbitrase bersifat nasional maupun internasional. Sejalan dengan
perkembangan zaman kearah globalisasi. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
telah jadi pilihan utama para pelaku pebisnis. Selain karakteristik cepat, efisien dan
tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution (nyaman semua pihak), dan tidak
berlarut-larut karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya penyelesaian via
arbitrase lebih terukur, karena berdasar atas prosentase jumlah permohonan/ gugatan
yang dituntut.
Menyediakan jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
atau bentuk-bentuk penyelesaian sengketa lainnya, seperti negoisasi, mediasi,
konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan peraturan prosedur
BANI atau prosedur lain yang disepakati oleh pihak yang berkepentingan.12

C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase


Kelebihan Arbitrase:
1. Menang waktu, karena dapat dikontrol oleh para pihak sehingga kelambatan
dalam proses peradilan pada umumnya dapat dihindari
2. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
3. Macam-macam bukti dalam penyelesaian perselisihan yang tidak terletak dalam

11
Ibid, hlm, 5-8.
12
M. Yahya Harahap. Arbitrase, (Jakarta : Sinar Garafika, 2001) hlm. 55.

8
bidang yuridis dapat digunakan, sehingga tidak perlu terlambat karena ketentuan
undang-undang mengenai pembuktian yang bersangkutan
4. Putusan arbitrase umumnya menjamin, tidak memihak, dan jitu karena
diputuskan oleh (orang) ahli pada umumnya menjaga nama dan martabatnya
karena kebiasaan berprofesi dalam bidang tersebut
5. Peradilan arbitrase potensial menciptakan profesi yang lain, yakni sebagai arbiter
yang merupakan faktor pendorong untuk para ahli lebih menekuni bidangnya
bisa mencapai tingkat paling atas secara nasional.13

Kekurangan Arbitrase:
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun
masyarakat bisnis, bahkan dikalangan akademis
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan
memasukkan perkaranya kepada lembaga arbitrase
3. Lembaga arbitrase tidak memiliki daya paksa atau kewenangan melakukan
eksekusi putusannya
4. Kurang patuhnya para pihak terhadap hasil penyelesaian yang dicapai dengan
arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan teknik mengulur
waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan lain sebagainya
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Arbitrase hanya bisa bertumpu di
atas etika bisnis, misalnya kejujuran dan kewajaran.14
Contohnya :
Pencapaian konsensus bersama seperti yang terjadi dalam hukum adat di
Indonesia, disamping menyelesaikan sengketa tertentu juga membantu membangun
dan melindungi komunitas. Pembentukan dan pemeliharaan komunitas itu penting
dan jika anggota komunitas termasuk para pihak yang bersengketa telah mencapai
konsensus yang sebenarnya, maka pencapaiannya akan memuaskan para pihak dan
berjalan dengan baik. Tetapi, seringkali, yang muncul dalam upaya untuk mendapat
kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung. Yakni para pihak
13
Agnes M. Toar, Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm, 44-45.
14
Ibid.

9
yang bersengketa dipaksa untuk menyetujui demi kepentingan keharmonisan
komunitas.
Dari beberapa kasus seperti di atas, kebutuhan dan kepentingan yang bersengketa
mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Akibat dari kelemahan prosedur tersebut yakni
kerugian yang dialami pihak bersengketa, demikian juga konsekuensi yang lebih lama
sebagai akibat dari kerugian tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Arbitrase seharusnya menjadi metode penyelesaian sengketa yang dipilih apabila


pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa mereka secara damai
melalui negosiasi, konsiliasi, atau jasa baik. Penumpukan perkara pada pengadilan di
Indonesia akan mengendurkan niat pihak yang dirugikan untuk mengambil langkah
hukum karenanya tidak memberikan upaya penyelesaian yang efektif. Arbitrase

10
secara relatif tidak mahal dan bersifat privat, serta merupakan media yang efektif bagi
salah satu pihak untuk meyakinkan bahwa pihak lain bertindak sesuai dengan
kesepakatan.
Suatu undang-undang khusus tentang arbitrase, baik domestik maupun
internasional, merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi
kesenjangan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya . 2001. Arbitrase. Sinar Garafika. Jakarta.

Iskandar Syah, Mudakir. 2016. Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Via


Arbitrase. Candi Gebang. Yogyakarta.

M. Toar, Agnes. 1995. Arbitrase di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Muhibuthabary. 2014. Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi


Syariah Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 . Jurnal Asy-
Syari’ah Vol. 16, No. 2. Aceh.

11
Susilawetty. 2013. Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam
Persepektif Peraturan Perundang-undangan. gramata publishing. Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai