Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MODUL 5

Mata Kuliah: Dasar Perundang-Undangan Indonesia


Dosen Pengampu: Dr. Sitti Uswatun Hasanah, MH.

Oleh:

Marwati Ulfah (122010024)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PONTIANAK
2021
MODUL 5
Hierarki Peraturan Perundang Undangan di Negara Republik Indonesia
Sony Maulana Sikumbang, S.H., M.H.,
Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H.,
M. Yahdi Salampessy, S.H., M.H.

PENDAHULUAN
Dalam Modul 5 ini, akan membahas mengenai hierarki peraturan perundang-undangan
yang pernah ada di Indonesia. Dalam kurun waktu pemerintahan Republik Indonesia sejak
kemerdekaan hingga saat ini, terdapat perubahan sistem ketatanegaraan termasuk politik hukum,
sehingga tercipta juga beberapa cara pengaturan hierarki yang berbeda. Beberapa cara
pengaturan yang berbeda tersebut sebenarnya merupakan implementasi dari teori jenjang norma
yang telah dibahas beberapa waktu lalu dalam modul-modul yang lalu. Teori jenjang norma yang
dimulai oleh Hans Kelsen dan kemudian dilanjutkan penyempurnaan bagi jenjang norma hukum
dalam negara yang diperkenalkan oleh Hans Nawiasky terimplementasi dalam berbagai hierarki
yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan

Pembelajaran dalam modul ini akan memberikan pemahaman kepada mahasiswa


perbedaan hierarki di antara beberapa hukum positif yang pernah ada, dan kemudian
mendapatkan analisa mendalam mengapa pengaturan antara satu sama lain itu berbeda. Terakhir
yang diharapkan, mahasiswa dapat menganalisis berbagai pengaturan mengenai hierarki tersebut
berdasarkan pengetahuan ilmu perundang-undangan yang telah diuraikan dalam modul-modul
sebelumnya.
Dalam modul ini juga akan dilengkapi dengan berbagai penekanan atas hal-hal yang
merupakan pemahaman yang penting dan berbagai contoh dari uraian materi yang disajikan
dalam modul ini, untuk membantu mahasiswa mencapai kompentensi yang ditentukan
sebelumnya.
KEGIATAN BELAJAR 1
Hierarki Peraturan Perundang-undangan yang Pernah Ada di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia pernah memiliki berbagai Undang-
Undang Dasar di antaranya Undang-Undang Dasar 1945 (Proklamasi), Undang-Undang Dasar
1950, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah empat
kali diamandemen. Dari keempat jenis Undang-Undang Dasar yang pernah dimiliki Indonesia,
tidak satupun dari Undang-Undang Dasar tersebut yang menyebutkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Keempat Undang-Undang Dasar itu hanyalah secara
eksplisit menyebutkan ada beberapa jenis peraturan perundang-undangan yang pernah dikenal di
Indonesia diantaranya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, undang-
undang darurat, peraturan pemerintah. Penyebutan jenis-jenis tersebut pun hanyalah sebagai
penjelasan bahwa ada lembaga negara dan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan untuk secara langsung menyebutkan
berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada pada masa-masa Undang-Undang Dasar
itu berlaku. Beberapa contoh perumusan pasal dalam berbagai Undang-Undang Dasar yang
menjelaskan jenis atau nama peraturan perundang-undangan yang dikenal, antara lain:
1. Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan berbunyi sebagai berikut:

“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan


Perwakilan Rakyat”

Dalam pasal tersebut, tidak secara eksplisit menyatakan jenis-jenis peraturan perundang-
undangan yang dikenal di Indonesia, tapi hanya menyatakan bahwa Presiden memiliki
kekuasaan membentuk sebuah jenis peraturan perundang-undangan, yaitu undang-undang.

2. Pasal 98 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berbunyi

“Peraturan-peraturan penjelenggara undang-undang ditetapkan oleh Pemerintah. Namanya


ialah Peraturan Pemerintah”

Hampir sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum


amandemen) di atas. Pasal 98 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 juga hanya
menyebutkan sebuah jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam Undang-
Undang Dasar 1950, tanpa menyebutkan lebih detail letak peraturan ini dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.

3. Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah amandemen) dirumuskan


sebagai berikut:
“Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang”

Perumusan pasal di atas juga memberikan makna bahwa ada kewenangan Presiden untuk
membentuk sebuah peraturan perundang-undangan dalam keadaan memaksa. Pasal ini
menyebutkan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam Undang-
Undang Dasar 1945 setelah perubahan.
Apakah Undang-Undang Dasar yang pernah ada di Indonesia pernah mengatur hierarki
peraturan perundang-undangan?
Sebutkan 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Undang-Undang
Dasar 1945?

Di antara sejarah pengaturan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan sejak


Indonesia merdeka hingga saat ini, maka hukum positif yang pernah mengaturnya adalah:

A. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1950

1. Pengaturan Mengenai Hierarki


Undang-Undang ini dibentuk pada tahun 1950, ketika bentuk pemerintahan Republik
Indonesia berbentuk Negara Serikat. Undang-Undang ini sendiri dibentuk oleh salah satu negara
bagian dari negara serikat itu sendiri yaitu Negara Republik Indonesia di Yogyakarta. Sedangkan
pengaturan bagi Negara Republik Indonesia Serikat (negara federal) diatur dengan Undang-
Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1950.
Pengaturan mengenai hierarki pertama kali di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan Peraturan Pemerintah Pusat. Pada Bab 1 mengenai Jenis,
maka Pasal 1 Undang-Undang ini berbunyi sebagai berikut:

“Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:


a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah
c. Peraturan Menteri”

Kemudian masih pada bab yang sama, Pasal 2 menyatakan bahwa tingkat kekuatan
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1.
Undang-Undang ini dibentuk tanggal 2 Februari 1950, di mana sistem pemerintahan yang
digunakan adalah sistem parlementer dan berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Pada sistem parlementer, Presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak memiliki
kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.

2. Tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950


Undang-Undang ini merupakan pengaturan hierarki dan jenis peraturan perundang-
undangan bagi pemerintah pusat di dalam negara bagian Republik Indonesia Yogyakarta,
sedangkan di negara federal sendiri, pengaturan ini tidak ada mengenai hierarki.
Peraturan perundang-undangan berdasarkan undang-undang ini dimulai dari tingkatan
tertinggi adalah undang-undang, hal ini sesuai dengan tingkatan norma hukum menurut Hans
Nawiasky bahwa norma yang dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan dimulai
dari norma hukum formel Gesetz ke bawah yaitu Verordnung dan Autonome Satzung.
Undang-undang ini menempatkan jenis peraturan undang-undang dan Peraturan Pengganti
Undang-Undang (Perpu) dalam tingkat norma formel Gesetz merupakan tindakan yang sesuai
dengan teori jenjang hierarki norma hukum menurut Hans Nawiasky.
Setelah undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu),
ditentukan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dan dilanjutkan dengan Peraturan
Menteri. Peletakan Peraturan Menteri setelah peraturan pemerintah, bukan Peraturan Presiden
dikarenakan sistem pemerintahan yang digunakan dalam masa ini adalah sistem Parlementer.
Presiden tidak memiliki kewenangan mengatur, karena Presiden hanya bertindak sebagai
lambang. Pada sistem parlementer, menteri adalah eksekutif yang memiliki kewenangan
pengaturan untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan di atasnya.

B. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA NOMOR


XX/MPRS/1966 TENTANG MEMORANDUM DPR-GR MENGENAI SUMBER
TERTIB HUKUM REPUBLIK INDONESIA DAN TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA.

1. Pengaturan mengenai Hierarki


Pembahasan hierarki dalam ketetapan ini dapat dipahami dengan melihat pada sejarah
pembentukan ketetapan ini. Sejak Indonesia merdeka sejak Proklamasi tahun 1945 sampai tahun
1966 memang telah dikenal berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Namun memang
belum dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ketiadaan hierarki tersebut
memunculkan kekacauan di bidang materi muatan, kerancuan dalam penetapan sumber hukum
keberadaan peraturan perundang-undangan, kerancuan dalam hal kewenangan karena banyak
jenis peraturan banyak dibentuk oleh Presiden.
Kekisruhan dan kesimpangsiuran dalam sistem peraturan perundangan-undangan sejak
tahun 1959-1966 maka pada tanggal 9 Juni 1966 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
mengeluarkan memorandum-memorandum sebagai berikut:
a. Sumber tertib hukum Republik Indonesia;
b. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan pembagian susunan
kekuasaan di dalam negara Republik Indonesia;
c. Skema susunan kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia

Maka pada sidang umum 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara menerima
dengan baik hasil memorandum tersebut, lalu memasukan hasil memorandum tersebut dalam
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

Menurut Ketetapan ini, sumber dari segala sumber hukum di Indonesia diatur dalam
lampiran I, adalah Pancasila, namun perwujudan sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
b. Dekrit 5 Juli 1959;
c. Undang-Undang Dasar Proklamasi;
d. Surat Perintah 11 Maret 1966.

Kemudian pada lampiran II diatur Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945. Dirumuskan sebagai berikut:

a. Bentuk-Bentuk Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-


Undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar (UUD);
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (sementara);
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;

Peraturan peraturan pelaksanaan lainnya seperti:


1) Peraturan Menteri;
2) Instruksi Menteri;
3) Dan lain-lain

Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan autentik Undang-
Undang Dasar 1945, bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam Negara.
Sesuai pula dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan
harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang
lebih tinggi tingkatnya.

b. Kemudian penjelasan satu persatu mengenai bentuk bentuk peraturan perundang-undangan


dijelaskan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar
Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan
dengan ketetapan MPR, undang-undang atau Keputusan Presiden.
2) Ketetapan MPR
Ketetapan MPR terdiri dari:
a. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan undang-undang.
b. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
3) Undang-Undang
Yang dimaksud dengan undang-undang adalah:
a. Undang-Undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau ketetapan
MPR.
b. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan peraturan sebagai pengganti undang undang:
1) Peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2) Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
4) Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan
undang-undang.
5) Keputusan Presiden
Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmaligh) adalah untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR
dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah.
6) Peraturan peraturan pelaksanaan lainnya.
Peraturan peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, instruksi menteri
dan lain-lainnya, harus degan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.

2. Tanggapan terhadap Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966


Menurut kajian perundang-undangan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 terhadap
lampiran IIA tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan, terdapat beberapa tanggapan yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang Dasar 1945 tidak tepat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan,
oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 itu dapat terdiri dari dua kelompok norma hukum yaitu:
1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan Staatsfundamentalnorm atau
norma fundamental negara. Norma fundamental negara ini merupakan norma hukum
tertinggi yang bersifat pre supposed dan merupakan landasar dasar filosofis yang
mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma
hukumnya masih dirumuskan dalam garis besar dan bersifat umum. Norma yang ada pun
masih merupakan norma hukum tunggal.
2) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Staatsgrundgesetz atau aturan dasar
negara/aturan pokok negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok
kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-
undangan yang mengikat umum. Norma hukum dalam batang tubuh ini masih bersifat garis
besar dan merupakan norma hukum tunggal, yang belum dapat dilekati dengan sanksi.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


Ketetapan MPR merupakan Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok
negara. Seperti batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, maka Ketetapan MPR berisi garis-
garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara, sifat norma hukumnya masih secara garis besar
dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dapat dilekati dengan norma hukum yang berisi
sanksi. Menggolongkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi peraturan
perundang-undangan adalah tidak tepat karena menempatkan ia dalam kelompok yang rendah
dari norma yang sesungguhnya.

c. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden yang termasuk peraturan perundang-undangan dalam hierarki
peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ini adalah
Keputusan Presiden yang bersifat einmaligh. Dilihat dari teori, sifat einmaligh merupakan sifat
dari sebuah keputusan penetapan yang memiliki ciri khas normanya individual, konkret dan
sekali selesai. Sedangkan sebuah peraturan perundang-undangan seharusnya memiliki sifat
dauerhaftig yang normanya adalah umum, abstrak, dan terus menerus. Sehingga seharusnya
Keputusan Presiden yang dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukanlah
Keputusan Presiden yang bersifat einmaligh tapi dauerhaftig.

d. Peraturan Menteri
Pada dasarnya menteri memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan, sehingga jenis Peraturan Menteri di sini sebenarnya dapat dikatakan tepat dimasukkan
sebagai jenis peraturan dalam hierarki peraturan perundangan-undangan. Namun apabila
dikaitkan dengan istilah keputusan yang dikeluarkan oleh presiden yang menurut Ketetapan
MPRS Nomor XX//MPRS/1966, bentuk produk tersebut adalah Keputusan Presiden. Secara teori
istilah Keputusan dapat berarti keputusan yang bersifat einmalig (sekali selesai) dan dauerhaftig
(terus menerus). Apabila dikaitkan dengan kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan, maka Keputusan Presiden yang dapat dikelompokan dalam peraturan perundang-
undangan seharusnya adalah dauerhaftig. Apabila disepakati bahwa jenis peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan Presiden adalah Keputusan Presiden yang bersifat dauerhaftig, maka
sebaiknya menteri dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan menggunakan istilah
keputusan menteri, agar lebih konsisten dengan istilah Keputusan Presiden.
Sebaliknya apabila disepakati bahwa peraturan yang dikeluarkan presiden menggunakan
istilah Peraturan Presiden, dan ini lebih menunjukkan sifat yang dauerhaftig maka istilah
Peraturan Menteri menjadi lebih tepat untuk menjaga konsistensi dengan istilah yang
dikeluarkan pejabat atasannya, yaitu presiden.

e. Instruksi Menteri
Instruksi Menteri dalam Ketetapan MPR ini dianggap sebagai peraturan perundang-
undangan. Hal ini tidak tepat, karena sebuah instruksi menteri seharusnya hanya merupakan
instruksi yang bersifat individual dan konkret, dan berada dalam hubungan kerja antara atasan
dan bawahan. Hanyalah norma yang bersifat umum, abstrak dan terus menerus, yang ditujukan
kepada masyarakat luas yang dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.

f. Peraturan Daerah
Dalam Ketetapan ini, Peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam jenis peraturan perundang-
undangan lainnya, padahal Peraturan Daerah juga dapat merupakan peraturan perundang-
undangan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat nasional. Walaupun Peraturan
Daerah dapat berfungsi sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Daerah juga merupakan
Peraturan Otonom yaitu peraturan yang dapat dibentuk tanpa menunggu perintah dari peraturan
yang lebih tinggi, karena Peraturan Daerah dapat dibentuk berdasarkan kewenangan atribusi.

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Ketetapan MPR


Nomor XX/MPR/1966:
 Undang-Undang Dasar (UUD);
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (sementara);
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
 Peraturan Pemerintah;
 Keputusan Presiden;
Peraturan peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
 Peraturan Menteri;
 Instruksi Menteri;
 Dan lain-lain

C. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR III/MPR/2000

1. Pengaturan mengenai Hierarki


Dalam Ketetapan ini, disebutkan bahwa sumber hukum di Indonesia menjadi bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan, dapat berbentuk sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis. Sehingga apapun peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus tetap
memperhatikan sumber hukum yang ada di Indonesia. Lebih lanjut sumber hukum dasar nasional
adalah
a. Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu:
1) Ketuhanan yang maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan,
serta mewujudkan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

b. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945


Setelah membahas mengenai sumber hukum di Indonesia. Ketetapan MPR ini membahas
lebih lanjut tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pembuatan
aturan hukum di bawahnya. Dengan pengaturan ini maka pengaturan tata urutan peraturan
sebelumnya yang diatur 34 (tiga puluh empat) tahun lalu sejak adanya Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 dinyatakan dicabut dan diganti pengaturannya.
Selain pengaturan yang dirumuskan di atas, mengenai hierarki peraturan perundang-
undangan, dapat dilihat dari beberapa pasal lainnya dalam Ketetapan MPR ini, yaitu:

Pasal 2

1) “Tata urutan peraturan perundang-undangan pada Ketetapan ini adalah sebagai berikut:
2) Undang-Undang Dasar 1945
3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
4) Undang-Undang
5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
6) Peraturan Pemerintah
7) Keputusan Presiden
8) Peraturan Daerah”

Dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki ini dijelaskan satu persatu
dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan ayat (7). Penjelasan atas masing-masing peraturan
perundang-undangan yang dijabarkan dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ini adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia
yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan
kebijakan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang
ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3) Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan serta Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibuat Presiden dalam hal kegentingan
yang memaksa dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan berikutnya
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima dan menolak Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dengan tidak mengadakan perubahan
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi
5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-
Undang.
6) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi
dan tugasnya berubah pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi
pemerintahan.
7) Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan
menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi
bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Daerah atau yang setingkat, dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa atau
setingkat, sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur
oleh Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Kemudian pada Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 4 dijelaskan bahwa setiap aturan hukum
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Lebih lanjut
pula dijelaskan bahwa Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan ini.
Selain mengatur hal-hal mengenai sistem hukum dan perundang undangan, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan ini mengatur juga mengenai kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan untuk peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang, dapat diuji terhadap Undang-Undang.
Dalam pasal berikutnya dinyatakan bahwa tata cara pembuatan Undang Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian Peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah
Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-
Undang.
Di akhir batang tubuh Ketetapan Majelis Permusyawaratan III/MPR/2000 ini diatur
mengenai pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdahulu yang mengatur hal
yang sama mengenai sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973.

2. Tanggapan Terhadap Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000


Lahirnya ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 diharapkan dapat menyempurnakan
pengaturan hierarki dalam ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 sebelumnya. Namun ternyata
pengaturan mengenai hierarki dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 masih dianggap
memiliki beberapa kelemahan di antara lain:

a. Terdapat ketidakharmonisan antara Pasal 1 dan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor


III/MPR/2000. Pasal 1 ayat (1) merumuskan bahwa sumber hukum adalah sumber yang
dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dan menurut Pasal 1
ayat (3) sumber hukum tersebut adalah Pancasila dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar
1945. Padahal pada Pasal 2 dinyatakan bahwa tata urutan perundang-undangan dimulai dari
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 2 ini menyatakan bahwa secara implisit bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 adalah hanya sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan. Padahal sebelumnya Undang-Undang Dasar disebut sebagai sumber hukum
yang merupakan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan.

Letak Batang Tubuh 1945 dalam posisi tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-
undangan apabila dikaji dari jenis norma dan karakteristik tidaklah tepat menempatkan
batang tubuh dalam kelompok jenis peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar
1945 terdiri dari (1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pancasila) dan (2) batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dilihat dari jenis karakter norma hukum, maka
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh memiliki jenis karakter yang
berbeda. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam kelompok
Staatsfundamentalnorm sedangkan Batang Tubuh masuk dalam kelompok
Staatsgrundgesetz. Kedua kelompok norma tersebut merupakan kelompok norma diatas
karakter norma peraturan perundang-undangan, sehingga tidaklah tepat menempatkan
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
sebagai peraturan perundang-undangan.

b. Ketetapan MPR diletakkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah Undang-


Undang Dasar. Peletakan Ketetapan MPR dalam kelompok peraturan perundang-undangan,
seperti halnya meletakkan Undang-Undang Dasar dalam kelompok peraturan perundang-
undangan adalah merupakan hal yang tidak tepat. Dilihat dari teori Hans Nawiasky,
karakteristik Ketetapan MPR sesungguhnya merupakan karakteristik norma aturan dasar
negara/aturan pokok negara (Staatsgrundgesetz) sehingga bukan merupakan norma hukum
peraturan perundang-undangan seperti dalam formell Gesetz dan Verordnung serta
Autonome Satzung.

Dilihat dari fungsi Ketetapan MPR dalam konteks pemerintahan pada saat itu, Ketetapan
MPR adalah keputusan yang dikeluarkan MPR yang hanya mengikat dan ditujukan kepada
Presiden, dan tidak mengatur masyarakat secara umum. Melalui Ketetapan MPR tersebut,
MPR memberikan amanat-amanat kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahannya.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)


Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “dalam hal kegentingan
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU). Kemudian dalam penjelasan selanjutnya dinyatakan bahwa:

“Pasal ini mengenai noodberordeningsrecht” Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan
yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun
demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh karena itu Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan
Undang-Undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”

Penjelasan Pasal 22 tersebut menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pengganti


Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang, sehingga
menempatkan Peraturan Pengganti Undang-Undang di bawah hierarki Undang-Undang
merupakan hal yang tidak tepat.

Ketidaktepatan peletakan tersebut juga bila dikaitkan dengan Pasal 5(2) Undang-Undang
Dasar 1945. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah dibentuk Presiden untuk menjalankan Undang-Undang. Menempatkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang langsung di bawah Undang-Undang
dapat membawa akibat yang sangat besar karena akan ada pemahaman bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) bersumber dan berdasarkan pada
Undang-Undang atau dapat dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang merupakan peraturan yang menjalankan Undang-Undang.

Dari sebuah fungsinya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) memang


dibuat dalam keadaan mendesak atau memaksa, bagaimana mungkin sebuah peraturan
perundang-undangan yang fungsinya membuat pengaturan dalam keadaan mendesak dan
memaksa harus menunggu perintah Undang-Undang, yang letaknya tepat ada di atas
hierarkinya.
Dengan berbagai uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengganturan ketetapan MPR
Nomor III /MPR/2000 yang menempatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang di bawah Undang-Undang adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945. Khususnya Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 (2) Undang-Undang
Dasar 1945.

d. Permasalahan yang berhubungan dengan Peraturan dan Keputusan lainnya:


1) Penyebutan Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung dapat menciptakan
permasalahan, karena Mahkamah Agung bukanlah lembaga pembentuk perundang-
undangan. Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang
menyelenggarakan fungsi peradilan yang hanya mengeluarkan putusan bagi masyarakat
yang bersengketa. Mahkamah Agung tidak membentuk keputusan bersifat umum,
abstrak dan terus menerus untuk masyarakat. Walaupun Mahkamah Agung dapat saja
membentuk keputusan yang bersifat umum, abstrak dan terus menerus untuk keperluan
internal lembaga Mahkamah Agung bukan untuk masyarakat umum, dan bukan
peraturan perundang-undangan.
2) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan tidak juga dapat dikatakan sebagai peraturan
perundang-undangan. Badan Pemeriksa Keuangan bukan merupakan lembaga
pemerintahan yang memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hal ini juga dapat dilihat dari Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan sebagai berikut:

“Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”

Dengan melihat tugas BPK dalam konstitusi, terlihat bahwa tugas nya adalah mengenai
memeriksa keuangan negara. Sehingga bukan untuk mengatur masyarakat umum.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
KEGIATAN BELAJAR 2
Hierarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Perkembangan pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terus


bergulir, sejak tahun 2004, perihal pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan diatur
dengan undang-undang sebagai pengganti pengaturan yang sebelumnya dalam ketetapan
MPR(S). Undang-Undang tersebut adalah:

A. UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Pengaturan Mengenai Hierarki


Dalam Undang-Undang ini, pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan, tercantum
pada Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

2) Peraturan Daerah yang dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:


a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
kabupaten/kota bersama dengan bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Selanjutnya Pasal 7 ini mendapatkan beberapa penjelasan, khususnya pada Pasal 7 ayat (2),
(4) dan (5) berbunyi sebagai berikut:
a. Pasal 7 ayat (2) huruf a menjelaskan termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi
adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus
yang berlaku di Provinsi Papua.
b. Pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa ada jenis peraturan perundang-undangan lain di luar
jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7, yaitu antara lain adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/walikota, kepala desa atau setingkat.
c. Pasal 7 ayat (5) menjelaskan ketentuan dalam ayat ini yang dimaksud dengan “hierarki”
adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
a. Mengenai Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah tepat apabila dikatakan sebagai peraturan
perundang-undangan. Hampir sama dengan alasan dalam uraian sebelumnya, Undang-
Undang Dasar 1945 mempunyai karakteristik norma bukan sebagai karakter norma
perundang-undangan. Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 2 bagian yaitu (1)
Pembukaan dan (2) Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Staatsfundamentalnorm atau
norma fundamental negara. Norma ini merupakan norma hukum tertinggi yang bersifat
pre supposed dan merupakan landasan filosofis yang mengandung kaidah-kaidah bagi
pengaturan lebih lanjut. Sifat norma hukum ini masih garis besar dan merupakan norma
hukum tunggal dan belum dilekati dengan sanksi.
Bagian kedua Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar
1945 termasuk dalam norma Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok
negara yang merupakan garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk
menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat
umum.
Selain menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam kelompok peraturan
perundang-undangan merupakan hal yang tidak tepat, Pasal 2 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 ini menetapkan bahwa Pancasila merupakan sumber hukum negara dan
Pasal 3 menetapkan Undang-Undang Dasar 194 merupakan hukum dasar dalam
peraturan perundang-undangan, sehingga memang tidak tepat apabila Undang-Undang
Dasar dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, karena Pancasila (yang
ada dalam pembukaan) adalah sumber hukum dan Batang Tubuh adalah hukum dasar
dalam peraturan perundang-undangan. Keduanya dinyatakan sebagai sumber hukum
dan hukum dasar.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Pengaturan tata hierarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang ini
mengalami beberapa perubahan. Di antaranya ketetapan MPR tidak lagi dimasukkan
dalam urutan tata urutan peraturan perundang-undangan. Penghapusan ketetapan MPR
dalam tata urutan perundang-undangan merupakan konsekuensi atas perubahan struktur
ketatanegaraan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya.
Sejak semua lembaga negara mendapatkan kekuasaan dari Undang-Undang Dasar
1945, maka MPR tidak lagi memiliki kewenangan membentuk Ketetapan MPR. MPR
hanya berfungsi sebagai lembaga konstituante yang berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.
c. Peraturan Presiden
d. Peraturan Desa
e. Peraturan-Peraturan Lainnya
f. Pertentangan yang terlihat antara Pasal 7 dan penjelasannya menjadi terlihat ketika
dalam Pasal 7 (1) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jenis peraturan
perundang-undangan adalah 5 (lima) buah peraturan perundang-undangan beserta
bagaimana hierarki di antara kelima peraturan tersebut. Namun di dalam penjelasannya
malah menjelaskan bahwa ada jenis peraturan perundang-undangan lain di luar jenis
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7. Permasalahan lain yang ada
adalah bagaimana letak jenis Peraturan Perundang-undangan menurut penjelasan Pasal
7 ayat (4) tadi dalam tataran hierarki, peraturan mana yang lebih tinggi dibanding
peraturan yang lain.

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Menurut Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2004:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
B. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Pengaturan mengenai Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Setelah 7 (tujuh) tahun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengatur sistem hukum dan perundangan-undangan di
Indonesia, maka pada tahun 2011 dirasakan perlu ada Undang-Undang untuk menggantikannya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap terdapat kekurangan dan
belum menampung perkembangan kebutuhan masyarakat. Beberapa permasalahan yang
dianggap harus di rubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah mengenai hierarki
peraturan perundang-undangan.
Pengaturan sistem hukum dan perundang-undangan di dalam batang tubuh Undang-
Undang ini secara umum tidak terlalu banyak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prinsip yang tidak berubah misalnya
Pancasila tetap ditetapkan sebagai sumber segala sumber hukum negara. Begitu pula dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditetapkan sebagai hukum dasar
dalam peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan pun tak berbeda dengan undang-undang sebelumnya, yaitu peraturan
perundang-undangan meliputi undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini mengatur mengenai hierarki peraturan
perundang-undangan yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

Selain jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 tersebut,


terdapat penjelasan lebih lanjut beberapa peraturan perundang-undangan yang dikenal di luar 7
(tujuh) peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Pasal 7.

Pasal 8
1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Substansi materi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini merupakan
substansi materi yang pernah ada dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004. Pemindahan dari penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi
pengaturan normatif ke dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dianggap
untuk menguatkan pengaturan tersebut.
Dalam Undang-Undang ini pengaturan mengenai hierarki terdapat dalam Pasal 7. Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

Salah satu perubahan substansi adalah penambahan Ketetapan MPR sebagai salah satu
jenis peraturan perundang-undangan. Penempatan kembali ketetapan MPR Undang-Undang dan
di bawah Undang-Undang Dasar. Eksistensi Ketetapan MPR dalam tata urutan perundang-
undangan tidaklah berarti Ketetapan MPR dalam arti luas, tapi hanya mempunyai arti Ketetapan
MPR(S) yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b ini tidak mengartikan memberikan
kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk Ketetapan MPR
kembali sebagaimana yang dulu pernah menjadi kewenangannya.
2. Tanggapan mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
a. Pada dasarnya tidak terlalu banyak perubahan pengaturan mengenai hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Paling tidak untuk pengaturan setelah orde baru,
yaitu dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, memiliki pengaturan yang hampir sama. Undang-Undang ini meletakkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai jenis peraturan perundang-undangan tertinggi.
Padahal apabila dilihat dari teorinya, sebagaimana telah dibahas dalam berbagai uraian
di atas, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dua unsur dari
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut pun memiliki karakteristik yang berbeda.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan dalam kategori
Staatsfundamentalnorm sedangkan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
dimasukkan dalam kategori Staatsgrundgesetz. Dengan mengelompokkan kedua unsur
tersebut dalam kelompok Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgesetz maka
menyebutkan kedua tingkat hierarki norma itu sebagai peraturan perundang-undangan
menjadi tidak tepat. Karena kedua norma tersebut berada di atas norma peraturan
perundang-undangan.
b. Ketetapan MPR
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan ini memasukkan kembali Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghapuskan Ketetapan MPR
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang ini menempatkan kembali ketetapan MPR di atas Undang-Undang dan
di bawah Undang-Undang Dasar. Eksistensi Ketetapan MPR dalam tata urutan
perundang-undangan tidaklah berarti memberikan dasar hukum adanya Ketetapan MPR
dalam arti luas, tapi hanya mempunyai arti memberikan landasan hukum bagi
Ketetapan-Ketetapan MPR(S) yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus
2003. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b ini tidak mengartikan
memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk
Ketetapan MPR kembali sebagaimana yang dulu pernah menjadi kewenangannya.
c. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan telah disebutkan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan pada Pasal 7. Namun pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 ini memberikan penjelasan bahwa terdapat jenis peraturan perundang-
undangan lainnya yang dirumuskan sebagai berikut:
1) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Sehingga bila dikaitkan antara Pasal 7 dan Pasal 8 ini maka ada berbagai jenis
peraturan tidak hanya 7 (tujuh) jenis peraturan saja, namun semua peraturan yang
dibentuk oleh berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah menurut Pasal 8, tidak
diketahui hierarkinya di antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.

Hierarki peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Anda mungkin juga menyukai