Anda di halaman 1dari 23

FATWA BUDIYANTI (121012201006)

ANALISIS POTENSI EKONOMI PARIWISATA DI KOTA BUKITTINGGI DAN


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PEREKONOMIAN DI KOTA BUKITTINGGI

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah masa kemerdekaan, paradigma pembangunan Indonesia sebagai landasan nilai pada
masa pemerintahan Orde Baru dan menjadi acuan dari seluruh kebijakan. Untuk memudahkan
pelaksanaan paradigma ini, Orde Baru menerapkan system pemerintahan yang sentralistik,
paternalistik, dan sangat birokratik (birocratic polity) (Waris, 2012). Instrument utama dari
penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Repelita dengan konsep dan rencana pembangunan dengan pola sentralistik. Menjadikan
pemerintah tampil sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan dari pembangunan nasional tersebut.
Peran utama dari pembangunan nasional itu dengan tujuan akselerasi pembangunan.
Sebenarnya, paradigma pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde Baru itu tidak ada yang
salah. Hanya saja, setelah dijalankan sekian lama ternyata menimbulkan implikasi, yakni
terselenggaranya system pemerintahan yang sentralistik, Waris (5:2012). Sistem ini harus
diterapkan, karena menurut pemerintah pembangunan hanya dapat terlaksana jika tercipta stabilitas
politik dan keamanan. Dalam perkembangannya pelaksanaan pembangunan menjadi terpusat,
partisipasi rakyat ditolak. Rakyat hanya menjadi objek pembangunan, dan pemerintah daerah
menjadi pelengkap saja dari sistem pemerintahan nasional tanpa perlu berbuat apa-apa, terutama
dalam hal perencanaan.
Pemerintahan yang sentralistik berlangsung kurang lebih 32 tahun lamanya di bawah
kepemimpinan Soeharto pada rezim Orde Baru. Jika dihitung, sejak tahun 1959-1968 Soekarno
melaksanakan Demokrasi Terpimpin (Demokrasi Terpimpin) dengan menerapkan sistem
pemerintahan sentralistik diterapkan, maka kurang lebih 39 sampai dengan 40 tahun rakyat negeri
ini sebetulnya sudah berada pada kondisi pemerintahan sentralistik. Satu generasi telah terbentuk
dalam kurun waktu 40 tahun tersebut, dengan pengelolaan pemerintahan dan politik yang
sentralistik dan paternalistik generasi ini sudah terbiasa dengan pemikiran itu. Generasi ini
digambarkan tidak terbiasa untuk kreatif; tidak berani untuk resiko demi kepentingan rakyat;
terbiasa mengelola pembangunan dengan instruksi; mengelola pemerintahan dengan cara-cara
KKN adalah hal biasa; dan seterusnya. (Waris, 7:2012)
1
Munculnya kesenjangan antara pusat dan daerah di akibatkan adanya sentralisasi di masa
Orde Baru. Daerah tidak dapat berinisiatif untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan
kondisi dan kekayaan yang dimiliki dan bahkan kehilangan identitasnya. Kemajuan dan
kesejahteraan di daerah berbanding terbalik dengan kemajuan perekonomian nasional. Hal ini
menjadi bukti ketidakadilan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional.
Sentralisasi diakui memang memiliki kekurangan dan kesalahan dalam penerapannya
dimasa lalu. Kondisi tersebut didukung dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yangg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka NKRI. Ketetapan MPR ini menjadikan pembangunan daerah diakui,
bahwa ia merupakan bagian integral dari pembangunan nasional melalui otonomi daerah yang
harus dilaksanakan. Pengaturan yang berkeadilan terkait sumber daya nasional, serta keuangan
pusat dan daerah yang berimbang. Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional juga tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Amanat TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah dengan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dengan
mewujudkan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketetapan MPR ini diperkuat dengan dibentuknya
UU Nomor 22 Tahun 1999 dimana daerah otonom diberikan kewenangan sangat besar, terutama
daerah kabupaten dan kota yang dinyatakan sebagai tempat penyelenggaraan otonomi daerah
secara utuh.
Evaluasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam TAP MPR Nomor IV Tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menurut
ketetapan MPR ini, bahwa meskipun dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan, tetapi masih
banyak mengalami kegagalan dan tidak tepat sasaran. Kegagalan tersebut mengakibatkan
munculnya ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan. Yang pada akhirnya melahirkan
tuntutan untuk memisahkan diri dan tuntutan kuat pelaksanaan otonomi daerah agar ditingkatkan.
Amanat otonomi yang tertuang pada Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2000, diatur secara
bertingkat antara daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Hal ini sesuai dari rekomendasi ke-7
pada Tap MPR Nomor IV Tahun 2000 yang menyatakan: “Sejalan dengan semangat desentralisasi,
demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk
melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

2
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan
antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian
terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap
propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya, untuk desa-desa di Sumatera Barat
sering disebut dengan istilah nagari.
Dengan dibentuknya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk
menyesuaikan Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2000. Undang- undang ini meskipun memberikan
otonomi yang besar kepada daerah, tetapi bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi ada pada
kabupaten dan kota. Melainkan, menyatakan provinsi maupun kabupaten/kota sebagai daerah
otonom. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menerangkan secara teknis tentang
pemekaran dan penggabungan daerah. Diantaranya, pemekaran daerah didefinisikan sebagai
pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota menjadikan dua atau lebih daerah baru atau
penggabungan bagian daerah dari beberapa daerah yang berdampingan dalam satu daerah provinsi
untuk menjadi satu daerah baru.
Siswanto (2012) menjelaskan secara filosofis tentang pemekaran daerah. Menurutnya,
tujuan pemekaran daerah ada dua kepentingan. Yaitu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat, pendekatan pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat dan serta memperpendek
rentang kendali pemerintahan. Hal ini berdampak pada setiap daerah pemekaran, diberikan
kewenangan tersendiri untuk memenuhi kebutuhannya dalam rangka mensejahterakan
masyarakatnya. Dengan adanya landasan pengelolaan daerah secara mandiri ini, membuat kepala
daerah mesti cermat dalam mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan perekonomian di
daerahnya. Terutama kebijakan dalam pembentukan modal untuk pembangunan infrastruktur dan
penunjang perekonomian lainnya. Dalam proses pembangunan ekonomi, modal yang terbentuk
merupakan faktor yang paling penting dan strategis. Modal yang terbentuk disebut juga sebagai
“kunci utama menuju pembangunan ekonomi” Nadir (2013). Modal yang terbentuk dapat
bersumber dari investasi. Baik invetasi dari dalam negeri (PMDN) maupun investasi dari luar
negeri (PMA).
Investasi dapat diartikan sebagai penanaman modal di suatu perusahaan atau lembaga usaha
tertentu. Penanaman modal bisa bersumber dari penanaman modal dalam negeri maupun
penanaman modal luar negeri. Dengan adanya investasi dari dalam negeri maupun luar negeri,
nantinya mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan meningkatnya proses produksi barang
dan jasa yang akan mendorong penyerapan angkatan kerja. Dampaknya, tenaga kerja tersebut
memperoleh upah, serta membuat tenaga kerja tersebut memiliki daya beli. Terjadinya pemerataan

3
pendapatan perkapita dikarenakan semakin banyak tenaga kerja dapat diserap. Hal ini dikarenakan,
investasi yang digunakan untuk melakukan proses produksi barang jasa (Sukirno, 2004).
Investasi sebagai penggerak dan pendorong aktivitas ekonomi suatu negara maupun daerah.
Upaya menumbuhkan perekonomian itu, pemerintah pusat maupun daerah senantiasa berusaha
mewujudkan iklim yang mampu menggairahkan investasi. Perbaikan iklim modal dilakukan secara
berkesinambungan oleh pemerintah, melalui paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
Melakukan penyederhanaan alur perizinan, peringanan syarat-syarat investasi serta memancing
investasi untuk sektor-sektor dan di daerah tertentu, tata cara impor barang modal yang sederhana.
Fluktuatif investasi setiap tahunnya dan kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan
investasi berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif pula setiap tahunnya.
Simanjuntak dan Yusnida (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa investasi dan
kebijakan pemerintah bersama-sama mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Suparno (2017) dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa, untuk menarik minat investor dalam berinvestasi, inovasi
yang harus dilakukan antara lain: (1) Pembaruan Kebijakan dan Peraturan Investasi, (2)
Implementasi One Stop Service (PTSP), (3) Persiapan Sumber Daya Manusia/Pekerja Lokal (4)
Pemberian Insentif dan Kemudahan (5) Ketentuan Kepastian Hukum. Rekomendasi untuk
pemerintah daerah: Rekomendasi untuk daerah untuk menarik investor untuk berinvestasi: (1)
Mengoptimalkan lembaga perizinan terpadu dengan penyediaan data dan informasi, dan perizinan
yang dipercepat yang didukung oleh penyediaan sistem informasi berdasarkan teknologi informasi
(TI) dan layanan online. (2) Mengembangkan sistem informasi investasi modal berdasarkan
teknologi informasi (3) Mengoptimalkan program rutin lembaga untuk memperbarui data,
bimbingan teknis. (4) Mengoptimalkan aset daerah dalam memfasilitasi penyediaan lahan. (5)
Meningkatkan daya dukung sarana dan prasarana untuk investasi. Kebutuhan akan layanan
infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, listrik, dan infrastruktur pendukung adalah salah satu
daya tarik kawasan untuk menarik investor.
Hanim dan Ragimun (2010), menemukan variabel-variabel yang berpotensi mempengaruhi
daya tarik investor. Adalah stabilisasi ekonomi, administrasi, kebijakan pemerintah, kelembagaan,
dan sekuritas. Sementara Sumarsono (2007) menemukan bahwa perubahan beberapa peraturan dan
perizinan dilakukan untuk mempermudah proses investasi. Mengingat pembangunan tidak
mungkin dapat dilaksanakan tanpa ketersediaannya modal. Baik modal dalam negeri maupun
modal dari luar negeri. Perubahan peraturan dan kebijakan investasi ini bermanfaat untuk
meningkatkan atau menggairahkan investasi di daerah sendiri. Karena dengan adanya investasi,
akan membuka peluang kerja di daerah yang selanjutnya meningkatkan produktivitas.

4
Wiguna (2013) mengemukakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk melihat
adanya gejala pertumbuhan ekonomi di suatu negara atau wilayah dengan menggunakan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Cara berikutnya adalah dengan menggunakan pembangunan
manusia. Untuk bisa melihat kualitas pembanunan manusia dapat dilihat melalui Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Rendahnya indeks pembangunan manusia mengakibatkan
berkurangnya produktifitas kerja dan pendapatan yang berujung pada meningkatnya kemiskinan.
Sementara inflasi mengakibatkan penurunan pendapatan riil, terutama untuk kelompok
pendapatan tetap. Selama dalam keadaan inflasi, orang-orang dalam kelompok berpendapatan tetap
akan kalah. Karena barang dan jasa naik lebih cepat dari upah nominal. Kelas-kelas miskin
menderita karena upah mereka tetap, tetapi harga komoditas terus naik, Oye (2012).
Aspek-aspek pembentuk pembangunan ekonomi mencakup bidang ekonomi, sosial, politik
dan lainnya. Untuk mencapai keberhasilan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah,
aspek-aspek tersebut harus saling mendukung. Peran serta dari masyarakat maupun pemerintah
sangat diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Diperlukan formulasi kebijakan yang tepat
untuk investasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga formulasi kebijakan tersebut dapat
berdampak pada kontribusi PDRB, khususnya pada Kota Bukittinggi yang lebih besar setiap
tahunnya seperti terlihat pada tabel di bawah.
Tabel 1.1
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha

S
Sumber : BPS Kota Bukittinggi 2023

5
Salah satu tujuan pembangunan suatu daerah adalah meningkatkan perekonomian daerah
tersebut. Peningkatan perekonomian tidak hanya berorientasi pada perkembangan dan
pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) saja, tetapi itu juga
mempertimbangkan laju pertumbuhan dan pertambahan penduduk. Boediono dalam Tarigan
(2004:44). Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, setiap daerah
diberikan kebebasan dan kewenangan untuk menentukan arah pembangunan ekonominya masing-
masing. Untuk itu diperlukan kemampuan daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi-
potensi yang dimiliki sebagai sumber kegiatan perekonomian. Penentuan sektor basis dan
unggulan diharapkan dapat berperan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pertumbuhan
suatu wilayah. Karena setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek
ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005 : 28). Selain itu sektor
basis/strategis diharapkan dapat mendorong dan menarik sektor-sektor lain untuk terintegrasi
secara bersama-sama dalam meningkatkan perekonomian suatu daerah.
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Sumatera Barat. Kota ini
tidak mempunyai potensi sumber daya alam berupa hutan, mineral, gas bumi dan perikanan laut
yang dapat dieksploitasi sebagai sumber perekonomian kota. Namun Kota Bukittinggi terletak
pada posisi yang strategis, yakni berada pada posisi silang lintas ekonomi Barat–Timur dan Utara-
Selatan wilayah regional Sumatera. Selain itu alam yang indah dan topografi wilayah yang pada
umumnya bergelombang dan berbukit menjadikan udaranya sejuk dan menyegarkan, disamping
memiliki beberapa objek wisata, menyebabkan Kota Bukittinggi menjadi daerah tujuan wisata dan
tempat peristirahatan yang terkenal di Provinsi Sumatera Barat. Dijadikannya sektor pariwisata
sebagai salah satu sektor unggulan di Kota Bukittinggi, tentu akan berpengaruh terhadap
pembangunan daerah, baik secara ekonomi maupun keruangan.
Di lihat dari perannya terhadap PDRB Tahun 2022 sumbangan sektor pariwisata dalam
hal ini perdagangan besar & eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor adalah sebesar 4,93%
sedangkan sektor penyediaan Akomodasi dan Makan Minum adalah sebesar 13,71%. Dan sektor
jasa lainnya adalah sebesar 12,58%. Angka ini menunjukan sumbangan yang tinggi dan
mendominasi terhadap PDRB. Dari data PDRB sebenarnya kita sudah dapat mengambil sebuah
kesimpulan, Hanya saja besar dan kecilnya persentase sumbangan suatu sektor terhadap PDRB
bukan merupakan satu- satunya acuan bahwa sektor tersebut dapat dikembangkan atau tidak
sebagai sektor unggulan dan strategis. Perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk mendapatkan
data dan informasi yang berguna bagi penentuan perencanaan pembangunan dimasa depan
(Arsyad, 1999:109), dan apakah sektor tersebut dapat memberikan efek pengganda baik terhadap
output, pendapatan rumah tangga dan tenaga kerja, serta dapat menjadi sektor penarik dan

6
pendorong sektor lain untuk dapat tumbuh dan berkembang. Sejauh ini belum diketahui seberapa
besar pengaruh sektor pariwisata terhadap perekonomian Kota Bukittinggi secara komprehensif.
Untuk itu perlu dikaji “Potensi Ekonomi Pariwisata Di Kota Bukittinggi Dan Implementasi
Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Meningkatkan Perekonomian Di Kota Bukittinggi”.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis potensi sektor pariwisata terhadap perekonomian di Kota Bukittinggi?
2. Menganalisis Penerapan Input Finansial Belanja Pemerintah dan Investasi terhadap sektor
perekonomian di Kota Bukittinggi?
3. Bagaimana Dampak Pengganda (Multiplier Effect) terhadap sektor perkonomian di Kota
Bukittinggi?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis potensi sektor pariwisata terhadap perekonomian di Kota
Bukittinggi?
2. Untuk mengetahui dampak Penerapan Input Finansial Belanja Pemerintah dan Investasi terhadap
sektor perekonomian di Kota Bukittinggi?
3. Untuk mengetahui Dampak Pengganda (Multiplier Effect) terhadap sektor perkonomian di Kota
Bukittinggi?

II. LANDASAN TEORI


2.1 Teori Ekonomi Pembangunan
“Hess dan Ross (1997) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai dimensi kualitatif.
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi memerlukan perubahan struktur yang mendasar, yaitu
meliputi usaha pengurangan kemiskinan dan penyebaran manfaat dari adanya makanan,
kesehatan, pendidikan, dan peningkatan taraf hidup. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat
dikatakan bahwa pembangunan ekonomi juga merupakan usaha untuk mengubah ekonomi yang
miskin, stagnan, dan primer-agraris menjadi ekonomi berkembang yang berbasis pada kehidupan
perkotaan (urban), yang mampu bertahan secara berkesinambungan. Berdasarkan pendapat-
pendapat Hess dan Ross (1997) serta Blackman et a.l (2001) dapat dikatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi dapat diindikasikan oleh adanya difusi pertumbuhan ekonomi dan

7
pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, konsep ini secara tegas membedakan konsep
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Tujuan ekonomi pembangunan yaitu jika dari ilmu ekonomi pembangunan adalah
untuk0meneliti berbagai faktor yang menyebabkan ketertinggalan pembangunan di Negara
berkembang, sehingga dengan mengetahui faktor tersebut yang menghambat pembangunan dapat
diketahui bagaimana cara yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas pembangunan di
negara berkembang. Dengan demikian, diharapkan kemajuan bisa tercapai di Negara yang
bersangkutan. Pada garis besarnya teori-teori pembangunan ekonomi dapat digolongkan menjadi
lima golongan besar yaitu aliran klasik, Karl Marx, Schumpeter, Neo Klasik dan Post Keynesian.
Dimana aliran-aliran ini mencoba menemukan sebab-sebab pertumbuhan pendapatan nasional dan
proses pertumbuhannya.
a) Teori Klasik
Aliran klasik muncul pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke 19 yaitu dimasa
revolusi industri yang merupakan awal bagi adanya perkembangan ekonomi. Teori ini
mengungkapkan, bahwa kecepatan pertumbuhan kapital tergantung pada tinggi rendahnya
tingkat keuntungan, sedangkan tingkat keuntungan tergantung pada sumber daya alam.
Aliran klasik juga mengalami perkembangan dari beberapa pengamat aliran klasik,
diantaranya Adam Smith, David Ricardo, dan Thomas Robert Malthus.
Pembagian Kerja adalah titik mula dari teori pertumbuhan ekonomi Adam Smith, yang
meningkatkan daya produktvitas tenaga kerja. Ia menghubungkan kenaikan itu dengan
meningkatnya keterampilan kerja; penghematan waktu dalam memproduksi barang;
penemuan mesin yang sangat menghemat tenaga. Penyebab yang terakhir bukan berasal
dari tenaga kerja melainkan dari modal.
Berkaitan dengan penumpukan modal, Smith menekankan penumpukan modal harus
dilakukan terlebih dahulu daripada pembagian kerja. Hal ini dikarenakan pemupukan
modal sebagai satu syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi. Dengan demikian
permasalahan pembangunan ekonomi secara luas adalah kemampuan manusia untuk lebih
banyak menabung dan menanam modal. Yang pada akhirnya tingkat investasi akan
ditentukan oleh tingkat tabungan dan tabungan yang sepenuhnya diinvestasikan.
Menurut David Ricardo di dalam masyarakat ekonomi ada tiga golongan masyarakat
yaitu golongan kapital, golongan buruh, dan golongan tuan tanah. Golongan kapital adalah
golongan yang memimpin produksi dan memegang peranan yang penting karena mereka
selalu mencari keuntungan dan menginvestasikan kembali pendapatannya dalam bentuk
akumulasi kapital yang mengakibatkan naiknya pendapatan nasional. Golongan buruh

8
merupakan golongan yang terbesar dalam masyarakat, namun sangat tergantung pada
capital. Golongan tuan tanah merupakan golongan yang memikirkan sewa saja dari
golongan kapital atas areal tanah yang disewakan. David Ricardo mengatakan bahwa bila
jumlah penduduk bertambah terus dan akumulasi kapital terus menerus terjadi, maka
tanah yang subur menjadi kurang jumlahnya atau semakin langka adanya. Akibatnya
berlaku pula hukum tambahan hasil yang semakin berkurang. Disamping itu juga ada
persaingan diantara kapitalis-kapitalis itu sendiri dalam mengolah tanah yang semakin
kurang kesuburannya dan akibatnya keuntungan mereka semakin menurun hingga pada
tingkat keuntungan yang normal saja.
Sementara pandangan Malthus yang menitik beratkan perhatian pada “perkembangan
kesejahteraan” suatu negara, yaitu pembangunan ekonomi yang dapat dicapai dengan
meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Kesejahteraan suatu negara sebagian
bergantung pada kuantitas produk yang dihasilkan oleh tenaga kerjannya, dan sebagian
lagi pada nilai atas produk tersebut.
b) Teori Karl Marx
Karl Marx lahir pada tahun 1818 di Kota Trier Jerman. Pemikiran Marx sangat
dipengaruhi oleh Darwin dan menggunakan gagasan ini untuk menjelaskan proses
dialektik sejarah. Menurut Marx, masyarakat menempuh tahapan-tahapan yang berbeda
dalam sejarah dan yang menenukan tahapan-tahapan tersebut adalah perubahan dalam
sarana produksi dan hubungan-hubungan produksi. Menurutnya berdasarkan sejarah,
perkembangan masyarakat melalui 5 tahap :
1. Masayarakat kumunal primitif, yang masih menggunakan alat-alat produksi sederhana
yang merupakan milik kumunal. Tidak ada surplus produksi di atas konsumsi.
2. Masyarakat perbudakan, adanya hubungan antar pemilik factor produksi dan orang-
orang yang hanya bekerja untuk mereka. Para budak diberi upah sangat minim mulai
ada spesialisasi untuk bidang pertanian, kerajinan tangan dan sebagainya. Karena
murahnya harga buruh maka minat pemilik faktor produksi untuk memperbaiki alat-
alat yang dimilikinya rendah. Buruh makin lama sadar dengan kesewenang-wenangan
yang dialaminya sehingga menimbulkan perselisihan antara dua kelompok tersebut.
3. Masyarakat feodal, kaum bangsawan memiliki faktor produksi utama yaitu tanah.
Para petani kebanyakan adalah budak yang dibebaskan dan mereka mengerjakan
dahulu tanah milik bangsawan. Hubungan ini mendorong adanya perbaikan alat
produksi terutama di sektor pertanian. Kepentingan dua kelas tersebut berbeda, para
feodal lebih memikirkan keuntungan saja dan kemudian mendirikan pabrik-pabrik.

9
Banyak timbul pedagang-pedagang baru yang didukung raja yang kemudian
membutuhkan pasar yang lebih luas. Perkembangan ini menyebakan timbulnya alat
produksi kapitalis dan menghendaki hapusnya sistem feodal. Kelas borjuis yang
memilki alat-alat produksi menghendaki pasaran buruh yang bebas dan hapusnya tarif
serta rintangan lain dalam perdagangan yang diciptakan kaum feodal sehingga
kemudian masyarakat tidak lagi munyukai sistem ini.
4. Masyarakat kapitalis, hubungan produksinya didasarkan pada pemilikan individu
masing-masing kapitalis terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan
buruh. Keuntungan kapitalis membesar yang memungkinkan berkembangnya alat-alat
produksi. Perubahan alat yang mengubah cara produksi selanjutnya menyebabkan
perubahan kehidupan ekonomi masyarakat. Perbedaan kepentingan antara kaum
kapitalis dan buruh semakin meningkat dan mengakibatkan perjuangan kelas.
5. Masyarakat sosialis, kepemilikan alat produksi didasarkan atas hak milik sosial.
Hubungan produksi merupakan hubungan kerjasama dan saling membantu diantara
buruh yang bebas unsur eksploitasi. Tidak ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat.

Menurut Karl Marx masyarakat menempuh tahapan-tahapan yang berbeda dalam


sejarah dan yang menentukan tahap-tahap tersebut adalah perubahan dalam sarana
produksi dan juga hubungan-hubungan produksi yang telah dijelaskan di atas, namun
sejarah telah membuktikan bahwa periode evolusi yang dikemukakan oleh Marx ternyata
keliru. Tidak ada masa dalam sejarah masyarakat yang melalui tahapan evolusi
sebagaimana yang dikemukakan Marx. Sebaliknya sebagaimana sistem yang diyakini
oleh Marx terjadi melalui serangkaian tahapan tertentu, malah dapat terjadi dalam waktu
bersamaan dan dalam masyarakat yang sama pula di saat satu wilayah dari suatu Negara
sedang mengalami sistem yang menyerupai masyarakat feodal, sistem kapitalis berlaku di
wilayah lainnya dalam Negara yang sama. Jadi pernyataan bahwa tahapan dari satu
sistem ke system berikutnya mengikuti pola evolusi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Marx dan teori evolusi tidak dapat dibuktikan sama sekali.

c) Aliran Neo-Klasik
Aliran yang menggantikan aliran klasik yang mempelajari tingkat bunga (harga modal
yang menghubungkan nilai pada saat ini dan yang akan datang). Neo-klasik mengenai
perkembangan ekonomi dapat diiktisarkan sebagai berikut:
1. Akumulasi Kapital

10
Menurut Neo-klasik tingkat bunga dan tingkat pendapatan meningkatkan tingkat
tabungan. Pada suatu tingkat teknik tertentu bunga menentukan tingkat investasi.
Perubahan teknologi menurut Neo-klasik terutama adalah penemuan-penemuan baru
yang mengurangi penggunaan tenaga buruh/relativ lebih bersifat “penghemat buruh”
dari pada “penghemat capital”. Jadi kemajuan-kemajuan teknik akan menciptakan
permintaan-permintaan yang kuat akan barang-barang capital.
2. Perkembangan sebagai proses Gradual/terus-menerus
Menurut_-Alfred Marshall bahwa perekonomian sebagai suatu kehidupan organic
yang tumbuh dan berkembang perlahan-lahan sebagai0proses0yang gradual atau
terus-menerus. 

3. Perkembangan sebagai proses yang harmonis dan kumulatif
Proses yang harmonis dan kumulatif ini meliputi berbagai factor dimana factor itu
tumbuh bersama-sama. Misal, bila teknik produksi baru yang akan menaikkan
produksi total akan menaikkan pendapatan total dimana untuk menambah produksi
dibutuhkan tenaga kerja yang banyak dan lebih pandai, sehingga ada kenaikan
permintaan terhadap produksi itu, karena kenaikan pendapatan Marshall
menggambarkan pula harmonisnya perkembangan itu karena adanya internal
economies & external economices. Internal Economices timbul dari adanya mesin-
mesin yang lebih luas manajemen yang lebih baik dan sebagainya sehingga ada
kenaikan produksi. External economices timbul adanya_kenaikan produksi pada
umumnya dan ada_hubungannya dengan perkembangan pengetahuan dan
kebudayaan. Jadi Marshall menekankan pada adanya sifat saling ketergantungan dan
komplementer dari perekonomian. Mengenai kumulatifnya menurut Alien Young
bahwa berkembangnya industri itu tergantung pada baiknya pembagian kerja diantara
para buruh.
4. Optimis terhadap perkembangan ekonomi
Kaum klasik mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan macet karena
keterbatasan sumber daya alam. Di pihak lain berpendapat bahwa adanya kemampuan
manusia mengatasi keterbatasan pertumbuhan itu. Selalu akan ada kemajuan-
kemajuan pengetahuan teknik secara gradual dan kontinyu dan akan selalu adanya
permintaan masyarakat, hal ini menimbulkan kemungkinan baru bagi buruh untuk
kenaikan upah. Bagi Neo-klasik hal penting untuk pertumbuhan ekonomi ialah
kemauan untuk menabung.
5. Teori Schumpeter

11
Teori Schumpeter ini pertama kali dikemukakan dalam bukunya yang berbahasa
Jerman pada tahun 1911 yang pada tahun 1934 diterbitkan dalam bahasa Inggris
dengan judul The Theory of Economic Development. Kemudian dia mengulas teorinya
lebih dalam mengenai proses pembangunan dan faktor utama yang menentuka
pembangunan dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1939 dengan judul
Business Cycle.
Salah satu pendapat Schumpeter yang menjadi landasan teori pembangunan
adalah adanya keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling
baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun, Schumpeter
meramalkan bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami
kemacetan (stagnasi). Pendapat ini sama dengan pendapat kaum klasik.
Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi
adalah proses inovasi dan pelakunya adalah para inovator atau pengusaha. Kemajuan
ekonomi suatu masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para
pengusaha (entrepreneurs). Dan kemajuan ekonomi tersebut dapat dimaknai sebagai
peningkatan output total masyarakat.
Dalam mernbahas perkembangan ekonomi, Schumpeter membedakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi, meskipun keduanya merupakan
sumber peningkatan output masyarakat. Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi
adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya
jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, tanpa adanya
perubahan dalam “teknologi” produksi itu sendiri. Misalnya, kenaikan output yang
disebabkan oleh pertumbuhan stok modal ataupun penambahan faktor-faktor produksi
tanpa tanpa adanya perubahan pada teknologi produksi yang lama.
Sedangkan pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan
oleh adanya inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha (entrepreneurs). Inovasi
disini bukan hanya berarti perubahan yang “radikal” dalam hal teknologi, inovasi
dapat juga direpresentasikan sebagai penemuan produk baru, pembukaan pasar baru,
dan sebagainya. Inovasi tersebut menyangkut perbaikan kuantitatif dan sistem
ekonomi itu sendiri yang bersumber dari kreativitas para pengusahanya.
Menurut Schumpeter, pembangunan ekonorni akan berkembang pesat dalam
lingkungan masyarakat yang menghargai dan merangsang setiap orang untuk
menciptakan hal-hal yang baru (inovasi), dan lingkungan yang paling cocok untuk itu

12
adalah masyarakat yang menganut paham laissez faire, bukan dalarn masyarakat
sosial ataupun komunis yang cenderung mematikan kreativitas pendudukunya.

2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Salah satu indikator ekonomi yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan
pembangunan ekonomi suatu daerah adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Menurut Tarigan (2004), PDRB dapat dibedakan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga
konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihasilkan berdasarkan harga-harga tahun berjalan. PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai
tambah barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan harga tahun dasar. Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dapat dihitung dengan 3 (tiga) pendekatan (approach), yaitu 1)
pendekatan produksi, 2) pendekatan pengeluaran, 3) pendekatan pendapatan.

2.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi


Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) riil di wilayah tersebut (Arsyad: 2010). Apabila tingkat
pertumbuhan ekonomi bernilai negatif berarti kegiatan perekonomian menunjukkan penurunan,
sebaliknya jika tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut bernilai positif berarti kegiatan
perekonomian mengalami peningkatan.

2.4 Teori Sektor Potensial


Potensi ekonomi suatu daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin
dan layak dikembangkan, sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat
setempat, bahkan dapat menolong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang
dengan sendirinya dan berkesinambungan (Soeparmoko, 2002). Sektor potensial/unggulan harus
memiliki kelebihan, yaitu unggul secara komparatif dan unggul secara kompetitif. Menurut Arsyad
(2010), terdapat beberapa ukuran pertumbuhan ekonomi yang pada dasarnya dapat
menggambarkan hubungan antara perekonomian daerah dengan lingkungan sekitarnya sebagai
sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan, yaitu : 1) Location Quotients
(LQ), 2) Model Rasio Pertumbuhan (MRP), 3) Overlay dan 4) Shift-share.

13
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Design Penelitian
Didalam penelitian ini menggunakan pendekatan secara kuantitatif. Dikarenakan, terlebih
dahulu akan menentukan sektor ekonomi potensial apa saja yang ada di Kota Bukittingi dalam hal
ini adalah sektor pariwisata dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ) dan analisis
Shift Share. Hasil dari analisa ini pula nantinya dijadikan rujukan kepada investor sebagai bahan
referensi untuk berinvestasi di masa yang akan datang. Dari hasil analisa ini, selanjutnya
digunakan untuk menentukan jenis-jenis pertanyaan yang sesuai dengan variable-varibel yang ada
dan untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam berinvestasi, terutama dalam hal
kebijakan.

3.2 Variabel dan Pengukuran


Location Quotient (kuosien lokasi) atau disingkat LQ adalah suatu perbandingan tentang
besarnya peranan suatu sektor atau industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor
atau industri tersebut secara nasional (Tarigan, 2004). Selain itu, menurut Arsyad (2010)
analisis LQ merupakan suatu pendekatan tidak langsung yang digunakan untuk mengukur
kinerja basis ekonomi suatu daerah, artinya bahwa analisis ini digunakan untuk melakukan
pengujian sektor-sektor ekonomi yang termasuk dalam kategori sektor unggulan. Dalam teknik
ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi ke dalam dua golongan, yaitu :
Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang
bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industri basis. Kegiatan ekonomi atau industri
yang hanya melayani pasar di daerah tersebut, jenis industri ini dinamakan industri non basis
atau industri lokal.
3.3 Lokasi Penelitian
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Pegunungan Bukit Barisan atau sekitar 90 km
arah utara dari Kota Padang. Kota ini berada di tepi Ngarai Sianok dan dikelilingi oleh dua
gunung yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Lokasinya pada ketinggian 909–941
mdpl menjadikan Bukittinggi kota berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C.
Luas Bukittinggi secara de jure adalah 145,29 km², mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor 84 tahun 1999. Namun, karena penolakan sebagian masyarakat Kabupaten Agam, luas
wilayah secara de facto saat ini adalah 25,24 km², yang menjadikan Bukittinggi sebagai salah
satu kota dengan wilayah tersempit di Indonesia. Kota Bukittinggi adalah salah satu kota yang
terletak di bagian tengah Provinsi Sumatera Barat. Secara Geografis Kota Bukittinggi terletak
di tengah-tengah Kabupaten Agam. Sehingga secara administratif Kota Bukittinggi seluruhnya

14
berbatasan dengan wilayah Kabupaten Agam. Wilayah administratif Kota Bukittinggi terdiri
atas 3 kecamatan dan 24 kelurahan. Tiga kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Guguk Panjang,
Kecamatan Mandiangin Koto Selayan dan Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh.
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi
pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat
mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih
Galuang. Saat ini Bukittinggi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatra Barat, dengan
tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah angkatan kerja sebanyak 52.631 orang
dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran. Kota ini didominasi oleh etnis
Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak. Masyarakat
Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka diizinkan
pemerintah Hindia Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de Kock,
yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan
nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara,
melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.

3.4 Metode Analisis


Analisis kali ini menggunakan pendekatan positivistik. Dimana filsafat positivistik
memandang realitas/gejala/fenomena dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati,
terukur dan hubungan gejala bersifat sebab akibat (Sugiyono : 2012). Metode analisis yang
digunakan adalah metode kuantitatif. Menurut Nazir (2003), metode analisis merupakan satu

15
kesatuan sistim yang terdiri dari prosedur dan teknik yang perlu dilakukan dalam suatu
penelitian. Proses penelitian kuantitatif bersifat linear, dimana langkah-langkahnya dimulai
dari rumusan permasalahan, kemudian untuk menjawab sementara rumusan permasalahan
digunakan konsep dan teori, selanjutnya mengumpulkan data dan melakukan analisis data
dengan teknik statistik tertentu untuk menjawab rumusan masalah dan terakhir membuat
kesimpulan dan saran (Sugiyono : 2012). Dalam analisis ini langkah-langkah yang dilakukan
setelah menetapkan rumusan masalah dan merumuskan beberapa konsep dan teori adalah
mengumpulkan data yang diperlukan yaitu berupa data sekunder dan mengolah data yang ada
melalui alat analisis pendekatan Input Output.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan dari tahapan analisis yang akan dilakukan adalah :
a. Penyusunan Tabel Input Output Kota Bukittinggi berdasarkan Tabel Input Output dasar
Sumatera Barat, dengan metode LQ.
Langka-langka penyusunannya yaitu :
 Pengelompokan (agregasi) Tabel IO Sumatera Barat Tahun dari 75 sektor menjadi
16 sektor.
 Mengupdate menjadi Tabel Input Output Tahun dengan metode RAS.
Rumus umum metode RAS adalah:
𝐴1 = 𝑅1 𝐴(𝑜)𝑆
 Mempersiapkan nilai LQ Kota Bukittinggi. Perhitungan LQ sebagai berikut:
𝑌𝑖𝑅 ⁄𝑌𝑡𝑅
𝐿𝑄𝑖 = 𝑁 𝑁
𝑌𝑖 ⁄𝑌𝑡
Dimana :
LQi : nilai LQ sektor i
YiR : nilai sektor I pada wilayah regional
YtR : nilai total sektor pada wilayah regional
YiN : nilai sektor I pada wilayah nasional YtN : nilai total sektor pada wilayah
nasional
 Estimasi koefisien input (matriks teknologi) Kota Bukittinggi dengan metode
Location Qoutient (LQ). Nilai LQ ≥ 1, maka nilai koefisien Sumatera Barat dapat
langsung diserap sebagai nilai koefisien Kota Bukittinggi sedangkan LQ < 1, maka
nilai LQ harus dikalikan dengan angka koefisien Sumatera Barat.
b. Mengidentifikasi peranan sektor-sektor dalam struktur perekonomian melalui :
 Menyusun matrik kooefisien input atau kooefisien teknologi [A]
 Menghitung matrik identitas [I]

16
 Menghitung matrik leontif [I – A] dan invers matrik leontif [I – A] -1
c. Menganalisis keterkaitan antar sektor dalam perekonomian
d. Menganalisis dampak pengganda
Pengganda output dengan rumus : 𝑂𝑗 = ∑𝑛𝑖=1 𝑔𝑖𝑗
Pengganda pendapatan rumah tangga dengan rumus : 𝑌𝑗 = ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖. 𝑔𝑖𝑗
Pengganda lapangan kerja dengan rumus : 𝐸𝑗 = ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖. 𝑔𝑖𝑗
Dimana :
Oj = angka pengganda output sektor j
Yj = angka pendapatan rumah tangga
Pi = koefisien input upah/gaji
Ej = angka pengganda lapangan kerja
wi = rata-rata output setiap pekerja (Xj/Lj)
Xj = total output sektor j
Lj = tenaga kerja sektor j
Gij = elemen pada matrik invers leontif = [I – A] -1
e. Menganalisis skenario dengan menstimulasikan perubahan pada permintaan akhir belanja
pemerintah dan investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto). Angka perubahan ini dilihat dan
dihitung dengan mengaplikasikannya terhadap angka pengganda, output, pendapatan maupun
tenaga kerja. Sehingga akan diketahui input finasial dari permintaan akhir yang optimal.
f. Menganalisis Pengaruh Sektor Pariwisata Terhadap Pola dan Struktur Ruang Kota Bukittinggi.
Dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bukittinggi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pariwisata pada dasarnya adalah melakukan perjalanan untuk tujuan dan maksud tertentu
dalam memenuhi kebutuhan, baik psikologis maupun fisik. Pendit (1999) mengatakan bahwa
pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat
tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja sehari harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada
di tempat-tempat tujuan tersebut, ini mencakup kepergian untuk berbagai maksud, termasuk
kunjungan seharian atau darmawisata/ ekskursi. Aktivitas dilakukan selama mereka tinggal di tempat
yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka (Marpaung : 2002).
Keseluruhan kegiatan usaha yang dilakukan sehingga dapat dinikmati wisatawan mulai awal
ketertarikan untuk berwisata, menikmati lokasi DTW sampai pada proses akhir wisatawan tersebut
pulang merupakan industri pariwisata. Industri pariwisata mempunyai sifat yang khas, tidak hanya
melibatkan banyak industri, seperti transportasi, akomodasi, jasa boga, atraksi, retail, juga bersifat
17
menyerap banyak tenaga kerja (Wardiyanta : 2006). Spillane (1994) mengkategorikan lima bidang
dalam industri pariwisata antara lain : hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, pusat wisata dan
souvenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sedangkan Damardjati dalam Karyono (1997)
menggolongkan usaha-usaha pariwisata dalam 4 golongan besar yaitu: (1) Transportasi (2) Akomodasi
dan perusahaan pangan (3) Perusahaan Jasa Khusus (4) Penyediaan barang.
Petters dan Bryden dalam (Soekadijo: 1997), merumuskan 5 hal dampak positif
pengembangan pariwisata yang di jadikan tujuan pengembangan pariwisata sebagai berikut: (1)
Menyumbang kepada neraca pembayaran, (2) Menyebarkan pembangunan ke daerah-daerah yang non
industri, (3) Menciptakan kesempatan kerja, (4) Dampak pada pembangunan ekonomi pada umumnya
melalui dampak pengganda (multiflier effect), dan (5) Keterkaitan Sektor Pariwisata dengan Sektor
Lain dalam Perekonomian. Perencanaan pembangunan identik dengan ekonomi pembangunan, karena
strategi ekonomi pembangunan dapat diterjemahkan dengan perencanaan pembangunan melalui
program dan kegiatan yang terkoordinir dari perencanaaan pembangunan (Daryanto dan Yundi: 2010).
Baik dalam perencanaan nasional maupun perencanaan pembangunan daerah, terdapat
beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan, diantaranya pendekatan sektoral dan
pendekatan regional/wilayah. Pendekatan sektoral adalah dimana seluruh kegiatan ekonomi di dalam
wilayah perencanaan dikelompokan atas sektor-sektor, selanjutnya setiap sektor di analisis satu per
satu. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor
dengan sektor lainnya dan sebaliknya dikenal dengan nama analisis masukan-keluaran (input-output
analysis). Pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam
ruang wilayah. Sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lain dan
bagaimana ruang itu berinteraksi untuk diarahkan kepada tercapainya kehidupan yang efisien dan
nyaman (Tarigan : 2005). Perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan penggunaan/pemanfaatan
ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan
perencanaan pergerakan pada ruang tersebut.
 Analisis Peranan Sektor Pariwisata dalam Perekonomian Kota Bukittinggi
Berdasarkan Tabel Input Output total permintaan pada perekonomian Kota Bukittinggi adalah
sebesar Rp. 4.487.365,50 juta, dengan komposisi 69,62% untuk permintaan akhir dan 30,38%
untuk permintaan antara. Peran sektor pariwisata (sektor perdagangan besar & eceran, hotel,
restoran, pengangkutan dan hiburan & rekreasi) terhadap perekonomian adalah sebesar
40,86% apabila sektor lapangan usaha dikelompokan dalam sektor pertanian & pertambangan,
sektor industri, sektor pariwisata dan sektor jasa. Permintaan terhadap sektor yang berkaitan
dengan kegiatan kepariwisataan terlihat bahwa lebih dari 55% merupakan permintaan untuk
memenuhi permintaan akhir. Permintaan antara yang bertujuan untuk digunakan sebagai input

18
oleh sektor lain dalam proses produksi relatif kecil terutama sektor hotel dan restoran yaitu
hanya sebesar 1,80% dan 4,73%.
 Analisis Keterkaitan sektor Pariwisata dengan Sektor lain
Keterkaitan kebelakang sektor pariwisata dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian
Kota Bukittinggi sesuai Tabel 1 menjelaskan bahwa semua sektor yang berhubungan dengan
kegiatan pariwisata mempunyai nilai keterkaitan kebelakang yang tinggi dengan ranking 2 – 6
dari 16 sektor lapangan usaha dalam perekonomian. Ini memperlihatkan bahwa sektor
pariwisata merupakan salah satu sektor yang strategis dan dapat memacu pertumbuhan
ekonomi di Kota Bukittinggi, karena sektor pariwisata di dalam menghasilkan outputnya
membutuhkan input dari sektor lain. Sedangkan untuk keterkaitan kedepan sektor pariwisata
dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian Kota Bukittinggi, terlihat bahwa hanya sektor
perdagangan besar & eceran dan pengangkutan yang mempunyai nilai yang tinggi yaitu
ranking 1 dan 3. Sedangkan sektor lainnya seperti sektor hotel, restoran dan hiburan & rekreasi
hanya berturut-turut ranking 13, 14 dan 8 dari 16 sektor lapangan usaha yang ada.
Tabel 1. Nilai Keterkaitan dan Indeks Daya Penyebaran Derajat Kepekaan

Keterkaitan Keterkaitan Indeks Indeks


No Sektor Kebelakang kedepan Daya Derajat
Ran- Ran- Penye- Kepe-
Nilai Nilai baran kaan
king king
1 Tanaman bahan makanan 1,111 15 1,041 10 0,772 0,723
2 Tanaman perkebunan 1,406 10 1,002 15 0,977 0,696
3 Peternakan dan hasilnya 1,283 13 1,104 7 0,891 0,767
4 Perikanan 1,088 16 1,024 11 0,756 0,711
5 Pertambangan dan penggalian 1,372 12 1,000 16 0,953 0,695
6 Industri pengolahan 1,382 11 2,085 4 0,960 1,448
7 Listrik, gas dan air bersih 1,907 1 1,094 8 1,324 0,760
8 Bangunan 1,469 8 1,694 5 1,020 1,177
9 Perdagangan besar & eceran 1,476 6 2,878 1 1,025 1,999
10 Hotel 1,682 3 1,019 12 1,168 0,708
11 Restoran 1,496 5 1,014 14 1,039 0,704
12 Pengangkutan 1,696 2 2,240 3 1,178 1,556
13 Komunikasi 1,224 14 1,127 6 0,850 0,783
14 Keuangan, persewaan dan jasa 1,465 9 1,018 13 1,018 0,707
perusahaan
15 Jasa-jasa 1,476 7 2,618 2 1,025 1,818
16 Hiburan & rekreasi 1,505 4 1,079 9 1,046 0,749

Daya penyebaran dinotasikan dengan 𝛼𝑗 dan derajat kepekaan dinotasikan dengan


𝛽𝑗 merupakan perbandingan dampak baik kebelakang atau kedepan terhadap rata-rata seluruh
dampak sektor lapangan usaha, sehingga disebut juga sebagai backward linkage effect ratio

19
dan forward linkage effect ratio. Nilai 𝛼𝑗 > 1 dan 𝛽𝑗 >1 merupakan sektor yang strategis dalam
memacu pertumbuhan ekonomi.
 Analisis Dampak Pengganda (Multiplier Effect)
Semua sektor yang terkait dengan kepariwisataan mempunyai angka pengganda output
yang tinggi. Tingkatan angka penggandanya di dalam 16 sektor lapangan usaha yang ada yaitu
sektor pengangkutan (ranking 2) , sektor hotel (ranking 3), sektor hiburan & rekreasi (ranking
4), sektor restoran (ranking 5), dan sektor perdagangan besar & eceran (ranking 6). Apabila di
lihat lebih cermat nilai pengganda output adalah merupakan nilai keterkaitan kebelakang dari
suatu perekonomian. Nilai sebesar 1,476 pada sektor perdagangan besar & eceran menunjukan
bahwa apabila terjadi tambahan permintaan akhir sebesar satu unit rupiah pada sektor tersebut
maka output yang tercipta dalam perekonomian adalah sebesar 1,476, begitu pula
interpretasinya untuk sektor lain.
Meningkatnya permintaan akhir pada suatu sektor akan memberikan dampak terhadap
penambahan output atau produksi suatu barang dan jasa, secara otomatis akan membutuhkan
tambahan tenaga kerja untuk memproduksi barang dan jasa tersebut sebagai input primernya.
Akibat penambahan tenaga kerja akan meningkatkan upah dan gaji yang diterima sebagai
balas jasa yang diberikan dalam proses produksi. Peningkatan upah dan gaji inilah yang
dinamakan tambahan pendapatan rumah tangga. Pengaruh sektor yang berhubungan dengan
kepariwisataan terhadap pendapatan rumah tangga dengan angka pengganda pendapatan
rumah tangga yang relatif tinggi yaitu sektor pengangkutan (ranking 2) dan sektor hiburan &
rekreasi (ranking 3). Sedangkan sektor lainnya hanya mempunyai angka pengganda sedang
yaitu sektor hotel (ranking 6), sektor restoran (ranking (7) dan sektor perdagangan besar &
eceran (ranking (9) dari 16 sektor dalam perekonomian.
Tabel 2. Angka Pengganda Sektor Perekonomian

Angka Pengganda
No Sektor
Output Pendapatan Tenaga Kerja
Ran- Ran- Ran-
Nilai Nilai Nilai
king king king
1 Tanaman bahan makanan 15 16 13
1,111 0,188 0,008
2 Tanaman perkebunan 1,406 10 0,294 12 0,012 10
3 Peternakan dan hasilnya 1,283 13 0,385 4 0,010 12
4 Perikanan 1,088 16 0,190 15 0,007 14
5 Pertambangan dan penggalian 1,372 12 0,282 13 0,006 16
6 Industri pengolahan 1,382 11 0,365 8 0,031 2
7 Listrik, gas dan air bersih 1,907 1 0,326 11 0,017 7
8 Bangunan 1,469 8 0,374 5 0,020 3
9 Perdagangan besar & eceran 1,476 6 0,355 9 0,032 1
10 Hotel 1,682 3 0,369 6 0,019 6
11 Restoran 1,496 5 0,368 7 0,015 8

20
12 Pengangkutan 1,696 2 0,463 2 0,013 9
13 Komunikasi 1,224 14 0,251 14 0,007 15
Keuangan, persewaan dan jasa
14 1,465 9 0,330 10 0,010 11
perusahaan
15 Jasa-jasa 1,476 7 0,693 1 0,019 4
16 Hiburan & rekreasi 1,505 4 0,422 3 0,019 5

Dampak pengganda tenaga kerja sektor pariwisata yang relatif tinggi adalah sektor
perdagangan besar & eceran (ranking 1), dan hiburan & rekreasi (ranking 5) dan hotel ranking
(6). Sedangkan restoran dan pengangkutan hanya menduduki ranking 8 dan 9 dari 16 sektor
yang ada dalam perekonomian Kota Bukittinggi, yang mencerminkan sektor ini adalah sektor
yang padat modal.

 Analisis Penerapan Input Finansial Belanja Pemerintah dan Investasi


Apabila belanja pemerintah di perkirakan naik 11% dari Tahun 2019 menjadi
Rp579.646.247.003,-, dan investasi sesuai peluang yang ada sebesar Rp58,396 M, yang
kemudian dialokasikan kedalam beberapa simulasi (Tabel 3), akan dilihat pengaruhnya
terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja yang tercipta. Begitu pula dengan investasi.
Penerapan input finansial terhadap pengeluaran belanja pemerintah pada skenario I
simulasi 1, 2 dan 3, pengaruh yang paling besar baik terhadap output, pendapatan dan tenaga
kerja adalah pada simulasi 2, dimana pengeluaran belanja pemerintah di alokasikan lebih besar
terhadap sektor pariwisata. Begitu pula penerapan input finansial pada komponen investasi
skenario II baik simulasi 1, 2 dan 3, terlihat bahwa pengaruh yang paling besar untuk output
dan pendapatan rumah tangga adalah simulasi 3, dimana input finansial hanya dialokasikan
kepada sektor kepariwisataan. Tetapi dalam penciptaan tenaga kerja baru penerapan simulasi 1
lebih memberikan pengaruh yang besar. Ini terjadi disebabkan input finansial dialokasikan
kepada sektor yang memang mempunyai nilai koefisien tenaga kerja yang tinggi, seperti sektor
bangunan, perdagangan besar & eceran dan hiburan & rekreasi.
Tabel 3. Alokasi Penerapan Input Finansial Belanja Pemerintah dan Investasi

Alokasi Belanja Pemerintah (Skenario I) Investasi (Skenario II)


Simulasi 1 Alokasi Merata ke semua sektor Alokasi sesuai peluang yang ada
(Sektor perdagangan ±30M,
Kebersihan (bangunan) ± 11,396 M,
dan Hiburan & rekreasi ± 17M.
Simulasi 2 50% untuk sektor pariwisata & 50% Dibagi secara merata kesemua
untuk sektor lain sektor
Simulasi 3 25% untuk sektor pariwisata & 75% Hanya dialokasikan kepada sektor
untuk sektor lain pariwisata dengan porsi yang sama

21
Tabel 4. Hasil Penerapan Input Finansial

Dampak Input Finansial


No Penerapan Output Pendapatan Tenaga Kerja
1 Skenario I
Simulasi 1 834.552,53 204.852,74 8.849
Simulasi 2 855,299,60 211.494,67 9.524
Simulasi 3 827.636,84 202,.638,77 8.625
2 Skenario II
Simulasi 1 86.616,50 22.095,51 1.507
Simulasi 2 84.076,33 20.637,73 892
Simulasi 3 91.740,20 23.091,22 1.141
3 Kombinasi Optimal
SK I SM 2 & SK II SM 1 941.916,10 233.590,18 11.031
SK I SM 2 & SK II SM 3 947.039,80 234.585,89 10.665

Pengaruh optimal dari kombinasi penerapan skenario I dan II adalah, kombinasi antara
Skenario I Simulasi 2 dan Skenario II Simulasi 1. Apabila kebijakan pemerintah daerah adalah
untuk meningkatkan jumlah kesempatan kerja yang lebih besar. Penerapan kombinasi pertama
ini akan menciptakan output dan pendapatan rumah tangga yang sedikit lebih kecil, akan tetapi
jumlah tenaga kerja yang tercipta lebih banyak. Kebijakan ini lebih baik apabila pemerintah
daerah ingin mengurangi pengangguran yang ada di Kota Bukittinggi. Kombinasi kedua yaitu
apabila Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi ingin memfokuskan kepada peningkatan output
dan pendapatan rumah tangga, dimana input finansial pengeluaran belanja pemerintah dengan
alokasi anggaran lebih besar dan investasi dialokasikan untuk sektor yang strategis yaitu sektor
pariwisata.

V. SIMPULAN
Hasil simpulan sederhana mengungkapkan bahwa ditinjau dari struktur permintaan dalam
perekonomian, peran sektor pariwisata (sektor perdagangan besar & eceran, hotel, restoran,
pengangkutan dan hiburan & rekreasi) adalah sebesar 40,86% apabila sektor lapangan usaha
dikelompokan dalam sektor pertanian & pertambangan, sektor industri, sektor pariwisata dan sektor
jasa. Perbandingan antara permintaan antara dan permintaan akhir, lebih dari 55% peran sektor
pariwisata adalah untuk permintaan akhir. Keterkaitan sektor pariwisata dengan sektor lain dilihat dari
indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan, semua sektor yang terkait dengan kegiatan
kepariwisataan mempunyai indeks daya penyebaran > 1. Tetapi indeks derajat kepekaan > 1 hanya

22
terjadi pada sektor perdagangan besar & eceran dan pengangkutan, sedangkan sektor hotel, restoran
dan hiburan & rekreasi mempunyai indeks <1. Begitu pula dampak pengganda (multiplier effect)
semua sektor yang terkait kegiatan pariwisata mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap
dampak pengganda baik output, pendapatan rumah tangga dan tenaga kerja. Penerapan skenario input
finansial, memperlihatkan pengaruh sektor pariwisata terhadap perekonomian Kota Bukittinggi akan
lebih besar apabila input finansial dialokasikan lebih besar terhadap sektor-sektor pariwisata, baik
dalam bentuk pengeluaran belanja pemerintah maupun investasi. Keberadaan objek wisata di sekitar
pusat kota telah mempengaruhi struktur kota, dimana kegiatan dan usaha yang terkait dengan
pariwisata tertarik untuk berlokasi mendekati objek wisata. Namun pola perkembangan kota ke arah
timur, utara dan selatan kota lebih dipengaruhi oleh keberadaan jaringan jalan.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu

Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta :
Penerbit BPFE

Bukittinggi Dalam Angka 2022. 2023. Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi

Boediono. (1981). Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.

Daryanto, Arief dan Yundi, Hafisrianda. 2010. Model-Model Kuantitatif Untuk Perencanaan
Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor : Penerbit IPB Press

Marpaung. Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Penerbit Alfabeta

Nazara, Suahasil. 2005. Analisis Input Output. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

Nazir, Mohamad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia
Pendit, N.S. 1999.
Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. PT. Anem Kosong Anem

Soekadijo. 1997. Anatomi Pariwisata (Memahami Pariwisata sebagai Systemic Linkage). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Penerbit Alfabeta
Tarigan, Robinson. 2004. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta : Penerbit PT. Bumi Aksara. -
------------------. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara

Todaro, P. M. (2000). Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset

23

Anda mungkin juga menyukai