Anda di halaman 1dari 6

Kontra atas Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

Pengertian GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam


garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu.
GBHN ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk jangka waktu
lima tahun.

Keberadaan GBHN sangat penting karena Negara ini memerlukan visi dan misi Negara
bukan visi dan misi pribadi atau visi dan misi kelompok. GBHN berfungsi sebagai visi
misi bangsa Indonesia untuk menentukan arah pembangunan nasional. Akan tetapi
sebagaimana kita ketahui GBHN yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan
amandemen UUD NKRI 1945 yang mana sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi
negara sehingga GBHN yang mana merupakan buatan MPR sudah tidak dapat lagi
diterapkan.

Secara sejarah GBHN terjadi dari jaman presiden soekarno, soharto dan awal
reformasi dimana Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Indonesia yang mana
menganut Sistem presidensial terbukti cocok dalam membawa Indonesia menjadi lebih
demokratis karena Presiden bertanggung jawab langsung pada pemilihnya, bukan
pada lembaga lain. Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan
akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun
selama ini dan merusak amandemen terakhir kepada UUD NKRI 1945. GBHN terasa
tidak pas ketika presiden ke empat Indonesia Abdurahman Wahid atau Gusdur sampai
di makzulkan oleh MPR karena alasan tidak sesuai GBHN. GBHN saat itu lebih pro
sistem parlementar dibandingkan sistem Presidensil, yang mana pemilu sebelumnya
tahun 1999 merupakan pemilihan pertama yang secara demokratis dan pengangkatan
Gusdur sebagai presiden adalah bentuk reformasi pemerintahan pada saat itu. Sistem
Konstitusi Indonesia tidak menganut paham linear, sehingga pembangunan harus
direncanakan melalui satu haluan negara. Ia menegaskan bahwa nama produk hukum
untuk haluan negara Indonesia selama ini tidaklah tetap dan selalu berubah-ubah
disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.

GBHN memiliki fungsi sebagai visi misi bangsa Indonesia untuk menentukan arah
pembangunan nasional. Jadi, semua pembangunan Indonesia pada waktu itu terarah
dan terancang jelas di dalam GBHN. Akan tetapi model GBHN yang pernah diterapkan
di Indonesia, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga esensi
Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang.
Pembangunan nasional yang berdasarkan visi dan misi dari Presiden akan
mempermudah dalam presiden dalam mengambil kebijakan yang nantinya akan
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat secara langsung. Jika Presiden
bertangung jawab hanya kepada lembaga maka akan dapat terjadi abuse power yang
mana akan ada lembaga tertinggi negara sehingga sistem presidensial yang telah
dianut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.

Perencanaan pembangunan di Indonesia sekarang didasarkan pada Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) berdasarkan UU No. 17 Tahun
2007. RPJPN kemudian didukung oleh serangkaian Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Dan dibentuk juga BAPPENAS atau badan
Perencanaan Nasional sehingga akan menajdai tumpang tindih wewenang antara MPR
dan Eksekutif sehingga dapat menjadi suatu pemborosan anggaran. Pembentukan
GBHN baru hanya sekedar nama saja subsantsinya sudah dapat kita dapatkan dalam
hasil pemikiran dari BAPPENAS yang nantinya akan di paparkan dalam rapat di DPR
sehingga Rencana Pembangunan Nasional dapat dilaksanakan dan tidak berlibet
dalam koordinasi dan konsolidasi. Pemunculan GBHN baru malah akan memperburuk
dan melawan arah komitmen pembangunan yang telah berjalan selama ini
sebagaimana amanat dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2004 Tentang SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL. GBHN juga dapat menimbulkan
kemandegan dan kemerosotan Prolegnas (program legislasi Nasional) karena harus
melakukan amandeman kembali terhadap UUD 1945. Dalam amandemen tersebut
memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit serta pemikiran yang matang waktu
kerja yang tersita berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi
legislasi. Padahal, peran dan keberadaan DPR diperlukan untuk melaksanakan
berbagai fungsinya, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Dibandingkan
melakukan hal tersebut Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan tenaga
dan waktu yang ada adalah dengan melakukan evaluasi terhadap RPJPN.

Kembalinya GBHN melalui amendemen UUD 1945 akan bersifat politis dan sangat
elitis, yaitu akan hanya melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang
agendanya memang saling berebut kekuasaan. Dalam praktik pemerintahan, yang
adalah dibutuhkan keseimbangan agar capaian pembangunan dilakukan dengan
transparan, akuntabel, dan partisipatif. Wacana melahirkan kembali GBHN saat ini
hanya mengakomodasi kepentingan elite partai politik, dan tidak mengakar pada
kebutuhan riil masyarakat. Hal ini terjadi karena proses yang berjalan sampai
mewacanakan amendemen UUD 1945 tidak berakar dari permasalahan riil dalam
masyarakat, bahkan cenderung mengenyampingkan argumentasi atau kepentingan
yang menolak dilakukannya amendemen UUD 1945 untuk melahirkan kembali GBHN.
Mahfud MD dalam acara yang dilaksanakan di Bappenas menyampaikan GBHN
hanyalah pilihan penamaan di pemerintah Orde Baru. Pada Era reformasi dinamakan
SPPN, sehingga urgensinya untuk dapat dihidupkan kembali menjadi buang waktu dan
tenaga. Sejak 1960 sampai sekarang Indonesia sebenarnya sudah mempunyai
perangkat hukum untuk haluan negara meskipun nama resminya selalu berubah. Oleh
sebab itu, tidak perlu lagi pemberlakuan GBHN, atau kalau nama itu dianggap memiliki
nilai historis yang perlu dipertahankan, dapat dengan mengubah nama UU SPPN
menjadi UU tentang GBHN.

Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN ditetapkan dengan tujuan untuk
memberikan arah terhadap penyelenggaraan negara sangat memerlukan banyanya
pertimbangan dan melibatkan seluruh aspek yang ada baik dari masyarakat,
akademisi, ahli tidak hanya MPR saja selaku pembuat GBHN. Peran serta tersebut
harusnya terbuka sehingga peran serta masyarakat dapat aktif dan daopat mencapai
tujuan bangsa dan negara. Selain itu, GBHN yang bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan yang demokratis, melindungi hak asasi manusia dan berkeadilan sosial tidak
mungkin dapat tercapai jika hanya segelintir atau satu lembaga saja yang merumuskan
hal tersebut. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya peran pengawasan
tambahan untuk mengawasi jalanya perencanaan dan pelaksanaan GBHN yang
nantinya akan dibuat.

GBHN memiliki peran penting dalam menegakkan supremasi hukum dalam tatanan
masyarakat dan bangsa baru dapat terwujud jika dilaksanakan oleh kelompok
representatif yang tidak memiliki visi dan misi pribadi dalam pembentukan dan
perumusan GBHN. Seperti yang kita ketahui sekrang sering terjadi adanya lobi-lobi
politik yang terjadi di DPR yang dilakukan oleh oknum didalamnya bahkan samapai
ditetapkan bersalah oleh Pengadilan. Hal tersebut membuat rasa tidak percaya akan
GBHN yang memiliki peran penting bagi masyarakat dibuat oleh orang-orang yang
memiliki keingianan atau visi misi tersendiri yang dapat menguntungkan sebagian
kelompok dan dapat merugikan seluruh rakyat Indonesia. MPR selaku pembuat GBHN
diharapkan dapat berintegritasn dan akuntabel dalam pembuatan GBHN. Jika tidak
maka segala upaya yang selama ini bertujuan untuk pembentukan GBHN yang baru
atau apapun namanya bisa ternodai oleh oknum- oknum yang tidak bertanggung
jawab.

Peran GBHN sudah digantikan dengan adanya Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional. Sistem yang lahir UU No 25 tahun 2004 mengamanatkan untuk dapat
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan unsur penyelenggaraan negara dan
masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Kehadiran UU No 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional sudah dianggap mengakomodasi
sebuah pedoman pembangunan dan program pemerintah untuk berjalan secara
kelanjutan sudah memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Dalam Sistem perencanaan
tersebut sudah dibuat sesuai denganvisi misi presiden serta dibuat pula Rencana
jangka pendek, rencana jangka menegah dan rencana jangka panjang dalam
pembangunan Nasional di Indonesia. Dalam pembahannya tersebut juga sudah di
sampaikan dengan rapat dengar pendapat kepada DPR dan DPD yang notabene
sebagai anggota MPR sehingga sudah dapat dikatakan representatif dari masyarakat.

Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Juanda MH menyatakan “Secara hukum tata
negara, Garis-Garis Besar Haluan Negara memang wewenang MPR, untuk berpikir,
berbicara, dan mengeksekusi, tetapi pertanyaannya apakah urgen dan layak untuk
dihidupkan kembali”. Dalam prosesnya pembentukan tersebut juga rentan adanya
politisasi. Pembahasan dan Perumusan harus dibahas secara kongkrit untuk
merumuskan mengenai sanksi bagi Presiden maupun lembaga negara lainnya yang
tidak mempedomani. Belajar dari sejarahnya Presiden diberhentikan dengan impeach
seolah-olah menurut MPR bahwa Gus Dur melanggar haluan negara dan dimana
alasan tersebut dapat membuat ketidakstabilan negera. Bersalah dan tidak
bersalahnya itu baik terbukti atau tidak kita mengetahui bahwa Gusdur lengser karena
alasan tersebut.

Dalam GBHN juga pembuatan dilakukan oleh DPR dan DPD dalam MPR maka akan
mengurangi ruang gerak Presiden selaku presiden terpilih yang mana sudah memiliki
visi dan misi dalam pembangunan baik ekonomi sosial dan budaya. Selain itu GBHN
akan tidak dapat dilaksanakan seoptimal mungkin karena pemerintah selaku eksekutr
dan lembaga eksekutif yang akan melaskanakan tidak dilibatkan dalam perencanaan
tersebut. GBHN sekarang ini cukup sebagai gidance atau pedoman dalam
pembangunan sehingga tidak perlu sampai mengamandemen UUD cukup diakomodir
dalam UU yang mana sudah ada dari tahun 2004 dengan UU Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.

MPR mempunyai posisi tawar penting dalam menentukan arah dan kebijakan nasional,
mengingat waktu itu posisinya adalah lembaga tertinggi negara sehingga memiliki
kewenangan untuk menetapkan GBHN sehingga Alasan menolak GBHN karena tidak
ada check and balance di dalam sistem ketatanegaraan karena ada lembaga tertinggi
negara yang diberikan kepada MPR dan ada lembaga tinggi negara yang dipegang
oleh Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA. Padahal prinsip check and balance
merupakan amanat proklamasi kemerdekaan Indonesia karena prinsip tersebut masuk
dalam nilai-nilai demokrasi. Pasca perubahan ketiga UUD 1945, ada perubahan terkait
dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi
negara tidak lagi berlaku. Dengan adanya perubahan tersebut, maka konsekuensinya
adalah tidak ada lagi sistem vertikal hierarkis dengan MPR menjadi lembaga tertinggi,
adanya sistem yang horizontal yang saling berimbang dalam pengawasan. GBHN
dimunculkan kembali dengan alasan supaya pembangunan berjalan dengan sistematis
tidak bisa dijadikan rujukan karena Indonesia sudah memiliki UU SPPN. Wacana
GBHN dihidupakan kembali lebihbermuatan politis bukan untuk kepentingan
pembangunan bangsa.

Dari beberapa uraian yang kami sebutkan diatas dapat dirangkum menjadi beberapa
lasan yang mana GBHN tidak diperlukan kembali diantaranya

1. Secara Dasar hukum susah karena harus melakukan amandemen terhadap


UUD yang ada
2. Sudah adanya undang undang yang mengatur dalam Bappenas dan Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dalam undang- undang
3. GBHN hanyalah nama saja selama sejarah pun mencatata berbagai nama
GBHN yang dipakai dari era Soekerno samapi sekarang
4. Perlunya perincinan sampai sejauhmana mana kewenangan pembuat GBHN
disertai sanksi secara tegas dan cermat
5. Masih banyaknya golongan elit politik dan sekelompok orang yang menduduki
kursi kekuasan yang memiliki visi misi pribadi
6. Perlunya pelibatan seluruh elemen dan peran aktif masyarakat yang mewakili
bangsa indonesia tidak hanya MPR dimana anggotanya hanya DPD dan DPR
7. Ketidakstabilan pemerintahan jika GBHN yang tidak diatur secara baik dan
benar bisa menjadi alasan impeachment terhadap Presiden
Daftar Bacaan

Bagir Manan,(2008 ). Dalam Hukum Administrasi Negara, (Ed) Ridwan HR.


Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Satjipto rahardjo .2007. Membedah Hukum progresif ,Jakarta, Kompas,
Penerbit Buku Kompas
W.Riawan Tjandra, Potensi Distorsi GBHN, Makalah pada FGD “Gagasan
Reformulasi GBHN sebagai Panduan dalam Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, kerjasama Asosiasi Pengajar HTN-HAN dengan
MPR RI, Yogyakarta, 9 September 2016
Media sosial
https://www.bappenas.go.id/id/berita/pro-kontra-menghidupkan-gbhn-pasca-
reformasi

https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/mengenal-apa-itu-gbhn-beserta-
fungsi-dan-tujuannya-21DgYtRvDnk

https://ejournal.up45.ac.id/index.php/cakrawala-hukum/article/view/265/228

https://www.mpr.go.id/img/jurnal/file/250322_2014%20_%20Reformulasi
%20GBHN%20dan%20Upaya%20Memperkokoh%20SPPN.pdf

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/
dc22be91a2d8f6e7d2a9babf1e1ab1f5.pdf

https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-upaya-
mengembalikan-gbhn-melalui-amendemen-uud-1945/

https://humbanghasundutankab.go.id/main/index.php/read/news/1836

Anda mungkin juga menyukai