Anda di halaman 1dari 10

KEDUDUKAN HUKUM GBHN DALAM SISTEM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL
ABDUL HAMID TOME1

1.1.

Pendahuluan
Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945, seluruh komponen masyarakat

melalui perwakilannya di MPR bersepakat untuk menghilangkan Garis-Garis Besar


Haluan Negara dari UUD NRI Tahun 1945. Hilangnya GBHN dalam konstitusi
sebagai

efek

dari

bergulirnya

reformasi.

Walhasil,

konstitusi

tidak

hanya

menghilangkan GBHN dalam sistem perencanaan pembangunan tetapi juga telah


mengamputasi kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki
kewenangan untuk menetapkan arah kebijakan pembangunan yang tertuang dalam
GBHN.
Wacana pengembalian GBHN dalam perencanaan pembangunan nasional
disampaikan pada Kongres Kebangsaan Forum Pemred yang mengambil tajuk
Menggagas Kembali Haluan Negara Menuju 100 Tahun Kemerdekaan Indonesia
yang berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta pada 10-11 Desember 2013. Kongres
tersebut menghadirkan sejumlah pimpinan lembaga negara sebagai pembicara
seperti Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua DPD RI Irman Gusman, Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko
dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva 2.
Awal tahun 2016, muncul gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN
menjadi arah dan tujuan pembangunan nasional. Hal ini ditandai dengan lahirnya
rekomendasi dari Rapat Kerja PDIP pada tanggal 12 Januari 2016 salah satunya
adalah mengembalikan fungsi dan wewenang MPR RI untuk membentuk dan
menetapkan Ketetapan MPR terkait pola pembangunan nasional semesta
berencana sebagai haluan negara dan haluan pembangunan nasional 3.

Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo


http://www.pusakaindonesia.org/perlukah-gbhn-diberlakukan-kembali/ diakses tanggal
18 Mei 2016.
3
http://www.antaranews.com/berita/539526/rakernas-pdip-hasilkan-22-rekomendasi
diakses tanggal 18 Mei 2016.
2

1 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Gayung bersambut, wacana penghidupan kembali GBHN menggelinding


bebas diruang publik. Ketua MPR Zulkifli Hasan, pada tanggal 24 Februari 2016,
mengadakan rapat gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi dan Lembaga
Pengkajian di Ruang GBHN, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan,
Jakarta. Salah satu topik bahasan dalam Ragab itu adalah aspirasi masyarakat
terkait dengan GBHN. MPR merespon dengan melakukan reformulasi sistem
perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan
penyelenggaraan negara4.
Secara fisik, GBHN memang telah dihilangkan dalam sistem pembangunan
nasional namun ruh tentang pembangunan nasional yang sebelumnya tertuang
dalam GBHN tetap menjadi pijakan pemerintah dalam menyelenggarakan roda
pemerIntahan. Hal ini dapat dilihat pada konsiderans UU No. 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dalam diktum
menimbang menyebutkan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu
dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana
pembangunan nasional. Selanjutnya disebutkan bahwa Indonesia memerlukan
perencanaan

pembangunan

jangka

panjang

sebagai

arrah

dan

prioritas

pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk


mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD
NRI Tahun 1945.
Pemikiran yang paling dasar terkait pemberlakukan kembali GBHN adalah
adanya anggapan bahwa RPJP dan RPJM yang disusun oleh pemerintah
mleahirkan proses pembangunan yang tidak terukur dan terarah sehingga belum
mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa oleh karenanya diperlukan sebuah
arah yang jelas dalam pencapaian tujuan pembangunan melalui pemberlakuan
kembali haluan negara.
Berdasarkan uraian diatas, maka makalah ini akan mengkaji tentang
kedudukan hukum GBHN dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
1.2. Sepintas tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Pembangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya
pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan

http://www.jpnn.com/read/2016/02/24/359236/MPR-Siapkan-Langkah-langkahMerespon-Wacana-GBHN- diakses tanggal 18 Mei 2016

2 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

manusia5. Proses pembangunan yang akan dilakukan harus melalui tahapan


perencanaan yang komprehensif sehingga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan
yang

mampu

melakukan

perubahan-perubahan

struktur

kehidupan

sosial,

peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan yang terukur


dan tearah. Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total
suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa
mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun
kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju
suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spiritual 6.
Pasal 1 Angka 3 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) menyebutkan bahwa SPPN adalah satu kesatuan
tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan
daerah.
Definisi di atas, secara tegas mengatakan bahwa proses perencanaan
pembangunan yang dilakukan oleh setiap penyelenggara negara harus tersusun
dalam satu dokumen perencanaan yang memiliki keterkaitan pada masing-masing
struktur kekuasaan pemerintahan. Sistem perencanaan pembangunan sebagaimana
yang diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2014 terdiri dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan
Rencana Pembangunan Tahunan. Masing-masing dokumen perencanaan tersebut
berlaku dari pemerintahan pusat hingga daerah.
Pada skala nasional, RPJP, merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang berlaku sampai
20 tahun. Rumusan RPJPN, menjadi pedoman dalam penyusunan RPJMN yang
merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden, yang memuat strategi
pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
5

Michael P. Todaro. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta, Hal.
18.
6
Ibid. Hal. 20

3 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi
dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Hal yang sama pula berlaku hingga
ke tingkat daerah. RPJPD yang dibuat pemeirntah daerah harus mengacu pada
RPJPN dan RPJMD disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan
RPJMN.
Secara normatif, konstruksi sistem perencanaan pembangunan sebagaimana
yang diuraikan diatas merupakan satu kesatuan yang saling keterkait. Sehingga
arah pembangunan nasional dapat berjalan secara berkesinambungan. Pemberian
kewenangan kepada masing-masing struktur pemerintahan dalam merumuskan pola
pembangunan tidak bisa dipahami sebagai lemahnya proses pembangunan karena
masing-masing struktur pemerintahan mendesign format pembangunan secara
sendiri-sendiri. Justru dengan adanya pemberian kewenangan tersebut, memberikan
inovasi bagi setiap penyelenggara negara dalam menjalankan roda pemerintahan
guna mewujudkan cita-cita nasional negara Indonesia.
1.3. Pembangunan dalam Perspektif Negara Hukum
Menurut Gant sebagaimana dikutip oleh Suryono 7 bahwa pembangunan
memiliki dua tujuan, yakni: Pertama. Pada hakikatnya pembangunan bertujuan untuk
menghapuskan kemiskinan. Kedua. Menciptakan kesempatan-kesempatan bagi
warganya untk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Pembangunan merupakan sebuah proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan
institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan 8.
Definisi tersebut memberikan beberapa implikasi 9, yakni:
1. Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk peningkatan income, tetapi juga
pemerataan.
2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan seperti
peningkatan:
a. Life Sustenance: kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
b. Self-Esteem: kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki
harga diri, bernilai dan tidak dihisap orang lain.
c. Freedom From Servitude: kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan

dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.


7

Agus Suryono. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Universitas Malang Press, Malang,
Hal. 31.
8
Michael P. Todaro. 2000. Pembangunan Ekonomi ........... Op.cit, Hal. 20
9
Ibid. Hal. 21

4 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dilihat bahwa pada hakikatnya


pembangunan

dalam

sebuah

negara

harus

diarahkan

pada

peningkatan

kesejahteraan warga negara sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara itu


sendiri. Dari konsepsi ini, mengharuskan negara untuk turut serta dalam perbaikan
kehidupan masyarakat.
Ikut sertanya pemerintah dalam kehidupan masyarakat bukan untuk
melakukan intervensi terhadap ruang private warga negara tetapi sebagai sebuah
langkah dalam memahami apa yang dibutuhkan oleh warga negara guna dijadikan
sebagai

pertimbangan

dalam

menjalankan

proses pembangunan

sekaligus

membuka ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pembangunan.


Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur
pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk
kepentingan umum; Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang

yang

menyimpangkan

konvensi

dan

konstitusi;

Ketiga,

pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilasanakan atas kehendak


rakyat, bukan paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. 10
Oleh karenanya, proses pembangunan selain diarahkan untuk kepentingan
umum juga harus didasarkan pada dasar konstitusi negara. Sebelum UUD NRI
Tahun 1945 diamandemen, arah dan tujuan pembangunan nasional diterjemahkan
ke dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Artinya bahwa MPR merumuskan arah
dan tujuan pembangunan nasional untuk dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara
negara. Pada konteks ini, terlihat secara jelas bahwa sistem presidensial yang
dianut oleh Indonesia kehilangan maknanya sebab kendali negara berada ditangan
MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu.
Adanya kekeliruan dalam sistem ketatanegaraan tersebut, maka tak dapat
dielakan terjadi amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang memangkas kewenangan
MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus menghilangkan
kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN. Arah dan tujuan pembangunan
diserahkan kembali rumusannya kepada pemerintah berdasarkan kesepakatan
bersama dengan DPR untuk ditetapkan menjadi undang-undang.

10

Ridwan HR., 2011. Hukum Administrasi Negara. Cet. VI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 2

5 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara hukum harus


menempatkan hukum di atas segalanya artinya bahwa penyelenggaraan kekuasaan
pemerintah tidak bisa bertentangan dengan hukum. Menurut Burkens, sebagaimana
dikutip oleh Hotma Sibuea dalam Azhary, menyebutkan bahwa kekuasaan negara
dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di
bawah kekuasaan hukum.11 Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam memaknai
rumusan dari Burkens, yaitu:
1. Jika kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan
ketentuan hukum, berarti setiap tindakan penguasa harus didasarkan atas
ketentuan hukum yang sudah lebih dahulu ada sebelum tindakan penguasa
tersebut dilakukan. Prinsip ini disebut sebagai asas legalitas. Dengan
demikian, asas legalitas ini memberikan dasar pembenar terhadap setiap
tindakan pemerintah. Selain itu, asas ini juga sekaligus membatasi tindakan
pemerintah karena jika tidak ada dasar hukumnya penguasa tidak dapat
bertindak. Asas legalitas ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum
sehingga

penguasa

tidak

dapat

bertindak

sewenang-wenang

dalam

menyelenggarakan kekuasaan negara.


2. Jika kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan

ketentuan hukum, berarti hukum selain merupakan dasar tindakan penguasa


(legalitas tindakan penguasa) juga sekaligus merupakan pedoman atau
penuntun yang memebrikan panduan terhadap cara-cara penyelenggaraan
kekuasaan negara. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki penguasa
tidak dapat diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak berpedoman
kepada aturan hukum. Hukum mengatur prosedur atau tata cara yang harus
dilakukan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. 12
Ketaatan

terhadap

hukum,

tidak

hanya

mengikat

penyelenggara

pemerintahan, namun rakyat sebagai pihak yang diperintah juga harus mematuhi
norma-norma hukum dalam menjalankan kehidupannya. Rakyat tidak bisa
memaksakan

kehendaknya

berdasarkan

keinginannya

semata

tanpa

memperhatikan norma hukum yang berlaku. Apabila masing-masing pihak


11

Hotma P. Sibuea. 2010. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik. Erlangga, Jakarta, Hal. 48
12
Ibid, Hal. 50

6 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

menjalankan kepentingannya secara sendiri-sendiri tanpa didasari oleh norma


hukum, maka pada saat itu pula kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
terancam karena manusia telah menjadi serigala bagi manusia yang lain, masingmasing mempertahankan eksistensinya untuk tetap hidup dan berkembang.
Sehingganya pemberlakuan GBHN dalam penentuan arah dan tujuan pembangunan
merupakan bentuk ketidaktaatan negara terhadap hukum (konstitusi).
Apabila negara menempuh jalur untuk mengamendemen UUD NRI Tahun
1945 sebagai bentuk kompromi untuk melegalkan GBHN dalam konstitusi negara,
maka yang terjadi adalah terjadinya perubahan yang sangat signifikan dalam sistem
pemerintahan, hubungan antar lembaga negara, hingga tugas dan fungsi dari
lembaga negara13. Jika ini terjadi maka tarikan sejarah masa lalu tak dapat terelakan
lagi. Sejarah telah mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang baik bukan untuk
kembali menjamah kehidupan yang kelam.
1.4.

Kedudukan Hukum GBHN dalam Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional
Pada uraian

sebelumnya

telah

dipaparkan

sistem

perencanaan

pembangunan, yang terbagi atas RPJP, RPJM, dan Rencana Pembangunan


Tahunan. Khusus untuk RPJP Nasional ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Pertimbangan lahirya UU No. 17 Tahun 2007 didasarkan atas perubahan
perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi
GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Selanjutnya
disebutkan bahwa Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka
panjang sebagai arrah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan
dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945.
Dari konstruksi hukum tersebut, maka GBHN sebagai arah dan tujuan
pembangunan nasional telah mengalami perubahan kedudukan hukumnya. Secara
normatif, GBHN tidak lagi tersirat dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan lainnya. Namun semangat untuk menentukan arah dan tujuan
pembangunan nasional perlu untuk ditetapkan sebagai pijakan bagi penyelenggara
negara

dalam

mewujudkan

cita-cita

nasional.

Sehingganya

13

pikiran

untuk

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalahketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan diakses tanggal 18 Mei 2016.

7 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

menghidupkan kembali GBHN perlu diredupkan dengan tetap memperkuat design


pembangunan negara yang berkeadilan.
1.5. Penguatan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Perdebatan tentang memunculkan kembali GBHN sebagai arah dan tujuan
pembangunan nasional seharusnya diarahkan pada domain memperkuat posisi
negara, masyarakat, dan dunia usaha dalam mewujudkan cita-cita nasional. Bukan
pada wilayah memaksakan kembali penguatan posisi MPR sebagai organ tunggal
untuk merumuskan pembangunan dalam haluan negara yang pada akhirnya
mengamendemen kembali UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk

sebesar-besarnya

kemakmuran

rakyat.

Perekonomian

nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,


efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam
perspektif ini, maka dapat dilihat bahwa negara memiliki tanggungjawab dalam
menyelenggarakan perekonomian nasional guna melaksanakan pembangunan yang
berkeadilan.
Sehingganya proses pembangunan yang dilakukan harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan kebutuhan daerah 14 agar tidak terjadi sentralisasi 15
kebijakan pembangunan. Dalam rangka menguatkan perencanaan pembangunan
tanpa membenturkannya dengan konstitusi maka ada tiga hal yang perlu
diperhatikan:
1) Faktor Sumber Daya
Pola perencanaan pembangunan memperhatikan sumber daya yang dimiliki,
baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang dimiliki.
Pendekatan pembangunan dengan memperhatikan faktor ini diharapkan akan
lahir indikator pembangunan yang jelas berdasarkan permasalahan dan
kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

14

Sebagaimana diamantkan pada Bab VI UUD NRI Tahun 1945


Saat ini upaya sentralisasi mulai menguat sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pembagian urusan pemerintahan, sangat jelas
upaya untuk mengarahkan kembali sentralisasi kekuasaan tanpa mempertimbangkan
hakikat lahirnya otonomi daerah. Secara perlahan sentralisasi tersebut ditarik pada level
provinsi sehingga sebagian kewenangan pemerintah kabupten/kota teramputasi.
15

8 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Faktor ini pula nantinya akan mampu memangkas utang negara apabila
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki digunakan secara efisien dan sefektif
mungkin.
2) Faktor Politik
Pola perencanaan pembangunan harus benar-benar mewujudkan kehendak
bersama komponen negara. Artinya bahwa perencanaan pembangunan
didasarkan pada pengejawantahan prinsip demokrasi 16 bukan didasarkan
pada negosiasi politik pemerintah. Sehingganya dalam perumusan rencana
pembangunan jangka menengah, tidak hanya sekedar mengadopsi visi, misi,
dan program Presiden atau Kepala Daerah tetapi benar-benar disandarkan
pada upaya pencapaian tujuan nasional.
3) Faktor Yuridis
Pola perencanaan pembangunan harus didasarkan pada koridor hukum yang
jelas. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari dianutnya konsep negara hukum
pada konstitusi negara17. Faktor ini bukan bentuk legitimasi masuknya
kembali GBHN dalam konstitusi tetapi lebih pada penekanan untuk
memperkuat ketentuan perundang-undangan tentang sistem perencanaan
pembangunan nasional sebagai penjelmaan haluan negara kekinian yang
dilaksanakan sepenuhnya oleh eksekutif dan diawasi langsung oleh legislatif.
Dengan demikian pejabat penyelenggara negara memiliki keabsahan dalam
menjalankan tugasnya dan masyarakat dapat melakukan kontrol secara
langsung tentang pencapaian terhadap target pembangunan yang telah
direncanakan.
1.6.

Referensi

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga,


Jakarta.
Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Universitas Malang Press,
Malang.
Ridwan HR., 2011. Hukum Administrasi Negara. Cet. VI, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
16

Adanya prinsip partisipasi dari masyarakat dalam merumuskan perencanaan


pembangunan. Proses partisipasi tersebut tidak hanya terjadi pada saat perencanaan
pembangunan tetapi juga hadir dalam proses pengawasan terhadap pelaksanaan dari
hasil kesepakatan perencanaan pembangunan.
17
Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

9 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Sibuea, Hotma P. 2010. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik. Erlangga, Jakarta.
http://www.antaranews.com/berita/539526/rakernas-pdip-hasilkan-22-rekomendasi
diakses tanggal 18 Mei 2016.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalahketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan diakses tanggal 18 Mei 2016.
http://www.jpnn.com/read/2016/02/24/359236/MPR-Siapkan-Langkah-langkahMerespon-Wacana-GBHN- diakses tanggal 18 Mei 2016
http://www.pusakaindonesia.org/perlukah-gbhn-diberlakukan-kembali/

diakses

tanggal 18 Mei 2016.


UUD NRI Tahun 1945
UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

10 | Kedudukan Hukum GBHN Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Anda mungkin juga menyukai