Anda di halaman 1dari 18

TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI

(KONSTITUSIONALISME DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945 PASCA


AMANDEMEN DAN URGENSI AMANDEMEN KELIMA)

Makalah
Program Studi Hukum Bisnis dan Kenegaraan
Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Diajukan oleh:

Vina Rohmatul Ummah

22/501459/PHK/12031

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Lord Acton mengatakan “Power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely”,
Kekuasaan cenderung pada kesewenang-wenangan, dan kekuasaan yang absolut akan
sewenang-wenang secara absolut. Maka dari itu, kekuasaan harus dibatasi. Terutama di negara
dengan kedaulatan rakyat, seperti di Indonesia dengan konstitusinya, yaitu UUD 1945. Untuk
membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak rakyat, maka dibentuklah sebuah
konstitusi yang kemudian menjelma sebagai hukum tertinggi dari sebuah negara. Dalam
sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi atau hukum tertinggi dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami 4
(empat) kali amandemen atau perubahan. Amandemen yang dilakukan oleh MPR pada tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002 merupakan hasil dari perjuangan Reformasi masyarakat Indonesia
khususnya para mahasiswa kala itu. yangmana konstitusi diyakini dirumuskan berdasarkan
sumber-sumber yang bersifat transeden, namun pada dasarnya merupakan hasil karya manusia
yang terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga tiap konstitusi selalu membuka peluang untuk
perubahan. Jika menilik kembali pada UUD 1945 pasca amandemen, baik dilihat dari segi
kualitas maupun segi kuantitas perundang-undangan masih memuat kelemahan-kelemahan
yang bersifat dinamis.

Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapat terlihat terutama dari segi substansi UUD
1945 yang inkonsistensi, antara lain terkait (1) sistem presidensill yang dianut ternyata banyak
terjadi penyimpangan dari sistem tersebut, adanya pertanggungjawaban Presiden kepada MPR
yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi, intervensi DPR terhadap
penyelenggaraan kekuasaan Presiden, impeachment yang dilakukan oleh MPR, serta
ketidakjelasan tugas, kewajiban, dan pertanggungjawaban seorang Wakil Presiden; (2)
Bargaining Power DPD yang tidak seimbang dalam bentuk perwakilan bikameral dengan
DPR; (3) Eksistensi lembaga Komisi Yudisial dalam sistem kenegaraan saat ini, dan beberapa
permasalahan lainnya.1 Selain permasalahan substansi, terhadap proses pembentukannya
masih didominasi oleh kepentingan politik kelompok tertentu dan mengesampingkan

1
Septi Nur Wijayanti, Studi Evaluasi Terhadap Amandemen UUD 1945, Junal Media Hukum Volume 16 Nomor
2, Desember 2009, hlm. 225.
kepentingan masyarakat dengan tidak mengakomodir nilai atau budaya yang hidup di
masyarakat.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia memuat tentang aturan


dasar bagi pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
serta menjamin dan memberikan perlindungan hak-hak baik sebagai warga negara maupun
individu. Berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar penyelenggaraan negara mengandung
makna sebagai pembatasan kekuasaan atau wewenang dan untuk menjamin hal tersebut
munculah konsep atau gagasan konstitusionalisme. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pasca
amandemen menyebutkan bahwa ‘kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan
menurut UUD’ hal ini merupakan pengejawantahan Indonesia sebagai negara demokrasi
konstitusional. Bahwa dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam sebuah negara
harus bertumpu dan dibatasi melalui aturan atau hukum yang berlaku, dengan kata lain
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna.

Kembali dalam konteks penyelenggaraan negara, dalam konsep negara hukum atau
negara demokrasi konstitusional mempunyai tiga aspek utama dalam pelaksanaan demokrasi
dan nomokrasi, yaitu penataan hubungan antarlembaga negara, proses legislasi, dan judicial
review. Penataan hubungan antarlembaga ini merupakan suatu bentuk penataan relasi
kekuasaan yang bertujuan mencapai suatu tujuan bernegara demokrasi serta membatasi dan
menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pemerintahan.
Dalam aspek ini terbentuklah prinsip pemisahaan kekuasaan (separation of power) sebagai
bentuk pengawasan, saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (checks and balances)
antar lembaga negara yang kemudian dituangkan dalam aturan hukum dalam rangka
membatasi sekaligus melegitimasi kekuasaan masing-masing lembaga. Tentunya harapan
UUD 1945 dapat menjadi konstitusi yang kokoh, yang mampu menjamin demokrasi secara
berkelanjutan hanyalah konstitusi yang mengatur dengan rinci dan jelas terkait batas-batas
kewenangan dan kekuasaan lembaga baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif secara
seimbang dan saling mengawasi (checks and balances), serta menjamin hak-hak warga negara
dan hak asasi manusia (HAM).

Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional yang dibentuk


dengan konstitusi tentunya menganut konstitusionalisme, sebab UUD 1945 ini merupakan
bagian dari, bahkan seringkali disamakan dengan konsitusi itu sendiri. Menurut Andrew
Heywood, dalam ruang lingkup yang sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan sebatas
penyelenggaraan negara yang dibatasi oleh undang-undang dasar –inti negara hukum. Bahwa
hal ini dapat diartikan, suatu negara yang dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme
apabila lembaga-lembaga negara serta proses politik dalam negara tersebut secara efektif
dibatasi oleh konstitusi. Sedangkan dalam cakupan lebih luas, konstitusionalisme adalah
perangkat nilai dan manifestasi aspirasi politik warganegara, yang merupakan cerminan dari
keinginan untuk melindungi kebebasan, melalui sebuah mekanisme pengawasan, baik secara
2
internal maupun eksternal terhadap suatu kekuasaan pemerintahan. Sehingga dari uraian
diatas, menjadi penting sekali untuk mereflesikan kembali aktualisasi konstitusionalisme
dalam konstitusi pasca amandemen.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah paham Konstitusionalisme sudah terwujud dalam hasil Amandemen Undang-


Undang Dasar 1945 ?
2. Mengapa muncul keinginan untuk melakukan perubahan UUD 1945 atau apa yang
melatarbelakangi keinginan untuk mengubah UUD 1945 ?

2
Aktualisasi paham konstitusinalisme dalam konstitusi pasca amandemen undang-undang dasar 1945, m .
yasin al-arif, jurnal pandecta volume 12 nomor 2 december 2017.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen


1. Konstitusi dan Konstitusionalisme

Konstitusi, Grondwet, Grundgeset, atau Undang-Undang Dasar merupakan hukum


tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar (grond) dari segala
hukum di Indonesia. Istilah “konstitusi” berarti “pembentukan”, kata ini berasal dari kata kerja
“constituer”, yang artinya membentuk, sedangkan yang dibentuk itu adalah sebuah negara.
Dengan demikian konstitusi mengandung makna awal segala peraturan perundang-undangan
dalam suatu negara. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan konstitusi sebagai
hukum dasar yang dijadikan sebagai pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Baik
konstitusi berupa hukum dasar tertulis, lazimnya disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat
pula sebagai konstitusi tidak tertulis. Adapun batasan-batasan terkait konstitusi dapat
dirumuskan sebagai berikut:

a. Konstitusi merupakan suatu kaidah hukum yang memberikan batasan-batasan


terhadap kekuasaan dalam penyelenggaraan negara;
b. Mendeskripsikan terkait penegakan hak-hak asasi manusia serta memuat materi
mengenai susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.3

Djokosoetono memintakan perhatian atas beberapa makna konstekstual pemahaman


konstitusi sebagai berikut:

a. Konstitusi dalam makna materil (constitutie in materiele zin), berpaut dengan


gekwalificeerde naar de inhoud, yaitu dititikberatkan pada isi konstitusi yang memuat
dasar (grondslagen) dari struktur (inrichting) dan fungsi (administratie) negara.
b. Kosntitusi dalam makna formal (constitutie in formele zin) berpaut dengan
gekwalificeerde naar de maker, yaitu dititikberatkan pada cara dan prosedur tertentu
dari pembuatannya.
c. Konstitusi dalam makna UUD (grondwet) selaku pembuktian (constitutie als
bewijsbaar), agar menciptakan stabilitas (voor stabiliteit) perlu dinaskahkan dalam
wujud UUD atau Grondwet.

3
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, jakarta Pt. Bhuana Ilmu Populerm Hlm. 4
Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar sebenarnya tidak
dapat dilihat lepas dari konsep konstitusionalisme, suatu konsep yang telah berkembang
sebelum UUD pertama dirumuskan. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa
pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak
bersifat sewenang-wenang.4 Menurut Carl J. Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan
di mana pemerintah dipasang sebagai suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan
atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan.5

Konstitusionalisme dihadirkan untuk membentuk dan menjaga berjalannya suatu ketertiban


dalam pemerintahan. Walton H. Hamilton mengutarakan bahwa ‘Constitusionalism is the name
given to the trust which men response in the power of words engrossed on parchment to keep
a government in order’.6 Sehingga konstitualisme ini dapat diartikan sebagai paham yang
meletakkan pembatasan terhadap kekuasaan atau penyelenggara kekuasaan, baik dengan
pemisahan atau pembagian cabang-cabang kekuasaan maupun dengan pengakuan dan jaminan
hak-hak rakyat melalui konstitusi itu sendiri.

2. Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan


(distribution atau division of power) merupakan upaya untuk mencegah adanya penumpukan
kekuasaan di satu tangan yang akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang
sewenang-wenang. Pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan
dipisahpisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan
yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah
kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan


keduanya merupakan konsep mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) yang
secara akademis, dapat dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam
pengertian luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian
pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division of power (distribution of
power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan kekuasaan yang bersifat

4
Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2008, hlm. 171
5
Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung, Refika Aditama, 2013, hlm. 112
6
Esensi paham konsep konstitusionalime dalam konteks penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, bachtiar,
jurnal surya kencama dua: dinamika masalah hukum dan keadilan, vol. 6 no. 1 maret 2016.
horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal,
kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan
fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan
dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power) kekuasaan negara dibagi secara
vertikal dalam hubungan ‘atas-bawah’.

John Locke dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government juga
membagi kekuasaan negara menjadi 3 cabang kekuasaan, yaitu :1) Kekuasaan legislatif,
kekuasaan untuk membuat Undang-Undang; 2) Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang; 3) Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan
dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

Indonesia tidak lagi menganut pemisahan kekuasaan trias politika secara keseluruhan.
Karena dalam struktur lembaga negara terdapat kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
seperti yang disebutkan oleh Montesquieu, namun tidak terdapat pemisahan kekuasaan yang
drastis (Separation of power), melainkan hanya pembagian kekuasaan (distribution of power)
sehingga dengan demikian antara lembaga kekuasaan masih ada hubungan sebagai upaya untuk
melakukan checks and balances.

Pasca Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945, struktur ketatanegaraan


Indonesia mengalami banyak perubahan. Seperti pada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang berada di atas
lembaga tinggi negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, BPK, DPA dan
MA, akan tetapi setelah dilakukan perubahan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara
serta ada lembaga tinggi negara yang dihapuskan, yakni Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Adapun pembagian lembaga kekuasaan negara menurut UUD 1945 (setelah amandemen)
antara lain:

a. Kekuasaan Konstitutif
- Majelis Permusyawaratan Perwakilan
MPR diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 UUD 1945. Amandemen yang dilakukan
terhadap UUD 1945 telah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan
pemerintahan terutama perubahan terhadap tugas dan wewenang MPR. Dalam
pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen, MPR terdiri atas anggota DPR dang
anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Kewenangan MPR sebelum
amandemen ialah menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN), memilih Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan suara terbanyak di
MPR. Bahkan sebelum amandemen terhadap UUD 1945, MPR menjelma sebagai
kedaulatan rakyat yang menjadikannya sebagai lembaga tertinggi negara.
Setelah amandemen, kekuasaan MPR dibatasi hanya pada penetapan UUD. Adapun
kewenangan MPR untuk melakukan pemberhentian terhadap presiden dan wakil
presiden dalam masa jabatannya dilakukan menurut UUD yang diatur dalam pasal
7A dan 7B. Harus berdasarkan usulan dari DPR yangmana sebelumnya harus
diajukan terlebih dahulu kepada MA untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
apakah presiden dan/atau wakil presiden dinyatakan telah melakukan pelanggaran
yang disebutkan dalam konstitusi.
Sementara itu, hilangnya GBHN yang kemudian digantikan oleh Perencanaan
Pembangunan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang menimbulkan
perdebatan tersendiri. Terdapat pihak yang setuju dan yang tidak setuju mengenai
hal ini. Pihak yang tidak setuju akan hilangnya GBHN beranggapan bahwa GBHN
adalah dokumen negara yang menjadi cetak biru pembangunan Indonesia yang
capaiannya jelas dan tidak akan berubah meskipun ada pergantian presiden.
Sedangkan bagi pihak yang setuju beranggapan bahwa UU tentang perencanaan
Pembangunan Nasional sudah cukup untuk menjadi grand design pembangunan
nasional, karena UU tersebut juga telah memuat tahapan capaian-capaian
pembangunan melalui RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) dan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Segala
visi dan misi presiden harus mengacu pada RPJMN dan RPJPN tersebut. Hal ini
karena adanya anggapan bahwa presiden paling tahu mengenai kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembangunan, karena Presidenlah yang
melaksanakan kekuasaan pemerintahan tersebut.

b. Kekuasaan eksekutif
- Presiden
Dalam UUD 1945 hasil amandemen, kekuasaan Eksekutif diatur dalam pasal 4
sampai dengan pasal 16. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar yang dalam melaksanakan kewajibannya dibantu oleh
seorang wakil presiden dan menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh
presiden. artinya presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan,
karena itu menteri-menteri bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Presiden
berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR dan memiliki
hak prerogatif dalam hal mengangkat menteri, mengangkat duta atau konsul,
menerima penempatan duta negara lain, memberi amnesti dan abolisi, yang
memperhatikan pertimbangan DPR, dapat memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA), dapat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan
DPR. Hal ini merupakan bentuk hubungan checks and balances antara presiden
dengan lembaga negara lainnya yang dalam menjalankan tugasnya tidak bisa
dipisahkan secara tegas satu dengan yang lainnya.
Sebagai konsekuensi logis dari dipilihnya Presiden secara langsung oleh rakyat,
maka presiden tidak lagi bertanggungjawab secara langsung kepada MPR yang
sebelumnya adalah mandataris rakyat. Adapun kewenangan MPR untuk
memberhentikan Presiden atas usul DPR jika dilihat dalam UUD hanya terbatas
pada telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden berdasarkan putusan MK.

c. Kekuasaan legislatif
- Dewan Perwakilan Rakyat
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Keberadaan DPR diatur
dalam pasal 19 sampai dengan pasal 22B UUD 1945 hasil amandemen. Anggota
DPR dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu melalui rekrutmen partai
politik. Maka dari itu, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden ataupun
memberhentikan presiden. Dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pembuat
undang-undang, DPR tidak dapat bekerja sendiri, karena UUD mengatur bahwa
setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibuat dan diusulkan oleh DPR
harus dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Selain menjalankan fungsi legislatif, DPR memiliki fungsi lainnya, yakni fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan. Sebagai wakil rakyat di pemerintahan, DPR
melakukan pengawasan terhadap penggunaan kuangan negara yang digunakan
oleh pemerintah dalam hal ini eksekutif, dan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan pemerintahan oleh Presiden. Fungsi anggaran dilakukan saat Presiden
mengajukan RAPBN yang harus dibahas bersama antara presiden dan DPR,
tujuannya agar DPR sebagai wakil rakyat dapat mengetahui digunakan untuk apa
saja uang negara tersebut yang bersumber pada hasil pajak yang dibayarkan oleh
rakyat. Sementara itu, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR memiliki hak
interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat.
UUD 1945 hasil amandemen juga mengatur mengenai Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Anggota DPD dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. DPD
bukanlah lembaga kekuasan legislatif meskipun memiliki hak mengajukan RUU,
ikut membahas RUU, dan melakukan pengawasan pengawasan terhadap undang-
undang yang berkenaan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dewasa ini sering terdapat kekeliruan di masyarakat yang menganggap Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga legislatif di daerah. Anggapan
tersebut merupakan sebuah kesalahan. DPRD tidak memiliki kekuasaan untuk
membentuk Undang-Undang, selain itu, kedudukan DPRD bukanlah lembaga
kekuasaan negara, namun hanya lembaga negara yang merupakan salah satu unsur
penyelenggara negara di daerah bersama dengan kepala daerah. DPRD hanya
memiliki fungsi yang hampir sama dengan DPR, yakni melakukan fungsi regulasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Berkenaan dengan fungsi regulasi,
DPRD berwenang untuk membentuk peraturan darah yang dalam sistem
konstitusional berada dibawah Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR atas
persetujuan bersama dengan Presiden.

d. Kekuasaan yudikatif
- Lembaga Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial)
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam pasal 24, 24A-C, dan pasal 25 UUD 1945 hasil
amandemen. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi (MK).
MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Calon hakim agung
diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunya wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota KY diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. MK wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. MK memiliki 9 orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3
orang oleh MA, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.

e. Kekuasaan inspektif
- Badan Pemeriksa Keuangan
Lembaga inspektif adalah lembaga pemgawasan yang mengontrol dan memeriksa
penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Hasil pemerikasaan
keuangan negara oleh BPK diserahkan kepada DPR dan DPRD. Anggota BPK
dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh
Presiden. BPK sebagai lembaga pengawas keuangan negara (APBN dan APBD)
harus terlepas dari kekuasaan eksekutif dan juga tidak berarti berdiri diatas lembaga
eksekutif. Namun, karena anggota BPK dipilih oleh DPR dan hasil pemeriksaan
diberikan lagi kepada DPR dan DPRD, maka sulit bagi BPK melakukan
pengawasan secara independen. Inilah salah satu yang melatarbelakangi dibuatnya
lembaga ad-hoc Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU tentang KPK.
Meskipun anggota KPK dipilih oleh Presiden, namun KPK berwenang untuk
melakukan peradilan pidana yang merupakan ranah dari kekuasaan yudikatif yang
independen. KPK dibentuk berdasarkan pasal 24 ayat (3) UUD 1945 hasil
amandemen.

Hal tersebut kemudian menimbulkan anggapan bahwasanya Undang-Undang Dasar


1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, dengan jumlah organ-organ negara yang
ditentukan didalamnya tidak terbatas pada 3 saja melainkan lebih daripada itu sehingga timbul
kemungkinan bahwa suatu organ mempunyai fungsi lebih dari satu atau sebaliknya. Setelah
amandemen, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 tidak menganut teori Trias Politica karena telah terjadi reformasi pembagian kekuasaan,
yakni adanya “check and balances” antara tiga lembaga negara yang mendapat mandat
langsung rakyat melalui pemilihan umum, yaitu: badan legislatif (DPR dan DPD yang anggota-
anggotanya menjadi MPR) serta Presiden dan Wakil Presiden. Ditambah juga dengan MA dan
MK yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan kewenangannya
(MA diatur dalam pasal 24A dan MK diatur dalam pasal 24C UUD Negara RI tahun 1945).
Lembaga negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga di lengkapi dengan lembaga
negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang demokratis, seperti KY serta KPU
dan terwujudnya “good corporate governance” seperti BPK, Bank Sentral (BI) dan komisi-
komisi yang mandiri serta independence lainnya.

B. Mengapa muncul keinginan untuk melakukan perubahan UUD 1945 atau apa yang
melatarbelakangi keinginan untuk mengubah UUD 1945

Amandemen atau perubahan konstitusi merupakan sesuatu yang tidak asing dalam kajian
hukum konstitusi. Secara umum, sebagaimana disampaikan oleh Sri Soemantri bahwa
perubahan konstitusi dimaksudkan untuk merespon perubahan-perubahan tertentu yang
mengharuskan perubahan itu dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perubahan
suatu konstitusi digunakan untuk memenuhi tuntutan zaman agar aturan yang termuat dalam
konstitusi tidak ketinggalan zaman.7

Menurut Prof. Ni’matul Huda, satu-satunya alasan mendasar diperlukannya perubahan


suatu UUD dalam suatu negara adalah substansi pengaturan dalam UUD tersebut mengalami
banyak kelemahan, sehingga akan menimbulkan kemungkinan pelemahan eksistensi suatu
negara. Kelemahan tersebut dapat terjadi dalam skala keseluruhan isi maupun dalam beberapa
bidang aturan tertentu. Kelemahan ini perlu dilakukan dengan perbaikan melalui perubahan
(amandemen) terhadap UUD tersebut, baik amandemen keseluruhan maupun terhadap suatu
bidang pengaturan tertentu. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk menanggulangi
akibatakibat buruk yang akan ditimbulkan oleh kelemahan substansi pengaturan tersebut
terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.8 Sedangkan dari sisi
filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah 1), karena UUD 1945 adalah moment

7
Muwaffiq Jufri, Urgensi Amandemen Kelima Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Terkait Hak Dan Kebebasan Beragama, Jurnal Ham, Vol. 12 No, 1, April 2021
8
Ni’matul Huda, “Gagasan Amandemen (Ulang) Uud 1945 (Usulan Untuk Penguatan Dpd Dan Kekuasaan
Kehakiman),” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 15, no. 3 (2008): 373–39
opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya
konstitusi itu. Setelah 54 tahun kemudian, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat
nasional maupun global. Hal ini tentu saja belum tercakup di didalam UUD 1945 karena saat
itu belum nampak perubahan tersebut. 2) UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai
kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan
manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.

Dari aspek historis, sedari mula pembuatannya UUD 1945 bersifat sementara,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI), dalam rapat pertama tanggal
18 Agustus 1945, yang mengatakan: “….tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang
undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang undang dasar sementara. Kalau boleh
saya memakai perkataan “ini adalah undang undang dasar kilat”, nanti kalau kita telah
bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita akan mengumpulkan kembali MPR yang
dapat membuat undang undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna….”

Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukkan kearifan bahwa apa yang
mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya di masa yang akan
datang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Untuk itu, mereka (perumus UUD
1945) membuat pasal perubahan didalam UUD 1945, yaitu Pasal 37.

Secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan. Hal itu dapat
diketahui antara lain:1) kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip check and
balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan
menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden. 2), rumusan ketentuan UUD
1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas, sehingga banyak
pasal yang menimbulkan multi tafsir; 3), unsur-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi
secara memadai dalam UUD 1945; 4), UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat
penyelenggara negara; 5), UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar
kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU
yang substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya ataupun saling bertentangan satu
sama lain; 6), banyak materi muatan yang penting justru diatur didalam Penjelasan UUD, tetapi
tidak tercantum didalam pasal-pasal UUD 1945; 7), status dan materi penjelasan UUD 1945
sering menjadi objek perdebatan.9

9
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH-UII
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 3-7
Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqqie, alasan diperlukannya amandemen ulang terhadap
UUD NRI 1945 ialah karena banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh UUD NRI 1945.
Berbagai kelemahan tersebut sesungguhnya telah terjadi sejak dalam proses penyusunan
hingga pengesahan. Secara lebih lanjut, Jimly menegaskan bahwa sepanjang proses tersebut,
unsur kepentingan (baik bisnis maupun politis) turut menjadi bagian dalam memperoleh
pengesahan. Di samping itu, minimnya waktu yang disediakan dalam melakukan amandemen
turut memberikan andil terhadap buruknya hasil yang diperoleh dalam amandemen UUD 1945
tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari kelemahan tersebut menyebabkan pilihan pilihan
yang menyangkut kebenaran akademis dikalahkan oleh pilihan-pilihan yang berkenaan dengan
kebenaran politik. Berdasarkan hal ini, Jimly berpendapat bahwa sudah selayaknya UUD NRI
1945 diamandemen ulang.10

Menurut Sri Soemantri, alasan untuk melakukan perubahan dalam arti amandemen
adalah:11

a. Guna memproses diktum yang terdapat dalam pasal-pasal UUD;

b. Guna memperbaiki atau menyempurnakan diktum untuk menghindari penafsiran


ganda;

c. Guna mengoreksi kesalahan yang terdapat dalam sebuah dictum;

d. Guna menambah diktum baru untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan yang


dianut dalam konstitusi tersebut;

e. Guna menghadapi pekembangan ketatanegaraan yang dituntut guna terciptanya


kepastian hukum dalam waktu yang relatif lama.

Berdasarkan beberapa alasan tersebut diatas terkait apa yang melatarbelakangi perlunya
perubahan atau amandemen Konstitusi, dapat disimpulkan bahwa; Pertama, banyak pendapat
ahli yang menyatakan bahwa perubahan konstitusi adalah suatu keharusan dalam rangka
memenuhi dan merespon kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan masyarakat yang
dinamis. Kedinamisan kehidupan masyarakat inilah yang wajib direspon oleh konstitusi
sebagai upaya menyeimbangkan kebutuhan rakyat dan perlindungan negara. Dengan
dinamisnya respon konstitusi terhadap tuntutan zaman, keberadaan konstitusi akan mudah

10
Pan Mohamad Faiz, Amandemen Konstitusi, Komparasi Negara Kesatuan Dan Negara Federal, Jakarta:
Rajawali Pers, 2019.
11
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Persepsi Terhadap Prosedur dan Sistem-Sistem
Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 281
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.12

Kedua, terdapat banyak kelemahan dalam substansi suatu konstitusi yang menyebabkan
“kekacauan” dalam sistem ketatanegaraan suatu negara tertentu. Hal ini berarti perubahan
diperlukan hanya untuk menyempurnakan segala bentuk ketidaksempurnaan substansi yang
dinormakan dalam konstitusi, baik konstitusi yang merupakan hasil dari perubahan
sebelumnya maupun konstitusi yang memang belum pernah diubah. Ketidaksempurnaan
muatan konstitusi di atas dapat disebabkan oleh proses penyusunan yang bermasalah atau
proses implementasi konstitusi yang sudah tidak sesuai dengan dinamika perkembangan
kehidupan ketatanegaraan di era global seperti saat ini. Penting ditekankan bahwa perubahan
suatu konstitusi merupakan sesuatu yang wajar dalam sistem masyarakat yang serba
berkembang dan berubah. Hal ini semata diakibatkan oleh pakem hukum sendiri yang terus
tumbuh dan berkembang mengikuti deret hitung, sementara pada tataran praktis, masyarakat
juga berkembang dan tumbuh dengan pola mengikuti deret ukur. Jika tidak disertai dengan
penyesuaian model penormaannya, akan ada kesan bahwa pemberlakuan hukum dalam kondisi
yang tidak sesuai merupakan bentuk pemaksaan dan model pengaturan yang tidak sesuai
dengan semangat yang dibangun oleh negara hukum untuk menertibkan masyarakat. Karena
pada dasarnya tingkat ketertiban pergaulan hukum masyarakat sangat bergantung pada tingkat
responsifnya aturan hukum yang dibangun oleh negara.13

12
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2007,
Hlm. 79.
13
Sonia Ivana Barus, “Proses Perubahan Mendasar Konstitusi Indonesia Pra Dan Pasca Amandemen,”
University Of Bengkulu Law Journal 2, no. 1 (2017): 29–55.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. konstitusionalisme dalam UUD 1945 dapat dilihat dari hubungan lembaga kekuasaan
negara dengan lembaga kekuasaan negara lainnya, dan dapat dilihat dari hubungan
pemerintahan dengan warga negara. Indonesia membagi kekuasaan negara ke dalam
kekuasaan eksekutif (Presiden), Kekuasaan konstitutif (MPR), kekuasaan legislatif (DPR),
Kekuasaan yudikatif (MA, MK, KY), dan kekuasaan inspektif (BPK). Masing-masing
lembaga kekuasaan negara tersebut saling berhubungan satu sama lain atau dengan kata
lain disebut distribution of power, artinya, Indonesia tidak sepenuhnya menganut trias
politika dari Montesquieu.
2. Perubahan konstitusi dimaksudkan untuk merespon perubahan-perubahan tertentu yang
mengharuskan perubahan itu dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perubahan suatu konstitusi digunakan untuk memenuhi tuntutan zaman agar aturan yang
termuat dalam konstitusi tidak ketinggalan zaman. Berdasarkan beberapa alasan tersebut
diatas terkait apa yang melatarbelakangi perlunya perubahan atau amandemen Konstitusi,
dapat disimpulkan bahwa; Pertama, banyak pendapat ahli yang menyatakan bahwa
perubahan konstitusi adalah suatu keharusan dalam rangka memenuhi dan merespon
kebutuhan masyarakat sesuai perkembangan masyarakat yang dinamis. Kedinamisan
kehidupan masyarakat inilah yang wajib direspon oleh konstitusi sebagai upaya
menyeimbangkan kebutuhan rakyat dan perlindungan negara. Dengan dinamisnya respon
konstitusi terhadap tuntutan zaman, keberadaan konstitusi akan mudah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.

B. Saran

perbaikan terhadap konstitusi yang merupakan dasar negara dan sekaligus sebagai hukum
tertinggi dari sebuah negara dalam hal ini UUD 1945 yang sedang berlaku di Indonesia.
Kiranya perlu diadakannya amandemen ke-5 dari UUD 1945 dengan pembahasan mengenai
cetak biru pembangunan nasional, penyempurnaan keterwakilan di MPR, dan beberapa
kejelasan terhadap pasal 34 ayat (1) yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara. Dalam hal ini perlu kiranya dibahas bagaimana negara melakukan
pemeliharaan tersebut. Selanjutnya pada pasal 31 ayat (2) yang intinya membahas mengenai
pendidikan dasar, namun pendidikan dasar sendiri tidak diberikan penekanan berapa lama
waktunya. Adapun pendidikan dasar saat ini diatur hanya sampai 9 tahun saja, jika dilihat dari
keadaan masyarakat dunia saat ini, tentu pendidikan dasar yang hanya SMP akan membuat
SDM Indonesia kalah dalam hal kualifikasi pendidikan dengan negara-negara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Prof. Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2008.

Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung, Refika Aditama, 2013

Syahuri, Dr. Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur Perubahan UUD di
Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

Moh Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta,
Rajawali Pers, 2007.

Pan Mohamad Faiz, Amandemen Konstitusi, Komparasi Negara Kesatuan Dan Negara
Federal, Jakarta, Rajawali Pers, 2019.

Anda mungkin juga menyukai