Oleh:
PENDAHULUAN
Dalam Modul 5 ini, akan membahas mengenai hierarki peraturan perundang-undangan
yang pernah ada di Indonesia. Dalam kurun waktu pemerintahan Republik Indonesia sejak
kemerdekaan hingga saat ini, terdapat perubahan sistem ketatanegaraan termasuk politik hukum,
sehingga tercipta juga beberapa cara pengaturan hierarki yang berbeda. Beberapa cara
pengaturan yang berbeda tersebut sebenarnya merupakan implementasi dari teori jenjang norma
yang telah dibahas beberapa waktu lalu dalam modul-modul yang lalu. Teori jenjang norma yang
dimulai oleh Hans Kelsen dan kemudian dilanjutkan penyempurnaan bagi jenjang norma hukum
dalam negara yang diperkenalkan oleh Hans Nawiasky terimplementasi dalam berbagai hierarki
yang diatur dalam:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia pernah memiliki berbagai Undang-
Undang Dasar di antaranya Undang-Undang Dasar 1945 (Proklamasi), Undang-Undang Dasar
1950, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah empat
kali diamandemen. Dari keempat jenis Undang-Undang Dasar yang pernah dimiliki Indonesia,
tidak satupun dari Undang-Undang Dasar tersebut yang menyebutkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Keempat Undang-Undang Dasar itu hanyalah secara
eksplisit menyebutkan ada beberapa jenis peraturan perundang-undangan yang pernah dikenal di
Indonesia diantaranya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, undang-
undang darurat, peraturan pemerintah. Penyebutan jenis-jenis tersebut pun hanyalah sebagai
penjelasan bahwa ada lembaga negara dan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan untuk secara langsung menyebutkan
berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang ada pada masa-masa Undang-Undang Dasar
itu berlaku. Beberapa contoh perumusan pasal dalam berbagai Undang-Undang Dasar yang
menjelaskan jenis atau nama peraturan perundang-undangan yang dikenal, antara lain:
1. Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan berbunyi sebagai berikut:
Dalam pasal tersebut, tidak secara eksplisit menyatakan jenis-jenis peraturan perundang-
undangan yang dikenal di Indonesia, tapi hanya menyatakan bahwa Presiden memiliki
kekuasaan membentuk sebuah jenis peraturan perundang-undangan, yaitu undang-undang.
Perumusan pasal di atas juga memberikan makna bahwa ada kewenangan Presiden untuk
membentuk sebuah peraturan perundang-undangan dalam keadaan memaksa. Pasal ini
menyebutkan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal dalam Undang-
Undang Dasar 1945 setelah perubahan.
Apakah Undang-Undang Dasar yang pernah ada di Indonesia pernah mengatur hierarki
peraturan perundang-undangan?
Sebutkan 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Undang-Undang
Dasar 1945?
Kemudian masih pada bab yang sama, Pasal 2 menyatakan bahwa tingkat kekuatan
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1.
Undang-Undang ini dibentuk tanggal 2 Februari 1950, di mana sistem pemerintahan yang
digunakan adalah sistem parlementer dan berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Pada sistem parlementer, Presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak memiliki
kewenangan untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.
Maka pada sidang umum 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara menerima
dengan baik hasil memorandum tersebut, lalu memasukan hasil memorandum tersebut dalam
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Menurut Ketetapan ini, sumber dari segala sumber hukum di Indonesia diatur dalam
lampiran I, adalah Pancasila, namun perwujudan sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945;
b. Dekrit 5 Juli 1959;
c. Undang-Undang Dasar Proklamasi;
d. Surat Perintah 11 Maret 1966.
Kemudian pada lampiran II diatur Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945. Dirumuskan sebagai berikut:
Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam penjelasan autentik Undang-
Undang Dasar 1945, bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam Negara.
Sesuai pula dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundang-undangan
harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang
lebih tinggi tingkatnya.
c. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden yang termasuk peraturan perundang-undangan dalam hierarki
peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 ini adalah
Keputusan Presiden yang bersifat einmaligh. Dilihat dari teori, sifat einmaligh merupakan sifat
dari sebuah keputusan penetapan yang memiliki ciri khas normanya individual, konkret dan
sekali selesai. Sedangkan sebuah peraturan perundang-undangan seharusnya memiliki sifat
dauerhaftig yang normanya adalah umum, abstrak, dan terus menerus. Sehingga seharusnya
Keputusan Presiden yang dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukanlah
Keputusan Presiden yang bersifat einmaligh tapi dauerhaftig.
d. Peraturan Menteri
Pada dasarnya menteri memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan, sehingga jenis Peraturan Menteri di sini sebenarnya dapat dikatakan tepat dimasukkan
sebagai jenis peraturan dalam hierarki peraturan perundangan-undangan. Namun apabila
dikaitkan dengan istilah keputusan yang dikeluarkan oleh presiden yang menurut Ketetapan
MPRS Nomor XX//MPRS/1966, bentuk produk tersebut adalah Keputusan Presiden. Secara teori
istilah Keputusan dapat berarti keputusan yang bersifat einmalig (sekali selesai) dan dauerhaftig
(terus menerus). Apabila dikaitkan dengan kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan, maka Keputusan Presiden yang dapat dikelompokan dalam peraturan perundang-
undangan seharusnya adalah dauerhaftig. Apabila disepakati bahwa jenis peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan Presiden adalah Keputusan Presiden yang bersifat dauerhaftig, maka
sebaiknya menteri dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan menggunakan istilah
keputusan menteri, agar lebih konsisten dengan istilah Keputusan Presiden.
Sebaliknya apabila disepakati bahwa peraturan yang dikeluarkan presiden menggunakan
istilah Peraturan Presiden, dan ini lebih menunjukkan sifat yang dauerhaftig maka istilah
Peraturan Menteri menjadi lebih tepat untuk menjaga konsistensi dengan istilah yang
dikeluarkan pejabat atasannya, yaitu presiden.
e. Instruksi Menteri
Instruksi Menteri dalam Ketetapan MPR ini dianggap sebagai peraturan perundang-
undangan. Hal ini tidak tepat, karena sebuah instruksi menteri seharusnya hanya merupakan
instruksi yang bersifat individual dan konkret, dan berada dalam hubungan kerja antara atasan
dan bawahan. Hanyalah norma yang bersifat umum, abstrak dan terus menerus, yang ditujukan
kepada masyarakat luas yang dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
f. Peraturan Daerah
Dalam Ketetapan ini, Peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam jenis peraturan perundang-
undangan lainnya, padahal Peraturan Daerah juga dapat merupakan peraturan perundang-
undangan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tingkat nasional. Walaupun Peraturan
Daerah dapat berfungsi sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Daerah juga merupakan
Peraturan Otonom yaitu peraturan yang dapat dibentuk tanpa menunggu perintah dari peraturan
yang lebih tinggi, karena Peraturan Daerah dapat dibentuk berdasarkan kewenangan atribusi.
Pasal 2
1) “Tata urutan peraturan perundang-undangan pada Ketetapan ini adalah sebagai berikut:
2) Undang-Undang Dasar 1945
3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
4) Undang-Undang
5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
6) Peraturan Pemerintah
7) Keputusan Presiden
8) Peraturan Daerah”
Dari jenis-jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki ini dijelaskan satu persatu
dalam Pasal 3 ayat (1) sampai dengan ayat (7). Penjelasan atas masing-masing peraturan
perundang-undangan yang dijabarkan dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ini adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia
yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan
kebijakan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang
ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3) Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan serta Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibuat Presiden dalam hal kegentingan
yang memaksa dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan berikutnya
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima dan menolak Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dengan tidak mengadakan perubahan
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi
5) Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-
Undang.
6) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi
dan tugasnya berubah pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi
pemerintahan.
7) Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan
menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi
bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Daerah atau yang setingkat, dibuat oleh Lembaga Perwakilan Desa atau
setingkat, sedangkan tata cara pembuatan Peraturan Desa atau yang setingkat diatur
oleh Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Kemudian pada Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 4 dijelaskan bahwa setiap aturan hukum
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Lebih lanjut
pula dijelaskan bahwa Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan ini.
Selain mengatur hal-hal mengenai sistem hukum dan perundang undangan, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan ini mengatur juga mengenai kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan untuk peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang, dapat diuji terhadap Undang-Undang.
Dalam pasal berikutnya dinyatakan bahwa tata cara pembuatan Undang Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah dan pengujian Peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah
Agung serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-
Undang.
Di akhir batang tubuh Ketetapan Majelis Permusyawaratan III/MPR/2000 ini diatur
mengenai pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdahulu yang mengatur hal
yang sama mengenai sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973.
Letak Batang Tubuh 1945 dalam posisi tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-
undangan apabila dikaji dari jenis norma dan karakteristik tidaklah tepat menempatkan
batang tubuh dalam kelompok jenis peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar
1945 terdiri dari (1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pancasila) dan (2) batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dilihat dari jenis karakter norma hukum, maka
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh memiliki jenis karakter yang
berbeda. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam kelompok
Staatsfundamentalnorm sedangkan Batang Tubuh masuk dalam kelompok
Staatsgrundgesetz. Kedua kelompok norma tersebut merupakan kelompok norma diatas
karakter norma peraturan perundang-undangan, sehingga tidaklah tepat menempatkan
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
sebagai peraturan perundang-undangan.
Dilihat dari fungsi Ketetapan MPR dalam konteks pemerintahan pada saat itu, Ketetapan
MPR adalah keputusan yang dikeluarkan MPR yang hanya mengikat dan ditujukan kepada
Presiden, dan tidak mengatur masyarakat secara umum. Melalui Ketetapan MPR tersebut,
MPR memberikan amanat-amanat kepada Presiden untuk menjalankan pemerintahannya.
“Pasal ini mengenai noodberordeningsrecht” Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu
diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan
yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun
demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh karena itu Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan
Undang-Undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”
Ketidaktepatan peletakan tersebut juga bila dikaitkan dengan Pasal 5(2) Undang-Undang
Dasar 1945. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah dibentuk Presiden untuk menjalankan Undang-Undang. Menempatkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang langsung di bawah Undang-Undang
dapat membawa akibat yang sangat besar karena akan ada pemahaman bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) bersumber dan berdasarkan pada
Undang-Undang atau dapat dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang merupakan peraturan yang menjalankan Undang-Undang.
“Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
Dengan melihat tugas BPK dalam konstitusi, terlihat bahwa tugas nya adalah mengenai
memeriksa keuangan negara. Sehingga bukan untuk mengatur masyarakat umum.
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
KEGIATAN BELAJAR 2
Hierarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya Pasal 7 ini mendapatkan beberapa penjelasan, khususnya pada Pasal 7 ayat (2),
(4) dan (5) berbunyi sebagai berikut:
a. Pasal 7 ayat (2) huruf a menjelaskan termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi
adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus
yang berlaku di Provinsi Papua.
b. Pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa ada jenis peraturan perundang-undangan lain di luar
jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7, yaitu antara lain adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang
setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/walikota, kepala desa atau setingkat.
c. Pasal 7 ayat (5) menjelaskan ketentuan dalam ayat ini yang dimaksud dengan “hierarki”
adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8
1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Substansi materi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini merupakan
substansi materi yang pernah ada dalam penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004. Pemindahan dari penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menjadi
pengaturan normatif ke dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dianggap
untuk menguatkan pengaturan tersebut.
Dalam Undang-Undang ini pengaturan mengenai hierarki terdapat dalam Pasal 7. Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Salah satu perubahan substansi adalah penambahan Ketetapan MPR sebagai salah satu
jenis peraturan perundang-undangan. Penempatan kembali ketetapan MPR Undang-Undang dan
di bawah Undang-Undang Dasar. Eksistensi Ketetapan MPR dalam tata urutan perundang-
undangan tidaklah berarti Ketetapan MPR dalam arti luas, tapi hanya mempunyai arti Ketetapan
MPR(S) yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun
2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b ini tidak mengartikan memberikan
kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk Ketetapan MPR
kembali sebagaimana yang dulu pernah menjadi kewenangannya.
2. Tanggapan mengenai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
a. Pada dasarnya tidak terlalu banyak perubahan pengaturan mengenai hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Paling tidak untuk pengaturan setelah orde baru,
yaitu dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, memiliki pengaturan yang hampir sama. Undang-Undang ini meletakkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai jenis peraturan perundang-undangan tertinggi.
Padahal apabila dilihat dari teorinya, sebagaimana telah dibahas dalam berbagai uraian
di atas, Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dua unsur dari
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut pun memiliki karakteristik yang berbeda.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dimasukkan dalam kategori
Staatsfundamentalnorm sedangkan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945
dimasukkan dalam kategori Staatsgrundgesetz. Dengan mengelompokkan kedua unsur
tersebut dalam kelompok Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgesetz maka
menyebutkan kedua tingkat hierarki norma itu sebagai peraturan perundang-undangan
menjadi tidak tepat. Karena kedua norma tersebut berada di atas norma peraturan
perundang-undangan.
b. Ketetapan MPR
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan ini memasukkan kembali Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghapuskan Ketetapan MPR
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang ini menempatkan kembali ketetapan MPR di atas Undang-Undang dan
di bawah Undang-Undang Dasar. Eksistensi Ketetapan MPR dalam tata urutan
perundang-undangan tidaklah berarti memberikan dasar hukum adanya Ketetapan MPR
dalam arti luas, tapi hanya mempunyai arti memberikan landasan hukum bagi
Ketetapan-Ketetapan MPR(S) yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus
2003. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf b ini tidak mengartikan
memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk
Ketetapan MPR kembali sebagaimana yang dulu pernah menjadi kewenangannya.
c. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan telah disebutkan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan pada Pasal 7. Namun pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 ini memberikan penjelasan bahwa terdapat jenis peraturan perundang-
undangan lainnya yang dirumuskan sebagai berikut:
1) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Sehingga bila dikaitkan antara Pasal 7 dan Pasal 8 ini maka ada berbagai jenis
peraturan tidak hanya 7 (tujuh) jenis peraturan saja, namun semua peraturan yang
dibentuk oleh berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah menurut Pasal 8, tidak
diketahui hierarkinya di antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.